Bab 3
Gadis itu berdecak sebal. Dia benar-benar marah pada dirinya sendiri. Gara-gara tadi malam begadang nonton drakor untuk menghibur diri pasca sang mommy yang meminta dirinya menikah dengan daddy Regan, akhirnya ia justru terlambat bangun.
Gadis berumur dua puluh tahun itu mandi dengan terburu-buru, lantas mengenakan pakaian dan berdandan seadanya. Bahkan ia hanya mengikat rambutnya saja, memperlihatkan lehernya yang jenjang. Setelah itu menyambar tas dan ponsel.
Untung saja semua bahan kuliah hari ini sudah dia masukkan ke dalam tas, termasuk tugas yang diberikan oleh si dosen killer Bapak Pramono Atmaja, dosen berumur empat puluh lima tahun itu tidak pernah mentolerir siapapun yang terlambat datang dan lalai mengumpulkan tugas.
Salwa keluar dari kamarnya kemudian menutup pintu rapat-rapat, lantas menapaki anak tangga dan akhirnya sampai ke ruang makan.
"Pagi, Mom. Pagi, Dad." Dia menyapa dengan sedikit ragu.
Biasanya dia begitu riang jika bertemu dengan mommy dan daddynya, tetapi sekarang ia merasakan mommy dan daddynya menatapnya secara berbeda, tidak sama seperti sebelumnya.
"Selamat pagi, Salwa," balas Airin. "Duduk, Nak. Sarapan dulu."
"Pagi juga, Little Girl," sambung Regan.
"Daddy..." rengek Salwa. Dia berusaha menormalkan sikapnya. "Aku bukan little girl. Umurku sudah dua puluh tahun."
Sontak Airin tertawa.
"Iya, kamu sudah besar, Sayang. Daddy kamu aja yang menganggap kamu seperti anak kecil." Sudut matanya melirik tajam suaminya dan membuat laki-laki itu membeku.
Salwa menarik kursi kemudian duduk berhadapan dengan Mommy dan Daddynya. Dia mengambil roti lalu mengolesinya dengan selai lantas memakannya cepat-cepat.
"Makan pelan-pelan, Nak. Nanti tersedak, loh," tegur Airin memperhatikan kelakuan putrinya.
"Maaf, Mom, hari ini kuliah pagi dan aku hampir telat. Sebentar lagi masuk kuliah," Gadis itu menatap arlojinya dengan gelisah.
Bukan cuma gelisah lantaran dia sudah hampir telat masuk ke kampus, tetapi entah kenapa untuk sekarang Salwa merasa enggan bertemu muka apalagi berlama-lama dengan daddynya sendiri.
"Iya, tapi makanlah dengan benar," tegur Airin. Dia menyerahkan segelas susu untuk putrinya.
"Aku bukan gadis kecil lagi yang butuh susu, Mom," gerutu Salwa.
Sebenarnya dia sangat senang jika mommy dan daddynya sangat memanjakannya bagaikan anak kecil. Namun, percakapan tadi malam itu, ah .... Tanpa sadar Salwa memijat kepalanya.
"Tidak apa-apa, kamu memang gadis kecilnya, Daddy," sahut Regan menengahi.
"Daddy ...." rengek Salwa lagi-lagi bermaksud untuk protes. Namun, sedetik kemudian dia segera ingat satu hal.
"Aku berangkat duluan ya, Daddy, Mommy, takut telat. Salwa bangkit dari tempat duduknya, kemudian bergegas melangkah keluar.
Kedua orang tua angkatnya itu saling pandang sesaat setelah menatap sosok putrinya yang menghilang di balik pintu ruang makan.
"Tunggu apa lagi, sekarang antar Salwa ke kampus. Ini adalah tugas pertama untukmu," tegas Airin.
"Sayang..." Regan menatap wajah istrinya. Dia akan melancarkan protes, tapi suara istrinya seperti sebuah ultimatum.
