"Mas," panggil Diandra lagi. Dani yang berjalan lebih dulu karena ingin segera istirahat pun langsung menoleh ke belakang. "Iya, Sayang?" Kedua alis Dani sampai terangkat. "Mas Dani mau kasih hadiah ke mama Eni juga?" Diandra bertanya lagi karena penasaran. "Enggak.""Atau sama ibu?" Kening pria tampan itu berkerut. "Enggak, Sayang. Memangnya kenapa? Bukannya kita sudah kasih hadiah sama ibu Minggu lalu?"Diandra mengingatnya. Benar, mereka memang memberikan hadiah pada Halimah. Sebuah mesin jahit karena Halimah memang suka menjahit. Diandra tak bisa tenang. Pikirannya terus menerka-nerka untuk siapa benda di dalam kotak merah itu. Sampai akhirnya, lamunannya itu terurai karena sentuhan lembut dari suaminya. Dani mengusap wajah Diandra lalu mengajaknya ke kamar. "Mas, biarkan aku ambilkan baju ganti untukmu." Diandra menutup pintu kamar lalu berjalan menuju lemari. "Iya, Sayang. Makasih ya. Kamu memang yang terbaik. Baru juga aku mau mengambil baju." "Aku tau kamu capek, Mas."
"Apa aku bilang. Dari kemarin aja kamu enggak mau percaya," cetus Mega. Ia baru saja keluar dari kamar, dan langsung menyerobot ucapan Diandra ketika ia menceritakan apa yang terjadi semalam pada Imran, kakaknya yang juga duduk di ruang tengah.Imran menghela napas panjang. Sebenarnya ia tak mau ikut campur rumah tangga adiknya, tetapi ia juga tidak bisa melihat Dia mengadukan apa yang menjadi masalah dalam hidupnya. Sambil menatap bocah lima tahun yang tengah bermain di depan televisi bersama neneknya itu, Imran menjawab, "Cari tau aja dulu. Jangan gegabah bertanya langsung pada Dani. Khawatir dia tersinggung. Lelaki itu kalau badan capek, ditanyain hal-hal yang sensitif yang dia tidak lakukan, yang ada malah tersulut emosi.""Terus, aku harus gimana, Mas?" "Kamu udah cek handphone dia? Barangkali ada titik terang." Imran menyesap kopinya. "Udah berkali-kali. Bahkan semua kontak yang ada di sana, aku kenal. Enggak ada tanda-tanda apa pun.""Coba kamu sekali-kali ikut keluar kota s
"Siapa itu tadi, Mas?" tanya Dia, ikut berdiri. "Oh, ini. Mama." Dani menarik pundak istrinya ingin segera ke kamar. Mereka keluar dari kamar Aqila lalu berjalan bersama dengan tangan bergandengan menuju kamar mereka sendiri. Malam itu, Dia mencoba memancing keinginan suaminya. Namun, Dani sejauh itu tidak bereaksi apa-apa. Pria itu terus terpejam dan malam berlalu dengan begitu saja. Dia merasa sedikit kecewa karena sudah hampir tiga pekan, Dani tak memulai lebih dulu. Berbeda sekali dengan dirinya yang dulu. Pagi itu, setelah menyiapkan sarapan untuk suami dan putrinya, Dia teringat sesuatu. Wajahnya mendongak dan segera berjalan menuju kalender yang ada di dinding dapur. Ia lupa membalik satu lembar kalender itu karena sudah datang bulan baru. Senyum di bibir Dia terlukis manis. Wanita cantik dengan celemek Hello Kitty itu melihat lingkaran merah pada tanggal tiga bulan ini. "Kamu liat apa, Sayang?" Sentuhan dari belakang punggung membuat Dia terkejut sampai pundaknya terangk
"Bagus enggak sih?" gumam Dia sendiri. Wanita cantik itu memantapkan diri di depan cermin sambil memutar badannya. Di ruangan ganti itu, ia mencoba sebuah setelan gamis syar'i yang warnanya sangat ia sukai. Warna favorit Diandra, ungu muda. Dia keluar dari ruangan ganti lalu disambut oleh karyawati yang menemaninya tadi. "Wah, cantik sekali, Nyonya. Pak Dani pasti sangat terkejut melihatnya.""Iya, ini saya suka sekali dengan model dan warnanya." Dia tersenyum, tak sabar ingin memperlihatkan pada suaminya. "Mbak, suami saya tadi di mana ya?" Dia mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan dengan pakaian-pakaian yang dipamerkan di sana. "Tadi ada, Nyonya. Beliau duduk di depan. Sebentar saya panggilkan," jawab wanita muda dengan rambut diikat di belakang itu. Ia segera berjalan ke bagian depan. Selang beberapa menit sampai Dia lelah menunggu, wanita tadi kembali dengan wajah menunduk. "Maaf, Nyonya. Pak Dani tidak ada di depan mau pun di luar. Saya sudah mencarinya dan bertanya
