“Riana cinta Jagat!” seru Riana dengan suara dikeraskan. Sedikit terasa menggema di ruangan.Jagat terbahak bahagia. Kemudian dia meraih tubuh Riana kembali. “Kamu sudah membuat jantungku melorot sesaat, Dek. Kupikir mau ngomong apa.”Riana tertawa. Semakin lama tawa perempuan itu menjadi desahan, saat dia merasa tangan Jagat mulai menari-nari di sekitar belakang telinga, leher dan terus turun ke dadanya.Malam itu, setelah sekian lama terhalang banyak drama, sepasang anak manusia kembali saling melenguh mendaki bukit madu pernikahan yang nikmat.Dua malam penuh Riana sengaja memanjakan Jagat, dan benar-benar membuat mereka berdua seperti terlahir kembali sebagai pasangan pengantin baru. Mereka tidak pergi ke mana-mana selain berada di dalam hotel itu. Memanjakan diri dengan sedikit kemewahan yang pernah sama-sama mereka khayalkan.“Enggak menyangka kehaluan kita dulu menjadi nyata ya, Dek,” ujar Jagat. Dia masih rebahan, tubuh telanjangnya ada di bawah selimut.“Benar kata Giring don
“Aku takut membuat Mas tersinggung. Uang itu aku dapat dari Kak Vivi setelah aku membantunya menghancurkan Mas Tyo,” kata Riana lirih. “Waktu itu a-aku enggak yakin Mas akan menerimanya.”“Nyatanya sekarang aku akan menjebloskan Mas Tyo ke dalam penjara lebih lama, kan?” ungkap Jagat, tidak kalah lirihnya.“Maaf, Mas.”Akhirnya hanya kata itu lagi yang keluar dari mulut Riana. Pada keyataannya dia memang bersalah. Selalu tidak punya waktu untuk sekedar memberitahu tentang uang yang dia miliki.“Doain Mas supaya cepat dapat kerjaan, biar bisa gantiin uang yang udah kepakai untuk keperluan Mas.”“Jangan gitu, Mas. Sekali lagi aku minta maaf, udah enggak jujur. Tapi uang ini milik kita, jadi memang akan kita pakai bersama.”Jagat menghembuskan napas. Dia memandang Riana, matanya sudah sedikit berembun. Lelaki itu mengerucutkan bibirnya sejenak, sebelum akhirnya kembali memalingkan wajah.“Ayo, kita ke Bu Mentari, alamatnya di mana?” ujar Jagat pada akhirnya. Kalimat yang akan dia lontark
“A-apakah semua sesi konsultasi kita nanti akan di laporkan kepada istri saya, Bu?” Samar sekali Jagat melontarkan pertanyaan.“Tentu saja tidak, Pak. Semua obrolan kita adalah rahasia kita berdua, Pak Jagat boleh percaya kepada saya.”“Ja-jadi saya boleh sedikit curhat ya?” Jagat meringis malu-malu.“Loh, kenapa sedikit? Curhat aja yang banyak.” Mentari terkekeh.Jagat hanya meringis. Menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Apa Pak Jagat merasa ada sesuatu yang berubah dengan Riana?”“Ya, begitulah.”Mentari tersenyum. “Rabu kita bicarakan lebih lanjut ya.”* * *Hari selasa pun datang. Itu berarti sidang pertama akan dimulai.“Bismillah ya, Mas. Aku doakan semoga semuanya lancar,” ucap Riana di telepon.Riana tidak bisa menghadiri sidang, sebab dia akan menjadi saksi, sehingga tidak diperkenankan hadir sebelum kesaksiannya diucapkan. Hari ini Reinald yang akan memberikan kesaksian terlebih dahulu.“Ya, aku pasti bisa. Sudah tidak ada jalan untuk kembali selain maju terus,” tuturnya
