Share

7. Hanya Singgah

Penulis: Adfa Al Yakub
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-13 16:39:57

Setelah sampai rumah, kutunjukkan hasil rekaman pembicaraan antara aku dan Bagas. Terlihat perubahan pada wajah Mama, wajahnya terlihat sangat kecewa. Senyum yang coba Mama tampilkan malah terlihat hambar. Sebegitu kecewa Mama atas batalnya perjodohan kami. Namun, Mama berjanji akan menyelesaikan masalah ini dengan Tante Anna tanpa harus membahayakan kondisinya.

“Istirahat, Ca. Udah malem.”

Setelah berkata begitu, Mama masuk ke dalam kamar. Menyisakan aku yang termenung meratapi keadaan. Sungguh, sebenarnya keinginan Mama terhadapku sangatlah sederhana, tetapi aku pun tak bisa berbuat sesuatu di luar kendaliku.

Melihatku menikah, menemukan pasangan hidup, membina sebuah rumah tangga, dan memiliki keturunan. Bukankah itu hal sederhana? Namun, apa yang bisa kulakukan jika Tuhan belum mau memberikan? Atau mungkin benar kata orang-orang. Bahwa, akulah yang kurang dalam berusaha? 

Aku mengusap air mata yang tiba-tiba hadir. Bukan! Bukan inginku begini. Lalu, apa yang harus aku lakukan?

Aku menyeret langkah menuju kamar, lantas segera membersihkan diri. Menghiraukan rasa lapar yang merongrong agar aku segera mengisi perut dengan makanan. Rasa lelah membuatku memilih untuk membaringkan tubuh di atas kasur.

Ya, aku lelah.

Tubuhku lelah.

Jiwaku pun lelah.

Andai dulu, aku memberanikan diri mengungkapkan perasaanku pada seseorang yang kusuka mungkin sekarang tak akan begini. Setidaknya aku tahu bagaimana perasaannya padaku. Andaipun dia menolak aku tak terjebak dalam rasa tak berujung.

Entah dari mana datangnya sebuah ide gila terlintas dalam pikiranku. Tentang sebuah nama seseorang yang selalu dijodoh-jodohkan denganku. Ide yang selalu kutolak mentah-mentah. 

Apakah aku harus menerima ide perjodohan itu? Bukankah dia juga hingga kini masih sendiri? Bahkan, aku tak pernah mendengar rumor kedekatannya dengan seseorang. Kalau pun benar dia tak punya pasangan, belum tentu dia setuju dijodohkan denganku.

Berbagai pertanyaan dan kemungkinan-kemungkinan terus berputar dalam kepalaku.

Ah ... kalau tidak dicoba bagaimana bisa tahu, kan? Apa tidak malu jika nanti aku ditolak? Astaga! Kenapa aku jadi pusing sendiri begini.

Setelah menimbang-nimbang, sepertinya ide gila yang sudah lama tercetus itu tidak terlalu buruk. Toh benar kata Mama, dia mempunyai wajah yang tampan, baik, dan juga mapan. Meski hubungan kami terbilang saudara, dalam hukum tak ada larangan jika kami mau menikah.

Langkah pertama yang harus aku lakukan adalah ikut serta dalam arisan keluarga yang sedianya diadakan sekali dalam satu bulan. Arisan keluarga adalah agenda keluarga yang selalu berusaha aku hindari dengan berbagai alasan. Memangnya siapa yang mau jadi bahan bullyan seluruh keluarga? Apalagi tambah dengan perjodohan yang entah bermula dari siapa.

Langkah kedua, aku harus mencari tahu semua informasi tentangnya. Kan, tidak lucu kalau sudah melakukan ini itu ternyata dia malah sudah punya pasangan.

Yang ketiga, aku melakukan pendekatan. Tentu saja, setelah tahu dia memang tidak memiliki pasangan atau setidaknya tidak sedang dekat dengan seseorang.

Aku memijat kening yang tiba-tiba didera rasa pusing. Ah ... kenapa urusan jodoh jadi sangat rumit seperti ini. Jika bukan karena ingin melihat Mama bahagia rasanya enggan aku melakukan hal itu.

