"Tolonglah, Dia. Demi Aqila, jangan memintaku melepasmu. Karena aku tidak akan sanggup." Dani kembali memohon. Bahkan ia rela bersimpuh di depan kaki Diandra. "Aku sangat kecewa sama kamu, Mas! Lepaskan tanganku! Jangan cegah aku lagi karena hatiku saat ini sudah mati.""Sayang ....""Di mataku, kau tak punya cela, Mas. Kau suami yang sempurna. Namun, ternyata aku salah. Aku bodoh karena sudah terlalu percaya denganmu.""Dia sayang ... itu tidak seperti yang kamu kira. Aku akan jelaskan semuanya setelah kita pulang. Aku akan mengakui semuanya.""Jelaskan itu semua di depan keluarga kita. Akui bahwa kau memang sudah menikah lagi. Lalu lepaskan aku!" "Tidak!" Dani tak mau melepaskan tangan Diandra. Adegan itu rupanya telah disaksikan oleh seorang wanita yang kini tangannya mengepal keras. Bibirnya yang merah merona itu mengatup rapat. Wanita berwajah muram itu mendekat lalu menarik lengan suaminya setelah berhenti di dekat Dani. "Mas, ngapain kamu bersimpuh begitu? Kamu itu laki-lak
Dia tak menjelaskan apa yang menyebabkan ia bertemu dengan teman lama kakaknya itu. Hanya sebatas bertemu saja dan pria itu pun tampaknya juga mencoba menutupi. Perjalanan yang singkat itu akhirnya sampai juga. Tiga orang di dalam mobil tadi keluar.Mereka berjalan menuju lift. Setelah masuk, Dia merasa ingin segera sampai karena tak enak berjalan bersamaan dengan dua pria itu. Lelaki bernama Zayyan tadi berhenti. "Im, aku duluan ya." Senyum di bibirnya begitu manis."Oke. Semoga ibu segera sehat lagi, ya. Salam buat ibu," balas Imran. "Iya. Nanti aku sampaikan." Sekilas Zayyan melirik pada Dia yang ikut berhenti lalu tersenyum dan masuk ke ruang rawat ibunya. Lantas Imran dan Dia kembali berjalan dan mereka menuju ruangan Aqila. Mereka menemui Halimah yang tengah menjaga cucunya. Tampak Aqila sudah lebih baik, sudah mau makan dan ketika Imran memeriksanya, kondisi gadis kecil itu semakin membaik. Hari berganti hari, Dia sudah jarang bertemu dengan suaminya lagi. Bahkan di rumah
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi di tengah jalanan, dan ketika sampai, Zayyan langsung membantu Diandra menggendong putrinya. Pria itu membawa masuk dengan berlari. Tepat saat itu Imran ada di sana dan melihat keponakan dalam gendongan Zayyan. "Kenapa dengan Aqila?" Melihat Diandra datang bersama Zayyan, Imran panik. Ia langsung menghampiri. "Sesak napas," balas Zayyan cepat. Lalu putri kecil itu dibawa ke ruangan gawat darurat. Keadaan Aqila semakin memburuk. Ketika Imran memeriksa, detak jantung Aqila melemah. Zayyan dan Diandra diminta untuk menunggu di luar ruangan. Keadaan rumah sakit yang tampak sepi itu membuat keduanya duduk tanpa kata. Zayyan tak enak hati ingin bertanya pada wanita yang duduk di sebelahnya itu. Sejak tadi Diandra menangis. Pria gagah itu memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Lalu mengeluarkan sapu tangan dan memberikannya pada Dia. Diandra yang masih sesenggukan itu menerima uluran tangan Zayyan. Sapu tangan itu langsung digunakan untuk mengusa