“Viona, jangan ….” bisik Reinald.Lelaki itu reflek menangkap tubuh Vivi. Dengan entengnya lengan Reinald yang kokoh mengangkat tubuh Vivi dan menggesernya ke pinggir. Reinald sendiri akhirnya maju untuk memberi batasan antara Vivi dan Tyo. Dia hanya bermaksud agar tidak pecah keributan. Bagaimana pun emosi Tyo bisa tidak stabil menghadapi tekanan sidang yang baru saja terjadi.Saat Reinald bermaksud bergeser, tidak sengaja pundaknya beradu dengan pundak Tyo.“Sorry,” ujar Reinald pendek. Melirik sekilas. Kemudian lelaki itu cepat menggandeng Vivi untuk berjaga-jaga jika perempuan berkulit putih ini sungguh-sungguh melayangkan tangannya kepada Tyo.Vivi terhenyak. Perempuan cantik itu hendak menepis tetapi ekor matanya menangkap pandangan Tyo yang ternyata masih mengikuti dirinya. Jadilah dia membiarkan tangan Reinald menggenggam tangannya. Seulas senyum palsu yang manis dia lempar dengan sengaja.Tyo pun melirik tajam. Menyorongkan matanya dengan pandangan penuh selidik ke arah Reina
“Loh, kok Pak Sulis bisa bicara begitu?” Baskoro bertanya sengit.“Sekarang gini aja, Pak Baskoro, jabarkan semua, sebenarnya untuk apa saja uang yang Bapak minta?” sahut Sulis tak kalah sengit.“Ya, sudah jelas untuk operasional—““Operasional apa? Kami sudah bayar Bapak mahal, lunas di muka, masa masih minta uang operasional juga? Seminggu bisa dua sampai tiga kali. Maksudnya uang operasional itu apa? Beli bensin? Beli kuota? Atau beli bolpoin? Atau apa?” teriak Sulis. Dia benar-benar kesal. Ubun-ubunnya terasa terbakar.“Damar yang pengacara ibu kota aja enggak segitu rakusnya minta duit!”“Eh, jangan pernah samakan saya dengan anak ingusan kemarin sore, Pak Sulis. Level saya jelas beda. Saya sudah menjadi pengacara saat si damar-damar itu masih belajar menghafal pancasila.”Sulis mencebik. Kalau bukan sedang berada di halaman kantor polisi, mungkin tinjunya sudah melayang kepada mulut manis yang berbisa itu.“Kalau memang Pak Sulis tidak mau dengan cara saya, ya sudah ….”“Sudah a
“Saya dengar perkebunan salak milik Anda, yang masih masuk wilayah kerja saya itu, akan dijual, Pak.” Mahardika langsung melancarkan pernyataan tanpa basa basi. Kata-kata ‘wilayah kerja saya’ benar-benar ditekankan dengan nada yang arogan.“I-iya, betul. Bapak tau dari mana ya?” Sulis menyahut keheranan.“Kok nanya? Jangan pura-pura tidak tahu kalau saya ada kekuasaan di wilayah situ.”Sulis menelan ludahnya hingga beberapa kali. Instingnya menangkap sesuatu yang kurang baik.“Saya bayar empat ratus, langsung cash. Besok menantu saya ke rumah Anda. Siapkan sertifikatnya, urusan balik nama dan administrasi lain itu urusan saya.”“Eh, ya … jangan begitu, Pak. Itu harga sangat rendah, mana boleh … bahkan itu tidak ada setengah harga yang saya tawarkan,” protes Sulis.Mahardika tertawa beberapa detik. “Saya sudah berbaik hati, tidak minta gratis. Di dalam perkebunan itu ada hak Anin juga kan? Anin itu cucu Anda juga loh. Lagi pula kalau perkebunan salak itu tidak boleh saya beli, saya pas
