Sepeninggalan ibunya, Sienna hanya bisa diam terpaku, memandang cangkir teh kosong miliknya dengan perasaan yang sulit untuk diutarakan. Perlahan ia tertunduk dalam. Pipinya masih terasa perih. Buliran bening kembali menghujam sepasang netra zamrudnya yang menyorotkan kesedihan yang mendalam. Tiba-tiba seorang pelayan kafe menghampiri mejanya dan meletakkan secangkir teh chamomile yang hangat. Sienna pun mengangkat wajahnya dengan bingung. “Maaf, saya tidak memesan,” cicitnya. Pelayan itu tersenyum. “Tuan itu yang memesankannya untuk Anda,” ucapnya. Sienna pun mengikuti arah tangan pelayan tersebut. Terlihat sosok seorang pria paruh baya yang tersenyum lembut padanya. Netra Sienna yang masih basah pun terbelalak lebar. “Tu-Tuan Harvey,” gumamnya, lirih. “Ini juga adalah pesanana dari beliau,” ucap pelayan kafe seraya meletakkan sebongkah es dengan kain bersih di atas meja tersebut. “Sebaiknya Anda mengompres pipi Anda agar tidak bengkak parah,” lanjut pelayan kafe tersebut. “Te-
Walaupun bingung dengan pertanyaan Felix, Sienna tetap menjawab dengan tenang, “Iya, dia ibuku. Apa ada sesuatu yang salah, Paman?”Felix tersenyum tipis. “Tidak ada apa-apa, Sienna. Mungkin saya saja yang berpikir terlalu berlebihan karena sikap ibumu tadi,” ucapnya.Sienna dapat melihat keraguan pria itu, tetapi ia pun menimpali, “Saya tahu kalau sikap ibuku di mata orang luar mungkin terlalu kasar, tetapi ini juga salahku yang memprovokasinya tadi. Hubunganku dengannya memang tidak seperti anak dan ibu biasanya. Bisa dibilang sangat rumit.”Seulas senyuman getir terukir di bibir Sienna saat mengatakan hal tersebut.Felix terdiam sejenak, tampak mempertimbangkan sesuatu hal. Namun, beberapa saat kemudian pria paruh baya itu berkata, “Saya sangat tertarik dengan masalahmu. Jika tidak keberatan, apa kamu bisa menceritakannya padaku?”Felix dapat melihat kebingungan Sienna atas permintaannya tersebut. Ia pun tertawa kecil, tetapi kemudian ia berkata, “Maaf kalau terdengar aneh, tapi say
Seorang pria muda bertubuh tinggi berpakaian setelan rapi serba hitam memasuki kafe. Ia menjadi pusat perhatian para tamu karena tampak mencolok dan juga memiliki aura yang menyeramkan dengan ekspresi wajah dinginnya.Pria itu berjalan menghampiri Felix Harvey yang sedang duduk menikmati secangkir americano-nya. “Tuan, maaf saya terlambat. Saya sudah membawa mobil pengganti,” ucapnya yang telah berdiri di samping Felix Harvey.Beberapa waktu lalu mobil yang dinaiki Felix mengalami sedikit kendala sehingga ia terpaksa menunggu di kafe tersebut sambil menunggu bawahannya tersebut untuk membawa mobil pengganti yang lain.Wajah bawahan Felix itu terlihat penuh penyesalan. Ia merasa lalai dalam melakukan tugasnya.Namun, Felix tersenyum tipis. Sembari meletakkan kembali cangkir kopinya di atas tatakannya, ia berkata, “Tidak apa-apa, Ace. Berkatmu, saya menemukan sesuatu yang menarik."Kening Ace Tucker mengerut. Namun, sebelum ia bertanya, majikannya itu berkata, "Aku ingin kamu menyelidik
Tiga puluh menit pun berlalu. Lucas baru saja selesai menyampaikan poin penting yang harus diperhatikan oleh bawahannya. Namun, ia kembali menambahkan, “Saya harap kalian bisa berusaha lebih keras untuk mengikuti seleksi ini. Tunjukkan semangat kalian dengan hasil karya kalian yang akan memuaskan bagi klien kita nanti."Setelah mengucapkan hal terseut, Lucas pun beranjak dari tempat duduknya. Sebelum meninggalkan ruangan rapat, ia menoleh kepada Simon Jones. “Manajer Jones, saya harap Anda juga bisa berlaku adil kepada semua bawahan Anda terhadap proyek ini,” ucapnya, mengingatkan.“Baik, Direktur Morgan,” sahut pria paruh baya itu.Lucas pun kembali melanjutkan langkahnya, tetapi ia melirik ke arah Sienna yang masih duduk di ruang rapat tersebut bersama karyawan lainnya. Gadis itu melemparkan senyuman sekilas kepadanya, tetapi kembali bicara dengan rekan di sebelahnya. Ia berpikir Lucas akan pergi dari ruangan itu, tetapi ternyata ia salah!Lucas malah berjalan menghampirinya dan memb
