Bab 4
"Kamu di mana, Sayang? Kamu beneran mengantar Salwa ke kampus, kan?" Dua pertanyaan sekaligus meluncur manis dari mulut Airin saat panggilannya tersambung.
"Aku sedang di kantor, Sayang. Iya, tenang saja. Aku sudah antar Salwa ke kampus. Kamu sendiri di mana?" Regan balik bertanya.
"Ini sedang di butik," jawabnya.
"Di butik? Memangnya kamu kuat nyetir sendiri? Kamu masih sakit!" Suara Regan mendadak gusar.
"Aku tidak sakit. Aku hanya kelelahan dan sekarang kondisiku baik-baik saja," bantahnya.
"Kamu itu sakit, Sayang! Kita ke dokter nanti sore ya. Aku akan bikin janji temu dengan dokter terbaik di kota ini," bujuk Regan.
"Nggak usah, Sayang. Aku tidak sakit kok!"
"Kamu ini kenapa? Kenapa setiap kali aku menawarimu untuk memeriksakan kondisi kesehatan mu ke dokter, kamu selalu menolak? Jujur dengan dengan aku, Airin! Aku ini suamimu, bukan orang lain."
Nada suara suaminya terdengar agak kasar. Jika sudah begitu, biasanya Airin akan mengalah. Namun, untuk kali ini tidak. Dia tak akan pernah mau pergi ke dokter.
"Aku sudah jujur, Regan. Harus berapa kali lagi aku katakan kalau aku cuma kelelahan! Aku cuma butuh istirahat dan vitamin. Sudah, cuma itu aja," tandasnya kesal.
Terdengar di seberang sana suara desah yang lelah. Airin pun mendesah. Dia tahu sudah berdosa menyembunyikan semua ini dari suaminya, tetapi dia tidak punya pilihan.
"Aku tidak sakit, Regan. Jangan pernah kamu menghawatirkan keadaanku. Lebih baik kamu fokus dengan pekerjaanmu. Hari ini apa jadwal kamu?" Perempuan itu mulai mengalihkan pembicaraan.
"Nanti siang aku dan Armand akan meeting di sebuah restoran. Ada proyek besar dengan salah satu rumah produksi. Satu judul sinetron akan tayang di beberapa TV swasta yang berada di bawah naungan RVM group."
"Oh, good!" puji Airin. "Kamu memang hebat. Kamu semangat ya? Nanti sore pulang pukul berapa? Biar ketika kamu pulang, aku sudah ada di rumah." Airin tersenyum manis.
"Aku tidak tahu jam berapa pulangnya, tapi aku harap kamu bisa menjaga kesehatan. Pastikan ketika aku datang, kamu sudah dalam kondisi sehat. Bisa?
"Bisa. Akan kulakukan untukmu." Airin mengibaskan rambutnya. "Jangan lupa jemput Salwa di kampus ya."
"Salwa sekarang bersamaku di kantor, Sayang. Setelah menyerahkan tugasnya di kampus, dia ikut ke kantor," beritahu Regan.
"Oh, ya? Good job," ujar Airin. Sepasang mata dewasa itu menyorotkan cahaya kehangatan. "Selamat bersenang-senang ya."
*****
Meskipun wajahnya masih sedikit pucat, tetapi tak mengurangi paras cantik wanita dewasa berumur empat puluh lima tahun itu. Kulit tubuhnya yang bersih terawat dan wajah yang sepenuhnya menggambarkan definisi kecantikan paripurna seorang perempuan. Bibir yang tipis merah merona, hidung mancung, alis yang begitu bagus dan rambut yang indah. Namun, Airin lebih memilih mengikat rambutnya, sehingga memperlihatkan leher jenjangnya yang mulus.
Wanita itu mengenakan dress kerja berwarna coklat krem dengan panjang selutut. Sepintas penampilan Airin mirip seorang wanita di awal usia tiga puluh tahunan. Bahkan tak ada yang menyangka dibalik penampilan yang sempurna itu, tubuhnya tengah digerogoti oleh penyakit yang mematikan dan dokter telah memvonis usianya sudah tidak lama lagi.
