Ilvy benar-benar serius dengan perkataannya tadi malam. Gadis itu sudah berada di tengah lapangan dengan Effrayante kesayangannya. Sang Putri Gerian sedang memerintahkan Qeen menyusun sasaran panah yang berupa papan-papan lunak yang disatukan dan diletakkan di tepian lapangan.
Sebagian orang-orang berkumpul karena penasaran, sebagiannya lagi hanya berdiri di tepi lapangan sejenak sebelum kembali melakukan tugasnya hari itu.
Danina muncul saat Qeen menancapkan sasaran panah yang ke tiga di tanah. Ia mendekati Qeen dengan tangan tersilang karena hawa dingin masih terasa. Matahari sudah muncul, dan kabut masih belum hilang, membuat dirinya meremang. “Kau bisa melakukan banyak hal,” pujinya.
Qeen tersenyum simpul. Tangannya terus melubangi tanah hingga cukup dalam, lalu menancapkan sasaran panah dalam satu kali hentakan. “Terima kasih pujiannya,” ujarnya sambil tersenyum. Qeen menatap ke arah Ilvy yang juga sedang menatapnya dengan sorot pena
Pagi sekali Danina melihat Ilvy sudah berada di lapangan untuk berlatih memanah. Gadis itu terlihat begitu anggun, dengan baju berburu khas Camsart di balik jubah bersulam emas dan permata di kancing jubah. Danina menyadari bahwa gadis itu terlihat cocok memakai pakaian apapun, bahkan dengan pakaian yang terlihat begitu kontras dengan jubah mewah itu, Ilvy masih tetap terlihat cantik.Danina sempat membayangkan dirinya memakai pakaian seperti itu, kemeja sutra dan jubah kerajaan yang terlihat sangat mewah. Apakah ia akan terlihat cocok? Atau memang dirinya jauh lebih cocok memakai pakaian berburu khas Camsart?Ia mengedarkan pandangan ke seluruh lapangan, tidak menemukan siapapun kecuali Ilvy. Hanya Ilvy, tanpa adanya sang Effrayante yang biasanya selalu berjarak tiga langkah di belakang gadis itu. Qeen masih belum menampakkan diri selama beberapa hari belakangan ini, dan Ilvy jelas tidak memberikan jawaban apapun pada setiap orang yang menanyakan absennya Qeen pada ma
Ilvy masih duduk di tepi lapangan ditemani seorang gadis yang bernama Shilba saat ia melihat Qeen datang dengan seorang wanita paruh baya yang pernah ia lihat sebelumnya. Kedatangan dua orang yang membuat suasana hatinya menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya. Makhluk itu memberi salam padanya, lalu berdiri di belakangnya dengan tenang. Disebelahnya, Shilba menatap Qeen dengan bingung sebelum gadis itu memilih angkat kaki dari sana. Ilvy melihat kepergian gadis itu sesaat, sebelum kembali menatap wanita yang dibawa Qeen yang kini berdiri di hadapannya. “Mengapa lama sekali?” “Ratu Linaba mencari waktu yang tepat untuk mengeluarkan Ississia.” Jawab Qeen di belakangnya. “Rhauven sedang bersiap untuk mengirimkan separuh prajurit ke Gerian. Sepertinya Raja bersiap-siap untuk berperang.” Ilvy menghela napas kesal. Keadaan saat ini masih terlalu dini untuk berperang, tetapi ayahnya sudah mendahului langkahnya dengan antisipasi yang matang. “Aku membutuhkanmu untuk sesuatu.” Ilvy mengel
Xenon berusaha menarik tangannya, tapi tubuh yang kesetanan itu memiliki kekuatan yang tak pernah pria itu lihat sebelumnya. Danina mendorong kuat tubuh orang-orang yang berusaha menghalanginya. Menendang siapapun, meninju siapapun. Ia tak pantas mengalami hal ini. Keluarga Camsartnya tak boleh mengalami hal mengerikan hanya karena seorang gadis bodoh yang terbujuk surat sialan itu! Danina menyeruduk kepala Dagan yang berusaha menghalanginya—ia sedang tak ingin dihalangi. Dibelakangnya, Ovena menangis histeris, Gaia menangis tanpa suara. Ketiga anak Nareef menangisi kepala tanpa tubuh milik ayahnya. Ness dan Hersiria menangis di dekat kepala Nareef. Tangisan Saga meraung didalam pelukan Raquel. Danina mendorong siapapun yang menghalangi pandangannya. Ia ingin melihat wajah gadis yang dulu pernah membuatnya khawatir. Gadis yang dulu menjadi sahabat terbaiknya, kini membawa kematian pada ayahnya dan Nareef. Siapa yang akan memimpin Camsart jika Nareef m
