Berselang 30 menit ... Di dalam kamarnya, Ernest mendengus melihat penampilannya melalui kaca cermin, di mana selembar kemeja branded dan celana bahan rapi membalut sekujur tubuhnya yang kekar. "Terlalu rapi," protesnya pada Rosalia yang sedang memperhatikan dirinya. "Oh?" Rosalia mengangkat salah satu alisnya, kemudian menambahkan. "Apa kau ingin aku membawakan dasi dan jasmu juga?" sindirnya. Ernest menyipitkan matanya pada istrinya itu, "Ini hari libur, Baby. Aku ingin berpakaian santai hari ini," sungutnya sebal. "Pakaian santai? Apa maksudmu piyama tidur? Yang selalu kau kenakan di saat weekend? Kau bahkan juga memakainya di Dubai ketika mengajakku makan di restoran!"Mendengar ucapan istrinya itu, Ernest sontak terkekeh pelan. Merasa geli melihat Rosalia yang memajukan bibirnya dua senti ke depan sambil marah-marah padanya. Tapi, ia bisa apa? Ini sudah menjadi kebiasaannya bahkan sebelum ia memimpin Gail Group. Namun, sejak ia mengenal Rosalia, ia sudah sering kali mendapat
"Sepertinya itu kurang sopan, Nyonya Rosi." Lean menggelengkan kepalanya, merasa ragu untuk mengikuti apa yang Rosalia minta darinya. "Kemarilah!" tanpa aba-aba, Rosalia menarik tangan Lean. Membawa wanita itu ke arah sofa. Membuat Lean yang tidak pernah diperlakukan secara akrab sebelumnya, terpaksa menurut sambil mengernyitkan keningnya. Setibanya di depan sofa, Rosalia meminta Lean untuk duduk. Ia turut duduk di samping Lean setelah ia melihat Lean menempatkan bokongnya di atas sofa. "Begini." Rosalia menarik nafas sejenak, baru melanjutkan apa yang ingin ia katakan pada Lean. "Kau dan aku, kita ...." Ia lalu menunjuk ke arah Lean kemudian dirinya, "Sebentar lagi akan menjadi keluarga, jadi ... mengapa kita tidak memulainya dari sekarang? Maksudku, dari segi umur ... aku bisa menjadi Adikmu meski aku menikahi Ernest. Karena itu, mari hapus formalitas itu, oke?" pintanya dengan wajah berdekik sebal. "Keluarga?""Oh, Tuhan." Rosalia memutar bola matanya, "Kau tidak mungkin, 'kan
Tak lama kemudian, Rosalia telah terlibat pembicaraan seru dengan Lean, dari mulai bertanya pada Lean tentang masa sekolahnya juga apa yang selalu wanita itu lakukan sebelum Lean dipanggil ke Kota L. Awalnya, Lean sedikit ragu untuk terbuka pada Rosalia. Namun, sikap Rosalia yang ramah akhirnya berhasil membuatnya membuka dirinya pada wanita itu. Tetapi, hanya sebagian kecil dari kisah hidupnya yang ia ceritakan pada Rosalia, termasuk tentang penghianatan Brad. Di sela-sela percakapan mereka, Lean bahkan menyuguhkan jus jeruk dan beberapa cemilan untuk Rosalia. Bersama Lean, Rosalia berusaha menjadi pendengar yang baik. Terkadang, dekik kemarahan muncul di bawah matanya saat ia mendengar bahwa Lean telah dikhianati oleh tunangannya yang berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Dan meski hal itu telah ia ketahui dari Edward, tapi ... mendengarnya secara langsung dari bibir Lean dan melihat ekspresi Lean yang tampak terluka, emosinya justru terpancing. "Pria itu tak pantas untukmu
