Poppy masih berkecamuk dengan pikirannya sendiri ketika Regan mengetuk pintu kamar mandi. Pria itu berkata kalau petugas laundry sudah datang untuk mengambil pakaiannya yang kotor. Akhirnya, Poppy tidak berdebat lagi, dan membuka semua pakaiannya. Ia menyerahkan baju itu dari celah pintu yang sengaja ia buka, sebelum menutupnya dengan keras kembali dan menguncinya.Sekarang, wanita itu sedang menenangkan diri sambil berendam di bathtub. Rencana nomor satunya adalah berlama-lama di kamar mandi, mungkin sampai bajunya selesai dicuci. Regan tidak mungkin, kan, mendobrak pintu kamar mandi tiba-tiba dan—Oh, Tuhan! Apa yang aku pikirin, sih?!Poppy memukul air di depannya dengan gemas. Ia benci pikirannya sekarang. Pada saat-saat seperti ini, imajinasi liarnya sebagai penulis cerita dewasa bekerja dengan baik. Apalagi ini adalah kamar hotel, sebuah latar ketika adegan erotis banyak
Untuk pertanyaan kali ini, Poppy tidak bisa langsung menjawab. Sebagai seorang penulis, Poppy merasa sudah mendapatkan data yang cukup untuk novelnya. Namun di satu sisi, hatinya seolah enggan menghentikaan apa yang sudah terjadi. Perasaannya terhadap Regan lebih dari sekadar ingin mendapatkan pengalaman pria itu.Namun, Regan tidak sesederhana itu. Melihat bagaimana wanita-wanita bisa saja berdatangan dengan mudah kepadanya, dan bagaimana reaksi Regan setelahnya, Poppy tidak yakin bisa menjalani itu dengan mudah.“Kayaknya….” Poppy menelan air liurnya. “Kakak bisa berhenti buat ajarin aku.”Regan tidak menjawab, membuat ucapan Poppy semakin tak terarah. “Pasti aku udah nyusahin Kakak selama ini, kan? Kakak juga pasti kesal sendiri ajarin cewek yang gak punya pengalaman kayak aku. Aku… bahkan gak punya sisi menarik—”Poppy pun tersadar dan segera berdiri dari so
Regan memandangi punggung telanjang yang setengahnya tertutup selimut itu. Jarinya memainkan rambut Poppy dari belakang dengan perlahan, berusaha untuk tidak sampai membangunkannya. Wanita itu tertidur karena kelelahan, padahal mereka hanya melakukannya satu kali.Faktanya, ia sedang menahan diri sekarang. Melakukan satu kali rasanya tidak cukup, tapi di satu sisi, ia juga tidak mau memaksa Poppy. Ini pengalaman pertama mereka, setidaknya Regan ingin menunjukkan sisi lembutnya. Yah… walaupun ia sendiri tidak yakin apakah tadi sudah bersikap cukup lembut atau tidak. Melihat beberapa tanda kemerahan di dada dan pinggang Poppy, sepertinya dia agak lupa diri tadi.Regan akhirnya mendesah dan mendongak. Kepalanya menyuruh untuk tidak lagi memperhatikan punggung telanjang itu, tapi matanya berkata lain. Alhasil, tubuh Regan kembali menegang. Haruskah ia membangunkan Poppy dan menyuruhnya pakai baju? Namun, wanita itu ba
“Lo lagi sama Poppy?!”“Hm.”“Ngapain?”“Makan.” Yang lain….“Kok, bisa?!”Mendengar pertanyaan Dante yang semakin lama semakin naik nadanya, Regan pun menghela napas. “Tadi ada acara di TK dan gue jadi tamunya. Abis selesai, gue ajak Poppy makan sekalian. Abis ini pulang, kok.”“Makan di mana? Kok, lo gak ngajak gue?!”Entah Dante yang terlalu mempercayainya atau memang kelewat polos, Regan bersyukur karena pria itu tidak bertanya macam-macam lagi. Namum, tentu saja Regan tidak mau mencari gara-gara sekarang. Dante bisa saja berubah menjadi kakak super protektif yang menyebalkan.“Kenapa juga harus ajak lo?” Regan balas bertanya.Terdengar decakan dari seberang sana. “Ya udah, cepet balik deh. Gue laper, tolong bilangin Poppy.”&ldqu