Aku yakin sikap Mama banyak dipengaruhi oleh lingkungan sekitar kami. Ya, mulut-mulut iseng itu seperti tak ada bahan pembicaraan lain selain membicarakan kekurangan orang lain. Ini juga faktor yang membuatku malas jika harus kumpul-kumpul tak jelas yang akhirnya malah membicarakan aib orang. 

Sibuk dengan pikiran sendiri, membuatku lupa akan waktu yang terus merangkak naik. Perlahan rasa kantuk datang dan membawaku ke alam mimpi.

***

“Pagi, Ma,” sapaku riang.

Hari ini aku akan mulai memuluskan langkah pertama yang telah kususun dengan baik semalam.

“Pagi, tumben enggak harus dibangunin,” balas Mama.

“Kalau aku harus dibangunin Mama ngomel, bangun sendiri dikomentarin juga."

“Ck! Ya enggak gitu! Anak gadis memang harusnya udah bangun dari subuh.”

Sebenarnya bukan tanpa alasan Mama berkata seperti itu, mengingat ini masih jam 05.00 pagi.

“Ya, mulai sekarang aku mau belajar nurut deh.”

Lantas kami larut dalam obrolan random, dari satu topik ke topik yang lain. Membahas segala macam dari anak tetangga hingga anak kucing masuk dalam obrolan kami.

“Ma, arisan bulanan keluarga kapan?”

“Minggu depan, Ca.”

“Oh ... di rumah siapa?”

Gerakkan Mama memindahkan sayur ke dalam wadah terhenti, beliau mengangkat alisnya tinggi sekali. Menatapku dengan wajah curiga. “Kenapa Mama ngerasa hari ini kamu aneh?"

“A--aneh kenapa?”

“Bangun tanpa harus digedor-gedor, terus tanya-tanya arisan apa itu enggak aneh?”

“Aneh gimana coba?" tanyaku berusaha santai.

“Kamu tanya tentang arisan, tuh aneh tau! Biasanya paling males kalau bahas arisan. Apalagi kalau diajak, adaaa aja alesannya. Yang inilah, yang itulah, yang mau ke sinilah, yang mau ke sanalah. Minta anterin aja pasti kamu nolak.”

“Aku, kan cuma tanya, Ma.”

“Kamu tanya, pasti karena mau tau, kan?”

“Hehehe ... enggak kok, biasa aja!”

“Bener?”

“Benerlah! Jadi ....”

“Jadi apa?”

“Ck! Jadi arisannya kapan dan di rumah siapa?”

“Nah, kan. Jangan aneh-aneh deh, Ca!”

“Ish ... Mama! Aku, kan cuma pengen tau.”

“Arisannya minggu depan, di rumah Tante Fania-Mamanya Hardi,” kata Mama dengan mata menyorot tepat di mataku.

“Oh ... ke-kenapa Mama liat aku begitu?”

“Kam—“

“Ma, Caca mau siap-siap dulu, ya,” kataku memotong apa pun ucapan Mama.

Mama itu seperti paranormal, dia akan tahu apa yang sedang kupikirkan. Aku memacu langkah lebih cepat. Bukan hanya karena tatapan Mama yang membuatku gugup, tetapi juga karena aku harus segera bersiap untuk pergi ke kantor jika tak ingin terlambat.

Saat aku membuka lemari, mataku menangkap sebuah dress yang kemarin lusa Mama belikan untukku. Aku menyentuh dress itu pelan, mulai meyakinkan diri tak salahnya mengubah diri jika itu membuatku jadi lebih baik.

Aku meraih dress berwarna merah muda itu, dan memakainya. Untuk sekian detik ada rasa tak nyaman saat dress tersebut menutupi tubuhku, aku terus menyugesti diri bahwa aku hanya belum terbiasa.

Membawa langkahku ke meja rias, aku dibuat bingung dengan banyaknya produk di atas meja riasku.

Aku meraih ponsel. Mulai mengetikkan kata kunci di aplikasi video terkenal. Setelah mengerti walau hanya sedikit, aku mulai mengaplikasikan beberapa produk itu di atas wajahku.

