Dengan sekali tegukkan aku meneguk air berserta tiga butir obat dengan ukuran kecil. Kak Kai kembali menurunkan ranjang. Dia menaikkan selimut hingga sebatas dadaku. Aku kembali membuka kembali mataku saat Kak Kai membisikkan sesuatu di telingaku dan pria itu berhasil mendaratkan ….“Ah, jantung apa kabarmu saat ini?”Pria itu mendaratkan satu kecupan di dahiku. Hal yang membuat tubuhku bukan hanya meremang, tetapi juga kembali menggigil. Usai mencium keningku, pria itu bersikap seolah-olah tak ada apa-apa. Dia berjalan menuju sofa. Lalu, berbaring dan memakai selimutnya sendiri. Tak lama kudengar dia mendengkur halus. Aku mendengkus dalam hati. Setelah mencuri satu ciuman pertama dariku dia enak-enak tertidur. Sementara aku didera insomnia karena ulahnya.Sampai jam satu dini hari mataku sulit banget buat dipejamin. Aku melirik ke arah Kak Kai, pria itu entah sedang terbang ke mana sekarang dalam mimpinya. Uh, ini sih sama saja aku enggak ditemanin namanya.Aku ambil ponselku. Aku li
Pagi-pagi sekali Mama sudah datang. Wanita yang paling cantik sedunia bagiku itu mnenteng banyak sekali bawaan di tangan kanan dan kirinya. Wanita bertubuh gemuk itu terlihat kesulitan ketika berjalan. Lalu yang membuatku cemberut adalah hal pertama yang dia tanyakan bukan menanyakan bagaimana keadaanku.“Kai mana, Ca? Mama bawa sarapan buat dia.”“Cuma buat Kak Kai?”“Loh, makanan buat kamu kan disediain rumah sakit, tapi Mama bawa banyak camilan kok.”Mama mengedarkan pandangannya ke seluruh sisi ruangan. “Kai lagi di kamar mandi?”“Iya.”Tak lama pintu kamar mandi terbuka, menampilkan Kak kai dengan rambut basah. Rambutnya itu bahkan masih meneteskan air dari ujung rambut. “Pagi, Tante,” sapa Kak Kai dengan senyumnya yang khas.“Pagi, Kai. Tante bawa sarapan buat kamu. Kita sarapan dulu, yuk!”“Tante kok malah repot-repot sih?”“Enggak apa-apa. Pagi-pagi gini belum banyak pilihan sarapan yang dijual. Lagian kan lebih sehat kalau dimasak sendiri.”Lalu, Mama menuntun Kak Kai ke kurs
“Ca! Kalau pakai baju tuh, yang matching dong! Itu juga rambut jangan cuma digulung-gulung kaya sarang tawon.” Kalimat yang sudah biasa aku dengar dari wanita yang kupanggil Mama.“Gimana mau dapet jodoh kalau begitu terus!”“Iya, Ma.”“Kamu tuh kalau dibilangin Mama, jangan cuma iya, iya doang! Tapi enggak pernah dilakuin.”“Pake baju asal, enggak pernah pake make up, gimana mau ada yang suka, Ca!Meski sudah bosan dengan celoteh Mama tentang penampilanku, aku akan tetap mendengarkan ucapan Mama sampai selesai.Aku Raisa Alfiani, biasa dipanggil Caca. Anak pertama dari tiga bersaudara, kedua saudaraku semuanya perempuan. Kedua adikku sangat fashionable dan pintar bersolek, jadi wajar jika Mama sangat cerewet soal penampilanku. Apalagi kedua adikku sudah memiliki pacar.“Inget, Ca, umur kamu udah berapa! Pake nolak segala kalo dijodohin!”“Mama jodohinnya sama dia.”“Memangnya kenapa? Dia tampan, kok, mapan juga!”“Dia itu masih saudara kita, Ma,” jawabku kali ini tak tahan untuk tak
