Pagi ini kegiatanku sehari-hari seperti Ibu rumah tangga pada umumnya. Membersihkan rumah, menyiapkan pakaian suami sebelum berangkat kerja dan memasak sarapan.
Mas Dani baru saja keluar dari kamar, dia sudah rapi memakai pakaian yang aku siapkan. Gantengnya suamiku! Tapi tentu saja hanya di dalam hati, takutnya dia geer kalau kuucapkan langsung.
“Dek, ada kabar buruk dan ada kabar baik. Kamu mau aku kasih tau yang mana dulu?” kata Mas Dani saat kita mulai duduk untuk sarapan.
Namaku Rara, menikah dengan Mas Dani dua tahun yang lalu, kehidupan rumah tangga kami bahagia, walaupun belum ada seorang anak. Mas Dani bekerja menjadi Manager Pemasaran di sebuah perusahaan periklanan, selama ini memberiku jatah lima juta sebulan. Untuk kebutuhan rumah tangga yang belum dikaruniai anak, uang segitu lebih dari cukup. Apalagi aku juga memiliki usaha catering walaupun tidak terlalu besar.
“Kabar buruk dulu aja deh, Mas,” ucapku setelah selesei makan.
“Oke, denger ya? Kabar buruknya adalah rumah Ibuku yang digadaikan Mbak Nia disita oleh Bank, mereka semua diusir dari rumah.” Mas Dani belum melanjutkan ucapannya.
“Dan kabar baiknya adalah mereka akan tinggal di sini, Dek.” Wajah Mas Dani kembali cerah.
Aku terdiam. Masih mencerna ucapannya. Menurutku dua-duanya adalah kabar buruk. Memang selama ini kami tinggal terpisah dari keluarga Mas Dani. Rumah ini hadiah pernikahan dari papa. Aku memang belum terlalu mengenal keluarga Mas Dani, karena kami tidak melalui proses pacaran. Aku hanya mengetahui kalau Mas Dani punya kakak perempuan yang sudah menikah dan adik laki-laki.
Bertemu mereka hanya sekali pas Akad nikah. Mereka tinggal di satu rumah milik Ibu mertua. Kalau rumah disita bank berarti mereka semua akan tinggal di sini?
Bukannya aku tak menyukai mereka, tetapi aku sudah nyaman hidup berdua dengannya di rumah ini. Tapi mau tak mau aku harus menuruti ucapan suamiku.
“Ya, nggak papa sih, Mas. Toh, mereka juga keluargaku. Memang kenapa sih, sampai menggadaikan rumah segala?” tanyaku penasaran.
“Buat biaya pernikahan Mbak Nia, Dek. Dulu dia ingin pernikahan mewah seperti teman-temannya, karena uang Ibu tidak cukup makanya Ibu menggadaikan sertifikat itu,” jelas Mas Dani.
“Memang suami Mbak Nia nggak kerja? Kok sampai disita? Berarti mereka nggak bisa bayar kan?” tanyaku sambil mengupaskan jeruk untuk pencuci mulut.
“Setauku dulu suami Mbak Nia jadi Mandor proyek gitu, Dek, tapi nggak tau kalau sekarang kan semenjak nikah kita langsung tinggal di sini.”
“Mereka berempat semua akan tinggal disini, Mas?” tanyaku lagi.
“Iya, Dek. Ya, gimana lagi? Untuk mengontrak juga sudah nggak ada uang. Nggak papa kan? Mereka baik kok, nanti kerjaanmu juga semakin berkurang karena ada yang membantu membersihkan rumah,” ujarnya.
Mungkin ucapan Mas Dani benar, aku pun mencoba untuk tak berpikiran buruk kepada keluarga Mas Dani.
“Baiklah, aku setuju kalau begitu. Kapan mereka datang? Aku mau siap-siap masak dulu buat mereka.” Akhirnya aku menyetujui usulan suami.
“Terima kasih ya, Sayang. Kamu memang istri idaman.” Mas Dani tersenyum dan mengusap puncak kepalaku.