“Ngapain Anda ke sini? Tolong jangan ganggu istri saya, dia butuh ketenangan,” hardik Sulis galak.“Eh, santai Pak Sulis,” sahut Baskoro. Dia mengangkat kedua tangannya, senyum dia lempar selebar mungkin. Ciri khasnya jika sedang ada maunya kepada klien yang sedang dia tangani.“Kita bicara di luar saja, ayo silakan.” Sulis gegas mendekati sosok Baskoro yang belum sepenuhnya masuk ke dalam ruangan. Lelaki tambun itu masih berada di ambang pintu.“Enggak apa-apa, Pa. Mama juga pengen denger kok,” cegah Widya. “Biarkan Pak Baskoro bicara di sini saja.”“Ah, Bu Widya, semoga segera pulih ya, Bu. Untuk merayakan kemenangan bersama Mas Tyo dan kita—““Pak Baskoro mau minta uang berapa lagi?” tukas Widya.Dalam sekejap mata, hilanlah senyum Baskoro, berganti dengan wajah terkejut lengkap dengan alis yang terjungkit ke atas.Akan tetapi Baskoro bukanlah pengacara kemarin sore. Dalam sekejap dia sudah bisa kembali mencipta senyum, yang sama manisnya dengan yang tadi.“Astaga, tidak baik berbu
“Saya Sulis, ayahnya Jagat eh—“Entah mengapa, Sulis menjadi terceplos menyebut nama anaknya yang nomor dua, bukan memperkenalkan diri sebagai ayah Tyo.Perempuan di hadapan Sulis itu seketika tersenyum, lalu membuka pintu rumahnya menjadi lebih lebar.“Oh, ayahnya Pak Jagat, saya pikir dari tim-nya Pak Baskoro. Mari silakan duduk, Pak. Suami saya sedang menjemput ibu saya di stasiun, mungkin sebentar lagi sampai.”Mendengar hal tersebut Sulis menjadi bengong.“Silakan masuk, Pak.”Sulis mengangguk ragu, namun kakinya tetap terayun ke dalam, lalu duduk di hadapan sang empunya rumah.“Bapak tenang saja, suami saya sudah membatalkan diri untuk menjadi saksi melawan Pak Jagat. Saya tahu persis Pak Jagat itu orang yang sangat baik. Suami saya banyak sekali mendapat pertolongan dari Pak Jagat. Pertikaian yang pernah terjadi antara suami saya dan Pak Jagat pasti hanya sebuah kesalahpahaman saja.”Kepala Sulis mengangguk. Antara sadar dan tidak.“Pak Baskoro itu memang sedikit … apa ya, yah
“Ya Tuhan, kamu serius ini, Ri?”Mata Maya berkaca-kaca. Gegas dia memeluk Riana.“Makasih, Mas Jagat,” ucap Maya disela isakan harunya.“Itu uang Riana, May. Bukan uangku,” ucap Jagat sembari meringis.“Makasih ya, Ri.” Maya mengurai pelukan, dan mengelap air matanya sendiri.“Tapi aku enggak bisa mengabulkan seperti doamu, yang lima puluh juta itu,” seloroh Riana.Maya tertawa sumbang. “Apaan sih.”“Jangan dipandang apa-apa ya, May. Pokoknya karena aku lagi punya dan ingin kasih. Anggap saja buat Tian,” kata Riana.Maya mengangguk. “Kuharap bukan yang terakhir.”Riana reflek menoyor kepala Maya.Kedua perempuan itu memang sudah sama-sama mengajukan pengunduran diri, hanya saja berbeda tanggal pelaksanaannya. Maya akan meninggalkan kantor itu dua bulan ke depan, sedang Riana masih bekerja sampai enam bulan lagi.
