Aku serasa hidup dalam sangkar. Tinggal di rumah mewah tapi hidupku menderita. Semua ini karena aku terlalu silau dengan kekayaan yang dimiliki Arya hingga dengan begitu mudah menerima ajakannya menikah. Tapi sudahlah, nasi telah menjadi bubur.Malam ini aku tidur di kamar Zea. Setelah mendengar pengakuan Arya kemarin, aku memutuskan untuk satu kamar dengan Zea. Karena sekarang fokusku adalah anakku. Aku akan memastikan kalau Arya dan Sasa tidak akan menyakiti anakku!Byur!Aku gelagapan saat ada yang menyiramku dengan air. Setelah sepenuhnya sadar aku melihat seseorang berdiri di samping tempat tidurku.“Sasa! Apa-apaan kamu!” pagi-pagi pelakor ini sudah memancing emosiku“Enak banget kamu jam segini belum bangun! Arya mau sarapan cepat buatin!” dia memerintahku dengan bersedekap. Benar-benar angkuh!“Heh! Memangnya aku pembantumu! Bikin aja sendiri! Sana layani sendiri pacar tersayangmu itu!” sentakku tak mau kalah“Heh, kamu di sini itu Cuma dianggap babu oleh Arya. Jadi jangan ma
Sambil menyusui aku memikirkan Mas Dani dan Rara. Aku ingin menghubungi mereka dan meminta maaf, tapi aku tak memiliki ponsel lagi. Sepertinya aku harus mencari uang untuk memperbaiki ponsel ini, karena tak mungkin Arya akan menggantinya Sungguh miris, di rumah semewah dan semegah ini, aku tak memiliki uang sepeserpun. Bahkan untuk membeli makan pun aku tak ada uang. Aku merasa apa yang dulu terjadi pada Rara dan Mas Dani, kini semua menimpaku, dari dikhianati suami, hingga tak memiliki uang sepeserpun seperti Mas Dani dulu saat pisah dengan Rara. Dulu dengan jahatnya aku mengusirnya, sekarang aku merasakan sendiri.Mas Dani, Mbak Rara, maafkan aku!Mulai sekarang aku harus mulai terbiasa dengan hal-hal baru. Dulu di rumah ada Ibuku yang menyiapkan semuanya. Dari bangun tidur sampai tidur lagi, kerjaan ku hanya Shopping dan bermain Handphone. Sekarang harus aku sendiri yang melakukannya. Pantas saja Ibu memintaku mencari suami kaya, karena Ibu tahu aku tak bisa apa-apa. Harapannya
Awalnya aku ingin marah saat ada yang menganggapku pengemis, tapi melihat uang yang didapat cukup banyak, walaupun aku hanya duduk saja membuatku menjadi senang.Mungkin ini bisa dijadikan sampingan agar aku bisa mendapatkan uang untuk pulang ke Jakarta. Aku bod*h harusnya tadi aku keluar dengan membawa koperku, jadi aku tak perlu kembali ke rumah tersebut. Untuk membeli tiket pesawat pun aku harus mengambil identitasku, karena sekarang aku tak membawanya.Aku mampir ke sebuah warung makan, hendak makan siang karena perutku sudah terasa lapar kembali.Aku meletakkan Zea di meja. Si penjual adalah seorang wanita seusia Ibuku yang sedari tadi melihatku, mungkin ia heran, pakaian bagus dan terlihat mahal, juga wajahku yang glowing, tapi berjalan kaki dan makan di pinggir jalan.“Ada apa ya dari tadi ngeliatin saya terus?” tanyaku sopan.“Maaf, Bu. Kenapa bayinya dibawa ke sana ke mari? Ibu kasihan lihatnya, Masih kecil begitu. Belum ada tiga bulan ya?” tanya Ibu penjual.“Belum ada, Bu.