"Baiklah, sudah saatnya kami pergi," celetuk Ernest, sambil melirik Edward dan juga Lean secara bergantian. Karena keponakan bungsunya dan wanita itu hanya saling tatap dan diam membisu. "Aku akan mengantar Anda dan Nyonya Rosi, Tuan Ernest," ujar Lean. Edward berdehem pelan, "Aku juga akan mengantar Paman dan Rosi." Diam-diam, ia melirik ke arah Lean yang telah berbicara terlebih dahulu, ingin melihat reaksi wanita itu atas ucapannya. Namun Lean tidak mengatakan apapun, selain memicingkan mata padanya sebagai isyarat protes. Ernest yang melihat tingkah Lean dan keponakan bungsunya hanya bisa geleng-geleng kepala. Sedangkan Rosalia, justru merapatkan bibirnya agar ia tidak tertawa. "Kalau begitu, kalian bisa mengantar kami bersama-sama." Ia lalu memijat keningnya. Seiring dengan itu, ia melirik ke arah Rosalia yang tampak berusaha keras untuk tidak tersenyum. Membuat Ernest menjadi curiga terhadap istrinya itu, takut jika Rosalia telah mengajarkan sesuatu yang buruk pada Lean. T
Lean meremas pinggiran gaun yang ia kenakan, "Jika itu terjadi, apa Anda akan membiarkan anak Anda terlahir tanpa seorang Ayah?" Edward sontak tertegun, tatapan matanya lurus ke wajah Lean, namun kedua tangannya mengepal erat. "Apa maksudmu?" lontarnya dengan wajah tak senang, menarik tubuhnya kembali lalu menyentuh setir. Kemudian mengalihkan pandangannya ke kaca depan sedan, mencoba menghindari tatapan serius Lean yang tengah tertuju padanya. "Jika aku menerima permintaan Anda untuk menjadi kekasih Anda, apa kelak Anda akan menikahiku?""Ckk!" Edward berdecak sebal, "Apa kau sedang mabuk, Lean Marquise? Mengapa sekarang kau membicarakan tentang pernikahan?" sungutnya, sembari menyalakan mesin sedan dan mulai menjalankan sedan perlahan meninggalkan parkiran gedung apartemen. "Tapi ... bukankah di depan resto Anda pernah berkata kalau Anda akan memikirkannya?" sosor Lean. Terus menatap Edward dengan tatapan menuntut. "Hmm." Edward berdehem pelan, melirik Lean sekilas, lalu kembal
"Bukankah tadi aku telah bertanya padamu apa kau telah siap untuk memasuki babak baru dari kehidupanmu?"Lean memicingkan matanya, "Apa ini yang Anda maksud dengan babak baru yang harus kulalui?" bisiknya pada Edward, dengan gigi yang mengatup rapat. Sehingga suaranya hanya terdengar bak desisan samar. Namun, Edward tentu saja mendengar ucapan Lean itu dengan sangat jelas. "Mari bicarakan ini nanti setelah kita kembali ke apartemen," usulnya. Setelah itu, ia pun memberi isyarat pada pelayan yang telah mengantar ia dan juga Lean ke sebuah meja. Dengan patuh sang pelayan menganggukkan kepalanya, kemudian menarikkan sebuah kursi untuk Lean. Di saat yang sama, Edward segera meminta Lean untuk duduk di kursi tersebut. Tapi, wajah Lean yang terlihat kurang nyaman dengan sekitarnya, membuat Edward sengaja menggeser tubuhnya untuk menutupi tubuh Lean dari tatapan para wanita yang terus menatap wanita cantik itu dengan wajah penuh permusuhan. Ketika Lean telah duduk di kursi yang telah dip
Tak lama berselang, pesanan Lean dan Edward pun diantarkan ke meja mereka. Dan makan siang itu Lean lalui dengan tenang bersama Edward tanpa berbicara sama sekali. Ia, hanya sesekali melirik Edward, begitu pun sebaliknya, hingga makan siang bersama itu berakhir. Aksi diam tersebut terus berlanjut sampai mereka pulang ke apartemen. Tetapi, ketika Lean akan masuk ke dalam apartemennya, Edward dengan cepat membuka mulutnya. "Apa kita bisa melanjutkan percakapan tadi?" pintanya pada wanita itu, sambil menahan pintu apartemen Lean dengan tangannya agar tetap terbuka. Lean yang telah melupakan apa yang ingin Edward katakan sebelumnya, sontak berpikir sejenak. "Apakah maksud Anda, Anda ingin melanjutkan apa yang telah kita bahas di resto tadi, Tuan Edward?" tukasnya balik bertanya, seiring ia menunjuk ke arah Edward. Melihat apa yang Lean lakukan, Edward segera menangkap pergelangan tangan wanita itu. "Kau ... sangat tidak sopan, Lean Marquise," dengusnya, seraya mengangkat tangan Lean