Keluar dari kamar tidur, kudapati tatapan aneh dari seluruh keluargaku. Mereka melarikan pandangan dari kepala hingga kakiku dan kembali lagi ke atas.

“Ehem ... kenapa sih? Kok, liatinnya begitu banget?”

“Ca? Kamu baik-baik aja?” tanya Mama.

“Aku? Aku baik-baik aja, kok!”

“Yakin?”

“Yakin, Mama. Aku laper mau sarapan. Yuk, kita sarapan?”

“Kak? Kepala aman, kan? Enggak kejedot tembok kamar mandi, kan?”

“Enggak usah aneh-aneh. Cepet makan, kalau enggak mau gue tinggal.”

Jangankan mereka, aku saja risi dengan penampilan baruku ini.

“Sudah-sudah, ayo kita sarapan! Nanti kalian malah telat kalau ngobrol terus,” ucap Papa menengahi.

Kami makan dengan hening adalah sesuatu yang sangat jarang terjadi, biasanya tak ada yang tak kami bahas di meja makan. Namun, kali ini terasa berbeda. Entah kabar tentang batalnya perjodohanku, entah karena penampilan baruku yang membuat mereka seperti sibuk dengan pikiran masing-masing. Namun, aku bersyukur tak ada yang membahas masalah itu.

Jujur saja, sebenarnya aku menaruh sedikit harap jika Bagaslah yang menjadi pendampingku kelak. Aku sudah ikhlas jika memang dia adalah jodohku, tetapi semua malah berubah hanya dalam hitungan jam.

Tak mengapa memang, itu berarti kami memang tak berjodoh, dan artinya dia bukan yang terbaik untukku.

Jodoh. Satu misteri yang siapa pun tak dapat menebak, pun memilih dengan siapa harus bersanding. Ada yang bilang dua orang yang menikah saja belum tentu berjodoh, apa lagi yang baru sekadar rencana. Ya, buktinya tidak sedikit kasus perceraian yang terjadi di dunia. Dari alasan ketidakcocokkan sampai alasan sudah bosan. Dari yang baru hitungan hari sampai yang sudah berpuluh tahun bersama, tetapi justru memilih bercerai.

Aku berharap aku akan menikah dengan jodohku, bukan dengan yang hanya singgah. 

Bab terkait

  • Kejar Target, Bang!   8. Kado Misterius

    Seminggu sudah aku mengenakan segala pernak pernik yang di sebut make up juga segala produk perawatan kulit serta menggunakan dress-dress yang Mama belikan. Aku bahkan membeli beberapa dress lagi.Tatapan aneh dan penuh selidik tak lagi kudapatkan dari orang di sekitarku, baik di kantor maupun di rumah. Pagi itu saat aku akan masuk mobil, Mama mencekal tanganku.“Ca, pakai apa yang buat kamu nyaman. Jangan paksain sesuatu yang enggak kamu suka.”Aku mengerutkan kening. “Caca suka, kok, Ma. Udah, ya, aku berangkat dulu. Assalamualaikum.”“Wa alaikum salam.”“Kak, lo baik-baik aja, kan?”“Kenapa emang?“Lah, ini lo bukan style lo banget!”“Emang style gue gimana?”Bisa kulihat kedua adikku itu memutar mata malas secara bersamaan. “Belaga pilon lagi.”“Emangnya salah kalau gue mau berubah?”“Ya, enggak sih.”“Trus?”“Kak, ini bukan karena perjodohan itu batal, kan?” cicit Rania hampir saja tak terdengar.“Enggaklah. Iya kali cuma gara-gara dia gue harus berubah!”“Ya, baguslah. Betewe, l

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-13
  • Kejar Target, Bang!   9. Sebuah Tas Branded