Bukit Piroz—seperti yang orang-orang katakan. Terasa begitu magis, tetapi jauh lebih bersahabat daripada hutan Camsart. Mereka sampai di kaki bukit itu setelah menghabiskan waktu sehari penuh. Pintu gerbang besar di kaki bukit menjadi satu-satunya jalan masuk ke bukit itu. Dijaga oleh banyak prajurit dengan pedang dan busur. Juga baju besi dan prajurit berkuda yang selalu berpatroli di sana.Ilvy mengira akan sulit untuk masuk ke hutan itu. Tapi begitu Ississia menyebut namanya, mereka diperbolehkan masuk, dikawal oleh setengah lusin prajurit menuju kastil.Jalan menuju kastil itu tertata dengan baik. Bebatuan kecil yang berada di sepanjang jalan membuat jalanan tidak licin. Banyak jalan bercabang yang sengaja dibuat untuk membingungkan orang. Dan mereka benar-benar butuh pengawalan untuk bisa sampai tanpa tersesat. Mereka memutari setengah bukit dan menghabiskan waktu dua jam untuk sampai ke kastil itu.Mendekati pintu masuk kastil, mereka kembali dihenti
Elliot Harridan pergi dari kastilnya setelah makan siang. Para pelayan membawa mereka ke kamar masing-masing, membantu mereka untuk beristirahat. Ilvy menolak ketika seorang pelayan menunjukkan kamar Qeen yang berbeda dengannya. “Dia akan bersamaku,” ujarnya sebelum pelayan itu membawa Qeen ke kamar lainnya. Pelayan itu hanya mengangguk tanpa mengatakan apapun, kemudian memberi hormat sebelum pergi meninggalkan mereka.Dua pelayan yang masih berada di kamar Ilvy dengan cepat mempersiapkan pakaian ganti untuk gadis itu. Sementara pelayan lainnya membawa beberapa pakaian ganti dari kamar yang semula akan ditempati Qeen.“Elliot bahkan memberikan jubah yang sama persis seperti jubah kerajaan Gerian.” Ujar Ilvy dengan nada geli setelah mereka tinggal berdua di kamar itu.Qeen berdiri di dekat jendela, memperhatikan prajurit di bawah sana yang berjalan mengelilingi kastil. “Ini akan melebihi ekspektasimu, Ilvy.” Ujarnya kemudian, t
“Selamat datang di bungker!” Suara Elliot Harridan terdengar lantang di belakang mereka. Suaranya terdengar senang dan penuh kebanggaan.Ilvy melihat ruangan itu terang oleh cahaya jingga. Bungker itu dua atau tiga kali lebih luas dari lapangan serbaguna di Camsart. Dinding-dindingnya terbuat dari batu keras dan tinggi bungker lebih dari enam meter. Langit-langit bungker itu memiliki cerobong yang dibawahnya para pekerja sedang melelehkan besi untuk membuat bermacam-macam senjata—pedang, tombak, trisula, anak panah, dan proyektil trebuchet. Danina membalikkan badannya sekilas, menatap Ilvy dengan sebelah alis yang naik yang langsung dibalasnya dengan seringaian.Di ujung bungker, mereka bisa melihat banyak trebuchet yang berbaris dengan rapi. Ilvy menghitung dalam hati dan jumlahnya dua puluh lima trebuchet. Gunungan pedang dan juga trisula dikumpulkan di sisi yang lain, dan di dekat mereka, anak panah dan busur di letakkan