“Nanti siang mungkin mereka sampai, Dek. Kamu sambut mereka dulu, nanti Mas usahakan pulang cepat.”
“Loh? Kamu nggak jemput mereka, Mas?” tanyaku heran. Aku pikir Mas Dani yang menjemput mereka di bandara.
“Pagi ini ada meeting dengan petinggi perusahaan, Mas nggak bisa absen. Nanti kalau sudah selesai, baru Mas izin pulang. Mas berangkat ya, Dek!”
Mas Dani memelukku dan mencium keningku. Ia pun berangkat kerja.
Selesai sarapan segera kubersihkan meja makan dan berbelanja ke pasar. Aku segera memasaknya begitu sampai di rumah, untuk menyambut keluarga suami. Aku memasak rendang, udang, ikan dan berbagai makanan enak lainnya.
Sebelum Jam dua belas siang semua telah selesai di meja. Aku pun puas dengan hasil masakanku.
Ting Tong!
Bel depan rumah berbunyi, itu pasti keluarga Mas Dani. Aku membasuh sedikit mukaku agar tidak kelihatan kucel setelah memasak.
Ting tong! Ting tong! Ting tong! Ting tong!
Suara bel dipencet dengan cepat. Sepertinya tidak sabaran sekali mereka.
“Lama banget sih, Dan! Ibu sudah kepanasan ini” ucap Ibu mertuaku begitu aku membuka pintu.
“Ini Rara, Bu. Mas Dani masih kerja mungkin sebentar lagi pulang.” Aku mencium tangan Ibu dan mempersilahkan mereka masuk.
“Wah, rumah Mas Dani besar juga ya, Buk? Tau gitu dari dulu minta tinggal di sini.” Ucap Imron, adik Mas Dani setelah masuk ke dalam rumah. Netranya memindai isi rumahku.
“Iya, aku juga nggak tahu kalau Dani punya rumah semewah ini,” kali ini yang berbicara adalah Mbak Nia.
Yang aku heran mereka tidak menyapaku, apa aku dianggap patung?
“Mbak nya pembantu di sini ya? Malah diem aja, angkat nih koper kita ke dalam,” Imron menyerahkan beberapa koper padaku.
“Kamar kita sudah diberesihin kan? Aku mau tidur dulu aja, capek. Kamarku yang mana? Laki-laki di samping Mbak Nia yang berbicara.
Belum sempat aku menjawab, dia sudah masuk ke dalam rumah dan ke lantai atas, mencari sendiri kamarnya.
Ibu dan Mbak Nia pun langsung berkeliling melihat isi rumah.
Aku hanya melongo, masih tak sadar apa yang terjadi. Jadi, mereka menganggap aku pembantu di sini? Apa mungkin karena aku hanya mengenakan daster rumahan? tanpa make up dan masih berkeringat karena baru selesei masak.
“Tapi aku ....” belum selesai aku meneruskan ucapanku terdengar ucapan salam dari depan pintu.
“Assalamualaikum,” itu suara Mas Dani.
Waalaikum salam.” Aku segera mengambil tas kerjanya dan menciumnya takzim.
Mendengar suara Mas dani, kedua lelaki tadi kembali ke depan rumah. Sekarang gantian mereka yang bengong melihatku mencium tangan dan memeluk Mas Dani.
“Imron! Bang Ken!” Mas Dani memeluk mereka berdua.
“Baru sampai apa sudah dari tadi? Oh iya, sudah kenalan belum? Ini istriku, Rara.” Mas Dani memperkenalkan aku kepada mereka.
“Hah? Aku kira tadi dia pembantu, Mas karena pakaiannya norak sekali.” Imron terang-terangan mengejekku. Padahal dia seorang pria tapi mulutnya lemes sekali. Jengkel aku dibuatnya, tak sopan kepada kakak iparnya.
“Norak? Enggak lah, emang daster kan emang nyaman dipakai di rumah. Iya kan, Sayang?” Mas Dani melihatku, aku hanya tersenyum. Untunglah Mas Dani membelaku, aku tak perlu menjawab.
“Ya udah, makan dulu yuk, semua uda siap kan, Dek?” tanya Mas Dani padaku.