Zea tampak tertidur di pangkuan Sasa. Sedangkan mereka berdua sedang asyik berbicara dan bercanda. Aku mendekati mereka dengan perlahan. Mereka tak menyadari aku mendekat karena posisi mereka yang menghadap ke kolam.“Ze—“ Kuurungkan niatku untuk memanggil Zea karena aku mendengar percakapan merekamembahas tentang aku.“Wah, kamu kejam juga ya, Sayang. Masa minta teman kamu yang juga teman dia buat memperkosa Anggita, sih. Kalau aku jadi Anggita, paling udah bunuh diri. Apalagi posisi hamil. Hahahah“ Sasatertawa, entah menertawai nasibku atau ucapannya sendiri.Aku sangat kaget mendengarnya. Tak menyangka peristiwa mengerikan itu atas perintah Arya. Kenapa dia sangat kejam padaku? Apa salahku?Sekuat tenaga aku menjaga agar tak bersuara. Aku diam di tempatku, berharap semoga mereka belum sadar kalau aku sudah berdiri di sini mendengarkan percakapan mereka.“Itu semua belum seberapa dibandingkan sakit hatiku karena kehilangan orang tuaku. Gara-gara orang tua Anggita aku kehilangan A
Pintu terus di gedor, aku tak berani membukanya.“Anggita, ini Ibu, Nak.”Itu suara Bu Inem, aku menghela napas lega. Segera kubuka kunci dan membuka pintunya. Bu Inem langsung memelukku. Aku yang merasa punya Ibu di sini ikut terharu akan kebaikan Bu Inem.“Maaf, ya. Ibu tiba-tiba memelukmu, Ibu kuatir sama kamu dan bayimu. Anakmu gimana? Sehat ajakan?” tanya Bu Inem.Aku mengangguk pelan.“Bu, Makasih banyak ya! Tanpa bantuan Ibu, mungkin aku masih di rumah itu, Makasih juga buat semua barang-barang ini.” Aku memandang sekeliling ruang yang sudah terisi berbagai macam barang, walaupun sederhana tapi lumayanlah daripada kosong.“Ah, itu Ibu nggak beli, kok. Barang lama, daripada disimpan di gudang Cuma dimakan rayap,mending buat kamu aja,” kata Bu Inem.“Ceritakan gimana akhirnya kami bisa keluar dari rumah itu?” tanyanya lagi.Aku pun segera menceritakan semuanya, dari awal hingga kejadian di kolam renang tadi. Bu Inem sampai menangis mendengarnya. Ia tak pernah membayangkan hidup
Aku menggenggam tangan Bu Inem erat. Semoga saja Bu Inem paham akan kode yang aku berikan. Aku menggunakan selendang tipis yang aku gunakan sebagai penutup pundak untuk menutupi rambutku. Untung posisiku membelakangi Arya. Tapi yang aku pikirkan adalah bagaimana cara keluar dari sini? Pintu keluar ada di belakang Arya.Mungkin lebih baik aku sembunyi dulu di toilet sementara, biar Bu Inem menunggu di sini. Nanti kalau situasi sudah aman aku akan pergi dari sini. Tapi bagaimana aku memberi tahu rencanaku kepada Bu Inem? Ah, lebih baik aku mengajaknya langsung menuju toilet restoran ini.Dengan perlahan aku berjalan menjauh dari Arya dengan masih menggandeng tangan Bu Inem erat. Bu Inem berada tepat di belakangku.“Tunggu!”Aku mendengar suara Arya berteriak. Apa dia memintaku menunggu? Karena takut ketahuan aku justru mempercepat langkahku, takut ketahuan olehnya.Bu Inem sedikit mengaduh, mungkin kesulitan berjalan cepat.“Ada apa?” kata Bu Inem.Akhirnya aku berhenti setelah mendenga
“Mau ngapain lagi kamu kesana, Anggita?” tanya Bu Inem sewot.Aku lalu memberitahukan rencanaku untuk mengambil sertifikat itu.“Tapi itu namanya mencuri, Anggita! Kalau Arya tahu gimana?” Bu Inem terlihat cemas.“Aku istrinya, Bu. Meskipun hanya menikah siri,” ucapku menenangkan Bu Inem. “Baiklah, tapi hati-hati ya!” ucap Bu Inem.Aku mengangguk mengiyakan.Setelah semua selesai, aku segera menggendong Zea untuk menuju ke rumah Arya. Maaf ya, Nak! Mama belum memiliki banyak uang untuk mencari seorang pengasuh untukmu, jadi Mama membawamu kemanapun Mama pergi.Rumah mewah Arya terlihat sepi. Aku yakin sekarang Arya dan Sasa masih berada di kantor. Aku segera mengambil kunci gerbang dari dalam saku dan mencoba untuk membukanya. Ternyata masih bisa! Aku kira Arya akan mengganti kuncinya setelah kepergianku dari rumah ini.Pintu gerbang berhasil kumasuki, tapi tidak dengan pintu depan. Arya pasti juga menguncinya. Benar dugaanku, pintu depan terkunci. Padahal aku tak memiliki kunci depan