Elliot Harridan telah menunjukkan kepada mereka letak pangkalan militer pribadinya. Tepat di atas kastil, mendekati puncak bukit tertinggi di perbukitan Piroz, dibalik lebatnya hutan dan banyaknya cerita mistis tentang bukit itu—Elliot membangun sebuah kekuatan besar yang bisa meluluhlantakkan Gerian. Semua orang berdecak kagum, termasuk dirinya. Pria tanpa satu lengan yang duduk di sebelahnya ini adalah singa tidur yang bersiap untuk kembali mengaum.Tak menunggu basa-basi, Danina langsung berpamitan dengan seluruh orang disana, yang secara terang-terangan masih menginginkan keberadaannya disana. Juga kepada paman yang baru pertama kali ditemuinya selama ini—Danina tidak memberikan kesempatan pada dirinya sendiri untuk tinggal.Danina memacu kudanya sekencang mungkin, meninggalkan kastil setelah pelukan canggung dari Raja Uther. Masih ada hal yang ingin diselesaikannya di hutan Camsart, sementara waktu untuk menyerang semakin dekat.Di sebelahnya, I
Dagan berusaha membuka jari-jari Danina yang mencengkeram erat rambut Loretta tetapi dengan cepat ditepisnya tangan pria itu. Tubuhnya bergetar karena marah. Racauan Loretta membuat kepalanya panas. Dirinya bahkan membayangkan betapa takut ayahnya dan Nareef saat Raja Liam memenggal kepala mereka. “Lepaskan dia, Dan!” pinta Dagan setengah memohon. Suara Dagan yang berbisik terdengar menusuk telinganya. Siapa yang akan memaafkan seseorang yang mengantarkan nyawa orang lain ke penjagalan? Danina bukan orang suci. Dia tak sudi memaafkan Loretta. Gadis itu memang biang masalah! Benar kata ibunya, seharusnya dia tidak terlalu dekat dengan Loretta. Dagan mencekal lengannya ketika Danina menarik Loretta ke lantai. Dengan cepat dia mendorong bahu pria itu hingga mundur beberapa langkah. Tidak membuang kesempatan, ia membuka pintu kamar Loretta dan menemukan tiga orang yang sedang berbincang di tengah ruangan di depan pintu. Seketika pembicaraan terhen
Ia menyibak selimutnya, turun dari ranjang dan membuka jendela yang berada tak jauh darinya. Langit masih gelap, udara masih terasa begitu dingin. Dengan cepat ia menarik jubahnya yang tersampir di kepala ranjang dan mengenakannya—menghalau dinginnya udara menjelang pagi yang masuk dengan mudah melewati jendela yang ia buka. Ia menyandarkan tubuhnya pada dinding di bawah jendela itu. Kedua tangannya menumpu di kusen jendela, dengan kepala yang terbaring di atas kedua tangan. Matanya menatap ke halaman samping rumahnya yang masih gelap gulita, ditemani bunyi kepak burung hantu yang terdengar jelas di dahan pohon yang berdiri tak jauh dari batas halamannya. Samar, ia mencium bau bunga lavender yang mekar di halaman. Bercampur dengan bau bunga mawar dan bunga-bunga lainnya yang ia tak ketahui namanya. Meskipun pelayannya menjelaskan hingga mulut berbusa tentang nama-nama bunga, ia tetap tidak bisa mengingat nama-nama itu. Satu kunang-kunang mendekat kearahnya. Tak l
Ilvy tak pernah merasa sesedih dan sebahagia ini. Baginya, ini pertama kalinya ia merasakan perasaan campur aduk seperti itu. Ia bisa tertawa dan menangis bersamaan. Disudut hatinya, batinnya merasa terkoyak sekaligus lega. Luka di tubuhnya terasa seperti sebuah kekalahan dan kemenangan. Singgasana yang ia duduki terasa begitu menakjubkan tetapi menakutkan. Sempat terbersit dihatinya untuk melepaskan segalanya. Hidup bahagia dengan makhluk yang mencintainya—tapi saat ini, pada momen seperti ini—iblis didalam hatinya membutuhkan sebuah kepuasan yang berbeda. Kepuasaan saat dirinya melenyapkan pemilik sah takhta terakhir. Ilvy melihat dua pedang yang dipegang kedua tangannya. Satu miliknya, satu lagi milik sepupunya. Ia melemparkan pedang itu hingga bunyi besi yang beradu dengan lantai terdengar nyaring di ruangan itu. Ruangan yang meskipun diisi banyak manusia tetapi terasa sunyi dan menyedihkan. Toh karena semua manusia disana telah menjadi mayat. Bahkan dia
