"Apa yang kau lakukan di sini, Ed?" tegur Ernest, sembari melewati pintu pembatas menuju ke area kolam renang. Tatapan matanya yang tajam lurus menatap sang keponakan yang tengah menikmati whisky dari gelasnya. "Bill tidak memperbolehkanku datang ke Klubnya setelah aku menyeretnya dari ranjang," sahut Edward. Kemudian tersenyum kecut pada sang Paman yang telah berdiri di hadapannya. Ernest memperhatikan keponakannya itu dengan netranya, "Jadi ... kau ke sini bukan untuk bertemu Rosi?" selidiknya. "Apa dia baik-baik saja?" sosor Edward balik bertanya. "Hmm, tadi dia sangat baik sebelum mengetahui kau datang." Edward terkekeh pelan, "Apa Paman pikir Rosi merindukanku?" selorohnya. Ernest hampir melayangkan satu pukulan ke wajah Edward, namun ia menahan diri dengan mengepalkan kedua tangannya yang berada di kedua sisi tubuhnya dengan keras. Mengingat bahwa Rosalia tidak suka jika ia bertengkar dengan Edward. Lagipula istri kecilnya itu telah bersumpah padanya, bahwa Rosalia hanya me
"Apa yang terjadi pada Edward, Ernest? Apakah dia masih berada di sekitar kolam renang?" sosor Rosalia cepat, pada Ernest yang masuk ke dalam ruang kerjanya. Di mana ia saat ini sedang mempelajari beberapa materi perkuliahan yang akan ia ambil nanti setelah ia melahirkan. Sambil melangkahkan kakinya ke arah sang istri yang tengah duduk di kursi kerjanya, Ernest pun berkata. "Dia sudah pergi, datang hanya untuk minum, sama sekali tidak bermaksud untuk mengganggumu," ujarnya. Ernest lalu menghentikan langkahnya setibanya ia di samping kursi yang sedang diduduki oleh Rosalia, membalas tatapan sang istri yang tengah menengadah dan menatapnya dengan wajah penasaran. "Hmm, sepertinya aku terlalu paranoid padanya," tambahnya. Kemudian mengangkat tangannya untuk mengusap pucuk kepala Rosalia. "Bagaimana menurutmu?" "Bagaimana, apa?" Rosalia mengerutkan keningnya. "Tentang sikapku pada Edward." Ernest pun memberi Rosalia tatapan yang seolah ingin berkata, "Apakah aku sudah bersikap keterla
"Apa maksud Anda, Tuan Edward?" lontar Lean bingung. Tak mengerti mengapa Edward ingin datang lagi ke apartemennya. Padahal, sebelumnya Edward tidak pernah seperti ini padanya. "Aku ... ingin bicara padamu, Lean Marquise. Sangat tidak enak rasanya berbicara dari balik dinding seperti yang sedang kita lakukan sekarang." Lean berpikir sejenak, kemudian melirik ke arah jam dinding. Menyadari bahwa hari masih di awal malam, ia pun kembali membuka mulutnya. "Apakah Anda ingin mengatakan sesuatu yang sangat penting hingga tidak bisa menundanya sampai besok pagi?" Tiba-tiba suasana berubah hening, hanya suara detik jam dinding yang mengisi kesunyian di ruang tamu apartemen Lean. Dan setelah beberapa menit berlalu ... "Selamat malam, Lean Marquise." Suara Edward kembali terdengar, namun atasannya itu hanya mengucapkan selamat malam pada Lean. Seolah Edward ingin mengakhiri percakapan mereka. "Selamat malam, Tuan Edward," balas Lean, dengan tatapan mata lurus ke arah dinding yang ber
