Share

Bab 6 Berlima?

last update Last Updated: 2022-07-29 10:52:20

“Ba—bagaimana bisa kamu sampai sini, Dek?“

Mas Dani sangat terkejut melihat kedatanganku yang tak pernah dia sangka. Selama menikah dengannya aku memang hanya tahu letak gedungnya, tapi belum pernah masuk ke dalam.

“Ini yang kamu bilang lagi di proyek, Mas? Masih di luar kota? Apa maksudmu sebenarnya, hah?” aku yang emosi langsung menggebrak meja.

Mas Dani yang gelagapan segera membereskan berkas yang berantakan.

“Dek, ini Mas masih di kantor, kita bahas di rumah ya. Nanti Mas pasti pulang. Mas cerita in semuanya.” Mas Dani membujukku agar mau pulang.

Aku pun sadar, ini masih jam kantor, daripada mempermalukan diri sendiri lebih baik balik saja. aku pulang ke rumah tanpa berpamitan dengan Dani.

Saat sampai di depan pintu, aku mendengar Mas Dani menghela napas, pasti ia tak menyangka aku akan memergokinya di sini.

Untunglah sat di ruangan itu Mas dani sendirian. Jabatannya yang sebagai manajer membuatnya memiliki ruangan tersendiri di kantor. Ruangan Mas Dani terletak di lantai empat, kini aku menuju k e lantai atas, tepatnya di lantai sepuluh, menuju ruangan paman

“Permisi, ada yang bisa saya bantu?” seorang perempuan cantik menyambutku, dia adalah Sinta, sekretaris Om Joni.

“Aku mau ketemu Om Joni,” ucap Rara

“Apakah sudah ada janji?” tanya Sinta.

“Bilang saja Rara yang datang.” Ucap Rara. Sekretaris itu segera menekan interkom yang tersabung ke ruangan Om Joni. Setelah mendapat jawaban, ia mempersilakanku masuk. Aku pun segera duduk di kursi tamu, di samping meja Paman.

“Jadi, ada keperluan apa keponakan Om yang cantik ini sampai mendatangi kantor?” tanya Om Joni sambil tersenyum.

“Om, kalau aku minta gaji Mas Dani ditransfer ke rekeningku bisa nggak?” tanyaku

Om Joni mengernyitkan dahinya. Mungkin terkejut dengan permintaanku yang tiba-tiba.

“Memangnya ada apa, Ra? Jujur sama, Om.”

Om Joni pun berhak tahu kelakuan anak buahnya ini. Aku pun akhirnya menceritakan semua kepada paman.

Kulihat Om Joni menahan emosi. Aku tahu dia pasti tak terima atas perlakuan keluarga Mas Dani.

“Keterlaluan! Bener-bener keterlaluan si Dani itu. Keluarganya juga kurang aj*r. Kenapa selama 2 tahun ini kamu diam saja, Ra?!” aku kaget, tak menyangka paman akan semarah ini.

“Sudahlah, gak usah marah-marah, Om. Rara sudah punya rencana buat mereka. Om mengawasi Mas Dani dari sini aja, dia belum tau kalau aku keponakan pemilik perusahaan ini. Biar jadi kejutan buat mereka nanti.

Om Joni menghela napas.

“Baiklah, Om serahkan semua sama kamu. Rekening kamu masih ada kan? Nanti Om kirim buat jajan, gak usah menunggu suami kamu ngasih uang!” kata Pamannya itu.

“Makasih, Om. Tapi jangan bilang papa dulu ya. Rara takut jantung papa kumat lagi.”

“Beres kalau itu,” ucap paman lagi.

“Jadi bagaimana, Om? Bisa kan gaji Mas Dani dikirim ke aku aja?”

“Nanti Om atur semuanya.”

Setelah mengobrol sebentar dengan Om Joni, aku segera pulang ke rumah.

Baru memasuki gerbang komplek, aku melihat melihat beberapa tetangga sedang berkumpul di bawah pohon jambu di samping rumahnya. Mereka melihat dengan tatapan aneh.

“Mari, Ibu-Ibu.” Aku mencoba ramah menyapa kumpulan para emak-emak yang lagi bergosip itu.

“Kasihan ya, kesepian ditinggal suami kerja malah suami iparnya yang digasak.”

Seorang Ibu berkaus biru seakan menyindirku. Mendengar hal itu lalu aku berhenti dan menengok para Ibu itu. Dengan perasaan dongkol aku berkata kepada Ibu sok tahu itu.