Perempuan itu tersenyum kecut saat menyadari di tangannya masih tergenggam ponsel. Barusan dia menghubungi suaminya dan memperoleh informasi kalau Salwa bersama Regan di kantor RVM group.
"Semoga kalian tambah dekat dan akhirnya berjodoh. Sepeninggalnya diriku kelak, aku harap kalian berdua hidup berbahagia."
Airin menyandarkan tubuh rampingnya di kursi kebesarannya, menatap kosong seisi ruangan. Perempuan itu teringat masa-masa sulit dalam hidupnya, tujuh belas tahun yang lalu. Dia hamil dan kekasihnya tak mau bertanggung jawab. Dia di culik oleh keluarga kekasihnya, di buat tak sadarkan diri. Begitu sadar, dia menemukan dirinya tengah terbaring di ruang perawatan rumah sakit dengan kondisi lemah dan sakit, dengan sebuah cek di dekat bantalnya.
Airin hanya bisa meratapi buah hatinya yang diambil paksa, bahkan sebelum sempat dia terlahir dan menikmati udara dunia ini. Airin memang salah, karena bersedia menyerahkan kehormatannya kepada seorang lelaki sebelum resmi menikah. Namun, dia tidak menyangka kekasihnya bukan cuma tidak mau bertanggung jawab tetapi tega membunuh calon darah dagingnya sendiri!
Entah kenapa, saat itu dia memilih berhenti di pinggir jalan. Perhatiannya lantas tertuju kepada seorang balita cantik yang tengah berlarian di teras bangunan panti. Airin memutuskan turun dari mobil, melangkah mendekat, menyapa dan berkenalan dengan pemilik wajah imut itu dan segera masuk ke dalam.
Hari itu juga, pemilik wajah imut itu resmi berada di dalam pengasuhannya. Airin yang baru saja kehilangan calon buah hatinya merasa sangat bahagia dan menganggap anaknya sudah terlahir kembali. Mereka hidup berdua di sebuah rumah sederhana. Sementara itu, Airin memulai merintis usaha Salwa Collection.
Perempuan itu masih saja menatap seisi ruangan. Ruangan kerja mungil berwarna krem. Beberapa rak berisi dengan buku buku dan majalah mode serta kain-kain yang disampirkan di salah satu bidang dinding kian melekatkan identitasnya sebagai seorang fashion designer.
"Rin ...."
Saking asyiknya melamun, dia tidak sadar kalau Natalia sudah berdiri di hadapannya. Perempuan itu mengerjapkan matanya berkali-kali.
"Ada apa?" Perempuan dewasa seumuran dengan Airin itu menarik kursi dan duduk di hadapan Airin
Airin menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak apa-apa, Natalia. Aku baru selesai menerima telepon dari Regan." Dia mengulas senyumnya.
"Terus, dia bilang apa?" tanya Natalia.
"Biasa. Dia mengulangi keinginannya, mengajakku memeriksakan diri ke dokter," sahut Airin.
Natalia meraih tangan sahabat sekaligus atasannya itu, digenggamnya dengan hangat.
"Kenapa kamu tidak jujur saja, Rin? Terbuka itu jelas lebih baik daripada kamu merasakan penderitaan seorang diri," saran Natalia. Dia benar-benar prihatin dengan kondisi sahabatnya.
"Aku tidak sampai hati, Lia. Regan dan Salwa adalah orang-orang yang kucintai. Regan adalah lelaki yang menerima aku apa adanya, meskipun dengan kondisiku yang ...." Airin tercekat. Dia tak sanggup melanjutkan kata-katanya.
Natalia menggenggam tangan Airin semakin erat.
"Sudahlah, Rin. Tidak usah lagi mengucapkan kata-kata itu," sergahnya. "Namun, sebagai sahabat aku berharap kamu bisa jujur kepada suami atau putrimu. Terus terang ya, Rin, aku merasa bersalah karena ikut menyembunyikan penyakitmu ini. Hidupku selalu dibayang-bayangi oleh amukan Regan, andai saja dia mengetahui suatu saat nanti aku turut serta ...." Natalia menggantung ucapannya.
"Tak perlu takut, aku yang akan bertanggung jawab. Kamu akan baik-baik saja, Lia."