"Saya istrinya Dani Hilman, Sus," ucap wanita itu spontan membuat sekujur tubuh Dia kembali meremang hingga kepalanya terasa seperti tersengat sesuatu. "Tolong dahulukan saya karena anak saya lagi kritis sekarang."Wanita itu maju lebih dulu lalu suster segera memberikan sebuah kertas. Mereka terlibat pembicaraan sehingga tak melihat Diandra yang masih menatap dengan tubuh tegak bagai patung. Tangan Dia yang tadinya menyentuh meja dengan kaca pembatas itu pun langsung terjatuh dan mengayun. Kedua matanya tampak penuh dengan lingkaran bening yang akhirnya tumpah membasahi pipi sembab Dia. "Terima kasih, Sus." Wanita itu memutar badan lalu melangkah menjauh dari sana. Saat wanita itu berhenti karena ingin memasukkan sesuatu ke dalam tasnya, dari arah pintu lift yang terbuka, seorang pria yang mengenakan kemeja hitam berjalan sambil memanggil, "Dek."Ya, dia adalah Dani Hilman. Pria yang pagi itu mengajak Dia belanja dan ingin memberikan kejutan. Pria itu menghampiri wanita yang tadi m
"Dia, jangan pergi!" teriak Dani sambil mengangkat tangannya, berusaha mencegah Diandra yang memutar badan sambil menutup mulut.Perawat yang mendengar keributan di lorong itu pun lantas berlari berusaha mengamankan situasi itu. "Ada apa ini? Jangan bikin keributan di rumah sakit! Banyak pasien yang butuh istirahat," terang seorang pria. "Dia!" panggil Dani lagi. Dia berlari dan hilang dari pandangan mata saat melewati dinding. Wanita muda itu tak melihat jalan, sampai menabrak kakaknya yang tadi ingin menyusul. Wajah Dia membentur dada bidang Imran. Lelaki itu tampak bingung, dan belum sempat bertanya, Dia malah berlari lagi dengan isakan tangis yang tak pernah berhenti. Dia masuk ke dalam ruangan putrinya. Ia luruh di lantai sambil memeluk lututnya sendiri. Meredam panas dan hancur dalam hati. Begitu Imran membuka pintu lalu masuk dan berjongkok, lelaki itu menyentuh pundak adiknya. "Ada apa sebenarnya? Ceritakan, Dia!" Dengan napas yang begitu berat, dan dengan mata yang sud
"Tolonglah, Dia. Demi Aqila, jangan memintaku melepasmu. Karena aku tidak akan sanggup." Dani kembali memohon. Bahkan ia rela bersimpuh di depan kaki Diandra. "Aku sangat kecewa sama kamu, Mas! Lepaskan tanganku! Jangan cegah aku lagi karena hatiku saat ini sudah mati.""Sayang ....""Di mataku, kau tak punya cela, Mas. Kau suami yang sempurna. Namun, ternyata aku salah. Aku bodoh karena sudah terlalu percaya denganmu.""Dia sayang ... itu tidak seperti yang kamu kira. Aku akan jelaskan semuanya setelah kita pulang. Aku akan mengakui semuanya.""Jelaskan itu semua di depan keluarga kita. Akui bahwa kau memang sudah menikah lagi. Lalu lepaskan aku!" "Tidak!" Dani tak mau melepaskan tangan Diandra. Adegan itu rupanya telah disaksikan oleh seorang wanita yang kini tangannya mengepal keras. Bibirnya yang merah merona itu mengatup rapat. Wanita berwajah muram itu mendekat lalu menarik lengan suaminya setelah berhenti di dekat Dani. "Mas, ngapain kamu bersimpuh begitu? Kamu itu laki-lak