“Bu! Kalau nggak tahu ceritanya gak usah banyak komen! Urus aja anak Ibu yang hamil diluar nikah itu!” ucapku sengit. Aku memang mendengar cerita kalau anak Ibu itu hamil dengan pacarnya, tetapi pacarnya tak mau tanggung jawab. Bukan karena bergosip, tetapi aku mendengarnya dari Mbak Nia yang bercerita kepada Ibu.

Ibu itu kaget dan mendadak salah tingkah, dia malu aib anaknya diketahui orang banyak.

Teman-temannya melihat ke arahku. Sepertinya mereka kaget darimana aku mengetahui kabar itu, karena aku jarang bahkan tak pernah berkumpul dengan mereka.

“Nggak usah tanya saya tahu dari mana! Saya nggak pernah mengurusi urusan kalian, jadi jangan pula mengurusiku!” ujarku lagi.

Kumpulan Ibu-ibu itu mengangguk. Mungkin merasa tidak enak.

Di dalam rumah seperti biasa, keadaan akan berantakan. Terkadang aku berharap, sekali saja mereka membantu bersih-bersih rumah. Tapi aku tahu itu semua tak mungkin terjadi. Mengesampingkan rasa lelah, aku membersihkan sampah-sampah yang berserakan, menyapu dan mengepel agar lantai enak diinjak. Aku tak suka melihat rumah dalam keadaan kotor.

“Ra, setrikaan bajuku dan Bang Ken ya, nanti malam aku mau makan malam berdua. Aku gak mau bajuku kelihatan kusut.” Mbak Nia melemparkan baju dan kemeja suaminya ke arahku. Tapi sengaja tak kutangkap. Kubiarkan saja baju itu jatuh terkena debu yang belum ku pel. Lalu aku mengambilnya dengan kakiku.

“Heh! Sembarangan kamu! Ngambil baju pakai kaki, itu baju mahal! Kamu pasti tak akan bisa membelinya! Ambil dan urus yang benar!” sentak Mbak Nia.

“Oke.” Jawabku sekenanya. Aku punya rencana untuk baju ini. Hahaha ... aku tertawa dalam hati.

Kulanjutkan kegiatan menyapu rumahnya,lalu merogoh bagian bawah kursi agar tak berdebu. Tak lama ada sebuah bungkusan plastik putih kecil yang ikut keluar dari kolong kursi.

Apa ini? Ucap dalam hati. Aku mengamati benda itu dengan seksama.

Apakah mungkin gula? Mungkin ada yang membeli donat dan gulanya terjatuh.

Segera kubuka bungkusan itu dan mencicipinya. Rasanya nggak manis, ini bukan gula! Batinku. Rasanya sangat aneh.

Mendadak kepalaku pusing. Kuletakkan sapu di sembarang tempat lalu pergi ke dapur untuk mengambil segelas air putih dan menegaknya hingga tandas.

Rasa pening di kepala semakin terasa, Aku bergegas menuju kamar untuk berbaring, beristirahat sejenak. Sebelumnya sudah ku simpan benda aneh itu. Biar nanti kutanyakan kepada papa suatu saat.

Kuambil ponselku yang berada di atas nakas. Lalu mencari kontak sahabat masa kecilku itu.

(Kapan kamu bisa pasang CCTV itu! Aku membutuhkannya segera!)

(Kapan pun kamu mau, Tuan Putri. Kamu sendiri nggak bilang mau dipasang kapan!)

(Hahaha aku lupa. Besok ini ya, nanti jamnya aku kabar in lagi)

(Ok)

Tak kubalas lagi pesan itu. Aku segera membuka aplikasi pemesanan hotel dan paket liburannya. Kupesan empat tiket sekaligus. Untuk menyingkirkan sejenak keluarga Mas Dani agar aku bisa memasang CCTV di rumah ini.

Setelah mengurus pembayarannya, aku segera mencetak kode bookingnya itu.

Kusimpan kembali ponselku dan bergegas mencari sosok Ibu mertua. Di dalam rumah tidak ada, lalu ia keluar rumah untuk mencari.

Akhirnya sosok yang dicarinya ketemu. Ibu sedang bergosip dengan gerombolan Ibu-ibu tadi.

“Ibu ini, aku cariin dari tadi ternyata di sini.” kataku sambil mendekati mereka.

Mereka langsung terdiam, menghentikan pembicaraan begitu aku datang.