“Sudah, Mas. Panggil Ibu dan Mbak Nia dulu tadi mereka sedang melihat-lihat rumah.
Kami berkumpul di meja makan, lalu makan bersama. Aku melihat semuanya menikmati masakanku.
“Maaf ya, Mbak. Tadi kukira pembantu, habis Mbak Rara pakaiannya seperti itu, sih!” Imron lalu tertawa. Aku tersenyum dengan terpaksa. Dia niat minta maaf apa enggak sih.
“Aku sudah kenyang, mau tidur dulu, kamarnya yang mana, Dan?” Bang Ken, suami Mbak Nia bertanya kepada Mas Dani.
“Di lantai dua mas, di sana ada dua kamar, untuk kamu dan Mbak Nia, satunya biar untuk Imron. Ibu tidur di bawah aja biar nggak capek naik turun tangga.” Mas Dani menjelaskan. Mereka masuk kamar tanpa membantu mencuci piring. Oke, mungkin mereka lelah setelah perjalanan.
Pagi hari setelah salat subuh aku mulai memasak sarapan. Mbak Nia dan Ibu juga belum bangun, bahkan hingga Mas Dani berangkat kerja mereka masih belum bangun! Aku melanjutkan dengan mencuci baju, memang untuk baju-baju yang tipis dan kemeja Mas Dani aku kucek sendiri tanpa menggunakan mesin cuci.
Bruk!
Tiba- tiba Mbak Nia memberikan setumpuk cucian kepadaku.
“Nih! cuciin sekalian baju kami ya, Ra. Aku masih capek,” kata Mbak Nia dengan santainya. Sungguh tidak sopan! Harusnya kalau minta tolong bisa dengan ucapan yang lebih baik. Bukan seakan menyuruh pembantu untuk mencuci bajunya.
Aku tak menjawab. Hanya memasukkan cucian mereka ke dalam air rendaman sabun dengan merengut.
“Sayang, aku lapar. Ada makanan nggak?” tanya Bang Ken tiba-tiba.
“Kamu sudah masak buat sarapan kita kan, Ra?” Mbak Nia malah tanya kepadaku.
Aku mengangguk.
“Ada, Mas. Yuk, kita sarapan dulu.” Ajaknya. Tanpa ba bi bu, mereka meninggalkanku yang masih dongkol.
“Mbak, minta cepek dong buat beli kuota!” Imron turun dari lantai dua lalu minta uang padaku. Pakaiannya pun sudah rapi
Belum sempat aku menjawab, terdengar suara Ibu berteriak dari kamarku.
“Ra ... baju warna putih ini buat Ibu, Ya. Bajunya bagus. Ibu suka!”
Aku bingung. Apa-apaan keluarga ini!!
Mereka berlaku seenaknya di rumah ini. Kesal sebenarnya, tapi masih bisa kutahan karena menghargai Mas Dani.“Nanti ya, aku izin dulu sama Mas Dani.” Tanpa menunggu jawaban Imron aku segera menuju kamarku. Meninggalkan cucian yang belum selesai.Tampak Ibu mengacak-acak isi lemari. Beberapa baju bahkan berserakan di lantai. Entah apa yang Ibu cari di kamarku.“Ibu! Apa yang Ibu lakukan di kamarku?” Aku shock melihat kamarku berantakan. Baju berserakan di ranjang dan di lantai“Ra, kamu kok nggak bilang sih kalau punya baju bagus-bagus begini? Kamu kan Cuma di rumah aja, jadi baju ini buat Ibu aja ya?” Ibu mengambil beberapa baju dan membawanya keluar kamar, tanpa membereskan kekacauan yang dia lakukan. Aku hanya bisa menangis saking kesalnya.Malam hari Mas Dani pulang, seharian itu pula kerjaan mereka hanya berdiam di dalam kamar, termasuk Ibu mertua. Aku lantas menceritakan semua kejadian hari itu kepada Mas Dani.Mas Dani menyimak curhatanku soal keluarganya yang baru saja datang d