"Tidak ada tapi-tapian, Sayang. Antarkan calon istrimu ke kampus."
"Calon istri?" Regan membelalak.
Airin menangkup tangan suaminya.
"Demi aku, Sayang. Antarkan Salwa ke kampus. Dekatilah gadis itu. Dia memang putrimu. Tetapi dia juga sekaligus calon istrimu."
Wajah Airin yang terlihat memelas membuat laki-laki berusia tiga puluh tujuh tahun itu hanya bisa menghela nafas, kemudian memutuskan untuk berdiri. Lagi-lagi dia harus mengalah.
"Baiklah, sekarang aku berangkat ya. Nanti setelah dari kampus, aku langsung ke kantor. Kalau Armand menghubungi, bilang kalau aku sudah jalan."
"Ya, pasti akan kulakukan." Senyum Airin teramat manis.
*****
Lelaki tampan itu berlari kecil sembari menjinjing tas kerjanya. Sesampainya di halaman, Regan mendapati gadis itu baru saja naik ke motor dan bersiap-siap untuk pergi.
"Biar Daddy yang antar kamu, Little Girl." Lelaki itu mendekat. Sebelah tangannya memberi isyarat kepada Salwa untuk turun dari motor dan mengikutinya menuju mobil.
Salwa berdecak sebal. Hari ini benar-benar penuh drama. Dia melirik arlojinya dengan hati gelisah.
"Daddy, kenapa antar Salwa? Aku mau naik motor saja, lebih cepat."
"Dijamin naik mobil pasti lebih cepat," bantah Regan tak mau kalah.
"Mana bisa, Daddy? Daddy seperti tidak tahu saja kemacetan ibu kota? Jalanan menuju kampus Salwa itu langganan macet!"
"Kalau kamu telat, nanti Daddy yang tanggung jawab."
Regan sudah tak mau lagi berdebat dengan putrinya. Laki-laki itu segera menghidupkan mesin dan sedetik kemudian mobil sudah bergerak meninggalkan halaman rumah mewah itu dan mulai membelah jalanan.
Gadis itu terdiam. Sungguh aneh kelakuan daddynya hari ini. Tumben, daddynya yang super sibuk itu meluangkan waktu mengantarnya ke kampus? Apakah ini ada kaitannya dengan tadi malam, percakapannya dengan mommy Airin?
Selama ini dia lebih dekat dengan Mommy Airinnya. Daddy Regan memang baik, tetapi nyaris tak ada waktu untuk mereka bersama. Lelaki itu pekerja keras dan dia sangat loyal terhadap perusahaan yang dirintisnya selama belasan tahun, sejak dia masih bujangan.
Lantas, apakah ini bentuk usaha daddy Regan untuk mendekatinya sebagai seorang laki-laki kepada perempuan? Apakah daddynya sudah menyetujui perjodohan ini? Membayangkan hal itu membuat tubuhnya bergidik.
Mobil terus meluncur dengan tenang dan seperti perkiraan Salwa, mereka pun terjebak macet. Gadis itu berkali-kali lirik arlojinya.
"Ya Tuhan ... fix, aku terlambat!" gerutu Salwa dalam hati. Dia melirik laki-laki itu yang tampak fokus menatap ke depan yang penuh dengan kendaraan bermotor.
"Tuh, kan apa kata Salwa tadi. Daddy keras kepala sih!" omel gadis itu. "Sekarang Salwa sudah telat nih."
"Iya, tapi kita harus tetap ke kampus." Tiba-tiba lelaki itu merasa bersalah. Diam-diam dia merutuki ulah Airin yang memaksanya untuk mengantar gadis itu. Tak sabar Regan memegang stirnya kuat-kuat.
"Daddy akan tanggung jawab. Kita akan tetap ke kampus dan menghadap kepada dosen kamu. Siapa dosen kamu? tanya Regan.