“Bantu Jenderal Otto di pintu masuk timur. Aku akan masuk bersama Danina!” Qeen menggeleng cepat. Mata kelam itu menatapnya dengan skeptis. “Aku tidak akan terluka.” Ujarnya tanpa menunggu. Ilvy tidak membutuhkan persetujuan Qeen. Itu perintah untuk sang Effrayante dan harus dituruti. Dia membawa sepertiga pasukan ke gerbang depan istana, menyerang secara terbuka. Menyongsong jebakan yang mungkin saja telah dipasang oleh ayahnya. “Masih ada waktu untuk mundur, Dan.” Teriaknya di atas kuda kepada sepupunya. Danina tidak menatapnya. Gadis itu menatap lurus ke depan dengan mata yang berkilat penuh dengan tekad. Ilvy tahu gadis itu sedang menjangkau penyebab dirinya yatim piatu. Dan gadis itu tidak akan mundur meskipun pasukan Gerian jauh lebih banyak dari pasukan yang mereka bawa saat ini. “Kau bisa mundur jika terlalu sedih melihat kematian kedua orang tuamu.” Ilvy memutar matanya, dia kembali menatap ke depan. “Tidak.” Ilvy tidak akan pernah mundur. Mere
Istana jauh lebih megah dari bayangannya. Awalnya dia hanya membayangkan bahwa istana Gerian hanya sebesar lapangan kumpul dikalikan sepuluh. Tapi dia salah. Istana itu jauh lebih besar dari yang dia bayangkan. Ada banyak bangunan yang terpisah di istana dibawah sana, dengan kubah-kubah kecil di setiap bangunan itu. Tetapi kubah-kubah itu tidak sebesar bangunan yang berdiri di bagian tengah lingkungan Istana Gerian. Kubah besar terlihat berkilau dari tempatnya berdiri di dalam hutan—membuatnya bertanya-tanya mengapa Ilvy ingin menghancurkan posisi ayahnya yang tinggal di tempat yang pantas disebut surga itu, membuat posisi gadis itu juga ikut terancam.Tembok tinggi yang menjulang membuat batasan dengan jalanan yang melingkari istana Gerian dan juga tempat-tempat mewah lainnya di luar tembok. Danina mengasumsikan jika tempat-tempat cantik itu adalah rumah-rumah bangsawan yang menyebut dirinya sebagai Brosnean.Kuda di belakangnya meringkik, bersahut-sahutan. Kuda
Ilvy membuka kamar Danina dengan perlahan, mendapati gadis itu sedang memeluk ibunya yang menangis tersedu. Dia tahu, wanita itu tengah melepaskan putrinya untuk pergi ke medan perang, dengan kemungkinan tidak pulang untuk selamanya. Tapi baik Ilvy maupun dua orang yang sedang berpelukan itu menyadari, bahwa apapun konsekuensinya, kudeta ini tetap harus dilaksanakan.Pulang dengan nyawa, atau pulang tanpa nyawa—tak ada jalan untuk kembali.Melihat Danina yang memeluk ibunya dengan erat membuat hatinya terasa nyeri. Dia tidak pernah mendapatkan perlakuan seperti itu dari ibu kandungnya sendiri—penuh kasih sayang dan cinta. Kegilaan ibunya membuat dirinya hanya mendapat perhatian dari pengasuhnya—yang hanya memeluknya karena takut kepala terpisah dari badan.Ilvy mengetuk pintu kamar itu perlahan, membuat dua orang yang sedang menangis itu terdiam untuk beberapa saat, lalu menoleh menatapnya. “Sudah saatnya.” Bisik Ilvy kemudian. Dani