Dia tak menjelaskan apa yang menyebabkan ia bertemu dengan teman lama kakaknya itu. Hanya sebatas bertemu saja dan pria itu pun tampaknya juga mencoba menutupi. Perjalanan yang singkat itu akhirnya sampai juga. Tiga orang di dalam mobil tadi keluar.Mereka berjalan menuju lift. Setelah masuk, Dia merasa ingin segera sampai karena tak enak berjalan bersamaan dengan dua pria itu. Lelaki bernama Zayyan tadi berhenti. "Im, aku duluan ya." Senyum di bibirnya begitu manis."Oke. Semoga ibu segera sehat lagi, ya. Salam buat ibu," balas Imran. "Iya. Nanti aku sampaikan." Sekilas Zayyan melirik pada Dia yang ikut berhenti lalu tersenyum dan masuk ke ruang rawat ibunya. Lantas Imran dan Dia kembali berjalan dan mereka menuju ruangan Aqila. Mereka menemui Halimah yang tengah menjaga cucunya. Tampak Aqila sudah lebih baik, sudah mau makan dan ketika Imran memeriksanya, kondisi gadis kecil itu semakin membaik. Hari berganti hari, Dia sudah jarang bertemu dengan suaminya lagi. Bahkan di rumah
Sembilan bulan sudah mereka menanti, akhirnya pagi itu, Aruna merasa tak enak perasaan. Tiba-tiba merasa jantung berdebar-debar, tapi ia masih sibuk menyiapkan makan pagi di meja makan bersama pembantu. Ia merasa tak tahan untuk buang air kecil saat itu. Aruna menoleh pada pembantu, lalu berkata, "Bik, aku ke kamar mandi dulu, ya. Nanti kalau baby Al nangis, tolong ajak dulu. Soalnya Mas Zain belum pulang.""Baik, Mbak." Pembantu yang tadinya mencuci piring itu pun langsung membalas. Saat masuk ke kamar mandi, Aruna menunaikan hajatnya. Kandungan yang sudah membesar membuatnya sering buang air kecil. Namun, saat ia membuka celana, ia melihat bercak flek seperti saat ia hendak melahirkan baby Al saat itu. Aruna mendelik. Ia sudah yakin, hari itu juga ia bakal melahirkan. Dalam hatinya berdesir rasa khawatir. Setelah selesai, lalu mengganti celana yang baru, dan mencuci tangan, Aruna langsung keluar. "Bik," teriaknya. "Bik, tolong!" Pembantu tadi langsung tergopoh-gopoh menghampir
"Mas, aku kok khawatir ya, sama baby Al." Aruna menyentuh lengan suaminya. "Wajar begitu, Sayang. Namanya juga ibunya. Nanti setelah sampai bandara, kita video call." Zain menjawab dengan santai. Mereka saat ini berada di atas awan, di dalam pesawat yang menuju ke sebuah kota sejuk di mana orang-orang menyebutnya kota apel. Begitu pesawat landing, mereka Oun segera melangkah keluar. Menuju hotel untuk menginap. Dua koper besar masuk ke dalam taksi, mereka langsung menuju ke tempat wisata itu sekaligus menikmati waktu bulan madu yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Sampai di hotel, Aruna menghela napas panjang. Ia langsung membanting tubuhnya ke atas tempat tidur. Sementara Zain yang baru masuk, langsung menahan senyuman. Seisi ruang kepalanya mulai berkenalan, Zain tertawa. Pintu kamar hotel ia tutup. Pria itu melepas sepatu, lalu jaket hitamnya. Kemudian ia ikut merebahkan diri di sana. Memeluk tubuh Aruna dengan erat dan rasa bahagia. "Mas," panggil Aruna. "Hem. Kamu capek
"Besok Mas bicara sama dia. Kalau kamu yakin, Mas akan bertindak tegas." Aruna mengangguk. Ia segera memeluk suaminya lagi. Lalu malam berlalu begitu cepat. Paginya, Aruna mendadak malas bangun. Ia sengaja tiduran di atas ranjang sejak setelah Subuh. Tentunya bersama baby Al yang sudah bangun lebih awal. Bayi kecil itu kini mulai bersuara riang. Entah apa yang ingin ia ucapkan, yang jelas ia sangat lucu. "Sayang, kamu enggak bangun?" Zain baru saja masuk ke kamar. Ia baru saja keluar untuk mengambil air minum. "Males. Lagi pengen tidur-tiduran. Perutku mual lagi, Mas."Zain mendekat. Ia kembali mengusap kepala yang ditumbuhi rambut lebat itu. Lalu mencium kening Aruna yang wangi. "Kangen lagi? Barusan mandi," sindir Zain sambil meringis. "Iya, males mandi juga. Masa belum ada sejam udah mandi lagi. Rajin banget.""Maklumin dong, Yang. Kan namanya juga pengantin baru. Enggak ada istilah liburnya." Kali ini pria itu tertawa lepas. "Hem. Dasar laki-laki. Ke sana terus pikirannya."