“Kok langsung pada diam? Lagi ngomongin aku ya tadi?”sindirku pada mereka. Tampak wajah mereka salah tingkah. Dasar emak-emak kurang kerjaan!

“Tumben nyariin, biasanya Cuma bisa marah-marah aja.” Ucap Ibu mertua sambil melirik teman-teman seprofesinya itu.

“Aku mau ngasih ini, Bu. Tiket liburan, tapi sepertinya Ibu tidak tertarik. Ya sudah, aku jual online saja.” Aku pura-pura akan pergi dan mengipas-ngipaskan kertas itu.

“Enak saja! Kata siapa aku tidak tertarik.” Ibu lalu merebut tiket dari tanganku

“loh, kok Cuma empat. Kan sekarang sudah berlima?” Ibu membolak balik kertas itu, mungkin pikirnya jumlahnya ada lima.

“Berlima maksudnya? Ibu mau Mengajak siapa?” aku mulai curiga dengan ucapan Mertuaku itu. jangan jangan selingkuhan Mas Dani?

“Eh, anu ... Maksudku mengajakmu! Ya ... pas kita berlima.” Ibu salah tingkah. Ibu memang tidak pandai berbohong. Pasti ada yang disembunyikan oleh Ibu

“Wah ternyata menantu Bu Intan baik, ya. Ngasih tiket liburan, tadi katanya pelit, suka marah-marah dan mandul,” ucap Ibu berkaos biru itu lagi.

Deg!

Ucapan yang sangat menyakitkan hati. Aku yang mendengarnya terkejut. Langsung Melihat dengan sengit ke arah mertuaku yang juga sedang melotot kepada temannya itu. sedangkan yang ditatap hanya nyengir nggak jelas.

“Apa maksud Ibu berkata seperti itu pada mereka?” cercaku kepada Ibu

“Lha? Kan memang benar, dua tahun nikah belum punya anak berarti kamu mandul!” mertua berkata tanpa memikirkan perasaanku.

Bukankah maslah anak adlah di luar kuasaku? Mas Dani pun selalu menolak bila kuminta untuk periksa. Katanya biar alami saja.

Gerombolan Ibu-ibu yang melihat percekcokan kami berdua segera mundu perlahan-lahan. Namun aku tahu mereka masih mengintip dari balik korden rumah mereka.

“Bu! Anak itu yang ngasih Tuhan! Bukan inginku juga kalau selama ini aku belum hamil!”

“harusnya kalau kamu normal, kamu udah punya anak. Nyatanya tidak kan? Berarti kamu mandul!” rasanya ingin kusumpal mulut wanita yang melahirkan Mas Dani ini dengan sandal yang kupakai.

“Ya sudah! Tiketnya gak usah aja!” hendak kurebut kembali tiket itu tapi keburu disembunyikan di saku ibu.

“Tidak bisa! Kita berlima akan berangkat. Kamu di rumah saja tunggu rumah!” Bu Intan alu masuk ke dalam rumah.

Berlima? Tanpa diriKu? Lalu siapa yang seorang lagi? Aku pun bertanya-tanya. Kira-kira siapa yang kan diajak oleh Ibu. Padahal tiket itu hanya empat, tapi Ibu rela beli satu lagi agar bisa mengajak seseorang itu.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
ini penulisnya yg tolol dan halunya berlebihan kayak orang g punya otak seperti si rara dungu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Keluarga Beracun    Bab 7 Terkuak

    Berulang kali kutanyakan kepada Ibu, tapi Ibu selalu berkelit. Begitu pun Mbak Nia. Mereka tetap tak mau mengaku.Baiklah, aku sendiri yang akan mencari tahu nanti.Tak lama kemudian, terdengar deru mesin mobil memasuki halaman. Ku hafal suara mesin itu. Mas Dani pulang.Aku membukakan pintu. Mas dani mengulurkan tangannya untuk kucium. Hal yang biasa kulakukan selama ini.“Dek, aku—“Aku tahu Mas Dani langsung ingin menjelaskan masalah tadi, tapi ucapannya dipotong Ibunya “Dani, akhirnya kamu pulang ke sini juga. Ibu sudah menunggu. Lihat ini.” Ibu merongrong Mas Dani yang baru saja pulang kerja. Dia tak menjawab perkataan Ibu yang hendak menunjukkan tiket liburan itu.Ia justru melirik melihatku yang bersedekap di depannya. Aku tahu ini di luar kebiasaanku. Biasanya saat pulang kerja aku akan menyambutnya dengan senyuman dan membawakan tas kerjanya, kopi pun sudah tersedia di meja. Namun sekarang, tatapan tajam yang kuberikan.“Dek ....” Dani justru memanggilku“Dani! Kamu ini, Ibu