Ojek berhenti di warung Bu Inem. Aku melihat warung Bu Inem mulai ramai. Mungkin karena ini jam makan siang.“Assalamualaikum” ucapku saat masuk ke dalam warung.“Waalaikum salamsudah selesai urusannya, Anggita?” tanya Bu Inem.“Sudah, Bu. Tapi aku bingung bagaimana menjualnya,” ujarku lagi.“Sstt! Kita bahas itu nanti di rumah, sekarang bantuin Ibu dulu. Zea tidur kan? Letakkan saja di kamar belakang!” suruh Bu Inem. Aku pun segera melaksanakan perintah seorang Ibu yang berhati malaikat itu.Aku membantu melayani pembeli juga membuatkan minuman untuk mereka. Setelah kuamati, memang benar apa yang Bu Inem katakan. Banyak di antara mereka yang membayar dengan uang seadanya, bahkan ada seorang kakek tua yang Bu Inem beri uang dan makanan. Sepertinya kakek itu seorang pemulung. Kakek itu menangis bahagia setelah diberi makanan dan uang yang menurutku tidak begitu banyak. Hanya beberapa lembar uang merah.“Terima kasih banyak, Bu. Semoga Tuhan menggantinya dengan rezeki yang berlimpah d
“Kamu sedih?” Tanya Alex, suami Rara.Alex bertanya karena ia melihat istrinya terdiam begitu tiba di rumah setelah pulang dari tempat mantan suaminyaRara menggeleng, karena memang bukan itu yang dirasakan olehnya.“Bukan sedih sih, Mas. Tapi lebih ke kasihan aja dengan Bu Intan. Mas Dani dulu jadi satu-satunya tulang punggung keluarga, sekarang tak ada lagi. Entah bagaimana nasib Ibu kini.”Alex menghela napas.“Semua itu ada sebab ada akibat, Sayang. Apa yang dia tanam, itulah yang akan dia tuai. Dani dan keluarganya hanya menuai apa yang selama ini mereka tanam. Kamu tak perlu kasihan terhadap mereka. Kenapa? Karena mereka semua sehat dan sudah dewasa, mereka bisa menghidupi diri mereka sendiri dengan bekerja. Kecuali kalau setelah menikah Dani memiliki anak yang yang masih kecil-kecil, maka kita perlu membantu karena mereka menjadi anak yatim.” Jelas Alex panjang.“Emang sih, tapi tetep aja kasihan lihatnya. Tapi mungkin memang itu takdir yang harus mereka jalani. Semua pasti sud
“Bagaimana kondisi Lala?” Alex datang dengan wajah cemasnya.“Tulang di kakinya retak, lalu ada luka di kepala dan tangannya. Kata dokter tidak berbahaya, hanyalecet saja.”“Lalu kenapa sekarang belum sadar?” tanya Alex. Aku menggeleng, aku pun tak tahu kenapa sampaisekarang dia belum membuka matanya.Tumpah lagi tangisku melihat kondisi Lala. Aku mengambil ponselku dan mengabari kedua Kakek dan Nenek Lala. Sama denganku, mereka pun terkejut. Tak pernah kusangka ternyata sesakit ini rasanya melihat anak sakit.Alex memelukku. “Kita doakan saja semoga Lala cepat sadar.” Ucapan Alex kuamini dalam hati. “Mas, kamu pulanglah, ambil beberapa keperluan untuk menginap. Aku akan menunggu di sini.Mungkin sebentar lagi Papa dan Mama juga akan datang.”Alex mengangguk. Sebelum pergi dia mengecup puncak kepala Lala pelan.“Cepat sadar putri kecil Papa.”Kepergian Alex membuat ruangan ini sunyi. Hanya terdengar suara jarum detik jam yang terus bergerak. Waktu seakan berjalan lambat. Dalam hati
