Bab 9

Sebenarnya, saat itu Rio sudah tidak mendengar apa yang dikatakan Aulia lagi. Karena kedekatan Aulia yang begitu berani telah membuat pikirannya kacau balau. Harus diakui, pesona Aulia benar-benar tidak bisa dibandingkan dengan Medelyn. Dari sisi tubuh dan aura yang dimilikinya, Aulia jelas jauh di atas Medelyn.

Selain itu, Aulia memancarkan aura yang sangat dewasa. Apalagi saat ini mereka sedang berendam bersama di kolam air panas. Aulia tidak perlu menunduk sekalipun, Rio sudah bisa melihat jelas lekuk tubuhnya yang menggoda.

Ditambah aroma parfum yang samar dari tubuh Aulia, bercampur dengan harum kelopak mawar di air.

Jangankan Rio, bahkan pertapa pun mungkin akan goyah!

Rio merasa panas di bagian perut semakin membara, kepalanya pun berdenyut tak karuan. Aulia masih berbicara, tapi Rio sudah tidak mendengar sepatah kata pun.

Namun, tepat saat dia larut dalam momen yang penuh godaan itu, tiba-tiba pintu Paviliun Foniks didobrak keras dari luar. Belum sempat Rio bereaksi, Aulia langsung memeluknya dan memutar tubuhnya dengan cepat ....

Dalam pelukan itu, Rio akhirnya tidak bisa menahan diri lagi dan mimisan. Sensasi panas di perutnya seolah-olah telah membakarnya. Di saat bersamaan, Aulia meloncat keluar dari kolam air panas dengan satu lompatan gesit. Entah sejak kapan, tangannya sudah menggenggam sebilah pisau pendek yang sangat tajam.

Rio masih berjongkok di kolam dengan terkejut. Apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba ada staf pusat pemandian yang ingin menyerang Aulia?

Namun dengan cepat, akalnya kembali bekerja. Sambil mengusap darah dari hidungnya, kedua tangannya mulai menggerayangi dasar kolam dan mencoba mencari senjata seperti pisau milik Aulia.

Sebab, musuh sudah menyerangnya. Meski tidak tahu apa yang sedang terjadi, dia beranggapan bahwa Aulia sudah pasti adalah orang baik, sedangkan orang lainnya adalah pihak antagonis.

Namun, sebelum dia berhasil menemukan senjata, dua orang staf berkaus putih yang baru saja menerobos masuk sudah tergeletak bersimbah darah.

Aulia memang seorang ahli. Dia benar-benar mahir menggunakan pisau. Gerakannya luar biasa cepat dan lugas. Kedua staf itu hanya datang untuk mengantarkan nyawa mereka!

"Hmm?" Saat itu, Aulia yang mengenakan pakaian renang dan bertato bunga di punggungnya, menoleh ke arah Rio. Sosoknya tampak gagah berani, tatapannya dingin dan penuh aura membunuh.

"Kamu ngapain gerayangan di situ?" tanya Aulia sambil mengernyitkan alisnya.

"Aku ... aku nyari pisau. Mau bantu kamu!" jawab Rio.

"Di dalam kolam nggak ada pisau. Bukannya kamu punya senjata? Pakai saja senjatamu buat bantu aku," jawab Aulia dengan serius.

"Nggak ada kok? Dari mana aku punya senjata?" tanya Rio dengan bingung.

Aulia langsung tertawa terbahak-bahak. Dalam hatinya merasa bahwa Rio benar-benar imut. Tawanya begitu lepas, hingga membuat dadanya naik turun dan bergetar hebat. Dalam sekejap, suasana tegang tadi seolah tersapu bersih oleh gelak tawanya.

Aulia melangkah perlahan ke tepi kolam, lalu membisikkan pelan di telinga Rio, "Kamu punya pistol, kok."

"Aku ...." Kali ini Rio langsung paham maksudnya. Ternyata Aulia sedang menggodanya, bukan bicara soal senjata sungguhan.

Wajahnya langsung memerah dan dia menunduk malu. Rio tadi memang sempat kehilangan kendali. Siapa suruh Aulia begitu cantik dan memesona?

Namun saat itu juga, terdengar suara langkah kaki tergesa-gesa dari luar. Sekelompok "pelayan" masuk ke ruangan. Semuanya membawa parang, besi, atau tongkat.

Rio menengadah dan terkejut. Apa sebenarnya pekerjaan Aulia? Kenapa orang-orang ini lebih mirip preman daripada staf tempat pemandian?

"Kak Aulia nggak apa-apa, 'kan? Suara itu berasal dari pria berkepala botak yang muncul sebelumnya. Wajahnya tampak murka. Aulia hanya mengibaskan tangan, tak berkata apa pun.

Setelah pria botak itu mengangguk, pelayan lainnya langsung menyeret kedua orang yang meninggal itu keluar dan menutup pintu. Begitu pintu tertutup, Aulia berjalan ke area istirahat dan mengenakan handuk mandi.

Sementara itu, Rio masih berjongkok di kolam. Sebenarnya, kobaran api di perutnya tadi sudah padam total. Bagaimanapun, Aulia telah membunuh orang tadi. Secabul apa pun Rio, nyalinya pasti menciut setelah melihat adegan seperti itu.

"Aku mungkin harus tinggal beberapa hari di sini," kata Aulia sambil mengambil segelas anggur merah dan menyeruputnya perlahan. "Nanti aku suruh orang antar kamu pulang, ya. Bagaimanapun juga, terima kasih."

"Ah, nggak usah. Nggak perlu terima kasih." Rio mengangkat tangan dan menggeleng pelan.