Jujur saja, Poppy tidak ingin pulang ke rumah sekarang. Bukan karena masih ingin berduaan dengan Regan—meskipun itu setengahnya benar—tetapi karena takut berhadapan dengan Dante. Poppy tidak terbiasa berbohong. Ia takut Dante langsung mencium hubungan mereka ketika memasuki rumah.“Gak apa-apa,” ucap Regan tiba-tiba setelah mobilnya terparkir di carpot. “Dante itu gak peka, jadi bersikap biasa aja.”Poppy tidak tahu harus marah karena Regan mengejek kakaknya, atau harus lega sekarang. Regan memang benar, pikiran Dante jauh lebih imajinatif daripada dirinya. Mungkin, dibanding memikirkan Poppy dan Regan berpacaran, Dante akan menyangka kalau Regan baru saja mencekoki Poppy obat diare tiga bungkus.Regan turun lebih dulu, terlihat memutari mobil untuk membukakan pintu Poppy. Namun, karena Poppy khawatir Dante tiba-tiba muncul, wanita itu membuka pintu sendiri sebelum Regan tiba. Ia jug
Pagi berjalan normal keesokan harinya. Poppy bisa bangun lebih awal dan menyiapkan sarapan untuk mereka bertiga. Sebelum turun tadi, ia sudah sempat mendengar suara grasak-grusuk dari kamar Dante. Sepertinya, tidak lama lagi kakaknya itu juga akan turun untuk sarapan.Benar saja, ketika Poppy sedang memanaskan minyak untuk menggoreng nugget, langkah kaki khas milik Dante terdengar menuruni tangga. Tidak lama kemudian, terdengar suara kursi digeser yang diikuti suara nyaringnya.“Pagi, Adek,” sapa Dante yang baru menaruh tas di kursi dan berjalan menuju coffee maker.“Pagi, Kak,” jawab Poppy. Sambil memasukkan nugget ke minyak panas, ia melihat ke balik punggung Dante. “Kak Regan belum turun juga?”“Tadi, aku dengar dia lagi teleponan. Sebentar lagi mungkin.” Dante pun menengok ke arah kompor. “Sarapan apa, Dek?”
“Regan bukan orang yang bisa kamu handle, Dek.”Poppy berbalik badan. Suara Dante tadi pagi kembali terngiang. Padahal sudah dua belas jam lewat sejak kakaknya mengucapkan kalimat itu. Bahkan, langit sudah berubah menjadi gelap dan Dante sudah mendengkur di kamarnya sekarang, tetapi Poppy masih belum bisa melupakannya.Kepalanya bertambah penuh kala obrolan mereka berlanjut setelah itu.“Kamu keluarga aku satu-satunya, kamu tau, kan? Kakak cuma gak mau kamu sakit.”Hahh….Poppy mendesah panjang, mengubah posisi tidurnya menjadi berbaring—menatap langit-langit kamar.Poppy hanya tahu kalau kakaknya kurang peka, tetapi apa yang mendasarinya mengucapkan hal itu tadi pagi? Apakah Poppy dan Regan terlalu jelas di matanya? Atau ini insting dari seorang kakak? Poppy tidak paham, yang pasti dia merasa kha
Entah bagaimana lima menit waktu yang dijanjikan berubah menjadi berjam-jam lamanya. Namun, pada akhirnya Poppy tidak bisa protes karena dirinya sendiri yang jatuh tertidur lebih dulu. Begitu Poppy terjaga, jam sudah menunjukkan pukul setengah enam pagi dan Regan sudah tidak ada di sana. Entah jam berapa pria itu meninggalkan kamarnya.Poppy hanya berharap, Dante tidak melihatnya.Karena ini hari Sabtu, Poppy agak sedikit bersemangat. Jadi, tanpa mandi terlebih dulu, Poppy keluar dari kamar dan siap untuk membuat sarapan. Dante bilang, hari ini ia tetap harus ke kantor karena ada berkas penting yang harus diurus. Lagi pula, mereka memang biasa untuk tetap sarapan ringan walaupun libur sekali pun.Namun, sebelum langkahnya mencapai dapur, Poppy sudah mencium aroma sedap. Harumnya seperti bawang bombai yang ditumis. Benar saja, semakin kakinya melangkah, ia bisa mendengar suara peralatan dapur beradu di sana.Dan matan
“ADEEEK! KAMU KE MANA AJA?!”“Kenapa hape kamu mati, hah?! Kamu hampir buat Kakak gila tau, gak?!”“Polsek?? Kenapa kamu bisa di polsek?!”“Tapi, kamu gak diapa-apain, kan?”“Heh, dokter gadungan! Motor gue mana?!”Serangkaian ocehan Dante akhirnya bisa redam ketika Poppy mengatakan dirinya sangat lelah dan ingin tidur. Sebawel-bawelnya Dante, ia tidak akan membiarkan Poppy kelelahan. Jadi, sebelum pria itu berubah pikiran lagi, Poppy buru-buru melesat ke kamarnya dan menutup pintu.Poppy melempar dirinya ke kasur dan menarik napas panjang. Begitu banyak yang terjadi hari ini. Mulai dari pengalaman pertama naik kendaraan umum, tersesat, sampai kecopetan. Jangan lupakan juga bagian dirinya yang luluh dengan mudah dengan ucapan manis Regan.Poppy membuka matanya dan bangun. Ia harus