Sampai malam pun dapur tetap tak di sentuh oleh mereka. Mau tak mau aku yang membersihkan semuanya. Mereka semua benalu tak tahu malu. Sudah numpang, masih merepotkan pemilik rumah. Kalau bukan keluarga Mas Dani sudah kuusir mereka dari dulu. Belum selesai aku membersihkan aku mendengar ponselku bergetar. Drrt ... Drrt ... Drrt .... Gawaiku bergetar lagi. Aku masih mengabaikannya. Meneruskan menyapu dan mengepel lantai. Hanya melihat sekejap untuk mengetahui diapa yang menghubungi. Panggilan dari Mas Dani. Tak lama kemudian di menghubungi kembali. Karena risih dia menelepon terus, kuangkat saja lah, daripada nanti dia ngomel. “Assalamualaikum. Halo, Mas.” [Waalaikum salam. Dek, kok Mbak Nia chat Mas, katanya kamu marahi dia ya? Tumben. Memangnya Apa sih yang sebenarnya terjadi?] Sudah kuduga Mbak Nia akan mengadu kepada Mas Dani. Selama ini memang seperti itu. Tak hanya Mbak Nia, tetapi Ibu pun sama. Kalau ada yang tidak pas dengan keinginan mereka, pasti akan laporan ke Mas Dan
Terdengar suara azan dari masjid, aku pun segera bangun dan mengambil wudhu untuk melaksanakan kewajibanku sebagai umat muslim. Selesai salat subuh biasanya aku akan bikin sarapan untuk semua orang, tapi kini tidak lagi. Aku hanya bikin sarapan untukku sendiri.Peristiwa semalam membuatku belajar untuk tidak berlaku baik bagi orang yang tak tahu diri, karena mereka akan ngelunjak. Biar saja, mereka juga sudah besar. Bahan makanan juga tersedia lengkap, karena aku biasa menyisihkan dari bahan-bahan cateringku.Nasi goreng seafood sudah matang. Aku pun sarapan sendirian. Karena Ibu dan Ipar tak pernah bangun pagi.Setelah sarapan aku hendak pergi ke tempat usaha kateringku. Letaknya tidak jauh hanya empat puluh lima menit perjalanan. Kubereskan dapur dan menyambar handuk untuk mandi. Saat aku telah bersiap-siap, Sang Ibu Suri baru bangun. Kulirik jam, sudah jam sembilan.“Mau kemana, Ra?” Ibu bertanya sambil mengucek matanya. Rambutnya masih acak-acakan.“Mau kerja, Bu,” jawabku singkat
Aku terbangun pada tengah malam, perut rasanya sudah melilit karena lupa belum diisi sedari siang. Aku pun segera beranjak dari tempat tidur menuju dapur untuk mengambil makanan. Melihat penampakan dapur seperti kapal pecah membuatku sangat ingin memberi mereka kopi sianida. Kalau saja tak ada dosa dan penjara, pasti aku yakin sudah melakukannya. Aku harus memberi mereka pelajaran. Kuhubungi temanku yang seorang IT, meminta peralatan cctv mini yang tak kan terlihat mata. “Halo,” ucapku begitu diangkat setelah deringan yang entah ke berapa. (Kau pikir ini jam berapa hah?!) “Hahaha, maafkan aku, tapi ini mendesak! Aku ingin kau menyediakan CCTV mini 5 set. Akan kuambil besok.” (Dasar! Seenak jidat aja kau menyuruhku! Baiklah akan kusediakan, Tuan Putri) “Sip! Makasih, Alex.” Aku tersenyum. Alex adalah teman masa kecilku, dia sangat menyukai dunia IT, pekerjaan sampingannya adalah menjadi hacker, tapi tak banyak yang tahu. Dia selalu memanggilku Tuan Putri, karena sedari kecil, h