"Pak Pramono Atmaja," jawabnya singkat
"Ohh..." Bibir yang sedikit tebal dan seksi itu membentuk huruf O. "Nanti Daddy akan selesaikan masalah ini. Kamu tenang saja."
"Menyelesaikan masalah dengan uang Daddy?" ejek Salwa.
"Salwa nggak mau. Aku ingin kuliah secara fair," protes Salwa.
"Hari gini, mana ada urusan yang bisa diselesaikan tanpa mengeluarkan uang, Little Girl?" Lelaki itu hanya tersenyum melihat raut wajah Salwa yang cemberut.
Salwa terdiam membiarkan dirinya kembali menginjak pedal gas saat kemacetan mulai terurai. Dia kembali melirik arlojinya. Waktu menunjukkan lebih dari pukul delapan pagi. Gadis itu tersenyum kecut.
*****
Regan tersenyum puas saat dia berhasil menyelesaikan masalah Salwa.Ya, tentu saja dia bisa menyelesaikannya dengan mudah, karena dia memiliki uang.
Sekarang mereka tengah dalam perjalanan menuju kantor pusat RVM group. Perjalanan dari kampus ke kantor memakan waktu sekitar dua puluh menit.
"Gara-gara ulah Daddy, sekarang aku malah bolos kuliah." Gadis itu tak henti-hentinya mengomel.
"Tapi kan posisi kamu aman. Kamu nggak bakalan kena sanksi kok."
"Iya. Itu karena Daddy yang menyelesaikannya." Salwa tak habis pikir.
"Sekali-sekali lah, Little Girl. Itu karena Daddy merasa bertanggung jawab sudah membuat kamu telat. Namun, lain kali kamu harus datang tepat waktu."
Meskipun hari ini dia menyelesaikan masalah kuliah Salwa dengan cara yang salah, tetapi lelaki itu tetap menanamkan sikap disiplin kepada my sweet little girl. Dia tidak mau Salwa bermalas-malasan karena merasa dirinya akan dengan mudah menyelesaikan urusan kuliahnya.
"Tentu saja jadi aku akan tetap belajar keras, Daddy."
"Good .... Gadis yang pintar!" puji Regan.
Mobil Regan sudah memasuki halaman gedung RVM grup. Regan memarkir mobilnya di basement, kemudian dia membukakan pintu mobil untuk Salwa.
Salwa mengekor langkah daddynya yang cepat dan membuat gadis itu berlari kecil demi mengimbanginya. Mereka masuk ke dalam lift.
"Sekarang apa yang bisa aku bantu untuk Daddy?" tawar Salwa.
Dia merasa tidak enak. Seharusnya hari ini dia kuliah, tetapi ujung-ujungnya malah berakhir di ruangan daddynya. Bukan cuma itu. Sekarang dia tidak bisa lagi kabur dari daddy Regan yang dengan sikap anehnya membuat Salwa merasa jengah.
"Untuk saat ini, belum ada yang bisa kamu lakukan, Little Girl. Sebaiknya kamu istirahat saja di sana." Lelaki itu menunjuk sebuah pintu di sudut ruangan.
Pintu yang menghubungkan antara ruang kerja dengan sebuah ruangan lain, tempat dia biasa beristirahat setelah lelah bekerja.
Gadis itu menurut. Salwa segera membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan, lalu menutupnya kembali. Regan tersenyum puas. Dia pun duduk di kursi kebesarannya.
Baru saja dia akan menyalakan laptop, sebuah nada dering sontak mengalihkan perhatiannya.