    Last Updated : 2022-08-06
  • Keluarga Beracun    Bab 8 Percakapan

    “Ka-kamu sudah bangun, Dek?” Mas Dani gugup. Ia takut obrolannya tadi terdengar olehku.Aku tak menggubris. Hanya diam dengan menatapnya tajam.“Iya, baru saja. Kamu kenapa panik gitu, Mas? Ke mana kamu selama ini?” tanyaku. Aku sengaja tak bertanya dulu soal percakapan di telepon tadi, biarlah Mas Dani menganggap kalau aku masih tidur.Mendengar penuturanku, membuat Mas Dani rileks. Perlahan mendekatiku yang masih berbaring di tempat tidur, lalu dia merebahkan dirinya di sampingku.“Mas lagi bangun rumah, Dek!” ucap Mas Dani.“Apa?!” Aku kaget, Apa benar? dari mana ia mempunyai banyak uang untuk membangun rumah?“Rumah untuk siapa, Mas?” Aku curiga jangan-jangan rumah itu untuk keluarganya.“Untuk Ibu lah, Dek. Kasian Ibu gak punya rumah, masa mau tinggal di sini terus,” jawab Mas Dani enteng.Tuh, kan benar. Jadi Mas Dani nggak selingkuh? Lalu telepon tadi? Ah, sepertinya masih banyak yang Mas Dani sembunyikan dariku.“Di mana lokasinya?” tanyaku lagi“Biasa aja, Dek. Yang nannya ko

    Last Updated : 2022-08-06
  • Keluarga Beracun    Bab 9 Acara Rahasia

    Satu-satunya orang yang bisa kumintai tolong adalah Om Joni. Aku pun menghubungi saudara kandung Papa itu untuk memastikan apa benar Mas Dani ke kantor hari ini.(Pagi, Om, nanti tolong kabarin Rara kalau Mas Dani ke kantor ya.)Send.Aku mengirim pesan itu ke Om Joni, karena aku tahu ini masih pagi dan mungkin masih sibuk di rumah.Aku mendengar notifikasi pesan dari laptopku. Ternyata ada pesan ke ponsel Mas Dani.(Mas, uda berangkat belum? )Si tanda hati mengirim pesan, tapi Mas Dani belum membalas pesannya.“Ra ... Rara!” Terdengar suara Mbak Nia memanggilku.Aku pun membukakan pintu untuknya, sebelumnya telah kututup laptopku agar tak kelihatan aku sedang menyadap ponsel Mas Dani.“Kenapa, Mbak?” tanyaku melihat Mbak Nia bersedekap di depan pintu kamar.“Malah tanya kenapa, Harusnya aku yang tanya kenapa nggak ada makanan. Aku dan Bang Ken lapar mau makan! Aku pingin makan ayam bakar. Buruan kamu buatin!” suruh Mbak Nia.“Mbak! Memangnya kamu pikir ini restoran? Tinggal minta bu

    Last Updated : 2022-08-06
  • Keluarga Beracun    Bab 10 Dani Selingkuh?

    “Siapa yang akan menikah, Lex?” Rara meletakkan spatulanya.“Belum tahu, Kata Kang Asep tadi ada seorang wanita meminta izin untuk menikah di Vila itu, penghulu dan beberapa saksi juga sudah ada Sepertinya memang sudah lama mereka menyiapkannya.” jelas Alex.Ucapannya membuat Rara tambah tidak fokus.“Bagaimana? Kamu mau ke sana? Atau besok saja? Acaranya besok pagai sepertinya.” lanjut Alex.“Kalau menyetir sendiri lama ya? Atau cari penerbangan ke sana aja yang paling cepat, Lex.” Rara gelisah, dia tak akan tenang sebelum mengetahui kebenarannya.Alex segera mengutak atik laptopnya. “Ada pesawat jam lima sore terakhir. Sampai bandara sana nanti aku akan minta sopir untuk menjemput, tapi ya tetap saja sampai vila sudah sekitar jam sepuluh malam, Ra. Kalau bawa mobil ke sana bisa lebih larut lagi sampainya. Gimana?” tanya Alex.“Tak apa-apa, pesankan saja. Daripada aku di sini bertanya-tanya apa yang terjadi?” kata Rara kemudian.Alex kembali berkutat dengan laptopnya.“Done! Kamu bis