"Sebenarnya apa saja yang kau lakukan selama ini, Lean Marquise?" tukas Edward gusar. Sejujurnya, ia sangat yakin bahwa Lean adalah seorang wanita yang cerdas, tapi jika kecerdasan itu sendiri tidak didukung dengan sosialisasi yang benar, maka akan lahirlah seorang wanita yang terlalu polos yang mudah dimanipulasi oleh orang lain. "Tidak banyak. Aku lebih banyak menghabiskan waktuku di rumah," jawab Lean. Edward mengerutkan keningnya, menurunkan tangannya dan kembali menatap Lean. Memperhatikan wanita itu yang ia tahu bahwa Lean sama sekali tidak sedang berbohong padanya. "Bagaimana sebelumnya? Di saat kau kuliah misalnya. Apa kau sama sekali tidak memiliki seorang Sahabat? Dan, apakah kau juga tidak pernah berhubungan dengan seorang pria?" tanyanya lagi. Lean berpikir sejenak, "Aku punya dua teman wanita. Salah seorang dari mereka tidak melanjutkan kuliahnya karena hamil dan harus menikah dengan Kekasihnya. Dan teman wanitaku yang lain adalah Isla Meadow, dia mencuri Brad da
Kembali ke apartemennya, Edward bergegas mencari ponsel miliknya. Ketika ia menemukannya, ia pun langsung menghubungi Ernest. "Paman? Apa Paman dan Rosi saat ini sedang berada di mansion?" tanyanya, saat suara Ernest terdengar di seberang panggilan. "Hmm, ada apa, Ed?" Suara bernada bariton menyapa indera pendengaran Edward. Namun Edward mencoba untuk mengacuhkannya, bahkan kembali berbicara. "Paman, ada sesuatu yang harus aku bicarakan pada Rosi. Em, tapi Paman jangan salah paham! Paman juga boleh menemani Rosi ketika aku berbicara padanya." Edward lalu diam sejenak, kemudian melanjutkan. "Ini tentang Lean, Paman," ujarnya dengan suara pelan. Takut jika suaranya sampai terdengar hingga ke apartemen Lean. "Tentang calon istrimu?" "Ah, jika itu membuat Paman merasa tenang, anggap saja begitu. Apa aku boleh ke mansion Paman? Nanti akan kujelaskan di sana. Aku ... membutuhkan sedikit bantuan dari Rosi, Paman. Arrghh! Sebaiknya kukatakan saja nanti setelah kita bertemu. Hari ini,
"Dia hanya memiliki dua sahabat, Rosi," celetuk Edward, sembari menatap Rosalia yang reflek melemparkan pandangan ke arah dirinya. "Salah seorang dari sahabatnya telah menipunya, membuat Lean Marquise semakin terkurung di dalam pikiran polosnya. Dan salah seorangnya lagi telah merebut tunangannya. Eve terlalu sibuk, sementara ayahnya ... aku menduga jika Leon Marquess mungkin selalu menekan Lean. Dengan kata lain, tidak ada seorang pun yang pernah mengajarinya tentang cara bersosialisasi dengan baik." Kemudian Edward melanjutkan lagi dengan melontarkan sebuah pertanyaan pada Rosalia, "Bukankah menurutmu apa yang terjadi pada Lean sekarang hampir mirip dengan keadaanmu dulu? Yang membedakanmu dengannya hanyalah, kau mampu menghadapi setiap tekanan." Mendengar semua penjelasan Edward tentang Lean, Rosalia tanpa sadar mengepalkan kedua tangannya dengan keras. Tentu saja ia tahu bagaimana rasanya berada di posisi Lean. Karena ia sendiri pernah mengalami ketidak adilan dari ayahnya yang s
Berselang 30 menit ... Di dalam kamarnya, Ernest mendengus melihat penampilannya melalui kaca cermin, di mana selembar kemeja branded dan celana bahan rapi membalut sekujur tubuhnya yang kekar. "Terlalu rapi," protesnya pada Rosalia yang sedang memperhatikan dirinya. "Oh?" Rosalia mengangkat salah satu alisnya, kemudian menambahkan. "Apa kau ingin aku membawakan dasi dan jasmu juga?" sindirnya. Ernest menyipitkan matanya pada istrinya itu, "Ini hari libur, Baby. Aku ingin berpakaian santai hari ini," sungutnya sebal. "Pakaian santai? Apa maksudmu piyama tidur? Yang selalu kau kenakan di saat weekend? Kau bahkan juga memakainya di Dubai ketika mengajakku makan di restoran!"Mendengar ucapan istrinya itu, Ernest sontak terkekeh pelan. Merasa geli melihat Rosalia yang memajukan bibirnya dua senti ke depan sambil marah-marah padanya. Tapi, ia bisa apa? Ini sudah menjadi kebiasaannya bahkan sebelum ia memimpin Gail Group. Namun, sejak ia mengenal Rosalia, ia sudah sering kali mendapat