"Kamu siapa? Berani-beraninya bicara seperti itu!" Dani membusungkan dadanya. Menantang Zayyan yang terlihat santai saja menanggapi. "Anda punya istri baik, tapi menikah lagi. Itu pun dengan menyia-nyiakan dia. Anda sadar enggak, kalau Anda sudah tidak berlaku adil pada Dia sebagai istri Anda juga." Zayyan seolah tak takut dengan Dani yang siap melayangkan tinjunya di rumah sakit itu."Apa? Jangan sok tau kamu!" Dani langsung emosi dan mendorong dada bidang Zayyan. Dani yang menyerang lebih dulu lantas ditarik tubuhnya oleh Imran. Suasana depan kamar itu berubah mencengangkan. Imran memanggil dua perawat yang tak jauh darinya lalu meminta mereka membawa Dani turun ke bawah. Dani meronta tak mau dipegang. Ia langsung pergi tanpa dipaksa lagi. Setelah serangkaian kejadian itu, mereka pulang ke rumah dan menjalani prosesi pemakaman Aqila. Waktu berjalan dengan cepat, kini Dia dan keluarganya menabur bunga pada makam dengan tanah yang masih basah itu. Batu nisan putih tertulis nama Aq
"Kenapa dia ada di sini, Mas?" Dia berdiri mematung tak mau melangkah maju. "Sayang, kita masuk dulu. Kau akan tau apa yang akan terjadi nanti." Tangan Dani menyentuh pinggang Dia lalu menariknya agar ikut dengannya. Tak punya pilihan lain selain mengikuti apa kata Dani. Diandra berjalan dan tak mau menatap Dewi yang segera menghadang mereka. Tampak gelang yang sempat dilihat oleh Dia saat itu di koper suaminya, kini gelang itu ada di tangan Dewi. Dia merasa menyesal telah ikut suaminya pulang. Luka yang belum kering itu serasa kembali mengoyak batinnya. "Mas, kenapa kamu lama sekali? Anak kamu nangis terus ini loh!" Dani menghela napas panjang. "Maaf, Wi. Lain kali aku akan lebih cepat."Wanita berwajah muram itu menghentakkan kakinya ke lantai seraya masuk ke dalam rumah. Seharusnya Dia yang masuk lebih dulu karena dahulu kata Dani, rumah itu adalah untuknya. Baru sehari ditinggal, Dewi yang pindah ke sana langsung bersikap layaknya tuan rumah. Dani menggandeng tangan Dia dan
Hujan gerimis yang disertai oleh angin dan petir membuat sekujur tubuh Diandra menggigil. Ia berjalan terus tanpa henti. Tujuannya masih sangat jauh. Bahkan mungkin besok pagi pun ia belum akan sampai. Namun, Dia tetap berjalan sembari membuang luka yang membuatnya semakin bodoh. Hanya karena ucapan manis Dani, ia akhirnya luluh. Akan tetapi, kini tinggal penyesalan saja yang ia dapatkan. Dua kali termakan keluguan sendiri, Dia harus menanggungnya sampai waktu yang tak bisa ditentukan. Sebuah mobil lewat dengan kencang, ban menggelinding melewati genangan air dan akhirnya mengenai tubuh Dia. Sudahlah basah, ditambah kotor pula. Dia ingin marah. Kali ini kembali sebuah mobil dari belakangnya sana menyorot lampu. Mobil tersebut berjalan pelan lalu kaca samping kiri terbuka. "Ya Allah, Dia!" Zayyan langsung menghentikan mobilnya saat lelaki itu mengenali siapa yang berjalan di tengah hujan itu. Lelaki itu melepas jas hitamnya lalu memalingkan pada wanita yang ia temui pertama kali d
"Ck, bisa aja. Makasih, Bang, sudah menghiburku." Dia tersenyum. Zayyan ingin mengungkapkan perasaannya, tetapi ia paham kalau Dia masih dalam proses penyembuhan lukanya. "Kamu mau enggak, kalau udah enakan, gabung sama perusahaan aku? Biar enggak kepikiran sama masalah kamu terus.""Abang hebat, bisa tau pikiran aku. Sudah sejak kapan lalu, sejak Aqila pergi, aku sebenarnya ingin mencari kesibukan lain. Cuman saat itu Mas Dani enggak mengizinkan.""Tapi, selesaikan dulu hubungan kalian di pengadilan. Aku yakin, pasti Allah sudah menyiapkan hadiah besar di balik ujianmu.""Iya, Bang. Cuman, waktu enam tahun berumah tangga itu enggak sebentar. Aku trauma dengan sebuah hubungan dan rasanya semua lelaki sama saja seperti Mas Dani. Aku sudah sangat percaya dengan dia. Tapi, dia malah begitu."Zayyan menghela napas. "Eh, jangan samain semua laki-laki sama, Di. Aku enggak gitu, kok." Lelaki tampan dengan bibir semu merah itu menahan senyuman. Lalu menunduk karena tak tahan ingin tertawa.