“Ba—bagaimana bisa kamu sampai sini, Dek?“ Mas Dani sangat terkejut melihat kedatanganku yang tak pernah dia sangka. Selama menikah dengannya aku memang hanya tahu letak gedungnya, tapi belum pernah masuk ke dalam. “Ini yang kamu bilang lagi di proyek, Mas? Masih di luar kota? Apa maksudmu sebenarnya, hah?” aku yang emosi langsung menggebrak meja. Mas Dani yang gelagapan segera membereskan berkas yang berantakan. “Dek, ini Mas masih di kantor, kita bahas di rumah ya. Nanti Mas pasti pulang. Mas cerita in semuanya.” Mas Dani membujukku agar mau pulang. Aku pun sadar, ini masih jam kantor, daripada mempermalukan diri sendiri lebih baik balik saja. aku pulang ke rumah tanpa berpamitan dengan Dani. Saat sampai di depan pintu, aku mendengar Mas Dani menghela napas, pasti ia tak menyangka aku akan memergokinya di sini. Untunglah sat di ruangan itu Mas dani sendirian. Jabatannya yang sebagai manajer membuatnya memiliki ruangan tersendiri di kantor. Ruangan Mas Dani terletak di lantai
Berulang kali kutanyakan kepada Ibu, tapi Ibu selalu berkelit. Begitu pun Mbak Nia. Mereka tetap tak mau mengaku.Baiklah, aku sendiri yang akan mencari tahu nanti.Tak lama kemudian, terdengar deru mesin mobil memasuki halaman. Ku hafal suara mesin itu. Mas Dani pulang.Aku membukakan pintu. Mas dani mengulurkan tangannya untuk kucium. Hal yang biasa kulakukan selama ini.“Dek, aku—“Aku tahu Mas Dani langsung ingin menjelaskan masalah tadi, tapi ucapannya dipotong Ibunya “Dani, akhirnya kamu pulang ke sini juga. Ibu sudah menunggu. Lihat ini.” Ibu merongrong Mas Dani yang baru saja pulang kerja. Dia tak menjawab perkataan Ibu yang hendak menunjukkan tiket liburan itu.Ia justru melirik melihatku yang bersedekap di depannya. Aku tahu ini di luar kebiasaanku. Biasanya saat pulang kerja aku akan menyambutnya dengan senyuman dan membawakan tas kerjanya, kopi pun sudah tersedia di meja. Namun sekarang, tatapan tajam yang kuberikan.“Dek ....” Dani justru memanggilku“Dani! Kamu ini, Ibu
“Ka-kamu sudah bangun, Dek?” Mas Dani gugup. Ia takut obrolannya tadi terdengar olehku.Aku tak menggubris. Hanya diam dengan menatapnya tajam.“Iya, baru saja. Kamu kenapa panik gitu, Mas? Ke mana kamu selama ini?” tanyaku. Aku sengaja tak bertanya dulu soal percakapan di telepon tadi, biarlah Mas Dani menganggap kalau aku masih tidur.Mendengar penuturanku, membuat Mas Dani rileks. Perlahan mendekatiku yang masih berbaring di tempat tidur, lalu dia merebahkan dirinya di sampingku.“Mas lagi bangun rumah, Dek!” ucap Mas Dani.“Apa?!” Aku kaget, Apa benar? dari mana ia mempunyai banyak uang untuk membangun rumah?“Rumah untuk siapa, Mas?” Aku curiga jangan-jangan rumah itu untuk keluarganya.“Untuk Ibu lah, Dek. Kasian Ibu gak punya rumah, masa mau tinggal di sini terus,” jawab Mas Dani enteng.Tuh, kan benar. Jadi Mas Dani nggak selingkuh? Lalu telepon tadi? Ah, sepertinya masih banyak yang Mas Dani sembunyikan dariku.“Di mana lokasinya?” tanyaku lagi“Biasa aja, Dek. Yang nannya ko
Satu-satunya orang yang bisa kumintai tolong adalah Om Joni. Aku pun menghubungi saudara kandung Papa itu untuk memastikan apa benar Mas Dani ke kantor hari ini.(Pagi, Om, nanti tolong kabarin Rara kalau Mas Dani ke kantor ya.)Send.Aku mengirim pesan itu ke Om Joni, karena aku tahu ini masih pagi dan mungkin masih sibuk di rumah.Aku mendengar notifikasi pesan dari laptopku. Ternyata ada pesan ke ponsel Mas Dani.(Mas, uda berangkat belum? )Si tanda hati mengirim pesan, tapi Mas Dani belum membalas pesannya.