"Sepertinya itu kurang sopan, Nyonya Rosi." Lean menggelengkan kepalanya, merasa ragu untuk mengikuti apa yang Rosalia minta darinya. "Kemarilah!" tanpa aba-aba, Rosalia menarik tangan Lean. Membawa wanita itu ke arah sofa. Membuat Lean yang tidak pernah diperlakukan secara akrab sebelumnya, terpaksa menurut sambil mengernyitkan keningnya. Setibanya di depan sofa, Rosalia meminta Lean untuk duduk. Ia turut duduk di samping Lean setelah ia melihat Lean menempatkan bokongnya di atas sofa. "Begini." Rosalia menarik nafas sejenak, baru melanjutkan apa yang ingin ia katakan pada Lean. "Kau dan aku, kita ...." Ia lalu menunjuk ke arah Lean kemudian dirinya, "Sebentar lagi akan menjadi keluarga, jadi ... mengapa kita tidak memulainya dari sekarang? Maksudku, dari segi umur ... aku bisa menjadi Adikmu meski aku menikahi Ernest. Karena itu, mari hapus formalitas itu, oke?" pintanya dengan wajah berdekik sebal. "Keluarga?""Oh, Tuhan." Rosalia memutar bola matanya, "Kau tidak mungkin, 'kan
Sesaat berselang, kecemasan mulai mengisi ruang persalinan. Dokter Nora dan para perawat serta satu Dokter yang menemaninya— tampak sibuk berusaha mengembalikan tanda vital Lean. Tak jauh dari para medis itu, Edward hanya bisa termangu sembari mendekap putra mungilnya. Tatapan matanya yang berkabut terus memperhatikan wajah Lean yang terlihat semakin pucat."Oh, Sayang. Kumohon, jangan tinggalkan kami," bisiknya lirih. Kelopak matanya terasa semakin panas, dan Edward bisa merasakan kalau matanya perlahan-lahan telah mulai berair. Sebelumnya, ia pernah merasakan kehilangan seorang wanita, namun rasanya tidak sesakit apa yang Edward rasakan sekarang.Setelah puluhan menit berlalu dalam ketegangan, tiba-tiba Edward melihat Dokter Nora melemparkan pandangan ke arahnya. Raut wajah wanita itu tampak tegang dan ragu."Jangan katakan!" Edward menggeleng keras, sama sekali tidak ingin mendengar berita buruk yang ingin Dokter Nora sampaikan padanya. "Tuan Edward ... maaf, kami sudah berusaha
Sebelum ia pergi menemui Lean di ruang rawat inap, Edward menarik napas dalam-dalam terlebih dahulu. Baru kemudian memberanikan diri untuk menemui istrinya itu. Sementara Anton menunggunya di luar ruangan. Semula, Edward ingin membawa serta Dokter Nora bersamanya, tetapi menurut Eve— sebaiknya ia menemui Lean sendiri terlebih dahulu. Ketika Edward berada di dalam ruang rawat inap yang Lean tempati, aroma desinfektan yang bercampur pewangi ruangan langsung menyambutnya. Tetapi Edward mengacuhkannya dan justru menatap lurus ke arah sesosok tubuh ringkih yang sedang tertidur di atas ranjang. Edward mendekati ranjang tersebut sambil memberi isyarat pada perawat jaga yang ada di dalam ruangan itu agar tidak mengejutkan istrinya. Perawat itu mengangguk pada Edward dan segera pergi meninggalkan ruangan demi memberi waktu pada Edward. Ia telah melihat pria ini sebelumnya di luar saat Edward berbicara sangat serius pada Eve, karena itu ia membiarkan saja Edward yang kemungkinan adalah suam