Ponsel terus berdering, Dani tetap ingin bicara dengan Dia. Pria itu kesal sampai membanting ponselnya di atas ranjang. Dasi yang mengalung erat, lantas ia renggangkan. Banyak sekali masalah yang belum terselesaikan. Kabarnya direktur tempatnya bekerja pun akan ganti. Jika masalah kerugian itu belum terselesaikan sampai bosnya ganti, maka Dani harus keluar dari perusahaan itu. Satu pekan sudah Dani membawa pulang putranya. Mereka tinggal di rumah yang dahulu Dia tinggal di sana. Sedikit demi sedikit, harta Dani terkuras untuk membayar kerugian yang diakibatkan oleh keteledorannya sendiri. "Ada apa sih, Dan?" Eni datang membawakan teh hangat untuk putranya. Dani menghela napas panjang lalu duduk. "Mah, benar apa kata orang. Kalau beda istri itu beda rezeki. Semakin hari, Dani semakin kehilangan apa yang Dani kumpulkan sejak lama.""Apa maksud kamu, Dan? Mama tidak paham. Jangan bilang kalau kamu menyesal menjatuhkan talak pada Diandra." Wanita tua itu ikut duduk dengan sorot mata pe
Sembilan bulan sudah mereka menanti, akhirnya pagi itu, Aruna merasa tak enak perasaan. Tiba-tiba merasa jantung berdebar-debar, tapi ia masih sibuk menyiapkan makan pagi di meja makan bersama pembantu. Ia merasa tak tahan untuk buang air kecil saat itu. Aruna menoleh pada pembantu, lalu berkata, "Bik, aku ke kamar mandi dulu, ya. Nanti kalau baby Al nangis, tolong ajak dulu. Soalnya Mas Zain belum pulang.""Baik, Mbak." Pembantu yang tadinya mencuci piring itu pun langsung membalas. Saat masuk ke kamar mandi, Aruna menunaikan hajatnya. Kandungan yang sudah membesar membuatnya sering buang air kecil. Namun, saat ia membuka celana, ia melihat bercak flek seperti saat ia hendak melahirkan baby Al saat itu. Aruna mendelik. Ia sudah yakin, hari itu juga ia bakal melahirkan. Dalam hatinya berdesir rasa khawatir. Setelah selesai, lalu mengganti celana yang baru, dan mencuci tangan, Aruna langsung keluar. "Bik," teriaknya. "Bik, tolong!" Pembantu tadi langsung tergopoh-gopoh menghampir
"Mas, aku kok khawatir ya, sama baby Al." Aruna menyentuh lengan suaminya. "Wajar begitu, Sayang. Namanya juga ibunya. Nanti setelah sampai bandara, kita video call." Zain menjawab dengan santai. Mereka saat ini berada di atas awan, di dalam pesawat yang menuju ke sebuah kota sejuk di mana orang-orang menyebutnya kota apel. Begitu pesawat landing, mereka Oun segera melangkah keluar. Menuju hotel untuk menginap. Dua koper besar masuk ke dalam taksi, mereka langsung menuju ke tempat wisata itu sekaligus menikmati waktu bulan madu yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Sampai di hotel, Aruna menghela napas panjang. Ia langsung membanting tubuhnya ke atas tempat tidur. Sementara Zain yang baru masuk, langsung menahan senyuman. Seisi ruang kepalanya mulai berkenalan, Zain tertawa. Pintu kamar hotel ia tutup. Pria itu melepas sepatu, lalu jaket hitamnya. Kemudian ia ikut merebahkan diri di sana. Memeluk tubuh Aruna dengan erat dan rasa bahagia. "Mas," panggil Aruna. "Hem. Kamu capek
"Besok Mas bicara sama dia. Kalau kamu yakin, Mas akan bertindak tegas." Aruna mengangguk. Ia segera memeluk suaminya lagi. Lalu malam berlalu begitu cepat. Paginya, Aruna mendadak malas bangun. Ia sengaja tiduran di atas ranjang sejak setelah Subuh. Tentunya bersama baby Al yang sudah bangun lebih awal. Bayi kecil itu kini mulai bersuara riang. Entah apa yang ingin ia ucapkan, yang jelas ia sangat lucu. "Sayang, kamu enggak bangun?" Zain baru saja masuk ke kamar. Ia baru saja keluar untuk mengambil air minum. "Males. Lagi pengen tidur-tiduran. Perutku mual lagi, Mas."Zain mendekat. Ia kembali mengusap kepala yang ditumbuhi rambut lebat itu. Lalu mencium kening Aruna yang wangi. "Kangen lagi? Barusan mandi," sindir Zain sambil meringis. "Iya, males mandi juga. Masa belum ada sejam udah mandi lagi. Rajin banget.""Maklumin dong, Yang. Kan namanya juga pengantin baru. Enggak ada istilah liburnya." Kali ini pria itu tertawa lepas. "Hem. Dasar laki-laki. Ke sana terus pikirannya."