"Tapi kamu tidak baik-baik saja, Rin! Bagaimana kalau kamu melakukan pengobatan saja? Kemoterapi, misalnya?" usul Natalia. Matanya menyorot penuh harapan.
"Percuma, Lia. Semua sudah terlambat. Saat ini waktuku sudah tidak banyak. Biarkan saja begini. Aku cukup mengkonsumsi obat-obatan penahan nyeri saja," tolaknya.
"Tak ada manusia yang bisa memprediksi umur seseorang, Rin, meski itu dokter sekalipun!"
"Aku tahu itu, Lia. Namun, firasatku mengatakan kalau waktunya memang tidak lama lagi." Airin menggelengkan kepala. "Oh, ya, nanti kamu hubungi notaris. Aku ingin menulis surat wasiat. Butik dan semua usahaku akan aku wariskan kepada Salwa."
Setitik air bening jatuh dipipi Natalia.
Bab 5"Rin ....""Jangan menangis, Lia. Aku sudah cukup bahagia dengan keadaanku sekarang. Aku mendapatkan seorang laki-laki yang tampan, suami yang menyayangiku dan gadis cantik yang menjadi putriku. Hidupku sudah sempurna, Lia. Jikalau tidak lama lagi aku akan di panggil Tuhan, aku akan pergi dengan damai, karena semua yang kuinginkan di dunia ini sudah terpenuhi.""Kamu terlalu pesimis, Rin. Betapa banyak orang yang menderita penyakit sepertimu, bahkan yang sudah divonis dokter akan meninggal pun masih tetap hidup. Tak ada yang bisa menerka usia seseorang.""Mungkin," sahut Airin. "Namun, sebelum semua kemungkinan itu terjadi, aku harus mempersiapkan segala sesuatunya. Aku tidak mau meninggal dunia dalam keadaan tidak siap.""Aku akan membantumu." Natalia buru-buru mengangguk. Dia tahu tak punya pilihan selain mengabulkan kehendak sahabatnya ini. "Nanti aku a
Bab 6Airin tengah berada di mobil. Sepasang matanya lurus menatap ke depan, mengemudikan kendaraannya dengan tenang. Sikapnya demikian dewasa, nyaris tanpa emosi yang berlebihan. Pembawaan kalem itulah yang dulu membuat seorang Regan Abbasy Ghaisan jatuh cinta kepadanya, meskipun jarak usia keduanya cukup jauh, yaitu delapan tahun.Perempuan ini begitu lincah meliuk-liuk menembus kemacetan jalanan ibukota. Sesekali ia memperlambat laju mobilnya. Dia benar-benar sabar meskipun di jam-jam sibuk seperti ini, segala macam umpatan bisa saja terlontar dari mulut para pengemudi yang tidak sabar ingin segera sampai ke tempat tujuan.Di salah satu perempatan lampu merah, dia menurunkan kaca mobil kemudian melempar pelan uang pecahan dua puluh ribu rupiah kepada seorang pengamen yang tengah bernyanyi di pinggir jalan. Airin hanya tersenyum saat ekor matanya menangkap sang pengamen kecil y
Bab 7"Bagaimana pendapat Daddy?" balas Salwa. Dia menatap daddynya dengan berani."Kalau pendapat kamu sendiri?" Regan balik bertanya sembari terus mengamati perubahan yang mungkin terjadi di wajah little girl-nya itu."Aku tidak tahu." Salwa menggeleng. "Bagiku Daddy adalah ayahku, karena aku tidak tahu siapa orang tuaku yang sebenarnya." Gadis itu menunduk. Ujung jarinya diketuk-ketuk kan ke meja demi meredam kegelisahan di dalam hati.Melihat itu, Regan meraih tangan Salwa dan menciumnya dengan lembut. "Kita sudah dipertemukan oleh takdir. Daddy hanya ingin tahu bagaimana pandanganmu terhadap Daddy. Seperti halnya dirimu, Daddy pun merasakan hal yang sama. Kamu adalah Little Girl-nya Daddy.""Tapi bagaimana dengan mommy?" Matanya menyorot sendu. "Aku paling tidak bisa melihat mommy bersedih apalagi sampai menangis. Mommy bisa meminta apa
Bab 8"Sebaiknya kita makan dulu, Mom," saran Regan yang segera berusaha menetralkan keadaan. Lelaki itu melirik Salwa sekilas.Dia tahu, mommynya akan segera kembali melontarkan kata-kata yang serupa sebelumnya, menyayangkan keputusannya untuk menikahi Airin, wanita single parent yang dianggapnya kaum rendahan."Ada Salwa disini. Jangan sampai little girl-ku mendengar kata-kata menyakitkan dari oma-nya." Regan bermonolog. "Dia masih terlalu kecil untuk mengetahui masalah orang tuanya."Airin dan Salwa saling berpandangan. Mereka kompak menarik kursi, kemudian duduk berdampingan. Sementara Regan duduk bersama ibunya.Airin mengambil piring kemudian mengisinya dengan nasi lalu menyerahkan kepada Regan"Mommy mau aku ambilkan nasi juga?" tawar Airin."Tidak usah! Aku bisa mengambil nasi sendiri." Perempuan tua itu menggeleng.