“Kamu—hah….” Regan menghela napas panjang, menyatukan dahi mereka berdua. “Jangan jalan-jalan sendiri lagi, oke? Kamu bisa marah-marah ke aku, pukul aku, maki-maki aku, atau bahkan ngadu ke Dante—apa pun itu—asal jangan pergi sendirian lagi, oke?”Poppy mengangguk. “Terus, HP-ku—”“Nanti aku yang urus,” potong Regan, kemudian menoleh kepada pria paruh baya yang berdiri di sana. “Pak Ferdi, terima kasih. Saya mohon bantuannya untuk mengurus sisanya.”Ah, Poppy baru ingat. Beberapa saat setelah ia melaporkan diri soal dirinya yang tersesat dan kehilangan barangnya, pria itu datang. Dia bilang kalau dirinya adalah teman Papi dan Regan, dan Regan sedang dalam perjalanan menuju polsek. Pada saat itu, rasanya Poppy ingin kabur kembali. Ia sudah membayangkan betapa buruk perasaannya jika harus bertemu Regan lagi.Namun ternyata, yang
“Mbak Poppy sudah ditemukan di Polres XX, Mas Regan.”Regan tidak peduli dengan ucapan Pak Ferdi selanjutnya. Ia bahkan tidak sadar kalau yang disambarnya adalah kunci motor Dante, sebelum melihat bahwa alarm mobilnya tak kunjung bunyi. Merasa tidak ada waktu untuk menukar kunci, jadi ia langsung saja mengendarai motor itu dan melesat menuju tempat Poppy.Sepanjang perjalanan, pikiran Regan tidak tenang. Apa yang terjadi sampai Poppy berada di tempat yang berjarak dua jam lebih dari rumahnya. Untuk dikatakan kabur dari rumah, itu terlalu mudah ditemukan. Namun di satu sisi, sangat mustahil juga Poppy berpergian seperti ini tanpa mengabari Dante.Satu yang akhirnya mungkin menjadi jawaban adalah Poppy sedang menghindari Regan.Mengingat itu, amarahnya tentu tak terbendung lagi.Perjalanan sejauh itu Regan tempuh seperti orang gila. Ia hanya membutuhkan satu jam lebih sepuluh menit untuk
Hari berjalan lambat setelah kejadian kemarin. Regan seperti tidak diberikan kesempatan untuk menjelaskan oleh Semesta. Poppy terus mengabaikannya, ditambah sikap Dante semalam, Regan juga khawatir jika bersikap terang-terangan di rumah.Begitu banyak waktu yang Regan buang hanya dengan memandangi layar ponsel. Tidak ada jadwal operasi hari ini—berbanding terbalik dengan kemarin. Regan hanya visite dan konsultasi dengan beberapa pasien. Namun, justru itu yang membuatnya lebih membenci hari ini.Ruang chat Poppy masih sehambar kemarin. Wanita itu tidak mengangkat panggilan video atau panggilan suara darinya. Beberapa chat hanya dibaca dan sisanya bahkan tidak dibaca sama sekali. Hari ini pun Regan sudah mencoba kembali, tetapi hasilnya masih sama.Regantara Dashar: Pop, tolong angkatRegantara Dashar: Ayo kita ketemu, aku mau jelasin semuanyaRegantara Dashar: Aku gak bisa jelasin di
Pintu kayu di depannya terasa begitu mengintimidasi di mata Regan. Jantungnya berdebar sangat kencang karena tahu Poppy ada di dalam sana. Hari sudah berganti dan jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Regan baru saja pulang dari rumah sakit setelah seharian disibukkan dengan pasien.Sepertinya, Semesta tidak mengizinkannya untuk tenang hari ini.Sekali lagi, ia melihat ponselnya yang menunjukkan ruang obrolan dengan Poppy. Wanita itu belum membaca pesan terakhirnya—yang mengajak Poppy untuk berbicara setelah Regan pulang. Regan menghela napas, tangannya sudah terangkat ingin mengetuk pintu itu sebelum sebuah suara menginterupsinya.“Jangan.”Pria itu menoleh. Beberapa langkah darinya, tepatnya di depan dispenser, Dante sudah berdiri sambil membawa mug berbentuk kepala anjing. Regan lupa kalau sahabatnya itu suka keluar tengah malam untuk mengambil minum.Regan tidak bisa melihat wajah