"James?" Edward menghubungi mansion sang kakek setelah ia meninggalkan apartemen Lean dan kembali ke apartemennya. "Tuan Edward? Ada apa?" tanya suara seorang pria yang telah mengangkat panggilan dari Edward. "Di mana Kakek?" tanya Edward pada pria itu. Hening selama beberapa saat, hanya suara nafas teratur yang menyapa indera pendengaran Edward. Dan setelah cukup lama menunggu, pria yang berada di seberang panggilan akhirnya kembali berbicara. "Apakah ada sesuatu yang harus kusampaikan pada Tuan Besar, Tuan Edward?" tanyanya. Edward mendengus mendengar pertanyaan itu, merasa sebal pada pria yang tengah berbicara padanya yang bukannya memberikan telpon pada kakeknya— pria itu justru memintanya untuk menyampaikan apa yang ingin ia katakan pada kakeknya kepada pria tersebut. Sialnya, Edward tidak bisa melakukan apapun terhadap James. Dan sama halnya dengan Luis, James juga merupakan salah satu pria yang tidak ingin Edward hadapi. "Katakan pada Kakek kalau Kakek tidak perlu lagi m
Sesaat berselang, kecemasan mulai mengisi ruang persalinan. Dokter Nora dan para perawat serta satu Dokter yang menemaninya— tampak sibuk berusaha mengembalikan tanda vital Lean. Tak jauh dari para medis itu, Edward hanya bisa termangu sembari mendekap putra mungilnya. Tatapan matanya yang berkabut terus memperhatikan wajah Lean yang terlihat semakin pucat."Oh, Sayang. Kumohon, jangan tinggalkan kami," bisiknya lirih. Kelopak matanya terasa semakin panas, dan Edward bisa merasakan kalau matanya perlahan-lahan telah mulai berair. Sebelumnya, ia pernah merasakan kehilangan seorang wanita, namun rasanya tidak sesakit apa yang Edward rasakan sekarang.Setelah puluhan menit berlalu dalam ketegangan, tiba-tiba Edward melihat Dokter Nora melemparkan pandangan ke arahnya. Raut wajah wanita itu tampak tegang dan ragu."Jangan katakan!" Edward menggeleng keras, sama sekali tidak ingin mendengar berita buruk yang ingin Dokter Nora sampaikan padanya. "Tuan Edward ... maaf, kami sudah berusaha
Sebelum ia pergi menemui Lean di ruang rawat inap, Edward menarik napas dalam-dalam terlebih dahulu. Baru kemudian memberanikan diri untuk menemui istrinya itu. Sementara Anton menunggunya di luar ruangan. Semula, Edward ingin membawa serta Dokter Nora bersamanya, tetapi menurut Eve— sebaiknya ia menemui Lean sendiri terlebih dahulu. Ketika Edward berada di dalam ruang rawat inap yang Lean tempati, aroma desinfektan yang bercampur pewangi ruangan langsung menyambutnya. Tetapi Edward mengacuhkannya dan justru menatap lurus ke arah sesosok tubuh ringkih yang sedang tertidur di atas ranjang. Edward mendekati ranjang tersebut sambil memberi isyarat pada perawat jaga yang ada di dalam ruangan itu agar tidak mengejutkan istrinya. Perawat itu mengangguk pada Edward dan segera pergi meninggalkan ruangan demi memberi waktu pada Edward. Ia telah melihat pria ini sebelumnya di luar saat Edward berbicara sangat serius pada Eve, karena itu ia membiarkan saja Edward yang kemungkinan adalah suam