    Ck! Harganya puluhan juta ini! Duh, cakep banget!” Maria berdecap kagum.“Hah? Masa sih, Mar?”“Hah-hah, mulu dari tadi! Mbak pegang deh!”“Mau apa kamu, Mar?”“Mau cek harganya.” Maria meraih ponselnya dan mulai mengetikkan sesuatu di ponselnya.“Tuh, kan Mbak! Harganya tiga puluh jeti!”“Hah? Yang bener kamu, Mar!”“Nih, liat kalau enggak percaya!”Maria menyodorkan ponselnya, dan benar di sana terpampang gambar tas yang sama dengan yang saat ini kupegang beserta harga dalam jumlah dollar.“Kalau Mbak enggak mau, aku mau nampung, kok!”“Enak aja!”“Ish! Tadi aja sok-sokan enggak mau buka, tapi siapa yang ngirim ya, Mbak?”Dering di ponselku mengalihkan perhatian kami. Aku segera meraih ponselku, mengangkat satu alis kala mendapati nomor yang memang tidak kusave. Namun, aku tahu siapa pemiliknya. Bagas.Untuk menjawab rasa penasaran, aku segera menjawab teleponnya.“Ya?”“Hai, Ca!”“Ada apa?”“Ck! Kamu tuh selalu tanpa basa basi, ya?”“Yang basi itu enggak enak. Ada apa? Bukannya mas

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-14
  • Kejar Target, Bang!   10. Pertemuan

    "Itu kan si Bagas. Ngapain dia di sini?” gumamku. Aku segera menoleh ke arah Mama. Aku bersyukur Mama sedang sibuk dengan ponselnya. Aku juga bersyukur karena Bagas segera melaju dan tak sempat melihat ke arah kami. Kami berdua sampai di rumah Tante Fania tepat pukul sembilan. Di rumah itu sudah banyak orang. Lapangan di depan rumah Tante Fania juga terlihat sudah penuh oleh mobil keluarga kami. Sebenarnya aku malas sekali menghadiri acara ini jika bukan karena perkara jodoh. Sebelum turun aku mengecek kembali penampilanku. Memastikan penampilanku tetap paripurna. “Ayo, Ca!” “Iya, Ma.” Setelahnya aku menekan tombol kunci otomatis, dan menggandeng tangan Mama. Baru sampai di halaman rumah, saudara-saudara Mama sudah bersorak menyambut kedatangan kami. Kemudian suara-suara yang lebih banyak didominasi oleh wanita itu terdengar bergantian. Tentu saja akulah yang menjadi objek utama mereka. “Pantes hari ini cerah banget, Caca datang rupanya.” “Wah, Caca makin cantik ya, kalau pake

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-14
  • Kejar Target, Bang!   11. Aib

    “Kenapa nyariin aku?”Sungguh aku tak berani menoleh. Sekarang aku bagaikan seorang pencuri yang ketahuan pemiliknya. Jangan lagi tanya bagaimana jantungku bekerja. Telapak tanganku bahkan sudah terasa dingin. Ingin rasanya aku menghilang sekarang juga. Entah bagaimana sekarang semua pasang mata seolah-olah hanya tertuju padaku.“Nah, ini orangnya!” seru Tante Fania.“Maaf, Ma. Kai telat.”Aku memberanikan diri untuk sedikit melirik, Iya, hanya sedikit. Tante Fania bangkit untuk menyambut anaknya. Pria bernama Kaivan Abimanyu itu lantas mencium kedua pipi Tante Fania.“Kamu kan emang gitu. Kalau udah kerja ya, lupa waktu. Enggak peduli walau pun weekend begini!”Hanya garis besar yang kutahu tentang keluarga Tante Fania. Suaminya—Gilang Abimanyu adalah seorang arsitektur, sedangkan anak sulungnya—Aidan Abimanyu mengikuti jejak Om Gilang, sementara Kak Kai—begitu aku memanggilnya, lebih memilih menjadi seorang pengusaha.Dari cerita Mama, katanya Kak Kai memiliki dua kafe yang sedang

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-16
  • Kejar Target, Bang!   12. Adegan Erotis