“Kenapa berhenti, Babe—oh, ada tamu, ya?”Regan tidak menghiraukan ucapan Claudia itu, malah mendorongnya untuk menyingkir, dan segera menghampiri Poppy. Dia tidak tahu kenapa keadaannya menjadi seperti ini. Bodohnya Regan yang terlalu terbuai dengan sentuhan itu sebelum memastikan siapa yang memeluknya. Tubuh dan pikirannya yang kelelahan membuat semua otaknya tidak bisa bekerja dengan baik.Seharusnya ia sadar waktu Claudia memeluknya dari belakang dan langsung menarik tubuhnya untuk berbalik. Poppy bukan wanita yang bisa bersikap agresif di depan pria mana pun, bahkan di depan Regan sendiri.“Pop, ini gak—”Kepala Regan terasa kosong hanya untuk memberikan penjelasan. Apalagi ketika melihat Poppy jelas-jelas menepis tangannya itu. Wajah wanita itu sudah tampak pias, dengan bola mata bergetar. Satu gerakan lagi saja, mungkin Poppy bisa menangis di sana.&ldquo
Tidak perlu waktu lama untuk Regan memacu mobilnya menuju rumah sakit. Begitu sampai pun, sudah ada perawat yang menunggunya untuk menjelaskan situasi. Regan mengantar Poppy ke ruangannya sambil mendengarkan penjelasan sang perawat. Setelah memastikan Poppy sampai dengan selamat di ruangannya, Regan segera pergi ke ruang operasi bersama perawat itu.Dan sekarang, Poppy kebosanan.Ruangan Regan sama monotonnya dengan ruang dokter lainnya. Hanya ada seperangkat komputer, tumpukan dokumen, dan buku-buku medis. Furnitur lainnya yaitu satu sofa kecil—tempat Poppy duduk sekarang. Mungkin karena ini ruangan pribadi Regan, yang biasanya menjadi tempat pria itu menyusun laporan dan konsultasi saja, tidak ada ranjang pasien di sini.Poppy pikir, ia hanya perlu menunggu paling lama setengah jam. Namun, dua jam berlalu, Regan tidak juga kembali. Perutnya mulai keroncongan. Poppy baru ingat kalau terakhir ia makan adalah saat jam isti
Ada kebanggaan yang membuncah ketika Regan melihat binar mata Poppy sekarang. Kerja kerasnya terbayar sudah. Ia tidak menyesal telah merogoh tabungannya lebih dalam, sampai beberapa kali bersitegang dengan arsitek dan interior desainer demi rumah ini. Wanita itu terlihat sangat bahagia.Walaupun pasti tidak sebanding dengan apa yang Regan rasakan sekarang.“Kak? Serius?”Itu bukan pertanyaan pertama Poppy ketika memasuki ruangan ini—ruangan yang khusus Regan buat untuk wanita itu. Ruangan ini juga yang paling banyak menyita waktu renovasi. Hampir sebulan penuh Regan habiskan untuk konsultasi desainnya.“Gimana? Suka?” Regan malah balik bertanya.“Siapa yang gak suka perpustakaan pribadi!” Poppy memekik senang dengan bibir yang tak berhenti tersenyum. “Dan… dan… buku-bukunya! Oh my God!”Baru kali ini Regan melihat ekspr
Poppy sempat berpikir Regan sedang menjahilinya kembali. Namun, begitu melihat pintu garasi rumah itu terbuka otomatis hanya dengan satu tekan di ponsel Regan, ia tidak bisa berkata-kata. Regan pun dengan tenangnya memasukan mobil ke garasi.“Ayo, turun,” ajak pria itu sambil membuka sabuk pengaman.“Sebentar, sebentar….” Poppy mengangkat satu tangannya. “Rumah kita? Maksudnya… kok, bisa—gak, maksudku, aku gak merasa pernah beli rumah atau nabung buat beli rumah….”Rancauan Poppy dibalas Regan dengan senyuman dan cubitan ringan di pipinya. “Aku jelasin di dalam, ya.”Melihat tidak ada tanda-tanda Poppy akan keluar dengan cepat, Regan pun memutar langkahnya dan membuka pintu di sebelah Poppy. Ia menuntun wanita itu untuk turun dari mobil, lalu membawanya ke sebuah pintu di sana. Pintu itu ternyata terhubung dengan tangga yang membawa mereka ke