Malam masih menyelimuti vilanya, dan suara ombak bergema di telinga Edward, membuat hatinya merasa sedikit lebih tenang. Namun, ketenangan itu segera pudar ketika pikirannya terfokus pada Lean. Rasa cemas terasa mengungkungnya juga tekad yang baru mulai tumbuh dalam dirinya. Tidak ingin terlarut dalam perasaan itu, Edward segera menghubungi Ben. Dan setelah beberapa saat ... “Selamat malam, Tuan Edward. Ben di sini.” Suara Ben yang datar mulai terdengar dari seberang panggilan.“Ben, ada yang ingin kukatakan padamu.” Sebelum melanjutkan kalimatnya, Edward membenarkan posisi duduknya terlebih dahulu. Samar-samar suara gemuruh ombak yang terdengar dari kejauhan, menyapa indera pendengarannya.“Ada apa, Tuan Edward? Apakah ada yang bisa kubantu?” tanya Ben, nada suaranya penuh perhatian.“Begini. Dalam dua hari ke depan, aku ingin pergi ke Zurich. Kau pasti sudah mendengar kalau istriku telah kembali ke kota kelahirannya, 'kan?”“Tuan Ernest baru saja menghubungiku tentang rencana An
Sore hari, pulang dari Gail Mart, Edward meminta pada Anton untuk pergi ke mansion milik kedua orang tuanya. Ada sesuatu yang ingin ia tanyakan pada ayahnya.Dalam perjalanan, dari kursi belakang sedan ia memperhatikan Anton dengan wajah serius. Membuat Anton yang tanpa sengaja melirik kaca spion mobil sontak terkejut."Ada apa, Tuan? Apakah ada sesuatu yang ingin Tuan katakan padaku?" celetuk Anton.Edward mengangguk pelan, "Apa Rosi sudah kembali ke mansion Paman?" tanyanya. "Sudah, Tuan Edward. Nyonya Rosi langsung pulang malam harinya ketika Tuan Ernest datang untuk menjemputnya. Oh ya, Tuan. Hari ini Tuan Ernest juga menghubungiku. Maaf aku lupa memberi tahu Anda. Kata Tuan Ernest, Tuan Ernest mengenal seorang Dokter yang hebat saat berada di Dubai. Dokter itu adalah Dokter keluarga milik Kolega Tuan. Tuan Ernest ada meninggalkan nomor teleponnya padaku, aku sudah menghubungi Dokter itu, Tuan. Dia memiliki cara untuk menyelamatkan Nyonya Lean dan juga bayinya, hanya saja ...." A
Senyum Brad sontak memudar, “Aku hanya ingin kau tahu kalau kau bisa mengandalkanku jika kau membutuhkan sesuatu, tidak lebih. Seperti yang kau katakan tadi, kita sudah berpisah, tetapi apakah aku tidak boleh peduli padamu?”Lean hampir membuka mulut untuk membalas ucapan Brad itu, namun dengan cepat Eve menyentuh tangan Lean lalu menggelengkan kepalanya pada adiknya itu. Setelah itu, ia menoleh pada Brad. “Kau lihat, bukan? Kau tidak seharusnya berada di sini, Brad. Lean sedang dalam keadaan yang sangat rentan. Keberadaanmu justru memperburuk situasi,” cetusnya emosi. Lean merasakan ketegangan yang terus meningkat antara kakaknya dan Brad. Naluri melindungi Eve membuatnya merasa sedikit tertekan, tetapi di sisi lain, ia juga merasa bahwa hanya dirinya yang dapat menentukan keputusan untuk dirinya sendiri.“Eve, tolong! Aku bisa mengurus diriku sendiri,” kata Lean dengan suara yang masih bergetar. Ia kemudian berpaling pada Brad. "Brad, aku menghargai niat baikmu. Tapi seperti yang
Keberangkatan Lean ke Zurich mengubah banyak hal. Sejak Lean memutuskan pergi, rasa cemas dan gelisah tidak pernah lepas dari pikiran Edward. Meskipun ia berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaannya, benak dan hatinya selalu terikat pada sang istri dan kesehatan istrinya itu. Di sisi lain, Lean kini berada di rumah sakit Zurich, berharap ia bisa menemukan cara untuk menjaga bayinya agar tetap aman sekaligus memikirkan dirinya sendiri.Di kota kelahirannya, hari-hari awal Lean dipenuhi dengan rangkaian perawatan medis yang melelahkan. Eve, yang kini telah bahagia dengan kehidupan barunya sebagai istri Luis, berusaha untuk mendampingi sang adik semaksimal mungkin. Ia sering merasa tidak nyaman kala menemukan Lean yang tampak stres dan juga ketakutan menghadapi hal yang tidak pasti. Setiap hari, Eve mencoba mengajak Lean untuk berbincang, berbagi cerita dan memperkuat semangat satu sama lain meski di tengah rasa cemas yang selalu hadir menemani mereka.“Aku tidak tahu bagaimana melakuk