Pagi hari, kami bersiap mengantar anak-anak remaja itu berangkat naik gunung. Awalnya mereka ingin berangkat sendiri tapi suamiku tak mengizinkan, jadilah kami yang mengantarnya.“Disana harus jaga sikap, jangan buang Sampah sembarangan dan jangan lupa berdoa agar selamat sampai rumah.” Wejangan dari seorang Ayah yang menyayangi putrinya.Anak-anak remaja itu mengangguk.“Kalian yang laki-laki harus bisa bertanggung jawab kepada teman kalian yang perempuan.” Alexbicara dengan salah seorang teman Lala dengan menepuk kedua pundaknya.“Siap, Om!” jawab mereka kompak.Perjalanan sekitar tiga jam. Kami meninggalkan mereka, begitu sampai di basecamp.“Mereka sudah pergi. Jadi sepi ya, Sayang!” ucap Suamiku memasang wajah sedih.“Baru ditinggal bentar aja udah melow-melow apalagi kalau besok Lala menikah ya?!”“Kalau sampai ada laki-laki yang berani menyakiti putri kita, maka akan kupastikan kalau hidupnyaakan menderita.” Ucapan Alex membuatku bergidik ngeri.“Sudah doakan saja yang baik-b
“Happy Anniversary juga, Sayang.” “Lala juga mau peluk!” teriak putriku.Kami bertiga berpelukan bersama. Setelah itu, banyak uang mengucapkan selamat kepada kami. Tanpa aku sadari, ada beberapa wartawan yang diundang di pesta ini. Tentu saja, karena Papa adalah pebisnis terkenal, sedangkan suamiku juga pebisnis dan juga ganteng.Pesta berlangsung sangat meriah, banyak teman-teman memberikan kado untuk kami berdua. Bahkan tetangga sekitar kami di desa pun turut diundang. Entah kapan Alex mempersiapkan hal ini, aku sama sekali tidak mengetahuinya.Hingga sekitar pukul sepuluh malam, satu per satu tamu mulai meninggalkan tempat ini. Kini tinggallah keluarga inti saja.“Sayang, memang kapan kamu membeli kalung itu? Kenapa aku sama sekali tidak tahu?” tanyakusaat kami semua tinggal duduk santai.“Rahasia dong! Harusnya tadi kubawa serta, kelupaan. Awalnya aku minta tolong Mama untuk mengambilnya diam-diam dari kamar kita, tapi Untunglah kamu menemukan sendiri kalung itu jadi aku dan Mama
“Perfect! Kita ambil yang ini saja!” Mama berteriak untuk memanggil pelayan agar membungkussemua belanjaan Mama dan menuju kasir.“Mama cantik banget! Papa pasti klepek-klepek kalau melihat Mama pakai baju ini.”Mendengar Papanya disebut, seketika aku teringat dengan kalung itu. Siapa wanita itu? Wanita lain yang dicintai suamiku? Tanpa terasa air mataku turun, tapi langsung kuhapus karena tak ingin dilihat oleh anakku.“Mama kok nangis? Terharu ya?” goda Lala. Aku hanya tersenyum dan mengangguk.“Yuk pulang, Nenek sudah selesai bayarnya.” Mama mengajakku dan Lala keluar dari butik ini. “Kita pulang sekarang, Nek?” tanya Lala.“Nanti! Kita ke salon dulu! Masa bajunya udah cantik tapi orangnya belum.” “Iya deh, Nek. Tapi salat dan makan dulu ya, sudah magrib ini.” Pinta Lala. “Tentu saja, Sayang!” jawab Mama lalu mengacak rambut Lala.Setelah makan dan melakukan kewajiban sebagai umat muslim, kami segera menuju salon langganan yang juga terletak di mal ini.Ternyata tidak hanya Mama,
Kukeluarkan pakaian-pakaian yang sudah tidak terpakai. Semuanya aku kumpulkan menjadi satu.Selesai dengan lemariku, berikutnya adalah lemari milik suamiku. Kubereskan juga baju-bajunya yang sudah jarang dipakai. Saat mengambil tumpukan yang paling bawah, aku melihat suatu benda terjatuh.Kupungut benda berwarna merah itu. Sebuah kotak berisi kalung emas yang sangat cantik. Tangankugemetar melihat tulisan yang tertera di kotak kalung itu. ‘Untukmu yang paling kusayangi’Badanku terasa lemas. Rasanya tulang lepas dari tubuhku begitu saja. Aku tak menyangka kalau Alex pun sama seperti Mas Dani.Aku menangis sesenggukan. Seorang diri di rumah ini menahan sesak di dada. Hari ini bukan ulang tahunku, bukan pula ulang tahun Lala. Kalau bukan kami berdua, lantas siapa?Kumasukkan kembali baju milik suamiku. Aku tak jadi merapikan isi lemarinya. Penemuan Kalung ini membuatku shock. Seakan tak ada yang bisa kulakukan. Aku hanya menangis dan menangis.Hingga kudengar ucapan salam dari pintu de