Aulia tersenyum kecil. Setelah berpikir sejenak, dia berkata, "Sekarang kamu pasti penasaran sekali sama pekerjaanku ya? Kenapa semalam ada orang yang coba menculik dan membunuhku, lalu hari ini ada lagi yang datang bawa senjata mau menyerangku?"

Rio mengangguk serius dan menatap matanya dalam-dalam.

Aulia menghela napas pelan. "Aku lagi mengelola aset dan perusahaan yang ditinggalkan mendiang suamiku. Tapi selalu saja ada yang ingin merebut semuanya dariku."

"Selain itu, sekarang aku juga memegang sebuah dokumen penting yang bisa menjatuhkan mereka, jadi pihak sana jadi panik dan nekat sampai rela melakukan apa pun untuk membunuhku."

"Oh." Rio mengangguk, tapi dalam hati ikut menghela napas. Ternyata Aulia seorang janda .... Tapi, bukankah janda ini masih terlalu muda? Apa Aulia sudah 25 tahun? Menjanda di usia semuda itu, benar-benar sayang sekali.

"Kamu anak baik, makanya aku nggak mau kamu ikut campur dalam urusan ini ...."

"Aku bukan anak-anak lagi."

Byur!

Rio berdiri dari dalam air. Namun begitu berdiri, dia langsung merasa kurang pantas dan buru-buru berjongkok lagi ke dalam air.

Aulia langsung tertawa geli, tubuhnya sampai sedikit membungkuk karena menahan tawa. "Masih bilang bukan anak-anak? Tapi malu sendiri begitu."

Tawanya belum reda, tapi akhirnya dia mengalah dan berkata, "Oke deh. Kamu bukan anak-anak. Kamu pria, pria dewasa, begitu ya?"

Rio mengangguk.

"Ya sudah, kamu pulang dulu, ya. Nanti setelah urusanku beres, aku bakal temanin kamu jalan-jalan, gimana?"

"Aku ...." Rio menggaruk kepalanya. "Gimana kalau aku tetap di sini bantu kamu? Aku sebenarnya cukup hebat juga."

Aulia menggeleng pelan. "Nggak usah, kamu masih harus kerja, 'kan? Kalau ditinggal, bisa-bisa dipecat."

"Tapi aku ...." Rio menggaruk kepalanya dengan panik.

"Nurut sama Kakak, pulang dan kerja yang benar. Kamu belum bisa bantu urusanku."

Aulia berdiri dan berjalan ke tepi kolam. Dia mengulurkan tangan sambil berkata, "Sini, ayo naik."

Jantung Rio berdebar lagi. Dia refleks mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Aulia. Dengan satu tarikan lembut dari Aulia, Rio pun berdiri dan melangkah keluar dari kolam.

Kali ini, Aulia berdiri tepat di depannya, lalu menarik handuk dan mulai mengelap wajah Rio pelan-pelan. "Dengar nasihatku, ya. Makasih ... kalau semalam bukan karena kamu, mungkin aku sudah ...."

"Terima kasih."

Setelah berkata demikian, Aulia merangkul Rio sebentar dan menepuk-nepuk punggungnya yang bidang. Namun di detik berikutnya, dia tersenyum geli, lalu menunduk sebentar dan menghela napas pendek.

Sementara itu, Rio hanya bisa berdiri terpaku di tempat. Saking malunya, ingin sekali rasanya dia menghilang begitu saja.

Padahal Aulia cuma berpamitan dengannya, kenapa barangnya itu malah bereaksi?

Wajah Aulia juga merah merona. Dalam hatinya memaki pelan, 'Dasar bocah nakal! Tapi, apa bocah ini nggak terlalu bergairah? Bukannya dia punya pacar? Kenapa masih begini reaksinya?'

"Sudah, sudah. Dasar kamu ini ... nanti Kak Aulia bantu carikan pacar baru deh, supaya kamu nggak mesum ke mana-mana."

Rio langsung buru-buru membalut dirinya dengan handuk, lalu berkata sambil menunduk, "Kak Aulia, aku pergi dulu ...."

Sambil berkata demikian, Rio bergegas berlari meninggalkan ruangan. Aulia pun tersenyum geli. Namun, saat Rio sudah benar-benar keluar dari ruangan, senyumnya perlahan-lahan memudar. Dia mengambil handuk lain dan membalut tubuhnya, lalu berkata dingin, "Masuk."

Syush ....

Si botak yang berjaga di luar pintu sedari tadi, langsung masuk begitu mendengar perintahnya.

Ekspresi Aulia berubah dari lembut menjadi sedingin es. Si botak itu berkeringat deras. Dua orang tadi adalah anak buahnya dan ternyata mereka ingin membunuh Aulia. Dia sadar benar bahwa ini kesalahan besar. Jika Aulia marah, dia juga tidak punya alasan untuk membela diri.

Namun, Aulia tidak membahas soal kedua penyerang itu. Dia hanya berkata dengan dingin, "Nanti malam kita beraksi. Target yang sebelumnya direncanakan, habisi semua. Nggak usah sisakan satu pun."

"Lalu ... atur pertemuan dengan Tambun. Malam ini jam enam. Lokasinya kamu yang pilih."

"Siap, Kak Aulia. Tenang saja," jawab si botak.

"Pergi sekarang. Suruh juga orang bersihin tempat ini."

"Baik. Tapi ...." Si botak itu ragu sejenak, lalu berkata, "Kak Aulia, kalau Tambun ternyata nggak peduli sama anaknya, gimana?"

Aulia melambaikan tangannya dan berkata pelan, "Aku tahu apa yang harus kulakukan."