Bab 9"Salwa yang akan meneruskannya, Mom. Sekarang dia kuliah di fakultas ekonomi dan dia yang akan menjadi pewarisku kelak!""Dia hanya anak angkat!" teriak Jihan. "Dia bukan darah dagingmu!""Dia adalah putriku, my sweet little girl!" Kali ini Regan benar-benar berteriak. "Dia pantas menjadi pewarisku dan aku yang akan turun langsung untuk membimbingnya mengelola RVM grup!""Putri dari negeri antah berantah yang sejak lahir berada di panti asuhan dan tidak tahu siapa orang tua kandungnya, itu yang kamu anggap sebagai putrimu?" Jihan balas berteriak."Cukup, Mom! Seperti apa pun latar belakang Salwa, nyatanya putriku tumbuh menjadi gadis yang cantik dan cerdas. Aku pikir orang tua kandungnya adalah orang-orang yang hebat, meskipun putaran nasib telah membuatnya sejak lahir harus berada di panti asuhan sebelum bertemu diriku!" Suara Airin bergetar. Dia merasakan dadanya mulai sesak. Sebuah lengan kokoh sontak menopang tubuh itu, membuatnya tegak berdiri."Sudahlah, Sayang. Kamu terli
Bab 10Regan mengangkat tubuh Airin dengan lembut, menggendongnya seperti bayi.Airin menyembunyikan wajahnya di dada bidang itu. "Kamu tidak pernah menyakitiku, walaupun hanya sekali. Kamu selalu membuatku bahagia," bisiknya.Mendengar bisikan istrinya, hatinya pedih. Dia tahu, Airin sakit. Akan tetapi, sakit apa? Entah bagaimana lagi caranya untuk membuat sang istri mau memeriksa kesehatannya ke dokter. Airin selalu berkilah, bahwa ia hanya kelelahan.Tak terasa dia sudah sampai di kamar mandi. Lelaki itu meletakkan tubuh istrinya hati-hati di bathtub, kemudian menyalakan kran air, menuang essence oil untuk memberikan aroma harum pada air di dalam bathtub.Regan membiarkan istrinya berendam, sementara dia sendiri keluar dari kamar mandi, melangkah menuju pembaringan. Seperti biasa, dia langsung menarik sprei yang sudah kotor, menaruhnya di keranjang cucian dan mengga
Bab 11"Aku peringatkan padamu, Airin, didik anak angkatmu itu dengan benar. Jangan sampai dia merepotkan Regan!"Kini hanya mereka berdua di ruang makan. Airin dan Jihan. Wanita tua itu memindai wajah menantu yang tak pernah dianggapnya dengan ekspresi wajah yang tak begitu jelas.Sementara itu, Airin begitu tenang meski berada di bawah intimidasi ibu mertuanya. Dia sudah terlampau terbiasa menghadapi situasi seperti ini."Regan hanya sesekali mengantarkan Salwa ke kampus, Mom, tidak setiap hari. Kebetulan saja mungkin jadwalnya hari ini tidak terlalu pagi. Mom tidak perlu membesar-besarkan masalah," jelas Airin."Tetap saja itu merepotkan, Airin. Mom tidak mau anak kesayangan Mom direpotkan oleh anak angkatmu yang tak tak jelas asal-usulnya itu.""Asal-usulnya jelas, Mom. Dia anak manusia, bukan anak kucing." Airin mencoba mencairkan suasana, meski wajah tua itu tetap dingin menatapnya."Dia memiliki orang tua kandung, hanya saja kita tidak tahu ...""Tapi siapa? Memangnya kamu perna