    Last Updated : 2022-08-13
  • Keluarga Beracun    Bab 11 Kebetulan

    Sekali lagi kudengarkan dengan seksama pembicaraan mertua dan wanita itu. Kali ini tidak ada air mata, yang ada hanya amarah kepada anggota keluarga itu.Baiklah, mereka bersandiwara, aku juga akan bersandiwara. Kita lihat saja, Mas. Siapa yang akan menangis di akhir. Mereka punya rencana, aku pun akan menjalankan rencanaku.Aku menyudahi rekaman yang membuatku sesak itu, tak lupa aku kirimkan kepada Alex sebagai back up barang bukti. Pesan terkirim tak berapa lama Alex langsung menghubungiku. Meskipun ini sudah tengah malam.[Halo Tuan Putri yang lagi galau]“Hentikan! Jangan mengolokku, aku beneran sakit hati tauk! Kamu belum menikah jadi tak tahu bagaimana rasanya di selingkuhi pasangan” moodnya sedang tak ingin diajak bercanda.Alex tak menjawab. Ah, jangan-jangan perkataanku melukai hatinya.“Maafkan aku, bukan maksudku untuk menyinggungmu ... Lex aku mint—“[Hahaha ... kena kamu Ra! Aku mana mungkin marah hanya karena perkataanmu! ]“Kurang aj*r kamu, Lex. Iseng banget, sih!” Ra

    Last Updated : 2022-08-13
  • Keluarga Beracun    Bab 12 Persiapan Penyambutan

    Kuusap air mata yang sedari tadi mencoba jatuh menggunakan tisu.“Aku ingin minta bantuan Papa untuk memecatnya bisa?” aku berharap Papa bisa berkata iya.Papa menghela napas.“Susah kalau itu, Nak. Tidak bisa langsung begitu saja. Apalagi tidak ada catatan buruk mengenai dirinya di perusahaan ini, tapi nanti biar Papa suruh orang untuk mengawasi kinerjanya gimana,” tawar Papanya.“Iya, Pah.” Aku pun sadar tak bisa sembarangan memecat karyawan tanpa alasan, Nanti biar kupikirkan lagi caranya. Yang jelas Papa sudah tahu dan jantungnya baik-baik saja.“Kapan kamu ke rumah? Mamamu sudah kangen berat,” tanya Papa.Mendengar pertanyaan Papa, aku bingung. Ingin rasanya aku kembali ke rumah Papa, tapi keenakan mereka menempati rumahku.“Besok kapan-kapan aku akan ke sana, Pa. Tapi tidak sekarang. Sampaikan saja salamku buat Mama. Aku mau pulang dulu. Capek habis dari puncak.”Papa menatap netra mataku. Terlihat mata Papa berkaca-kaca. Aku pun memeluknya erat sebelum berpamitan.Sampai di rum

    Last Updated : 2022-08-13
  • Keluarga Beracun    Bab 13 Anggita

    “Iya, ini aku. Kenapa kamu kayak kaget gitu lihatnya? Tumben kamu jam segini masih tidur?Sarapan juga belum ada di meja, kita pulang lapar nggak ada makanan, kamu masak ya, Dek! Nanti aku mau kenalin seseorang buat kamu,” cerocos Mas Dani. Aku yang masih bangun tidur dan belum konek tiba-tiba tersadar mendengar ucapan terakhir dari Mas Dani. Ya, kalau mereka datang berarti perempuan itu juga datang. Kuatkanlah hatiku ya, Tuhan.Dan apa yang dia bilang tadi? Aku harus memasak dan melayani para benalu tak tahu diri itu? Aku tak sudi.“Aku lagi enggak enak badan, Mas. Habis subuh tadi minum obat, makanya aku tidur lagi,” aku sengaja berbohong. Aku memang sakit. Lebih tepatnya hatiku yang sakit. Lagipula malas rasanya masak untuk orang-orang pengkhianat seperti mereka.“Ya sudah, kita beli dulu saja. Tapi buat nanti siang kamu masak ya, Dek. Kalau beli terus bisa boros nanti,” kata Mas Dani sambil tersenyum. Cuih, aku tak akan bisa kami bodohi, Mas.Lakukan saja apa yang kamu mau, Mas!