Aruna segera mengetik pesan untuk suaminya saat di kamar. "Baru juga hidup tenang, ada aja yang ganggu. Iseng banget," gumamnya sendiri. ["Mas, aku takut."]["Takut kenapa?"]["Ada yang melempar boneka serem ke halaman setelah Mas berangkat tadi."]["Hah. Serius?"]["Iya lah, masa aku bohong. Enggak lucu juga. Lagian tadi pas Mas berangkat ada mobil berhenti di depan rumah."]["Mobil tetangga kali. Itu palingan yang ngelempar orang gila. Suka ada orang gila masuk komplek kali satpam depan ngantuk."]["Mas aneh banget, sih. Orang ini pagi-pagi. Mana mungkin satpam ngantuk? Kan gantian yang jaga semalam sama pagi ini."]["Ya udah, pokoknya hati-hati aja kalo di rumah. Jangan keluar kalo gitu. Mama udah dikasih tau?"]["Enggak. Aku enggak enakan ngasih taunya."]["Ya biar hati-hati juga. Ya udah, aku ada pasien lagi, Sayang. Kamu nikmati hari di rumah, ya! Mau dibawakan apa nanti kalo pulang?"]["Apa aja deh, Mas. Yang penting Mas pulang dengan selamat."]["Ciee, so sweet banget. Kayak
"Sayang, jangan marah dong. Aku enggak kayak gitu. Please!" Zain memohon dengan kaki berjongkok di depan istrinya. "Mas jahat. Nuduh aku sama mama kayak orang-orang di cerita itu, kan? Aku emang bukan anak mama. Aku emang bukan menantu yang baik bahkan bukan dari keluarga kaya. Tapi aku sama mama tetap baik-baik aja." Sambil mengusap wajah, Aruna melengos. "Iya, aku minta maaf. Aku udah buat kamu salah paham. Maafin, ya.""Apa aku pergi aja? Enggak tinggal di sini lagi. Biar Mas enggak menduga-duga kalo aku sama mama lagi enggak enakan.""Kenapa buntutnya jadi panjang gini, sih? Aku enggak ada maksud bilang begitu, Sayang." Zain tampak stres membujuk Aruna yang tak kunjung paham. Pria itu menggaruk kepalanya sendiri. "Aku capek lah, Run. Kamu enggak mau ngalah. Aku udah ngalah, udah ngejelasin panjang lebar, juga udah segalanya. Bujuk kamu gimana pun, tetap saja kamu begitu. Terserah lah." Zain merebahkan diri di atas ranjang dengan kedua tangan di belakang kepala. Ia langsung meme
Dua bulan sudah mereka menjalin hubungan suami istri. Kehidupan mereka terlihat baik-baik saja. Sampai tiba saat Zain baru bangun tidur siang di hari liburnya, ia melihat ke samping. Ada Aruna yang berselimut sampai kepalanya. Baby Al yang menangis di dalam keranjang tidur pun tak dihiraukan. Zain bergegas bangkit lalu meraih putra sambungnya itu lalu mengajaknya keluar dari kamar. Zain meminta pembantu mengajak putranya itu, lalu ia kembali ke kamar karena curiga. Pikirannya tertuju pada sang istri yang sejak tadi tak merespon apa pun. "Yang, kamu enggak apa-apa?" Pria itu menatap istrinya setelah duduk di tepi ranjang. "Yang," panggilnya lagi. "Kamu enggak apa-apa?" Disentuhnya kening sang istri, ternyata dan ia terkejut saat merasakan kening Aruna terasa panas. "Yang, kamu demam?" Zain langsung membuka selimut tebal itu, lalu menyentuh tubuh istrinya juga. "Ya Allah, kamu sakit?" Ia pun kembali menyelimuti tubuh Aruna lagi. Karena tak menjawab, Zain makin panik. Aruna seperti