Bab 12Airin memacu mobilnya dengan kecepatan sedang, bahkan dia cenderung memperlambat laju mobilnya. Sebenarnya tidak ada hal penting yang membuat ia harus mendatangi butiknya sepagi ini, tetapi dia hanya ingin lepas dari mom Jihan. Wanita tua itu sungguh sangat menyebalkan. Airin tak ingin membuat masalah, lebih baik ia mengalah dan menghindar.Sesekali dia memijat keningnya. Bukan karena pusing, tetapi pikirannya dipenuhi oleh kemelut hubungannya dengan Regan.Anak hanyalah alasan Jihan untuk memisahkannya dengan Regan. Wanita tua itu tahu benar kartu as-nya. Sejak peristiwa aborsi paksa tujuh belas tahun yang lewat, rahim Airin memang bermasalah.Bukan sekali dua kali ibu mertuanya menyodorkan perempuan lain untuk dinikahi oleh lelaki yang bergelar suaminya itu, tetapi Regan selalu menolak. Terakhir Jihan meminta agar Regan mau melakukan program bayi tabung dan menitipkan ben
Bab 123Sebidang lahan kosong yang sedianya akan digunakan untuk pembangunan gedung RVM group yang baru telah disulap menjadi sebuah tempat pesta yang megah. Tenda-tenda yang besar dipasang untuk menampung semua tamu yang datang. Tempat ini digunakan untuk tempat jamuan para tamu undangan, mengingat seluruh karyawan RVM group diundang tidak terkecuali, mulai dari jajaran direksi sampai OB dan petugas cleaning service.Sementara itu, di sebuah aula dalam gedung RVM group juga dihias dengan indah. Di salah satu bidang dinding terdapat kursi pelaminan yang juga sangat megah. Namun, orang-orang yang bisa masuk ke dalam aula ini hanya kalangan terbatas. Ini atas permintaan Regan sendiri yang tidak mau istrinya kelelahan, lantaran terlalu banyak menerima ucapan selamat dari para tamu.Hal yang paling membahagiakan bagi Salwa adalah kehadiran Bunda Khadijah, ustadzah Aisyah dan ustadz Rasyid. Pada acara siang ini, Salwa mengenakan gaun pengantin muslimah bernuansa biru muda. Perempuan muda i
Bab 122Sejak pintu pesawat terbuka dan ia mengiringi langkah sang suami menuruni tangga pesawat, dada Salwa serasa diketok-ketok. Dia terus memegangi lengan sang suami yang kondisinya justru berbanding terbalik dengannya.Lelaki yang kini berumur 38 tahun itu nampak seperti pahlawan yang baru saja memenangkan peperangan. Tubuhnya yang tegap begitu bangga menggendong putri mungilnya. Wajahnya tak henti menebarkan senyum kepada orang-orang yang menyambut kedatangannya malam ini."Selamat datang kembali di Indonesia, putriku!" Axel berlari kecil, tak sabar menghampiri putrinya. Lelaki itu memeluk putrinya sekilas kemudian mengambil alih baby Airin yang masih berada dalam gendongan Regan.Kedua lelaki itu saling menggenggam dan tersenyum, seolah tak memperdulikan apa yang tengah Salwa rasakan saat ini. "Para lelaki memang tidak peka," keluhnya pada diri sendiri. Namun ia tetap tersenyum dan larut dengan kebahagiaan orang-orang di sekelilingnya.Meskipun Salwa ingin menolak, tetapi ia t
Bab 121"Hmmm... Menurutmu?" sahut Jihan tenang. Dia tahu persis putranya sangat cerdas dalam membaca situasi."Selalu ada timbal balik di setiap apa yang kita lakukan," jawab Jihan diplomatis."Tuh, akhirnya Mommy sudah mengakui, kan?" Lelaki itu tersenyum kecut. "Apa yang Mommy inginkan dari kami?""Pulanglah ke Indonesia, bawa Istri dan anakmu dan tinggallah bersama Mommy. Itu yang Mommy inginkan. Sangat sederhana, kan?" pinta Jihan tenang."Apa yang sedang Mommy rencanakan?" Regan berusaha mengikis jarak diantara mereka dengan menatap lekat wajah tua itu."Tidak ada. Aku hanya ingin menimbang cucuku. Kamu tahu, kan? Itu impian terbesar Mommy sejak dulu.""Aku tahu, tapi Salwa bukanlah istri yang Mommy inginkan." Regan menghela nafas."Kamu mencurigai Mommy?" Spontan Jihan membentak."Regan, dengarlah. Mommy tidak pernah mempersoalkan dari rahim siapa anakmu lahir. Bahkan bukankah Mommy dulu pernah mengusulkan agar kamu menitipkan benihmu di rahim ibu pengganti?" Perempuan tua itu