    Last Updated : 2022-08-24
  • Keluarga Beracun    Bab 14 Sandiwara

    Aku mengusap ujung mataku yang basah karena kebanyakan tertawa. Aku menatap Anggita dari atas sampai bawah. Sepatu high heelsnya dia tenteng begitu saja.“Kamu habis kecebur got dimana?” tanyaku masih menertawai penampilannya.Dia menaruh sepatunya dengan kasar. Hampir saja mengenai kakiku.“Mbak ini keterlaluan! Teganya padaku. Mana ada gurameh harganya dua puluh ribu. Mana aku nggak bawa Hape dan nggak bawa uang!” sungut Anggita.“Jadi kamu nggak dapat ikannya?”“Ya enggaklah!” sungutnya.“Kamu sendiri yang bod*h, sudah tahu gurameh harganya mahal, masih juga menerima uang dari Mas Dani tanpa minta tambah.Kamu nggak bawa dompet dan nggak bawa hape? Salah siapa? Bukannya penampilanmu seperti ini karena kebod*hanmu sendiri?!”“Arghh! Kamu menyebalkan, Mbak!”Anggita masuk ke dalam rumah dengan menghentakkan kakinya. Dia berjalan menuju kamar depan. Padahal kamar itu sudah ditempati Ibu. Tentu saja aku mencegahnya.“Eh, tunggu! Itu sudah ditempati sama Ibu. Kamar Yang di atas kamar Mb

    Last Updated : 2022-08-24

Latest chapter

  • Keluarga Beracun    Bab 87 Tamat

    “Kamu sedih?” Tanya Alex, suami Rara.Alex bertanya karena ia melihat istrinya terdiam begitu tiba di rumah setelah pulang dari tempat mantan suaminyaRara menggeleng, karena memang bukan itu yang dirasakan olehnya.“Bukan sedih sih, Mas. Tapi lebih ke kasihan aja dengan Bu Intan. Mas Dani dulu jadi satu-satunya tulang punggung keluarga, sekarang tak ada lagi. Entah bagaimana nasib Ibu kini.”Alex menghela napas.“Semua itu ada sebab ada akibat, Sayang. Apa yang dia tanam, itulah yang akan dia tuai. Dani dan keluarganya hanya menuai apa yang selama ini mereka tanam. Kamu tak perlu kasihan terhadap mereka. Kenapa? Karena mereka semua sehat dan sudah dewasa, mereka bisa menghidupi diri mereka sendiri dengan bekerja. Kecuali kalau setelah menikah Dani memiliki anak yang yang masih kecil-kecil, maka kita perlu membantu karena mereka menjadi anak yatim.” Jelas Alex panjang.“Emang sih, tapi tetep aja kasihan lihatnya. Tapi mungkin memang itu takdir yang harus mereka jalani. Semua pasti sud

  • Keluarga Beracun    Bab 86

    “Bagaimana kondisi Lala?” Alex datang dengan wajah cemasnya.“Tulang di kakinya retak, lalu ada luka di kepala dan tangannya. Kata dokter tidak berbahaya, hanyalecet saja.”“Lalu kenapa sekarang belum sadar?” tanya Alex. Aku menggeleng, aku pun tak tahu kenapa sampaisekarang dia belum membuka matanya.Tumpah lagi tangisku melihat kondisi Lala. Aku mengambil ponselku dan mengabari kedua Kakek dan Nenek Lala. Sama denganku, mereka pun terkejut. Tak pernah kusangka ternyata sesakit ini rasanya melihat anak sakit.Alex memelukku. “Kita doakan saja semoga Lala cepat sadar.” Ucapan Alex kuamini dalam hati. “Mas, kamu pulanglah, ambil beberapa keperluan untuk menginap. Aku akan menunggu di sini.Mungkin sebentar lagi Papa dan Mama juga akan datang.”Alex mengangguk. Sebelum pergi dia mengecup puncak kepala Lala pelan.“Cepat sadar putri kecil Papa.”Kepergian Alex membuat ruangan ini sunyi. Hanya terdengar suara jarum detik jam yang terus bergerak. Waktu seakan berjalan lambat. Dalam hati