Bab 4"Kamu di mana, Sayang? Kamu beneran mengantar Salwa ke kampus, kan?" Dua pertanyaan sekaligus meluncur manis dari mulut Airin saat panggilannya tersambung."Aku sedang di kantor, Sayang. Iya, tenang saja. Aku sudah antar Salwa ke kampus. Kamu sendiri di mana?" Regan balik bertanya."Ini sedang di butik," jawabnya."Di butik? Memangnya kamu kuat nyetir sendiri? Kamu masih sakit!" Suara Regan mendadak gusar."Aku tidak sakit. Aku hanya kelelahan dan sekarang kondisiku baik-baik saja," bantahnya."Kamu itu sakit, Sayang! Kita ke dokter nanti sore ya. Aku akan bikin janji temu dengan dokter terbaik di kota ini," bujuk Regan."Nggak usah, Sayang. Aku tidak sakit kok!""Kamu ini kenapa? Kenapa setiap kali aku menawarimu untuk memeriksakan kondisi kesehatan mu ke dokter, kamu selalu me
Bab 5"Rin ....""Jangan menangis, Lia. Aku sudah cukup bahagia dengan keadaanku sekarang. Aku mendapatkan seorang laki-laki yang tampan, suami yang menyayangiku dan gadis cantik yang menjadi putriku. Hidupku sudah sempurna, Lia. Jikalau tidak lama lagi aku akan di panggil Tuhan, aku akan pergi dengan damai, karena semua yang kuinginkan di dunia ini sudah terpenuhi.""Kamu terlalu pesimis, Rin. Betapa banyak orang yang menderita penyakit sepertimu, bahkan yang sudah divonis dokter akan meninggal pun masih tetap hidup. Tak ada yang bisa menerka usia seseorang.""Mungkin," sahut Airin. "Namun, sebelum semua kemungkinan itu terjadi, aku harus mempersiapkan segala sesuatunya. Aku tidak mau meninggal dunia dalam keadaan tidak siap.""Aku akan membantumu." Natalia buru-buru mengangguk. Dia tahu tak punya pilihan selain mengabulkan kehendak sahabatnya ini. "Nanti aku a
Bab 6Airin tengah berada di mobil. Sepasang matanya lurus menatap ke depan, mengemudikan kendaraannya dengan tenang. Sikapnya demikian dewasa, nyaris tanpa emosi yang berlebihan. Pembawaan kalem itulah yang dulu membuat seorang Regan Abbasy Ghaisan jatuh cinta kepadanya, meskipun jarak usia keduanya cukup jauh, yaitu delapan tahun.Perempuan ini begitu lincah meliuk-liuk menembus kemacetan jalanan ibukota. Sesekali ia memperlambat laju mobilnya. Dia benar-benar sabar meskipun di jam-jam sibuk seperti ini, segala macam umpatan bisa saja terlontar dari mulut para pengemudi yang tidak sabar ingin segera sampai ke tempat tujuan.Di salah satu perempatan lampu merah, dia menurunkan kaca mobil kemudian melempar pelan uang pecahan dua puluh ribu rupiah kepada seorang pengamen yang tengah bernyanyi di pinggir jalan. Airin hanya tersenyum saat ekor matanya menangkap sang pengamen kecil y
Bab 7"Bagaimana pendapat Daddy?" balas Salwa. Dia menatap daddynya dengan berani."Kalau pendapat kamu sendiri?" Regan balik bertanya sembari terus mengamati perubahan yang mungkin terjadi di wajah little girl-nya itu."Aku tidak tahu." Salwa menggeleng. "Bagiku Daddy adalah ayahku, karena aku tidak tahu siapa orang tuaku yang sebenarnya." Gadis itu menunduk. Ujung jarinya diketuk-ketuk kan ke meja demi meredam kegelisahan di dalam hati.Melihat itu, Regan meraih tangan Salwa dan menciumnya dengan lembut. "Kita sudah dipertemukan oleh takdir. Daddy hanya ingin tahu bagaimana pandanganmu terhadap Daddy. Seperti halnya dirimu, Daddy pun merasakan hal yang sama. Kamu adalah Little Girl-nya Daddy.""Tapi bagaimana dengan mommy?" Matanya menyorot sendu. "Aku paling tidak bisa melihat mommy bersedih apalagi sampai menangis. Mommy bisa meminta apa
Bab 8"Sebaiknya kita makan dulu, Mom," saran Regan yang segera berusaha menetralkan keadaan. Lelaki itu melirik Salwa sekilas.Dia tahu, mommynya akan segera kembali melontarkan kata-kata yang serupa sebelumnya, menyayangkan keputusannya untuk menikahi Airin, wanita single parent yang dianggapnya kaum rendahan."Ada Salwa disini. Jangan sampai little girl-ku mendengar kata-kata menyakitkan dari oma-nya." Regan bermonolog. "Dia masih terlalu kecil untuk mengetahui masalah orang tuanya."Airin dan Salwa saling berpandangan. Mereka kompak menarik kursi, kemudian duduk berdampingan. Sementara Regan duduk bersama ibunya.Airin mengambil piring kemudian mengisinya dengan nasi lalu menyerahkan kepada Regan"Mommy mau aku ambilkan nasi juga?" tawar Airin."Tidak usah! Aku bisa mengambil nasi sendiri." Perempuan tua itu menggeleng.