Bab 120Sebuah tepukan akhirnya yang menyadarkan Axel dari keseriusannya berbicara dengan sang menantu."Daddy? Kok Daddy ada disini?" Lelaki itu seketika berdiri melihat sosok tubuh tua yang menatapnya penuh kehangatan. Axel memeluk tubuh itu dan tuan Gunadi pun menggenggam erat tangannya.Regan pun tak kalah terkejut saat mendapati sesosok perempuan tua yang berdiri di samping tuan Gunadi."Mana cucu Mommy? Pasti cantik, kan?" Perempuan tua itu tersenyum hangat, senyum yang tak pernah Jihan perlihatkan kepada Regan selama belasan tahun."Cucu Mommy perempuan dan sangat cantik. Dia sangat mirip denganku," ucap Regan terbata-bata. Dadanya seketika berdesir."Benarkah? Bolehkah Mommy melihatnya?" tanya Jihan.Meskipun di benak keduanya masih penuh dengan berbagai pertanyaan, akhirnya Regan mengizinkan tuan Gunadi dan mommy Jihan masuk ke dalam ruangan tempat Salwa dan bayinya dirawat.Salwa sangat terkejut. Dia tak menyangka kedua orang itu akan sampai ke sini. Dia hanya bisa diam dan
Bab 119Ini adalah kali pertama Regan menghadapi persalinan seorang wanita. Tak terbayangkan, betapa risaunya ia melihat Salwa yang merintih kesakitan. Sembari tetap menggenggam tangan perempuan itu demi untuk menenangkannya, Regan terus berdoa dalam hati.Beberapa orang berpakaian putih di sekelilingnya mulai melakukan tugasnya masing-masing. Dokter Emily yang spesialis kandungan mulai mengecek kondisi Salwa."Nyonya Salwa sudah pembukaan empat, Tuan. Kami akan segera memberikan suntik epidural untuk menawar rasa sakitnya," ujar seorang dokter perempuan yang bertugas melakukan anestesi.Regan mengangguk. Dia membantu istrinya untuk duduk. Lagi-lagi Salwa meringis.Sembari dokter perempuan itu melaksanakan tugasnya, Regan menatap istri kecilnya prihatin. Sebenarnya dia tidak rela Salwa harus melahirkan semuda ini, di saat perempuan itu belum siap menerima rasa sakit di dalam proses persalinan. Secanggih apapun metodenya, tetap saja yang namanya melahirkan itu rasanya sakit.Setelah me
Bab 118Salwa bermaksud membantah, tapi jemari lelaki itu begitu ketat menempel di bibirnya. "Jangan memikirkan apapun. Semua perubahan yang terjadi pada keluarga kita, nyatanya tak akan bisa merubah apapun. Kita akan tetap bersama seperti ini." Lelaki itu melepaskan tangannya lalu mengecup bibir ranum itu berkali-kali. "Daddy sengaja membawa kamu ke Amerika, bukan karena takut dengan gangguan mereka, tetapi agar kamu merasa lebih rileks dan merasakan suasana baru. Lagi pula sudah lama sekali Daddy tidak mengunjungi keluarga di sana dan juga makam daddy Richard. Nanti kita ziarah ya. Daddy ingin mengenalkan istri dan calon anak daddy, meskipun yang kita datangi hanya sekedar makamnya saja." Salwa melihat lelaki di sampingnya seperti menahan sebuah kesedihan. Seperti ada luka lama yang disembunyikan oleh suaminya. Salwa tak tahu seperti apa luka itu. Salwa merasa ada rahasia yang ia sendiri tidak tahu meskipun belasan tahun mereka bersama. "Aku akan senang sekali bisa berkenalan den