  • Keluarga Beracun    Bab 85

    Pagi hari, kami bersiap mengantar anak-anak remaja itu berangkat naik gunung. Awalnya mereka ingin berangkat sendiri tapi suamiku tak mengizinkan, jadilah kami yang mengantarnya.“Disana harus jaga sikap, jangan buang Sampah sembarangan dan jangan lupa berdoa agar selamat sampai rumah.” Wejangan dari seorang Ayah yang menyayangi putrinya.Anak-anak remaja itu mengangguk.“Kalian yang laki-laki harus bisa bertanggung jawab kepada teman kalian yang perempuan.” Alexbicara dengan salah seorang teman Lala dengan menepuk kedua pundaknya.“Siap, Om!” jawab mereka kompak.Perjalanan sekitar tiga jam. Kami meninggalkan mereka, begitu sampai di basecamp.“Mereka sudah pergi. Jadi sepi ya, Sayang!” ucap Suamiku memasang wajah sedih.“Baru ditinggal bentar aja udah melow-melow apalagi kalau besok Lala menikah ya?!”“Kalau sampai ada laki-laki yang berani menyakiti putri kita, maka akan kupastikan kalau hidupnyaakan menderita.” Ucapan Alex membuatku bergidik ngeri.“Sudah doakan saja yang baik-b

  • Keluarga Beracun    Bab 84

    “Happy Anniversary juga, Sayang.” “Lala juga mau peluk!” teriak putriku.Kami bertiga berpelukan bersama. Setelah itu, banyak uang mengucapkan selamat kepada kami. Tanpa aku sadari, ada beberapa wartawan yang diundang di pesta ini. Tentu saja, karena Papa adalah pebisnis terkenal, sedangkan suamiku juga pebisnis dan juga ganteng.Pesta berlangsung sangat meriah, banyak teman-teman memberikan kado untuk kami berdua. Bahkan tetangga sekitar kami di desa pun turut diundang. Entah kapan Alex mempersiapkan hal ini, aku sama sekali tidak mengetahuinya.Hingga sekitar pukul sepuluh malam, satu per satu tamu mulai meninggalkan tempat ini. Kini tinggallah keluarga inti saja.“Sayang, memang kapan kamu membeli kalung itu? Kenapa aku sama sekali tidak tahu?” tanyakusaat kami semua tinggal duduk santai.“Rahasia dong! Harusnya tadi kubawa serta, kelupaan. Awalnya aku minta tolong Mama untuk mengambilnya diam-diam dari kamar kita, tapi Untunglah kamu menemukan sendiri kalung itu jadi aku dan Mama

  • Keluarga Beracun    Bab 83

    “Perfect! Kita ambil yang ini saja!” Mama berteriak untuk memanggil pelayan agar membungkussemua belanjaan Mama dan menuju kasir.“Mama cantik banget! Papa pasti klepek-klepek kalau melihat Mama pakai baju ini.”Mendengar Papanya disebut, seketika aku teringat dengan kalung itu. Siapa wanita itu? Wanita lain yang dicintai suamiku? Tanpa terasa air mataku turun, tapi langsung kuhapus karena tak ingin dilihat oleh anakku.“Mama kok nangis? Terharu ya?” goda Lala. Aku hanya tersenyum dan mengangguk.“Yuk pulang, Nenek sudah selesai bayarnya.” Mama mengajakku dan Lala keluar dari butik ini. “Kita pulang sekarang, Nek?” tanya Lala.“Nanti! Kita ke salon dulu! Masa bajunya udah cantik tapi orangnya belum.” “Iya deh, Nek. Tapi salat dan makan dulu ya, sudah magrib ini.” Pinta Lala. “Tentu saja, Sayang!” jawab Mama lalu mengacak rambut Lala.Setelah makan dan melakukan kewajiban sebagai umat muslim, kami segera menuju salon langganan yang juga terletak di mal ini.Ternyata tidak hanya Mama,

  • Keluarga Beracun    Bab 82

    Kukeluarkan pakaian-pakaian yang sudah tidak terpakai. Semuanya aku kumpulkan menjadi satu.Selesai dengan lemariku, berikutnya adalah lemari milik suamiku. Kubereskan juga baju-bajunya yang sudah jarang dipakai. Saat mengambil tumpukan yang paling bawah, aku melihat suatu benda terjatuh.Kupungut benda berwarna merah itu. Sebuah kotak berisi kalung emas yang sangat cantik. Tangankugemetar melihat tulisan yang tertera di kotak kalung itu. ‘Untukmu yang paling kusayangi’Badanku terasa lemas. Rasanya tulang lepas dari tubuhku begitu saja. Aku tak menyangka kalau Alex pun sama seperti Mas Dani.Aku menangis sesenggukan. Seorang diri di rumah ini menahan sesak di dada. Hari ini bukan ulang tahunku, bukan pula ulang tahun Lala. Kalau bukan kami berdua, lantas siapa?Kumasukkan kembali baju milik suamiku. Aku tak jadi merapikan isi lemarinya. Penemuan Kalung ini membuatku shock. Seakan tak ada yang bisa kulakukan. Aku hanya menangis dan menangis.Hingga kudengar ucapan salam dari pintu de