Lean kemudian diam dalam keheningan, mengabaikan tatapan cemas Edward dan juga Leon. Suara bising dari alat medis di ruangan itu seolah mengingatkannya bahwa waktu terus berjalan, sementara ketegangan di antara mereka semakin mencekam. Tangan Lean masih terjepit dalam genggaman Edward, dan rasanya seperti dunia di sekitarnya perlahan menghilang. "Sayang?" Edward mencoba lagi dengan lembut, tetapi Lean sudah menatap keluar jendela, menghindari tatapan matanya. Di dalam hatinya, Lean merasakan pertempuran yang tak berujung. Selama ini ia berusaha dengan sangat keras untuk selalu kuat menghadapi apapun, tetapi saat ini, Lean merasakan ada sesuatu yang menggerogoti keputusannya. Ia bukan hanya menghadapi penyakitnya sendiri, tetapi juga risiko yang bisa merenggut nyawa bayi yang ia cintai."Edward, aku perlu waktu." Akhirnya Lean angkat berbicara. Suaranya terdengar lemah, namun digerakan oleh tekad yang kuat."Sayang, aku hanya ingin kau baik-baik saja." Edward menjelaskan kembali, tet
"Maaf, Nak. Tidak ada yang bisa aku lakukan pada Ibunya ketika dia memaksa untuk melahirkan Lean hingga akhirnya kematian merenggutnya dari kehidupan kami," terang Leon dengan wajah lesu ketika satu jam kemudian ia datang ke rumah sakit setelah Edward menghubunginya tentang kondisi Lean. Edward memperhatikan wajah ayah mertuanya itu yang tampak murung. Sebelumnya, ia pernah berpikir bahwa Leon adalah seorang ayah yang sedikit egois dan pilih kasih terhadap Lean. Namun setelah Leon menjelaskan alasan dari sikapnya selama ini terhadap putrinya itu, Edward baru mengerti jika sebenarnya Leon sedang melindungi Lean dengan caranya sendiri. "Aku ingin dia memiliki seseorang yang sangat peduli padanya. Jadi ketika Tuan Besar meminta Lean untuk menjadi calon istrimu— aku langsung menyetujuinya. Eve pernah bertengkar denganku gara-gara keputusanku itu. Tapi mendengar gosip tentangmu yang beredar di Zurich bahwa kau hanya menyukai satu wanita sepanjang hidupmu, aku pikir kau bisa menyayangi Le
Wilhelm kemudian menjauhi Edward, ia menghubungi seseorang dan berbicara dengan wajah serius. Dari tempatnya berdiri, Edward terus memperhatikan sahabatnya itu. Setelah 15 menit berlalu, Wilhelm tampak memutuskan panggilan telepon dan kembali menghampiri dirinya. "Aku sudah bertanya pada sahabatku yang berada di luar negeri, aku telah memintanya untuk memeriksa apakah keluarganya mengenal seorang Dokter yang sangat berpengalaman tentang masalah kehamilan?" terang Wilhelm. Edward hanya diam, berusaha menanggapi ucapan sahabatnya tadi dengan senyuman yang terasa getir. "Ini akan butuh waktu, sebaiknya aku menemani Lean terlebih dahulu sambil menunggu kabar darimu," ujarnya. Wilhelm mengangguk setuju. "Itu yang sedang kupikirkan. Temanilah dia! Aku tidak ingin lagi melihatnya tampak tertekan seperti beberapa jam yang lalu." Ia lagi-lagi menepuk pundak Edward untuk menunjukkan dukungannya terhadap sahabatnya itu. "Terima kasih, Will." Edward kemudian bergegas pergi usai ia berbicara