Bab 117"Aku pasti akan selalu merindukanmu, Pa," sahut Salwa sendu. Baru saja ia merasa mendapatkan kasih sayang seorang ayah, kini tiba-tiba dia harus terpisah lagi. Namun Salwa percaya semua ini demi kebaikannya. Salwa percaya penuh kepada suami dewasanya itu.Axel kian erat memeluk tubuh Salwa. Rasanya dia tak ingin terpisah dari putri kesayangannya. Namun dia sudah menitipkan Salwa kepada Regan dan ia percaya lelaki itu pasti mampu membimbing putrinya untuk menjadi perempuan yang lebih baik lagi.Salwa menyusut air matanya dengan ujung jilbab. Sementara Axel beralih memeluk Regan, menepuk bahu lelaki itu. Keduanya berpegangan tangan erat, seolah saling menguatkan satu sama lain."Sebelum kalian meninggalkan negara ini, ada seseorang yang ingin bertemu dengan kalian." Axel memutar tubuhnya, lantas melambaikan tangan kepada seorang lelaki tua yang sejak tadi berdiri agak jauh dari tempat itu. Namun mata elangnya tak lepas mengamati semua keharuan yang terjadi."Tuan Gunadi?" Salwa
Bab 116"Lihatlah, ini akibat dari kecerobohanmu!" Tuan Gunadi melemparkan sebuah map berwarna coklat tua kepada istrinya."Daddy!" teriak Chintya. Dia melihat tatapan daddynya yang sangat menyeramkan. Tidak pernah tuan Gunadi sampai semarah ini kepada mereka berdua."Apa ini, Dad?" tanya nyonya Elina sembari membuka map yang diberikan oleh suaminya."Kamu lihat dan baca isi map itu," tunjuk tuan Gunadi kepada map yang berada di pangkuan istrinya.Lelaki itu mendaratkan tubuhnya duduk di hadapan sang istri sementara Nyonya Elina mulai membuka dan membaca isi map tersebut."Tidak mungkin! Ini tidak mungkin terjadi. Ini pasti hanya prank, kan?" Nyonya Elina histeris setelah beberapa menit kemudian. Dia melempar map itu ke sembarang arah."Prank, katamu?? Kau pikir ini sebuah lelucon?! RVM group membatalkan kerjasama dan kita mengalami kerugian besar!" Mata itu berkilat-kilat di terpa cahaya lampu yang tergantung di langit ruangan."Tetapi kenapa mereka sampai melakukan hal tidak profesi
Bab 115"Bagaimana bisa? Kenapa sampai gagal? Gimana sih kerja kalian?" teriak nyonya Elina kepada seseorang di seberang telepon. Perempuan tua itu bahkan menghentakkan kakinya ke lantai. Dia sangat kesal, karena rencananya untuk menyingkirkan Salwa dan juga janin di dalam kandungannya gagal total. Ini adalah kegagalan yang pertama kali setelah sebelumnya 20 tahun yang lalu, setelah itu 3 tahun kemudian, dia berhasil menyingkirkan Winnie dan Airin dari kehidupan Axel, putranya. "Gagal?" sembur Chintya. Perempuan itu seketika mendongakkan wajah. Perhatiannya teralih kepada sang mommy setelah sebelumnya ia sibuk memainkan ponsel. "Mereka gagal, Chintya. Kakakmu sendiri yang langsung turun tangan menyelamatkan anak haramnya itu!" Akhirnya nyonya Elina kembali duduk di sisi putrinya. Wajahnya memerah dalam amarah. Nyonya Elina memijat pelipisnya. Dia tidak habis pikir, kenapa kali ini dia gagal? Orang-orangnya adalah orang yang terlatih dalam urusan culik menculik. Mereka bergerak sang