  • Keluarga Beracun    Bab 81

    Semakin hari usia Lala semakin bertambah. Dia bukan lagi gadis kecilku, melainkan gadis remaja yang semakin cantik. Tak ayal banyak pemuda yang mulai main ke rumah, hanya sekedar untuk bertemu dengan anakku.“Ma, kok banyak yang main ke sini sih? Lala risih karena gak gitu kenal sama mereka.”Aku tersenyum menanggapi putriku sayang. Kuputar otak agar bisa memberikan pemahaman kepada dirinya yang mulai dewasa.“Itu tandanya anak Mama menarik perhatian orang lain. Tapi ingat ya, Nak! Kamu nggak boleh terlalu dekat dengan laki-laki yang bukan mahram,” jelasku.“Bukan mahram itu apa, Ma?” tanya Lala kritis. Dia memang pintar, selalu menanyakan hal-hal yang dia tak tahu. Dan aku sebagai orang tuanya harus bisa memberikan penjelasan yang masuk akal juga.“Tergantung konteksnya, Sayang. Bukan mahram adalah orang yang haram untuk disentuh, atau tidak boleh bersentuhan. Bisa jadi bukan mahram adalah apabila bersentuhan bisa membatalkan wudhu, bisa juga bukan mahram artinya haram untuk dinikahi

  • Keluarga Beracun    Bab 80 Extra Part1

    “Dan, Ibu sudah lelah! Harus mengurusmu yang sedang sakit dengan penuh kekurangan. Bahkan untuk makan sehari-hari aja kita kesulitan. Sedangkan lihat Rara dan suami barunya?” Ibu menunjuk aku dan Alex.“Hidupnya penuh dengan kebahagiaan. Bahkan sekarang dia memiliki anak yang lucu. Kamar pun mendapat fasilitas yang kelas satu. Bukankah ini tidak adil untuk kita, Dan?” Ibu kembali menangis.“Kita untuk makan aja susah, rumah sempit, tak punya uang, saudaramu masih di penjara. Dan yang lebih penting, Ibu sudah tak bisa lagi belanja-belanja seperti dulu. Ibu sudah bosan, Dan! Ibu sudahlelah!”“Nia juga sampai sekarang seperti orang gila! Kerjanya hanya diam dirumah. Kadang tertawa dan kadang menangis. Ibu benar-benar tidak kuat lagi, Dan!” Ibu kembali menangis.Aku tak tahu sama sekali kalau Ibu mertuaku mengalami hal ini. Lalu kemana Anggita? Kenapa Ibu tidak membicarakan soal menantu tersayangnya itu?“Sudahlah, Bu. Harus kita syukuri, kita masih hidup. Maafkan aku Cuma bisa jadi beba

  • Keluarga Beracun    Bab 79

    Dua tahun kemudian ...Perutku semakin membesar karena HPL tinggal dua Minggu lagi. Saat hamil besar begini, gerakanku menjadi terbatas bahkan untuk memakai sepatu pun aku kesulitan. Tapi aku menikmati kehamilan ini.“Mas, perutku sakit sekali, sepertinya aku akan melahirkan,” erangku sambil memegang perut yangsudah membesar.Setelah menikah, memang aku memanggil Alex dengan sebutan Mas, untuk lebih menghormatinya sebagai suamiku meskipun awalnya kelihatan aneh aku memanggilnya Mas Alex.“Bukan kontraksi palsu lagi ya? Sudah benar-benar tidak kuat lagi?” tanya Alex panik dan mulaimencari tas baby kami tapi dia belum menemukannya.“Tenanglah, Mas. Tidak usah panik. Ambil tasnya di dekat lemari itu, lalu bantu aku berganti baju,kita ke rumah sakit sekarang,” ujarku perlahan sambil menahan sakitnya kontraksi.Untunglah meskipun di desa, tapi fasilitas kesehatan tidak terlalu jauh, hanya satu jam perjalanan sudah sampai di rumah sakit. Penanganannya juga bagus, tak kalah seperti rumah

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status