    “Awas, Ca ...!”Hanya sepersekian detik tubuh kurusku sudah terlempar ke dalam kolam renang. Untuk beberapa detik aku merasa bingung dengan apa yang terjadi padaku. Astaga, aku tercebur! Begitu sadar bahwa tubuhku kini berada di dalam air, aku segera menggerakkan tubuh. Berkali-kali aku mencoba untuk membuat posisi kepala di permukaan air agar bisa bernapas. Aku tak menghiraukan pekikkan-pekikkan kaget dari semua orang. Bagaimana bisa menghiraukan orang-orang, sedangkan untuk bernapas saja aku kesulitan. Iya, aku tak bisa berenang. Di keluargaku hanya akulah yang tak bisa berenang.Jangan tanya penyebabnya, karena aku malas mengingat peristiwa masa kecil yang membuatku trauma akan air. Apa yang dikatakan Tante Fania dan Kak Kai memang benar. Sewaktu kecil aku adalah anak yang memiliki tubuh gendut dan ceroboh, mungkin karena itulah aku sering tercebur.Tak lama kudengar suara cipratan air dekat dengan posisiku berada. Entah siapa yang memelukku dari belakang, dia mengangkat tubuhku hi

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-24
  • Kejar Target, Bang!   13. Dada Kamu Transparan

    "Ka—kak, ma—mau apa?”“Menurut kamu?”“Jangan macem-macem ya, Kak!”Kak Kai mengulurkan kemeja basahnya ke pangkuanku dengan pandangan menunduk. Kulihat napasnya naik turun dengan cepat. “Tolong tutupi bagian depan badan kamu pakai ini dan jangan bertanya kenapa.”Adalah hal yang menjadi tanya besar ketika manusia dilarang melakukan sesuatu, justru menimbulkan rasa penasaran yang mengembung makin besar. Sama halnya dengan manusia lain, aku pun merasa perlu menanyakan hal yang dilarang oleh Kak Kai. Namun tak urung aku menuruti permintaannya dengan menutup bagian dadaku.“Kenapa?”Setelah aku menutupi dada dengan kemeja itu, Kak Kai kembali menarik kaki sebelah kiriku dan memijatnya. Kali ini pijatannya terasa terburu-buru.“Kenapa, Kak?” ulangku saat kulihat dia tak menunjukkan tanda-tanda akan menjawab pertanyaanku. “Awww! Sakit, Kak!”Kulihat dia memejamkan mata sambil terus memijat kakiku. Kenapa dia terlihat begitu frustrasi. Sebenarnya dia itu kenapa sih?“Aaah!”“Astagfirullah,

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-28
  • Kejar Target, Bang!   14. Teka-teki

    Usai kejadian memalukan di kamar Kak Kai beberapa saat lalu. Aku seperti kehilangan muka. Setelah kak Kai berlalu, aku buru-buru mengganti baju di kamar mandi. Aku baru sadar bahwa dress berwarna merah muda yang kupakai kalau terkena air akan begitu transparan. Belum lagi pakaian dalaman yang kugunakan hari ini berwarna merah terang. Pantaslah dia memintaku menutupi bagian depan tubuhku dengan kemejanya.Aku juga baru sadar dari kepolosan, ah bukan. Bukan kepolosan, lebih tepatnya kebodohanku. Kenapa aku baru paham arti perkataan Kak Kai sekarang sih.Aku menelan ludah dengan susah payah mengingat kebersamaan kami beberapa saat lalu. Artinya dalam beberapa menit itu Kak Kai menahan diri untuk tidak menerkamku.Setelah berganti baju, aku segera ke luar dari kamar Kak Kai. Suatu hal yang syukuri adalah kak Kai juga memberi satu set pakaian wanita yang terlihat masih baru beserta sepotong dress berwarna abu muda dengan label tag yang masih menggantung.Aku sempat bingung kenapa di rumah

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-02
  • Kejar Target, Bang!   15. Sebuah Kejutan

    Setelah membantuku menaruh baju basah, Kak Kai lantas mengunci mobil. Dia tersu melangkah masuk ke dalam rumah tanpa menjawab pertanyaanku. Sialnya kuci mobilku dia bawa. Gagal sidah rencanaku untuk kabur.Aku terpaksa mengikuti langkahnya masuk lagi ke dalam rumah. Langkahku terasa sangat berat. Terbayang sudah pertanyaan-pertanyaanyang akan aku terima di dalam sana. Aku yakin tak akan melepaskan aku begitu saja.Arggh!Tahu begini aku lebih baik di rumah saja. Menikmati hari minggu sembari membaca novel penulis favoritku yang kubeli satu minggu lalu dan belum sempat kusentuh sama sekali. Masa bodoh dengan urusan jodoh. Toh aku bisa mencari jalan lain untuk bertemu dengan Kak Kai.Ngomong-ngomong soal Kak kai, aku masih penasaran dengan dress yang kupakai. Sebenarnya dress ini punya siapa sih? Ah, bikin penasaran aja.Akhirnya acara arisan yang membuatku harus jadi topik pembicaraan itu selesai. Namun, penderitaanku belum juga berakhir. Sampai di rumah, Mama memberondongku dengan ban