Bab 9"Salwa yang akan meneruskannya, Mom. Sekarang dia kuliah di fakultas ekonomi dan dia yang akan menjadi pewarisku kelak!""Dia hanya anak angkat!" teriak Jihan. "Dia bukan darah dagingmu!""Dia adalah putriku, my sweet little girl!" Kali ini Regan benar-benar berteriak. "Dia pantas menjadi pewarisku dan aku yang akan turun langsung untuk membimbingnya mengelola RVM grup!""Putri dari negeri antah berantah yang sejak lahir berada di panti asuhan dan tidak tahu siapa orang tua kandungnya, itu yang kamu anggap sebagai putrimu?" Jihan balas berteriak."Cukup, Mom! Seperti apa pun latar belakang Salwa, nyatanya putriku tumbuh menjadi gadis yang cantik dan cerdas. Aku pikir orang tua kandungnya adalah orang-orang yang hebat, meskipun putaran nasib telah membuatnya sejak lahir harus berada di panti asuhan sebelum bertemu diriku!" Suara Airin bergetar. Dia merasakan dadanya mulai sesak. Sebuah lengan kokoh sontak menopang tubuh itu, membuatnya tegak berdiri."Sudahlah, Sayang. Kamu terli
Bab 10Regan mengangkat tubuh Airin dengan lembut, menggendongnya seperti bayi.Airin menyembunyikan wajahnya di dada bidang itu. "Kamu tidak pernah menyakitiku, walaupun hanya sekali. Kamu selalu membuatku bahagia," bisiknya.Mendengar bisikan istrinya, hatinya pedih. Dia tahu, Airin sakit. Akan tetapi, sakit apa? Entah bagaimana lagi caranya untuk membuat sang istri mau memeriksa kesehatannya ke dokter. Airin selalu berkilah, bahwa ia hanya kelelahan.Tak terasa dia sudah sampai di kamar mandi. Lelaki itu meletakkan tubuh istrinya hati-hati di bathtub, kemudian menyalakan kran air, menuang essence oil untuk memberikan aroma harum pada air di dalam bathtub.Regan membiarkan istrinya berendam, sementara dia sendiri keluar dari kamar mandi, melangkah menuju pembaringan. Seperti biasa, dia langsung menarik sprei yang sudah kotor, menaruhnya di keranjang cucian dan mengga
Bab 11"Aku peringatkan padamu, Airin, didik anak angkatmu itu dengan benar. Jangan sampai dia merepotkan Regan!"Kini hanya mereka berdua di ruang makan. Airin dan Jihan. Wanita tua itu memindai wajah menantu yang tak pernah dianggapnya dengan ekspresi wajah yang tak begitu jelas.Sementara itu, Airin begitu tenang meski berada di bawah intimidasi ibu mertuanya. Dia sudah terlampau terbiasa menghadapi situasi seperti ini."Regan hanya sesekali mengantarkan Salwa ke kampus, Mom, tidak setiap hari. Kebetulan saja mungkin jadwalnya hari ini tidak terlalu pagi. Mom tidak perlu membesar-besarkan masalah," jelas Airin."Tetap saja itu merepotkan, Airin. Mom tidak mau anak kesayangan Mom direpotkan oleh anak angkatmu yang tak tak jelas asal-usulnya itu.""Asal-usulnya jelas, Mom. Dia anak manusia, bukan anak kucing." Airin mencoba mencairkan suasana, meski wajah tua itu tetap dingin menatapnya."Dia memiliki orang tua kandung, hanya saja kita tidak tahu ...""Tapi siapa? Memangnya kamu perna