Malam masih menyelimuti vilanya, dan suara ombak bergema di telinga Edward, membuat hatinya merasa sedikit lebih tenang. Namun, ketenangan itu segera pudar ketika pikirannya terfokus pada Lean. Rasa cemas terasa mengungkungnya juga tekad yang baru mulai tumbuh dalam dirinya. Tidak ingin terlarut dalam perasaan itu, Edward segera menghubungi Ben. Dan setelah beberapa saat ... “Selamat malam, Tuan Edward. Ben di sini.” Suara Ben yang datar mulai terdengar dari seberang panggilan.“Ben, ada yang ingin kukatakan padamu.” Sebelum melanjutkan kalimatnya, Edward membenarkan posisi duduknya terlebih dahulu. Samar-samar suara gemuruh ombak yang terdengar dari kejauhan, menyapa indera pendengarannya.“Ada apa, Tuan Edward? Apakah ada yang bisa kubantu?” tanya Ben, nada suaranya penuh perhatian.“Begini. Dalam dua hari ke depan, aku ingin pergi ke Zurich. Kau pasti sudah mendengar kalau istriku telah kembali ke kota kelahirannya, 'kan?”“Tuan Ernest baru saja menghubungiku tentang rencana An
Sore hari, pulang dari Gail Mart, Edward meminta pada Anton untuk pergi ke mansion milik kedua orang tuanya. Ada sesuatu yang ingin ia tanyakan pada ayahnya.Dalam perjalanan, dari kursi belakang sedan ia memperhatikan Anton dengan wajah serius. Membuat Anton yang tanpa sengaja melirik kaca spion mobil sontak terkejut."Ada apa, Tuan? Apakah ada sesuatu yang ingin Tuan katakan padaku?" celetuk Anton.Edward mengangguk pelan, "Apa Rosi sudah kembali ke mansion Paman?" tanyanya. "Sudah, Tuan Edward. Nyonya Rosi langsung pulang malam harinya ketika Tuan Ernest datang untuk menjemputnya. Oh ya, Tuan. Hari ini Tuan Ernest juga menghubungiku. Maaf aku lupa memberi tahu Anda. Kata Tuan Ernest, Tuan Ernest mengenal seorang Dokter yang hebat saat berada di Dubai. Dokter itu adalah Dokter keluarga milik Kolega Tuan. Tuan Ernest ada meninggalkan nomor teleponnya padaku, aku sudah menghubungi Dokter itu, Tuan. Dia memiliki cara untuk menyelamatkan Nyonya Lean dan juga bayinya, hanya saja ...." A
Senyum Brad sontak memudar, “Aku hanya ingin kau tahu kalau kau bisa mengandalkanku jika kau membutuhkan sesuatu, tidak lebih. Seperti yang kau katakan tadi, kita sudah berpisah, tetapi apakah aku tidak boleh peduli padamu?”Lean hampir membuka mulut untuk membalas ucapan Brad itu, namun dengan cepat Eve menyentuh tangan Lean lalu menggelengkan kepalanya pada adiknya itu. Setelah itu, ia menoleh pada Brad. “Kau lihat, bukan? Kau tidak seharusnya berada di sini, Brad. Lean sedang dalam keadaan yang sangat rentan. Keberadaanmu justru memperburuk situasi,” cetusnya emosi. Lean merasakan ketegangan yang terus meningkat antara kakaknya dan Brad. Naluri melindungi Eve membuatnya merasa sedikit tertekan, tetapi di sisi lain, ia juga merasa bahwa hanya dirinya yang dapat menentukan keputusan untuk dirinya sendiri.“Eve, tolong! Aku bisa mengurus diriku sendiri,” kata Lean dengan suara yang masih bergetar. Ia kemudian berpaling pada Brad. "Brad, aku menghargai niat baikmu. Tapi seperti yang
Keberangkatan Lean ke Zurich mengubah banyak hal. Sejak Lean memutuskan pergi, rasa cemas dan gelisah tidak pernah lepas dari pikiran Edward. Meskipun ia berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaannya, benak dan hatinya selalu terikat pada sang istri dan kesehatan istrinya itu. Di sisi lain, Lean kini berada di rumah sakit Zurich, berharap ia bisa menemukan cara untuk menjaga bayinya agar tetap aman sekaligus memikirkan dirinya sendiri.Di kota kelahirannya, hari-hari awal Lean dipenuhi dengan rangkaian perawatan medis yang melelahkan. Eve, yang kini telah bahagia dengan kehidupan barunya sebagai istri Luis, berusaha untuk mendampingi sang adik semaksimal mungkin. Ia sering merasa tidak nyaman kala menemukan Lean yang tampak stres dan juga ketakutan menghadapi hal yang tidak pasti. Setiap hari, Eve mencoba mengajak Lean untuk berbincang, berbagi cerita dan memperkuat semangat satu sama lain meski di tengah rasa cemas yang selalu hadir menemani mereka.“Aku tidak tahu bagaimana melakuk