"Jaga tuh mulut!" Wanita itu melotot sambil menunjuk jarinya ke wajah Aruna. "Kamu kira aku takut? Kamu kira aku bakal lemah saat kamu mengirim foto memalukan itu? Dokter, kok, enggak punya attitude. Rendahan banget ngirim trik ngancurin keluarga orang dengan cara kek gitu. Enggak nyangka aja, bisa-bisanya orang kayak kamu jadi dokter." "Tutup mulut kamu! Atau aku laporkan kamu pada sekuriti!" ancam wanita itu. "Aku enggak takut. Silakan saja, sampai di sini aja udah keliatan siapa yang main kotor. Kalau enggak laku, mending sabar dulu, bukannya malah fitnah keluarga orang lain. lucu sekali. Udah ye, aku mau belanja dulu. Bye-bye kuman!" Wanita bernama Afkha itu mendelik. Ia ingin sekali mencakar wajah Aruna. Namun, ia kembali mengurungkan karena khawatir malah membuatnya malu sendiri. "Awas saja dia! Sudah berani membuatku malu di sini, kau akan merasakan malu juga nanti. Saat itu tiba, aku akan membuatmu memohon di kakiku." Ia pun segera pergi dari sana. Aruna menoleh kanan ki
"Kamu percaya kan, sama aku?" Sekali lagi, Zain bertanya pada istrinya. "Aku percaya. Tapi, aku sakit melihat foto itu." Aruna menjawab dengan gugup. Bibirnya bergetar, ia masih trauma. "Aku akan ajukan pengunduran diri. Dan cari kerja di rumah sakit lain kalau perlu. Atau, bisnis lain yang bisa aku kerjakan mungkin. Kamu ... mau aku seperti Mas Aksa? Jadi orang kantoran? Aku bisa ... tapi mungkin akan butuh waktu karena aku enggak akan bisa masuk dan duduk di posisi seperti dia."Aruna menatap mata nanar suaminya. Ia yakin, suaminya tidak melakukan hal itu. Akan tetapi, rasanya sakit hati belum juga sembuh. "Katakan padaku sekali lagi, kamu percaya sama aku!"Aruna mengangguk. "Aku percaya, Mas. Tapi, aku khawatir dia deketin Mas lagi. Aku takut kalau dia cari cara-cara lain lagi untuk menimbulkan fitnah.""Insyaallah, semoga enggak. Aku akan menjauh jika dia mendekat. Aku akan waspada. Percayalah padaku, Aruna."Mereka kembali berpelukan. Malam itu, Aruna menatap putranya dengan
Tubuh Aruna bergetar. Jantungnya berdebar kencang. Ia tak siap mendengar kabar jika Zain menjalin hubungan dengan wanita lain. Dengan kata lain, pria itu berselingkuh. "Aku tidak akan percaya begitu saja dengan wanita tadi. Dia pasti sudah berbohong. Dia pasti hanya ingin membuat rumah tanggaku dan Mas Zain berantakan "Mondar-mandir memikirkan suaminya, Aruna tampak tak tenang. Ia segera menggendong putranya lagi, lalu menimang agar cepat tidur. Karena itu, ia ingin mencari tahu petunjuk-petunjuk yang mungkin ada di rumah. Jika memang suaminya berselingkuh. Setelah baby Al tertidur, Aruna meletakkannya di atas tempat tidur. Lalu mencoba mencari sesuatu di laci, di lemari, bahkan di sosial media. Wanita muda itu sudah seperti orang gila. Dia stres karena memikirkan suaminya. Dadanya perih saat memutar kembali suara mendayu wanita di balik telepon tadi. Karena tak menemukan apa-apa, Aruna lemas di lantai. Air matanya seolah habis, ia sudah termakan ucapan wanita itu. Kebetulan saat