Bab 123Sebidang lahan kosong yang sedianya akan digunakan untuk pembangunan gedung RVM group yang baru telah disulap menjadi sebuah tempat pesta yang megah. Tenda-tenda yang besar dipasang untuk menampung semua tamu yang datang. Tempat ini digunakan untuk tempat jamuan para tamu undangan, mengingat seluruh karyawan RVM group diundang tidak terkecuali, mulai dari jajaran direksi sampai OB dan petugas cleaning service.Sementara itu, di sebuah aula dalam gedung RVM group juga dihias dengan indah. Di salah satu bidang dinding terdapat kursi pelaminan yang juga sangat megah. Namun, orang-orang yang bisa masuk ke dalam aula ini hanya kalangan terbatas. Ini atas permintaan Regan sendiri yang tidak mau istrinya kelelahan, lantaran terlalu banyak menerima ucapan selamat dari para tamu.Hal yang paling membahagiakan bagi Salwa adalah kehadiran Bunda Khadijah, ustadzah Aisyah dan ustadz Rasyid. Pada acara siang ini, Salwa mengenakan gaun pengantin muslimah bernuansa biru muda. Perempuan muda i
Bab 122Sejak pintu pesawat terbuka dan ia mengiringi langkah sang suami menuruni tangga pesawat, dada Salwa serasa diketok-ketok. Dia terus memegangi lengan sang suami yang kondisinya justru berbanding terbalik dengannya.Lelaki yang kini berumur 38 tahun itu nampak seperti pahlawan yang baru saja memenangkan peperangan. Tubuhnya yang tegap begitu bangga menggendong putri mungilnya. Wajahnya tak henti menebarkan senyum kepada orang-orang yang menyambut kedatangannya malam ini."Selamat datang kembali di Indonesia, putriku!" Axel berlari kecil, tak sabar menghampiri putrinya. Lelaki itu memeluk putrinya sekilas kemudian mengambil alih baby Airin yang masih berada dalam gendongan Regan.Kedua lelaki itu saling menggenggam dan tersenyum, seolah tak memperdulikan apa yang tengah Salwa rasakan saat ini. "Para lelaki memang tidak peka," keluhnya pada diri sendiri. Namun ia tetap tersenyum dan larut dengan kebahagiaan orang-orang di sekelilingnya.Meskipun Salwa ingin menolak, tetapi ia t
Bab 121"Hmmm... Menurutmu?" sahut Jihan tenang. Dia tahu persis putranya sangat cerdas dalam membaca situasi."Selalu ada timbal balik di setiap apa yang kita lakukan," jawab Jihan diplomatis."Tuh, akhirnya Mommy sudah mengakui, kan?" Lelaki itu tersenyum kecut. "Apa yang Mommy inginkan dari kami?""Pulanglah ke Indonesia, bawa Istri dan anakmu dan tinggallah bersama Mommy. Itu yang Mommy inginkan. Sangat sederhana, kan?" pinta Jihan tenang."Apa yang sedang Mommy rencanakan?" Regan berusaha mengikis jarak diantara mereka dengan menatap lekat wajah tua itu."Tidak ada. Aku hanya ingin menimbang cucuku. Kamu tahu, kan? Itu impian terbesar Mommy sejak dulu.""Aku tahu, tapi Salwa bukanlah istri yang Mommy inginkan." Regan menghela nafas."Kamu mencurigai Mommy?" Spontan Jihan membentak."Regan, dengarlah. Mommy tidak pernah mempersoalkan dari rahim siapa anakmu lahir. Bahkan bukankah Mommy dulu pernah mengusulkan agar kamu menitipkan benihmu di rahim ibu pengganti?" Perempuan tua itu