Lean kemudian diam dalam keheningan, mengabaikan tatapan cemas Edward dan juga Leon. Suara bising dari alat medis di ruangan itu seolah mengingatkannya bahwa waktu terus berjalan, sementara ketegangan di antara mereka semakin mencekam. Tangan Lean masih terjepit dalam genggaman Edward, dan rasanya seperti dunia di sekitarnya perlahan menghilang. "Sayang?" Edward mencoba lagi dengan lembut, tetapi Lean sudah menatap keluar jendela, menghindari tatapan matanya. Di dalam hatinya, Lean merasakan pertempuran yang tak berujung. Selama ini ia berusaha dengan sangat keras untuk selalu kuat menghadapi apapun, tetapi saat ini, Lean merasakan ada sesuatu yang menggerogoti keputusannya. Ia bukan hanya menghadapi penyakitnya sendiri, tetapi juga risiko yang bisa merenggut nyawa bayi yang ia cintai."Edward, aku perlu waktu." Akhirnya Lean angkat berbicara. Suaranya terdengar lemah, namun digerakan oleh tekad yang kuat."Sayang, aku hanya ingin kau baik-baik saja." Edward menjelaskan kembali, tet
"Maaf, Nak. Tidak ada yang bisa aku lakukan pada Ibunya ketika dia memaksa untuk melahirkan Lean hingga akhirnya kematian merenggutnya dari kehidupan kami," terang Leon dengan wajah lesu ketika satu jam kemudian ia datang ke rumah sakit setelah Edward menghubunginya tentang kondisi Lean. Edward memperhatikan wajah ayah mertuanya itu yang tampak murung. Sebelumnya, ia pernah berpikir bahwa Leon adalah seorang ayah yang sedikit egois dan pilih kasih terhadap Lean. Namun setelah Leon menjelaskan alasan dari sikapnya selama ini terhadap putrinya itu, Edward baru mengerti jika sebenarnya Leon sedang melindungi Lean dengan caranya sendiri. "Aku ingin dia memiliki seseorang yang sangat peduli padanya. Jadi ketika Tuan Besar meminta Lean untuk menjadi calon istrimu— aku langsung menyetujuinya. Eve pernah bertengkar denganku gara-gara keputusanku itu. Tapi mendengar gosip tentangmu yang beredar di Zurich bahwa kau hanya menyukai satu wanita sepanjang hidupmu, aku pikir kau bisa menyayangi Le
Wilhelm kemudian menjauhi Edward, ia menghubungi seseorang dan berbicara dengan wajah serius. Dari tempatnya berdiri, Edward terus memperhatikan sahabatnya itu. Setelah 15 menit berlalu, Wilhelm tampak memutuskan panggilan telepon dan kembali menghampiri dirinya. "Aku sudah bertanya pada sahabatku yang berada di luar negeri, aku telah memintanya untuk memeriksa apakah keluarganya mengenal seorang Dokter yang sangat berpengalaman tentang masalah kehamilan?" terang Wilhelm. Edward hanya diam, berusaha menanggapi ucapan sahabatnya tadi dengan senyuman yang terasa getir. "Ini akan butuh waktu, sebaiknya aku menemani Lean terlebih dahulu sambil menunggu kabar darimu," ujarnya. Wilhelm mengangguk setuju. "Itu yang sedang kupikirkan. Temanilah dia! Aku tidak ingin lagi melihatnya tampak tertekan seperti beberapa jam yang lalu." Ia lagi-lagi menepuk pundak Edward untuk menunjukkan dukungannya terhadap sahabatnya itu. "Terima kasih, Will." Edward kemudian bergegas pergi usai ia berbicara