Aruna segera mengetik pesan untuk suaminya saat di kamar. "Baru juga hidup tenang, ada aja yang ganggu. Iseng banget," gumamnya sendiri. ["Mas, aku takut."]["Takut kenapa?"]["Ada yang melempar boneka serem ke halaman setelah Mas berangkat tadi."]["Hah. Serius?"]["Iya lah, masa aku bohong. Enggak lucu juga. Lagian tadi pas Mas berangkat ada mobil berhenti di depan rumah."]["Mobil tetangga kali. Itu palingan yang ngelempar orang gila. Suka ada orang gila masuk komplek kali satpam depan ngantuk."]["Mas aneh banget, sih. Orang ini pagi-pagi. Mana mungkin satpam ngantuk? Kan gantian yang jaga semalam sama pagi ini."]["Ya udah, pokoknya hati-hati aja kalo di rumah. Jangan keluar kalo gitu. Mama udah dikasih tau?"]["Enggak. Aku enggak enakan ngasih taunya."]["Ya biar hati-hati juga. Ya udah, aku ada pasien lagi, Sayang. Kamu nikmati hari di rumah, ya! Mau dibawakan apa nanti kalo pulang?"]["Apa aja deh, Mas. Yang penting Mas pulang dengan selamat."]["Ciee, so sweet banget. Kayak
"Sayang, jangan marah dong. Aku enggak kayak gitu. Please!" Zain memohon dengan kaki berjongkok di depan istrinya. "Mas jahat. Nuduh aku sama mama kayak orang-orang di cerita itu, kan? Aku emang bukan anak mama. Aku emang bukan menantu yang baik bahkan bukan dari keluarga kaya. Tapi aku sama mama tetap baik-baik aja." Sambil mengusap wajah, Aruna melengos. "Iya, aku minta maaf. Aku udah buat kamu salah paham. Maafin, ya.""Apa aku pergi aja? Enggak tinggal di sini lagi. Biar Mas enggak menduga-duga kalo aku sama mama lagi enggak enakan.""Kenapa buntutnya jadi panjang gini, sih? Aku enggak ada maksud bilang begitu, Sayang." Zain tampak stres membujuk Aruna yang tak kunjung paham. Pria itu menggaruk kepalanya sendiri. "Aku capek lah, Run. Kamu enggak mau ngalah. Aku udah ngalah, udah ngejelasin panjang lebar, juga udah segalanya. Bujuk kamu gimana pun, tetap saja kamu begitu. Terserah lah." Zain merebahkan diri di atas ranjang dengan kedua tangan di belakang kepala. Ia langsung meme
Dua bulan sudah mereka menjalin hubungan suami istri. Kehidupan mereka terlihat baik-baik saja. Sampai tiba saat Zain baru bangun tidur siang di hari liburnya, ia melihat ke samping. Ada Aruna yang berselimut sampai kepalanya. Baby Al yang menangis di dalam keranjang tidur pun tak dihiraukan. Zain bergegas bangkit lalu meraih putra sambungnya itu lalu mengajaknya keluar dari kamar. Zain meminta pembantu mengajak putranya itu, lalu ia kembali ke kamar karena curiga. Pikirannya tertuju pada sang istri yang sejak tadi tak merespon apa pun. "Yang, kamu enggak apa-apa?" Pria itu menatap istrinya setelah duduk di tepi ranjang. "Yang," panggilnya lagi. "Kamu enggak apa-apa?" Disentuhnya kening sang istri, ternyata dan ia terkejut saat merasakan kening Aruna terasa panas. "Yang, kamu demam?" Zain langsung membuka selimut tebal itu, lalu menyentuh tubuh istrinya juga. "Ya Allah, kamu sakit?" Ia pun kembali menyelimuti tubuh Aruna lagi. Karena tak menjawab, Zain makin panik. Aruna seperti