Bab 120Sebuah tepukan akhirnya yang menyadarkan Axel dari keseriusannya berbicara dengan sang menantu."Daddy? Kok Daddy ada disini?" Lelaki itu seketika berdiri melihat sosok tubuh tua yang menatapnya penuh kehangatan. Axel memeluk tubuh itu dan tuan Gunadi pun menggenggam erat tangannya.Regan pun tak kalah terkejut saat mendapati sesosok perempuan tua yang berdiri di samping tuan Gunadi."Mana cucu Mommy? Pasti cantik, kan?" Perempuan tua itu tersenyum hangat, senyum yang tak pernah Jihan perlihatkan kepada Regan selama belasan tahun."Cucu Mommy perempuan dan sangat cantik. Dia sangat mirip denganku," ucap Regan terbata-bata. Dadanya seketika berdesir."Benarkah? Bolehkah Mommy melihatnya?" tanya Jihan.Meskipun di benak keduanya masih penuh dengan berbagai pertanyaan, akhirnya Regan mengizinkan tuan Gunadi dan mommy Jihan masuk ke dalam ruangan tempat Salwa dan bayinya dirawat.Salwa sangat terkejut. Dia tak menyangka kedua orang itu akan sampai ke sini. Dia hanya bisa diam dan
Bab 119Ini adalah kali pertama Regan menghadapi persalinan seorang wanita. Tak terbayangkan, betapa risaunya ia melihat Salwa yang merintih kesakitan. Sembari tetap menggenggam tangan perempuan itu demi untuk menenangkannya, Regan terus berdoa dalam hati.Beberapa orang berpakaian putih di sekelilingnya mulai melakukan tugasnya masing-masing. Dokter Emily yang spesialis kandungan mulai mengecek kondisi Salwa."Nyonya Salwa sudah pembukaan empat, Tuan. Kami akan segera memberikan suntik epidural untuk menawar rasa sakitnya," ujar seorang dokter perempuan yang bertugas melakukan anestesi.Regan mengangguk. Dia membantu istrinya untuk duduk. Lagi-lagi Salwa meringis.Sembari dokter perempuan itu melaksanakan tugasnya, Regan menatap istri kecilnya prihatin. Sebenarnya dia tidak rela Salwa harus melahirkan semuda ini, di saat perempuan itu belum siap menerima rasa sakit di dalam proses persalinan. Secanggih apapun metodenya, tetap saja yang namanya melahirkan itu rasanya sakit.Setelah me
Bab 118Salwa bermaksud membantah, tapi jemari lelaki itu begitu ketat menempel di bibirnya. "Jangan memikirkan apapun. Semua perubahan yang terjadi pada keluarga kita, nyatanya tak akan bisa merubah apapun. Kita akan tetap bersama seperti ini." Lelaki itu melepaskan tangannya lalu mengecup bibir ranum itu berkali-kali. "Daddy sengaja membawa kamu ke Amerika, bukan karena takut dengan gangguan mereka, tetapi agar kamu merasa lebih rileks dan merasakan suasana baru. Lagi pula sudah lama sekali Daddy tidak mengunjungi keluarga di sana dan juga makam daddy Richard. Nanti kita ziarah ya. Daddy ingin mengenalkan istri dan calon anak daddy, meskipun yang kita datangi hanya sekedar makamnya saja." Salwa melihat lelaki di sampingnya seperti menahan sebuah kesedihan. Seperti ada luka lama yang disembunyikan oleh suaminya. Salwa tak tahu seperti apa luka itu. Salwa merasa ada rahasia yang ia sendiri tidak tahu meskipun belasan tahun mereka bersama. "Aku akan senang sekali bisa berkenalan den