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-05

Bab terbaru

  • Kejar Target, Bang!   20. Saya Calon Suaminya Caca

    Pagi-pagi sekali Mama sudah datang. Wanita yang paling cantik sedunia bagiku itu mnenteng banyak sekali bawaan di tangan kanan dan kirinya. Wanita bertubuh gemuk itu terlihat kesulitan ketika berjalan. Lalu yang membuatku cemberut adalah hal pertama yang dia tanyakan bukan menanyakan bagaimana keadaanku.“Kai mana, Ca? Mama bawa sarapan buat dia.”“Cuma buat Kak Kai?”“Loh, makanan buat kamu kan disediain rumah sakit, tapi Mama bawa banyak camilan kok.”Mama mengedarkan pandangannya ke seluruh sisi ruangan. “Kai lagi di kamar mandi?”“Iya.”Tak lama pintu kamar mandi terbuka, menampilkan Kak kai dengan rambut basah. Rambutnya itu bahkan masih meneteskan air dari ujung rambut. “Pagi, Tante,” sapa Kak Kai dengan senyumnya yang khas.“Pagi, Kai. Tante bawa sarapan buat kamu. Kita sarapan dulu, yuk!”“Tante kok malah repot-repot sih?”“Enggak apa-apa. Pagi-pagi gini belum banyak pilihan sarapan yang dijual. Lagian kan lebih sehat kalau dimasak sendiri.”Lalu, Mama menuntun Kak Kai ke kurs

  • Kejar Target, Bang!   19. Perhatian Kecil

    Dengan sekali tegukkan aku meneguk air berserta tiga butir obat dengan ukuran kecil. Kak Kai kembali menurunkan ranjang. Dia menaikkan selimut hingga sebatas dadaku. Aku kembali membuka kembali mataku saat Kak Kai membisikkan sesuatu di telingaku dan pria itu berhasil mendaratkan ….“Ah, jantung apa kabarmu saat ini?”Pria itu mendaratkan satu kecupan di dahiku. Hal yang membuat tubuhku bukan hanya meremang, tetapi juga kembali menggigil. Usai mencium keningku, pria itu bersikap seolah-olah tak ada apa-apa. Dia berjalan menuju sofa. Lalu, berbaring dan memakai selimutnya sendiri. Tak lama kudengar dia mendengkur halus. Aku mendengkus dalam hati. Setelah mencuri satu ciuman pertama dariku dia enak-enak tertidur. Sementara aku didera insomnia karena ulahnya.Sampai jam satu dini hari mataku sulit banget buat dipejamin. Aku melirik ke arah Kak Kai, pria itu entah sedang terbang ke mana sekarang dalam mimpinya. Uh, ini sih sama saja aku enggak ditemanin namanya.Aku ambil ponselku. Aku li

  • Kejar Target, Bang!   18. Kabar Si Jantung

    Entah berapa lama aku tertidur, atau mungkin pingsan? Yang jelas aku terbangun dengan kepala yang berdenyut hebat. Aku merasa sinar lampu tepat di atas kepalaku. Sinar lampu yang aku rasa terlalu dekat, membuatku kesulitan membuka mata. Aku meringis saat merasakan seluruh tubuhku terasa remuk.“Caca ….”Aku tahu betul itu suara Mama. Aku ingin menjawab, tetapi tenggorokanku seakan-akan tak mau mengekuarkan suara. Aku mengerang kembali saat rasa dingin yang begitu hebat memeluk tubuhku erat. Aku seperti berada di dalam lemari es. Tubuhku menggigil hingga aku harus merapatkan gigi. Namun, di saat yang bersamaan rasa panas juga ikut menyebar seluruh nadi di dalam tubuh.Mataku masih enggan terbuka. Aku merasakan Mama menambah lembaran selimut atau apa pun itu. Namun, rasa dingin yang kurasakan enggak juga berkurang. Di sisi yang lain keringat terasa membasahi tubuh. Tak lama suara pintu dibuka terdengar.“Bagaimana keadaan Caca, Tante?”“Caca udah bangun, tapi kayaknya sekarang lagi kedi