“Ini snack-nya yang memang bener-bener enak atau ada faktor lain ya?”Reinald melempar pandang pada Vivi yang asyik memandangi si kembar bermain di kolam bola-bola plastik. Sesekali perempuan cantik itu ikut menjerit kala salah satu dari si kembar terjungkal atau sengaja melompat tinggi di area bermain.“Hmm dicuekin,” desis Reinald dengan volume suara yang dia naikkan.Vivi menoleh. “Apa? Ngambekan banget.”Reinald tertawa. “Yah, niatan mau mengeluarkan gombalan, belum apa-apa dijutekin, layu sebelum berbunga dong.”Vivi tertawa. “Ulangin kalau gitu, nanti aku jawabnya apa?”Lelaki tampan itu mencebik jelek sebagai tanda dia tidak ingin melakukan permintaan Vivi. Namun sedetik kemudian dia meringis lucu.“Gimana kemarin di kampungnya Riana? Udah dapat gambaran untuk bisnis pertanian yang kemarin kamu bicarakan?” tanya Reinald setelah mereka reda dari tawa yang be
“Gimana tidurnya semalam, Kak?” tanya Riana ketika melihat Vivi mendekatinya di dapur.Mata Riana menatap takjub. Entah kenapa, mantan istri Tyo ini baru bangun tidur tetapi muka polosnya terlihat lebih cantik. Setelah mengenal Vivi hampir sekitar tiga tahunan, baru sekali ini Riana melihat wajah Vivi yang tanpa riasan. Jadi terlihat jauh lebih muda dari umur sebenarnya.“Aku minta air putih hangat, Ri,” ujar Vivi. Lalu duduk di salah satu kursi terdekat.Riana mengambil gelas dan melakukan perintah perempuan itu.“Kudengar Kakak telponan lama sekali sama ayang dokter ya?” ledek Riana sembari mengulur gelas.“Heh, kamu nguping?”Riana tergelak. “Enggak kedenger jelas kok. Tapi yang perlu Kakak ingat, rumahku ini dibangun dengan uang subsidi pemerintah. Temboknya setipis imanku.”Baru saja Riana selesai bicara, terdengar kentut Jagat dari kamar tidurnya.“Nah itu
“Mungkin kalau aku enggak ikut, kalian akan menginap di rumah Ibu ya?” Vivi buka suara.Mobil Jagat baru saja melewati perbatasan desa Riana dengan desa sebelah.“Jangan dipikirin, Kak. Kampung ibuku hanya satu setengah jam dari rumah, bisa kapan pun kami menginap di sana, tapi kesempatan melihat Kak Vivi dan si kembar mengunjungi rumah ibuku entah kapan lagi,” jawab Riana, sambil menoleh ke belakang, seketika senyumnya melebar.“Aduh, aku suka sekali pemandangan ini, kayaknya perlu diabadikan,” Riana berkata lagi.Perempuan itu gegas mengambil telepon genggamnya, lalu memotret Vivi dan si kembar tanpa permisi. Vivi diam saja, tidak protes. Dia hanya memalingkan wajah sembari tersipu saat Riana membidikkan kamera telepon genggam ke arah dirinya.“Cantik sekali, Kak. Aku kirim ke Kakak ya!” jerit Riana riang.Vivi hanya tersenyum senang sebagai ganti jawaban dari mulutnya.“Bagus ka
“Semoga anak-anak saya tidak merepotkan Anda ya, Pak Jagat,” ucap Reinald. Dia datang ke rumah Jagat untuk mengantarkan Vivi dan si kembar. Jam baru menunjuk setengah enam pagi.“Panggil nama saja, Dokter. Kita kan akan menjadi kakak adik,” jawab Jagat sambil melirik Vivi.Perempuan yang dilirik Jagat pun memalingkan wajah dan berpura-pura tidak mendengar. Lucu sekali wajah Vivi. Biasanya tegang dan judes, kini menjadi sering tersipu-sipu.Reinald tertawa. Sedang kedua anaknya senyum kebingungan. Menoleh pada papanya, Jagat dan Vivi.“Siap. Kalau gitu, jangan pula panggil aku dengan embel-embel dokter dong,” sahut Reinald cepat.“Rein, kenalkan ini Bapak dan Ibunya Riana,” tutur Vivi. “Lio dan Elle, salim juga sama ….”Vivi mengernyit. Bingung bagaimana harus menyebutkan orang tua Riana kepada anak-anak Reinald.“Opa? Oma?” celetuk Reinald.Arman dan