“Ra ... Rara!” Terdengar suara Mbak Nia memanggilku.Aku pun membukakan pintu untuknya, sebelumnya telah kututup laptopku agar tak kelihatan aku sedang menyadap ponsel Mas Dani.“Kenapa, Mbak?” tanyaku melihat Mbak Nia bersedekap di depan pintu kamar.“Malah tanya kenapa, Harusnya aku yang tanya kenapa nggak ada makanan. Aku dan Bang Ken lapar mau makan! Aku pingin makan ayam bakar. Buruan kamu buatin!” suruh Mbak Nia.“Mbak! Memangnya kamu pikir ini restoran? Tinggal minta bu
“Kamu sedih?” Tanya Alex, suami Rara.Alex bertanya karena ia melihat istrinya terdiam begitu tiba di rumah setelah pulang dari tempat mantan suaminyaRara menggeleng, karena memang bukan itu yang dirasakan olehnya.“Bukan sedih sih, Mas. Tapi lebih ke kasihan aja dengan Bu Intan. Mas Dani dulu jadi satu-satunya tulang punggung keluarga, sekarang tak ada lagi. Entah bagaimana nasib Ibu kini.”Alex menghela napas.“Semua itu ada sebab ada akibat, Sayang. Apa yang dia tanam, itulah yang akan dia tuai. Dani dan keluarganya hanya menuai apa yang selama ini mereka tanam. Kamu tak perlu kasihan terhadap mereka. Kenapa? Karena mereka semua sehat dan sudah dewasa, mereka bisa menghidupi diri mereka sendiri dengan bekerja. Kecuali kalau setelah menikah Dani memiliki anak yang yang masih kecil-kecil, maka kita perlu membantu karena mereka menjadi anak yatim.” Jelas Alex panjang.“Emang sih, tapi tetep aja kasihan lihatnya. Tapi mungkin memang itu takdir yang harus mereka jalani. Semua pasti sud
“Bagaimana kondisi Lala?” Alex datang dengan wajah cemasnya.“Tulang di kakinya retak, lalu ada luka di kepala dan tangannya. Kata dokter tidak berbahaya, hanyalecet saja.”“Lalu kenapa sekarang belum sadar?” tanya Alex. Aku menggeleng, aku pun tak tahu kenapa sampaisekarang dia belum membuka matanya.Tumpah lagi tangisku melihat kondisi Lala. Aku mengambil ponselku dan mengabari kedua Kakek dan Nenek Lala. Sama denganku, mereka pun terkejut. Tak pernah kusangka ternyata sesakit ini rasanya melihat anak sakit.Alex memelukku. “Kita doakan saja semoga Lala cepat sadar.” Ucapan Alex kuamini dalam hati. “Mas, kamu pulanglah, ambil beberapa keperluan untuk menginap. Aku akan menunggu di sini.Mungkin sebentar lagi Papa dan Mama juga akan datang.”Alex mengangguk. Sebelum pergi dia mengecup puncak kepala Lala pelan.“Cepat sadar putri kecil Papa.”Kepergian Alex membuat ruangan ini sunyi. Hanya terdengar suara jarum detik jam yang terus bergerak. Waktu seakan berjalan lambat. Dalam hati
Pagi hari, kami bersiap mengantar anak-anak remaja itu berangkat naik gunung. Awalnya mereka ingin berangkat sendiri tapi suamiku tak mengizinkan, jadilah kami yang mengantarnya.“Disana harus jaga sikap, jangan buang Sampah sembarangan dan jangan lupa berdoa agar selamat sampai rumah.” Wejangan dari seorang Ayah yang menyayangi putrinya.Anak-anak remaja itu mengangguk.“Kalian yang laki-laki harus bisa bertanggung jawab kepada teman kalian yang perempuan.” Alexbicara dengan salah seorang teman Lala dengan menepuk kedua pundaknya.“Siap, Om!” jawab mereka kompak.Perjalanan sekitar tiga jam. Kami meninggalkan mereka, begitu sampai di basecamp.“Mereka sudah pergi. Jadi sepi ya, Sayang!” ucap Suamiku memasang wajah sedih.“Baru ditinggal bentar aja udah melow-melow apalagi kalau besok Lala menikah ya?!”“Kalau sampai ada laki-laki yang berani menyakiti putri kita, maka akan kupastikan kalau hidupnyaakan menderita.” Ucapan Alex membuatku bergidik ngeri.“Sudah doakan saja yang baik-b