Bab 117"Aku pasti akan selalu merindukanmu, Pa," sahut Salwa sendu. Baru saja ia merasa mendapatkan kasih sayang seorang ayah, kini tiba-tiba dia harus terpisah lagi. Namun Salwa percaya semua ini demi kebaikannya. Salwa percaya penuh kepada suami dewasanya itu.Axel kian erat memeluk tubuh Salwa. Rasanya dia tak ingin terpisah dari putri kesayangannya. Namun dia sudah menitipkan Salwa kepada Regan dan ia percaya lelaki itu pasti mampu membimbing putrinya untuk menjadi perempuan yang lebih baik lagi.Salwa menyusut air matanya dengan ujung jilbab. Sementara Axel beralih memeluk Regan, menepuk bahu lelaki itu. Keduanya berpegangan tangan erat, seolah saling menguatkan satu sama lain."Sebelum kalian meninggalkan negara ini, ada seseorang yang ingin bertemu dengan kalian." Axel memutar tubuhnya, lantas melambaikan tangan kepada seorang lelaki tua yang sejak tadi berdiri agak jauh dari tempat itu. Namun mata elangnya tak lepas mengamati semua keharuan yang terjadi."Tuan Gunadi?" Salwa
Bab 116"Lihatlah, ini akibat dari kecerobohanmu!" Tuan Gunadi melemparkan sebuah map berwarna coklat tua kepada istrinya."Daddy!" teriak Chintya. Dia melihat tatapan daddynya yang sangat menyeramkan. Tidak pernah tuan Gunadi sampai semarah ini kepada mereka berdua."Apa ini, Dad?" tanya nyonya Elina sembari membuka map yang diberikan oleh suaminya."Kamu lihat dan baca isi map itu," tunjuk tuan Gunadi kepada map yang berada di pangkuan istrinya.Lelaki itu mendaratkan tubuhnya duduk di hadapan sang istri sementara Nyonya Elina mulai membuka dan membaca isi map tersebut."Tidak mungkin! Ini tidak mungkin terjadi. Ini pasti hanya prank, kan?" Nyonya Elina histeris setelah beberapa menit kemudian. Dia melempar map itu ke sembarang arah."Prank, katamu?? Kau pikir ini sebuah lelucon?! RVM group membatalkan kerjasama dan kita mengalami kerugian besar!" Mata itu berkilat-kilat di terpa cahaya lampu yang tergantung di langit ruangan."Tetapi kenapa mereka sampai melakukan hal tidak profesi
Bab 115"Bagaimana bisa? Kenapa sampai gagal? Gimana sih kerja kalian?" teriak nyonya Elina kepada seseorang di seberang telepon. Perempuan tua itu bahkan menghentakkan kakinya ke lantai. Dia sangat kesal, karena rencananya untuk menyingkirkan Salwa dan juga janin di dalam kandungannya gagal total. Ini adalah kegagalan yang pertama kali setelah sebelumnya 20 tahun yang lalu, setelah itu 3 tahun kemudian, dia berhasil menyingkirkan Winnie dan Airin dari kehidupan Axel, putranya. "Gagal?" sembur Chintya. Perempuan itu seketika mendongakkan wajah. Perhatiannya teralih kepada sang mommy setelah sebelumnya ia sibuk memainkan ponsel. "Mereka gagal, Chintya. Kakakmu sendiri yang langsung turun tangan menyelamatkan anak haramnya itu!" Akhirnya nyonya Elina kembali duduk di sisi putrinya. Wajahnya memerah dalam amarah. Nyonya Elina memijat pelipisnya. Dia tidak habis pikir, kenapa kali ini dia gagal? Orang-orangnya adalah orang yang terlatih dalam urusan culik menculik. Mereka bergerak sang