"Kamu melakukan semua ini karena sebenarnya kamu takut kalah dariku, bukan?”Wajah Nicole memerah mendengar penghinaan yang ditujukan padanya. “Siapa bilang aku takut?” hardiknya.Seulas senyuman terbentuk di bibir Sienna. "Jika kamu memang tidak takut seperti yang kamu katakan, buktikanlah dengan kemampuanmu, bukan dengan menyebarkan fitnah seperti ini. Mengenai aku akan memanfaatkan Direktur Morgan atau tidak, kalian bisa melihatnya sendiri nanti dari hasil karyaku, bukan?”Rekan-rekan mereka yang tadinya terhasut oleh ucapan Nicole mulai berpikir ulang. Diane, yang merasa geram dengan perilaku Nicole, berkata dengan tegas, "Sienna benar. Kita semua di sini harus bersikap profesional. Jika ada yang merasa ada ketidakadilan, bicarakan saja dengan atasan secara langsung. Jangan menyebarkan fitnah yang hanya akan merusak semangat tim.”Aurora mengangguk setuju. “Betul sekali. Daripada bersaing dengan cara kotor, sebaiknya kita buktikan semuanya dengan hasil karya terbaik kita. Buktikan
Di saat bibir Lucas mendarat di atas bibir Sienna, tiba-tiba saja pintu ruangannya terbuka. "Luc─”Sontak, Sienna mendorong dada Lucas dengan cepat, lalu menoleh kepada Ivory yang tampak salah tingkah karena tidak sengaja memergoki mereka. Wanita itu telah memalingkan wajahnya dengan cepat. "Ma-maaf, a-aku ...." Lucas pun menyugar surainya dengan kasar, kesal karena kesenangannya malah diusik. “Ada apa, Kak?”Dengan wajah yang sangat canggung, Ivory menjawab, “Ma-maaf, tadi saya lupa mengambil dokumen yang sudah kamu tanda tangani, Luke.”Helaan napas panjang bergulir dari bibir Lucas. Ia mengisyaratkan Ivory untuk mengambilnya di atas meja.Dengan langkah cepat Ivory berjalan ke meja tersebut dan mengambil dokumen yang dimaksud, lalu bergegas keluar dari ruangan itu. Namun, sebelum pintu ruangan ditutup kembali, Ivory sempat berkata, “Silakan lanjutkan kegiatan kalian. Anggap saja tadi hanya sekilas iklan.”Suara kekehan kecil bergulir dari bibir Ivory. Namun, ia bergegas menutup p
Lucas meletakkan alat makannya. Saat Sienna bercerita, ia tidak memberikan komentar apa pun dan mendengarkannya dengan tenang.Meskipun terkadang ucapan Sienna tersendat karena berusaha menguasai emosinya, tetapi ia pun berhasil menyelesaikan ceritanya. Sienna juga menceritakan pengakuan yang diberikan ibunya terkait Clive dan juga permintaan ibunya untuk menarik tuntutan Cindy serta Clive.“Dulu aku tidak pernah tahu apa kesalahanku sampai membuatnya begitu membenciku. Tapi, sekarang aku merasa hal itu tidak terlalu penting lagi. Sepertinya aku sudah menjadi anak durhaka yang pantas dibenci,” seloroh Sienna seraya tertawa kecil.Namun, dari balik suara tawanya Lucas dapat merasakan kepedihan gadis itu. Sudut bibir Lucas terangkat lembut. Ia meraih tangan Sienna, menepuk pelan punggung tangan gadis itu dan berkata, “Kamu bukan anak durhaka, Sienna. Ibumu saja yang terlalu egois dan berambisi.""Ya, mungkin begitu," gumam Sienna berbisik pelan.Lucas kembali berkata, "Tapi, kamu begitu
“Luke.” Panggilan Sienna mengalihkan lamunan Lucas. Pria itu pun menoleh dengan wajah bingung. “Apa yang kamu pikirkan?” Sienna mengerutkan keningnya. Lucas menatap Sienna sekilas, lalu menarik napasnya dalam-dalam. “Tidak, aku hanya sempat berpikir kalau mungkin Paman Felix memiliki tujuan tertentu untuk mendekatimu. Tapi, mungkin saja aku yang ....” Lucas tidak melanjutkan ucapannya karena tidak ingin membuat Sienna khawatir. Selain itu, ia juga merasa dugaannya itu sangat konyol walaupun mungkin saja hal itu benar. Ia pun mengambil segelas air di atas meja untuk menenangkan dirinya. Akan tetapi, tiba-tiba Sienna berkata dengan wajah yang terlihat polos, “Jadi kamu pikir dia menyukaiku?” Lucas yang baru meneguk minumannya sendiri pun tersedak karena kaget. Sienna bergegas menepuk pelan punggung Lucas yang sedang terbatuk-batuk saat ini. Ia juga mengambilkan sehelai tisu untuknya. “Kamu tidak apa-apa, Lucas?” tanya gadis itu dengan cemas. Lucas mengangguk kecil tanpa menole