“Happy Anniversary juga, Sayang.” “Lala juga mau peluk!” teriak putriku.Kami bertiga berpelukan bersama. Setelah itu, banyak uang mengucapkan selamat kepada kami. Tanpa aku sadari, ada beberapa wartawan yang diundang di pesta ini. Tentu saja, karena Papa adalah pebisnis terkenal, sedangkan suamiku juga pebisnis dan juga ganteng.Pesta berlangsung sangat meriah, banyak teman-teman memberikan kado untuk kami berdua. Bahkan tetangga sekitar kami di desa pun turut diundang. Entah kapan Alex mempersiapkan hal ini, aku sama sekali tidak mengetahuinya.Hingga sekitar pukul sepuluh malam, satu per satu tamu mulai meninggalkan tempat ini. Kini tinggallah keluarga inti saja.“Sayang, memang kapan kamu membeli kalung itu? Kenapa aku sama sekali tidak tahu?” tanyakusaat kami semua tinggal duduk santai.“Rahasia dong! Harusnya tadi kubawa serta, kelupaan. Awalnya aku minta tolong Mama untuk mengambilnya diam-diam dari kamar kita, tapi Untunglah kamu menemukan sendiri kalung itu jadi aku dan Mama
“Perfect! Kita ambil yang ini saja!” Mama berteriak untuk memanggil pelayan agar membungkussemua belanjaan Mama dan menuju kasir.“Mama cantik banget! Papa pasti klepek-klepek kalau melihat Mama pakai baju ini.”Mendengar Papanya disebut, seketika aku teringat dengan kalung itu. Siapa wanita itu? Wanita lain yang dicintai suamiku? Tanpa terasa air mataku turun, tapi langsung kuhapus karena tak ingin dilihat oleh anakku.“Mama kok nangis? Terharu ya?” goda Lala. Aku hanya tersenyum dan mengangguk.“Yuk pulang, Nenek sudah selesai bayarnya.” Mama mengajakku dan Lala keluar dari butik ini. “Kita pulang sekarang, Nek?” tanya Lala.“Nanti! Kita ke salon dulu! Masa bajunya udah cantik tapi orangnya belum.” “Iya deh, Nek. Tapi salat dan makan dulu ya, sudah magrib ini.” Pinta Lala. “Tentu saja, Sayang!” jawab Mama lalu mengacak rambut Lala.Setelah makan dan melakukan kewajiban sebagai umat muslim, kami segera menuju salon langganan yang juga terletak di mal ini.Ternyata tidak hanya Mama,
Kukeluarkan pakaian-pakaian yang sudah tidak terpakai. Semuanya aku kumpulkan menjadi satu.Selesai dengan lemariku, berikutnya adalah lemari milik suamiku. Kubereskan juga baju-bajunya yang sudah jarang dipakai. Saat mengambil tumpukan yang paling bawah, aku melihat suatu benda terjatuh.Kupungut benda berwarna merah itu. Sebuah kotak berisi kalung emas yang sangat cantik. Tangankugemetar melihat tulisan yang tertera di kotak kalung itu. ‘Untukmu yang paling kusayangi’Badanku terasa lemas. Rasanya tulang lepas dari tubuhku begitu saja. Aku tak menyangka kalau Alex pun sama seperti Mas Dani.Aku menangis sesenggukan. Seorang diri di rumah ini menahan sesak di dada. Hari ini bukan ulang tahunku, bukan pula ulang tahun Lala. Kalau bukan kami berdua, lantas siapa?Kumasukkan kembali baju milik suamiku. Aku tak jadi merapikan isi lemarinya. Penemuan Kalung ini membuatku shock. Seakan tak ada yang bisa kulakukan. Aku hanya menangis dan menangis.Hingga kudengar ucapan salam dari pintu de