"Jaga tuh mulut!" Wanita itu melotot sambil menunjuk jarinya ke wajah Aruna. "Kamu kira aku takut? Kamu kira aku bakal lemah saat kamu mengirim foto memalukan itu? Dokter, kok, enggak punya attitude. Rendahan banget ngirim trik ngancurin keluarga orang dengan cara kek gitu. Enggak nyangka aja, bisa-bisanya orang kayak kamu jadi dokter." "Tutup mulut kamu! Atau aku laporkan kamu pada sekuriti!" ancam wanita itu. "Aku enggak takut. Silakan saja, sampai di sini aja udah keliatan siapa yang main kotor. Kalau enggak laku, mending sabar dulu, bukannya malah fitnah keluarga orang lain. lucu sekali. Udah ye, aku mau belanja dulu. Bye-bye kuman!" Wanita bernama Afkha itu mendelik. Ia ingin sekali mencakar wajah Aruna. Namun, ia kembali mengurungkan karena khawatir malah membuatnya malu sendiri. "Awas saja dia! Sudah berani membuatku malu di sini, kau akan merasakan malu juga nanti. Saat itu tiba, aku akan membuatmu memohon di kakiku." Ia pun segera pergi dari sana. Aruna menoleh kanan ki
"Kamu percaya kan, sama aku?" Sekali lagi, Zain bertanya pada istrinya. "Aku percaya. Tapi, aku sakit melihat foto itu." Aruna menjawab dengan gugup. Bibirnya bergetar, ia masih trauma. "Aku akan ajukan pengunduran diri. Dan cari kerja di rumah sakit lain kalau perlu. Atau, bisnis lain yang bisa aku kerjakan mungkin. Kamu ... mau aku seperti Mas Aksa? Jadi orang kantoran? Aku bisa ... tapi mungkin akan butuh waktu karena aku enggak akan bisa masuk dan duduk di posisi seperti dia."Aruna menatap mata nanar suaminya. Ia yakin, suaminya tidak melakukan hal itu. Akan tetapi, rasanya sakit hati belum juga sembuh. "Katakan padaku sekali lagi, kamu percaya sama aku!"Aruna mengangguk. "Aku percaya, Mas. Tapi, aku khawatir dia deketin Mas lagi. Aku takut kalau dia cari cara-cara lain lagi untuk menimbulkan fitnah.""Insyaallah, semoga enggak. Aku akan menjauh jika dia mendekat. Aku akan waspada. Percayalah padaku, Aruna."Mereka kembali berpelukan. Malam itu, Aruna menatap putranya dengan
Tubuh Aruna bergetar. Jantungnya berdebar kencang. Ia tak siap mendengar kabar jika Zain menjalin hubungan dengan wanita lain. Dengan kata lain, pria itu berselingkuh. "Aku tidak akan percaya begitu saja dengan wanita tadi. Dia pasti sudah berbohong. Dia pasti hanya ingin membuat rumah tanggaku dan Mas Zain berantakan "Mondar-mandir memikirkan suaminya, Aruna tampak tak tenang. Ia segera menggendong putranya lagi, lalu menimang agar cepat tidur. Karena itu, ia ingin mencari tahu petunjuk-petunjuk yang mungkin ada di rumah. Jika memang suaminya berselingkuh. Setelah baby Al tertidur, Aruna meletakkannya di atas tempat tidur. Lalu mencoba mencari sesuatu di laci, di lemari, bahkan di sosial media. Wanita muda itu sudah seperti orang gila. Dia stres karena memikirkan suaminya. Dadanya perih saat memutar kembali suara mendayu wanita di balik telepon tadi. Karena tak menemukan apa-apa, Aruna lemas di lantai. Air matanya seolah habis, ia sudah termakan ucapan wanita itu. Kebetulan saat