  • Kejar Target, Bang!   17. Calon Istri

    Lalu apa yang dilakukan oleh pria itu selanjutnya membuatku ingin menjerit keras. Pria aneh itu tertawa terbahak sembari membawa langkahnya ke luar dari kamarku. Dia berbalik di ambang pintu. “Mukamu merah, Ca.”Setelah ngomong gitu, dia mengedipkan sebelah matanya ke arahku, dan menutup pintu kamarku. Di dalam kamar aku masih bisa dengar suaranya yang tertawa kencang. Sumpah, aku baru tahu kalau Kak Kai memiliki sifat jahil. Astaga bisa-bisanya aku bersemu merah jambu hanya karen aulah jahilnya. Ish, jantungku juga kok norak banget, baru segitu saja udah deg-degan enggak karuan. Raisa bodoh banget!Usai membersihkan diri, memakai baju, aku sedikit memoleskan pelembap bibir agar bibirku tak terlalu pucat. Setelahnya aku menuruni tangga dengan hati-hati. Meski sudah lebih baik, sqakit di kepalaku masih terasa. Badanku juga masih lemas banget.Di tengah tangga, tiga orang yang sedang mengobrol asyik sambil menikmati secangkir teh dan sepiring camilan buatan Mama itu kompak menoleh ke a

  • Kejar Target, Bang!   16. Aku Mau Gantiin Baju Kamu

    Demi apa pun selama 27 tahun aku hidup, aku tak pernah sekali pun melihat Mama tersenyum begitu indah sekaligus mengerikan seperti sekarang ini. Aku kembali mengalihkan pandangan pada dua orang yang ada di belakang Mama. Dua orang dengan wajah hampir serupa dalam jenis kelamin berbeda itu sedang tersenyum ke arahku.Aku meringis sejadi-jadinya. Astaga, dalam keadaan tidak sakit saja aku merasa tak cantik. Apa lagi sekarang? Wajah pucat, bibir pucat, rambut bak singa, berkeringat, baju rumahan tipis karena sudah terlalu sering aku gunakan sekarang dalam keadaan yang sudah basah, dan satu ingatan tentang aktivitas pagi berhasil membuatku ingin menelenggelamkan diri ke laut. Ya, Tuhan … aku belum mandi.Langkah Mama dan dua orang tamunya itu makin mendekat ke arahku. Senyum Mama tak luntur, berbanding terbalik denganku yang hanya bisa pasrah. Senyuman Mama itu masih bertahan bahkan saat telah sampai di dekatku. Aku hanya bisa diam tanpa merasa bisa melakukan apa-apa. Ah … masa bodoh lah

  • Kejar Target, Bang!   15. Sebuah Kejutan

    Setelah membantuku menaruh baju basah, Kak Kai lantas mengunci mobil. Dia tersu melangkah masuk ke dalam rumah tanpa menjawab pertanyaanku. Sialnya kuci mobilku dia bawa. Gagal sidah rencanaku untuk kabur.Aku terpaksa mengikuti langkahnya masuk lagi ke dalam rumah. Langkahku terasa sangat berat. Terbayang sudah pertanyaan-pertanyaanyang akan aku terima di dalam sana. Aku yakin tak akan melepaskan aku begitu saja.Arggh!Tahu begini aku lebih baik di rumah saja. Menikmati hari minggu sembari membaca novel penulis favoritku yang kubeli satu minggu lalu dan belum sempat kusentuh sama sekali. Masa bodoh dengan urusan jodoh. Toh aku bisa mencari jalan lain untuk bertemu dengan Kak Kai.Ngomong-ngomong soal Kak kai, aku masih penasaran dengan dress yang kupakai. Sebenarnya dress ini punya siapa sih? Ah, bikin penasaran aja.Akhirnya acara arisan yang membuatku harus jadi topik pembicaraan itu selesai. Namun, penderitaanku belum juga berakhir. Sampai di rumah, Mama memberondongku dengan ban