Cinta hanya akan menyakiti. Sekuat apapun dia memuja gadis itu, tetap saja pada akhirnya dia akan terluka. Awalnya hanya luka memar, berganti menjadi luka gores. Luka itu terus disentuh dengan tangan-tangan halus tetapi menyakitkan, menjadikan luka gores itu berganti menjadi luka sayatan yang menganga. Lama luka itu dibiarkan saja, tidak dipedulikan dan hanya dianggap angin lalu. Luka itu mulai membusuk dan bernanah. Tak lama, area luka itu mulai membesar, menjangkau seluruh tempat hingga tak ada yang tersisa.Luka itu berada di hatinya. Membuat hatinya membusuk dan berbau bangkai. Kini hatinya telah hilang karena luka itu. Menjadikannya manusia yang penuh dengan kebencian, dendam, dan kemarahan. Tak ada yang bisa menyembuhkan luka hatinya hingga membuatnya menjadi monster.Di kepalanya, ada beribu bisikan yang terus terdengar hingga membuat telinganya berdenging sepanjang hari. Dia kadang-kadang tidak bisa membedakan suara bisikan di kepalanya dengan suara orang yang
Ilvy terus memperhatikan drama di depannya dalam diam. Menurutnya malam ini adalah malam yang paling menarik selama dia menghabiskan banyak waktu di tengah hutan Camsart ini. Malam dimana semua orang murka karena kehilangan dua orang yang menjadi tonggak berdirinya klan Camsart.Nareef dan Nefsnan.Ayahnya begitu pintar melenyapkan dua orang yang perkataannya selalu dituruti oleh anggota Camsart lainnya.Raja Liam mendapatkan dua tangkapan pada satu umpan yang dipasangnya.Ilvy mengulum senyumnya ketika melihat betapa keruhnya situasi saat ini. Kudeta yang kini berada di depan mata, goyahnya klan Camsart karena kematian sang Alfa dan penasehatnya, dan kini dirinya melihat kebencian anggota Camsart kepada Effrayante, kaum yang selama ini melindungi mereka.Atau… kaum yang selama ini memelihara para Camsarian.Teriakan di depannya tidak pernah terputus. Bahkan, intensitasnya semakin menjadi. Ilvy bahkan harus mundur hingga ke tepi lapan
Dagan berusaha membuka jari-jari Danina yang mencengkeram erat rambut Loretta tetapi dengan cepat ditepisnya tangan pria itu. Tubuhnya bergetar karena marah. Racauan Loretta membuat kepalanya panas. Dirinya bahkan membayangkan betapa takut ayahnya dan Nareef saat Raja Liam memenggal kepala mereka. “Lepaskan dia, Dan!” pinta Dagan setengah memohon. Suara Dagan yang berbisik terdengar menusuk telinganya. Siapa yang akan memaafkan seseorang yang mengantarkan nyawa orang lain ke penjagalan? Danina bukan orang suci. Dia tak sudi memaafkan Loretta. Gadis itu memang biang masalah! Benar kata ibunya, seharusnya dia tidak terlalu dekat dengan Loretta. Dagan mencekal lengannya ketika Danina menarik Loretta ke lantai. Dengan cepat dia mendorong bahu pria itu hingga mundur beberapa langkah. Tidak membuang kesempatan, ia membuka pintu kamar Loretta dan menemukan tiga orang yang sedang berbincang di tengah ruangan di depan pintu. Seketika pembicaraan terhen
Elliot Harridan telah menunjukkan kepada mereka letak pangkalan militer pribadinya. Tepat di atas kastil, mendekati puncak bukit tertinggi di perbukitan Piroz, dibalik lebatnya hutan dan banyaknya cerita mistis tentang bukit itu—Elliot membangun sebuah kekuatan besar yang bisa meluluhlantakkan Gerian. Semua orang berdecak kagum, termasuk dirinya. Pria tanpa satu lengan yang duduk di sebelahnya ini adalah singa tidur yang bersiap untuk kembali mengaum.Tak menunggu basa-basi, Danina langsung berpamitan dengan seluruh orang disana, yang secara terang-terangan masih menginginkan keberadaannya disana. Juga kepada paman yang baru pertama kali ditemuinya selama ini—Danina tidak memberikan kesempatan pada dirinya sendiri untuk tinggal.Danina memacu kudanya sekencang mungkin, meninggalkan kastil setelah pelukan canggung dari Raja Uther. Masih ada hal yang ingin diselesaikannya di hutan Camsart, sementara waktu untuk menyerang semakin dekat.Di sebelahnya, I