Tidak perlu menunggu waktu terlalu lama, Riana segera mendapat panggilan dari Vivi.“Kamu dapat gambar itu dari mana, Ri?”“Cie Kak Vivi ….”“Apaan sih, Ri. Enggak jelas banget kamu. Cepat jawab pertanyaanku!”Riana dapat menangkap warna suara Vivi yang sedikit malu. Meskipun nadanya tinggi, Riana tahu, Vivi hanya pura-pura jutek. Aslinya perempuan cantik itu sedang tersanjung.“Tapi fotonya jelas kan, Kak?”Vivi terdiam.“Selamat ya, Kak. Semoga kalian berjodoh, udah serasi banget. Enggak nyangka, dapat jodohnya masih dari kota yang sama dengan mantan suami,” celetuk Riana nakal.“Ri, jawab ya, kamu dapat dari mana itu gambarnya?” Kini suara Vivi sudah melengking. Kembali kepada Vivi yang jutek.Riana tertawa. “Mau tau aja atau mau tau banget nih, Kak?”“Riana! Jangan bikin aku habis kesabaran ya!”Peremp
“Jagat.”Tyo tercekat ketika tahu siapa orang yang menjenguknya.“Mas.”Jagat tergesa mendekati Tyo, lalu mereka berpelukan. Sama-sama menggerungkan tangis tertahan, sama-sama saling menepuk punggung dengan kasih sayang yang tertahan.“Maafkan aku, Gat. Maafkan selama ini aku dengan sengaja dan tanpa sengaja telah melukai perasaan kamu.”Pelukan Jagat bertambah kencang. Sampai akhirnya Tyo melepaskan diri dan menuntun Jagat untuk duduk di sebuah bangku yang sudah disediakan. Kakak beradik itu pun duduk berjejeran.“Kamu sendirian, Gat?” tanya Tyo. Leher lelaki itu sedikit menjulur, melihat jauh ke bangku yang disediakan untuk tamu, sekitar tiga meter di belakang mereka.“Ada Bapak sama Ibu di luar, Mas. Kalau Riana enggak bisa ikut, dia sudah banyak membolos kerja, jadi jatah cutinya habis,” jawab Jagat. Dia gosok matanya yang masih berair dengan punggung telapak tangannya. &
“Astaga, kau serius, Ri?” Vivi terpekik. “Aku sudah dandan cantik begini, mubazir dong.”Riana terkikik lirih. Antara rasa geli dan juga merasa bersalah.“Dasar Jagat. Bilang sama dia ya, Ri, dia hutang traktir sama aku! Dan aku pasti menagihnya suatu hari.”Riana berderai-derai. “Maafin ya, Kak.”Vivi menutup telepon dengan bersungut-sungut. Ah, dia tadi bersungguh-sungguh sudah dandan secantik mungkin untuk malam ini. Sengaja dia memakai dress biru yang dipilihkan oleh Reinald ….“Astaga!” Vivi terpekik lagi. Dia ingat sudah mengundang Reinald dan lelaki itu pun sudah menyanggupinya. Mata indah Vivi memandang jam tangannya.Kurang dari tiga puluh menit dari waktu yang sudah ditetapkan. Rasanya sungguh tidak sopan membatalkan undangan di menit-menit terakhir begini. Bagaimana kalau Rienald sudah berdandan seperti dia? Bagaimana kalau Reinald sudah membatalkan suatu acara ata
“Nak Jagat, Ibu sudah masak ayam bakar kesukaan Nak Jagat loh, apa enggak mau makan dulu?” Neni memberanikan diri mengetuk pintu kamar.Sejak pulang dari mengurus peralihan kepemilikan kebun salak, Jagat langsung mengurung diri di kamar. Kebetulan Riana juga sudah berangkat ke kantornya terlebih dahulu.Jagat membuka pintu. Wajahnya sedikit kusut.“Apa Nak Jagat sakit?” Neni bertanya lagi dengan sedikit nada was was. “Atau mau Ibu bikinin kopi aja ya? Biar sedikit seger di badan.”Lelaki itu tersenyum. “Kopi boleh, Bu. Tadi aku udah makan bareng Bu Reni.”Neni pun tersenyum. Kelegaan menguar di wajahnya.“Tuh kebetulan Bapak juga lagi ngopi, Ibu bikin getuk loh, singkongnya dari kebun kita sendiri. Bentar ya, Ibu bikinin kopi.”Jagat mengangguk. Lalu dia berjalan ke ruang tamu, menjejeri bapak mertuanya yang tengah santai sambil merokok. Di meja sudah terhidang segelas kopi dan getuk singkong yang Neni sebutkan tadi.“Nak Jagat, enggak pa-pa ya Bapak ngerokok di dalam rumah?” seloroh