Semakin hari usia Lala semakin bertambah. Dia bukan lagi gadis kecilku, melainkan gadis remaja yang semakin cantik. Tak ayal banyak pemuda yang mulai main ke rumah, hanya sekedar untuk bertemu dengan anakku.“Ma, kok banyak yang main ke sini sih? Lala risih karena gak gitu kenal sama mereka.”Aku tersenyum menanggapi putriku sayang. Kuputar otak agar bisa memberikan pemahaman kepada dirinya yang mulai dewasa.“Itu tandanya anak Mama menarik perhatian orang lain. Tapi ingat ya, Nak! Kamu nggak boleh terlalu dekat dengan laki-laki yang bukan mahram,” jelasku.“Bukan mahram itu apa, Ma?” tanya Lala kritis. Dia memang pintar, selalu menanyakan hal-hal yang dia tak tahu. Dan aku sebagai orang tuanya harus bisa memberikan penjelasan yang masuk akal juga.“Tergantung konteksnya, Sayang. Bukan mahram adalah orang yang haram untuk disentuh, atau tidak boleh bersentuhan. Bisa jadi bukan mahram adalah apabila bersentuhan bisa membatalkan wudhu, bisa juga bukan mahram artinya haram untuk dinikahi
“Dan, Ibu sudah lelah! Harus mengurusmu yang sedang sakit dengan penuh kekurangan. Bahkan untuk makan sehari-hari aja kita kesulitan. Sedangkan lihat Rara dan suami barunya?” Ibu menunjuk aku dan Alex.“Hidupnya penuh dengan kebahagiaan. Bahkan sekarang dia memiliki anak yang lucu. Kamar pun mendapat fasilitas yang kelas satu. Bukankah ini tidak adil untuk kita, Dan?” Ibu kembali menangis.“Kita untuk makan aja susah, rumah sempit, tak punya uang, saudaramu masih di penjara. Dan yang lebih penting, Ibu sudah tak bisa lagi belanja-belanja seperti dulu. Ibu sudah bosan, Dan! Ibu sudahlelah!”“Nia juga sampai sekarang seperti orang gila! Kerjanya hanya diam dirumah. Kadang tertawa dan kadang menangis. Ibu benar-benar tidak kuat lagi, Dan!” Ibu kembali menangis.Aku tak tahu sama sekali kalau Ibu mertuaku mengalami hal ini. Lalu kemana Anggita? Kenapa Ibu tidak membicarakan soal menantu tersayangnya itu?“Sudahlah, Bu. Harus kita syukuri, kita masih hidup. Maafkan aku Cuma bisa jadi beba
Dua tahun kemudian ...Perutku semakin membesar karena HPL tinggal dua Minggu lagi. Saat hamil besar begini, gerakanku menjadi terbatas bahkan untuk memakai sepatu pun aku kesulitan. Tapi aku menikmati kehamilan ini.“Mas, perutku sakit sekali, sepertinya aku akan melahirkan,” erangku sambil memegang perut yangsudah membesar.Setelah menikah, memang aku memanggil Alex dengan sebutan Mas, untuk lebih menghormatinya sebagai suamiku meskipun awalnya kelihatan aneh aku memanggilnya Mas Alex.“Bukan kontraksi palsu lagi ya? Sudah benar-benar tidak kuat lagi?” tanya Alex panik dan mulaimencari tas baby kami tapi dia belum menemukannya.“Tenanglah, Mas. Tidak usah panik. Ambil tasnya di dekat lemari itu, lalu bantu aku berganti baju,kita ke rumah sakit sekarang,” ujarku perlahan sambil menahan sakitnya kontraksi.Untunglah meskipun di desa, tapi fasilitas kesehatan tidak terlalu jauh, hanya satu jam perjalanan sudah sampai di rumah sakit. Penanganannya juga bagus, tak kalah seperti rumah