Semakin hari usia Lala semakin bertambah. Dia bukan lagi gadis kecilku, melainkan gadis remaja yang semakin cantik. Tak ayal banyak pemuda yang mulai main ke rumah, hanya sekedar untuk bertemu dengan anakku.“Ma, kok banyak yang main ke sini sih? Lala risih karena gak gitu kenal sama mereka.”Aku tersenyum menanggapi putriku sayang. Kuputar otak agar bisa memberikan pemahaman kepada dirinya yang mulai dewasa.“Itu tandanya anak Mama menarik perhatian orang lain. Tapi ingat ya, Nak! Kamu nggak boleh terlalu dekat dengan laki-laki yang bukan mahram,” jelasku.“Bukan mahram itu apa, Ma?” tanya Lala kritis. Dia memang pintar, selalu menanyakan hal-hal yang dia tak tahu. Dan aku sebagai orang tuanya harus bisa memberikan penjelasan yang masuk akal juga.“Tergantung konteksnya, Sayang. Bukan mahram adalah orang yang haram untuk disentuh, atau tidak boleh bersentuhan. Bisa jadi bukan mahram adalah apabila bersentuhan bisa membatalkan wudhu, bisa juga bukan mahram artinya haram untuk dinikahi
“Dan, Ibu sudah lelah! Harus mengurusmu yang sedang sakit dengan penuh kekurangan. Bahkan untuk makan sehari-hari aja kita kesulitan. Sedangkan lihat Rara dan suami barunya?” Ibu menunjuk aku dan Alex.“Hidupnya penuh dengan kebahagiaan. Bahkan sekarang dia memiliki anak yang lucu. Kamar pun mendapat fasilitas yang kelas satu. Bukankah ini tidak adil untuk kita, Dan?” Ibu kembali menangis.“Kita untuk makan aja susah, rumah sempit, tak punya uang, saudaramu masih di penjara. Dan yang lebih penting, Ibu sudah tak bisa lagi belanja-belanja seperti dulu. Ibu sudah bosan, Dan! Ibu sudahlelah!”“Nia juga sampai sekarang seperti orang gila! Kerjanya hanya diam dirumah. Kadang tertawa dan kadang menangis. Ibu benar-benar tidak kuat lagi, Dan!” Ibu kembali menangis.Aku tak tahu sama sekali kalau Ibu mertuaku mengalami hal ini. Lalu kemana Anggita? Kenapa Ibu tidak membicarakan soal menantu tersayangnya itu?“Sudahlah, Bu. Harus kita syukuri, kita masih hidup. Maafkan aku Cuma bisa jadi beba
Dua tahun kemudian ...Perutku semakin membesar karena HPL tinggal dua Minggu lagi. Saat hamil besar begini, gerakanku menjadi terbatas bahkan untuk memakai sepatu pun aku kesulitan. Tapi aku menikmati kehamilan ini.“Mas, perutku sakit sekali, sepertinya aku akan melahirkan,” erangku sambil memegang perut yangsudah membesar.Setelah menikah, memang aku memanggil Alex dengan sebutan Mas, untuk lebih menghormatinya sebagai suamiku meskipun awalnya kelihatan aneh aku memanggilnya Mas Alex.“Bukan kontraksi palsu lagi ya? Sudah benar-benar tidak kuat lagi?” tanya Alex panik dan mulaimencari tas baby kami tapi dia belum menemukannya.“Tenanglah, Mas. Tidak usah panik. Ambil tasnya di dekat lemari itu, lalu bantu aku berganti baju,kita ke rumah sakit sekarang,” ujarku perlahan sambil menahan sakitnya kontraksi.Untunglah meskipun di desa, tapi fasilitas kesehatan tidak terlalu jauh, hanya satu jam perjalanan sudah sampai di rumah sakit. Penanganannya juga bagus, tak kalah seperti rumah