  • Kejar Target, Bang!   14. Teka-teki

    Usai kejadian memalukan di kamar Kak Kai beberapa saat lalu. Aku seperti kehilangan muka. Setelah kak Kai berlalu, aku buru-buru mengganti baju di kamar mandi. Aku baru sadar bahwa dress berwarna merah muda yang kupakai kalau terkena air akan begitu transparan. Belum lagi pakaian dalaman yang kugunakan hari ini berwarna merah terang. Pantaslah dia memintaku menutupi bagian depan tubuhku dengan kemejanya.Aku juga baru sadar dari kepolosan, ah bukan. Bukan kepolosan, lebih tepatnya kebodohanku. Kenapa aku baru paham arti perkataan Kak Kai sekarang sih.Aku menelan ludah dengan susah payah mengingat kebersamaan kami beberapa saat lalu. Artinya dalam beberapa menit itu Kak Kai menahan diri untuk tidak menerkamku.Setelah berganti baju, aku segera ke luar dari kamar Kak Kai. Suatu hal yang syukuri adalah kak Kai juga memberi satu set pakaian wanita yang terlihat masih baru beserta sepotong dress berwarna abu muda dengan label tag yang masih menggantung.Aku sempat bingung kenapa di rumah

  • Kejar Target, Bang!   13. Dada Kamu Transparan

    "Ka—kak, ma—mau apa?”“Menurut kamu?”“Jangan macem-macem ya, Kak!”Kak Kai mengulurkan kemeja basahnya ke pangkuanku dengan pandangan menunduk. Kulihat napasnya naik turun dengan cepat. “Tolong tutupi bagian depan badan kamu pakai ini dan jangan bertanya kenapa.”Adalah hal yang menjadi tanya besar ketika manusia dilarang melakukan sesuatu, justru menimbulkan rasa penasaran yang mengembung makin besar. Sama halnya dengan manusia lain, aku pun merasa perlu menanyakan hal yang dilarang oleh Kak Kai. Namun tak urung aku menuruti permintaannya dengan menutup bagian dadaku.“Kenapa?”Setelah aku menutupi dada dengan kemeja itu, Kak Kai kembali menarik kaki sebelah kiriku dan memijatnya. Kali ini pijatannya terasa terburu-buru.“Kenapa, Kak?” ulangku saat kulihat dia tak menunjukkan tanda-tanda akan menjawab pertanyaanku. “Awww! Sakit, Kak!”Kulihat dia memejamkan mata sambil terus memijat kakiku. Kenapa dia terlihat begitu frustrasi. Sebenarnya dia itu kenapa sih?“Aaah!”“Astagfirullah,

  • Kejar Target, Bang!   12. Adegan Erotis

    “Awas, Ca ...!”Hanya sepersekian detik tubuh kurusku sudah terlempar ke dalam kolam renang. Untuk beberapa detik aku merasa bingung dengan apa yang terjadi padaku. Astaga, aku tercebur! Begitu sadar bahwa tubuhku kini berada di dalam air, aku segera menggerakkan tubuh. Berkali-kali aku mencoba untuk membuat posisi kepala di permukaan air agar bisa bernapas. Aku tak menghiraukan pekikkan-pekikkan kaget dari semua orang. Bagaimana bisa menghiraukan orang-orang, sedangkan untuk bernapas saja aku kesulitan. Iya, aku tak bisa berenang. Di keluargaku hanya akulah yang tak bisa berenang.Jangan tanya penyebabnya, karena aku malas mengingat peristiwa masa kecil yang membuatku trauma akan air. Apa yang dikatakan Tante Fania dan Kak Kai memang benar. Sewaktu kecil aku adalah anak yang memiliki tubuh gendut dan ceroboh, mungkin karena itulah aku sering tercebur.Tak lama kudengar suara cipratan air dekat dengan posisiku berada. Entah siapa yang memelukku dari belakang, dia mengangkat tubuhku hi

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status