Rentetan nyanyian Mama di pagi buta terdengar sangat menyebalkan, aku yang baru tertidur pukul 24.00 terpaksa bangun demi tak menambah panjang daftar nyanyian yang akan dinyanyikan oleh Mama.“Azan subuh udah ke mana tau, anak gadis masih belum bangun juga!”Mata yang masih lengket kupaksa untuk terbuka, dengan setengah berlari aku menuju kamar mandi. Namun, karena nyawa yang belum utuh membuatku terjatuh karena terserimpet kaki sendiri.Sial!Tubuhku tertelungkup sempurna di atas lantai, jangan tanya lagi bagaimana rasa sakitnya.“Apa pula yang dilakuin anak ini, Ya Allah.” Entah sejak kapan Mama berdiri di depan pintu kamarku yang terbuka dengan tangan bertolak pinggang.“Kamu itu ngapain si, Ca? Enggak ada kerjaan banget! Kenapa malah telungkup di lantai gitu subuh-subuh begini?”Bukan ditolong aku malah kena nyanyian Mama. “Caca jatuh, Ma,” balasku setengah kesal.Aku bangkit dengan tertatih. Saat jatuh tadi, lututku yang jatuh lebih dulu.“Udah tua masih aja jatuh! Cepet solat, a
Aku menghentikan laju mobilku saat ponselku bergetar lama, menandakan panggilan masuk.[Ya, Ma?][Wa’alaikumus salam.][Hehehe ... Assalamualaikum, Mama cantik.][Wa’alaikumus salam. Kamu di mana? Kok, belum pulang? Biasanya, kan udah pulang. Kamu ke mana dulu? Awas, ya ke tempat enggak bener!][Ya, Allah. Ma, satu-satu dong!][Heleh!][Caca lagi di jalan, ini mau pulang.][Jalan mana? Jalan Sumatera?][Ngapain ke Sumatera?][Jangan ngalihin pembicaran, ya! Cepet jawab!][Caca tuh, beneran lagi di jalan mau pulang—][Sejak kapan dari kantor ke rumah makan waktu empat jam?][Ma, dengerin dulu, dong! Dari kantor tadi jam empat lewat lima belas menit. Nah, sekarang masih di jalan bentar lagi nyampe, kok. Kenapa si, Ma?][Mama titip belanjaan, udah Mama kirim ke hp kamu daftar belanjaannya. Jangan sampe ada yang kurang, abis dari situ langsung pulang! Jangan kelayaban!][Ya, Allah, Ma. Supermarketnya udah kelewat jauh, masa Caca harus puter balik? Kenapa enggak dari tadi ngabarinnya?][Ka
Aku terbangun karena perut yang keroncongan, melirik pada jam dinding yang menunjukkan pukul satu dini hari. Ah ... ternyata aku tertidur cukup lama.Aku mengerakkan tubuh yang serasa pegal karena tertidur dengan posisi yang tidak nyaman, mendesis kala tangan yang menjadi bantalan kepala selama tidur terasa ngilu.Terdengar lagi suara perutku yang kelaparan, jika diingat terakhir aku makan saat di kantor kemarin siang.Aku segera bangun saat mengingat belum mengerjakan salat Isya, bergegas ke kamar mandi kutemukan noda merah di celana dalam. Pantas, semalam aku begitu emosi.Rania adik bungsuku itu memang memiliki sikap yang menyebalkan. Selain terlahir bungsu, sikap Mama terhadap Rania selama ini membuatnya begitu manja.Menyelesaikan ritual mandi kilat, aku memilih piama untuk dipakai sekarang. Setelah selesai berpakaian, kubawa langkah menuruni tangga menuju dapur. Beruntung hari ini adalah hari libur, aku merencanakan untuk tidur lagi setelah makan malam di dini hari ini.Membuka
Berada di tengah-tengah obrolan orang tua membuatku mati kutu, belum lagi bibirku terasa kering karena harus tersenyum terus menerus.Ditambah perut yang minta diisi, benar-benar membuatku nelangsa. Berkali-kali aku memberi kode pada Mama meminta izin untuk masuk, yang kudapat hanya delikan mata Mama.Mama sendiri sibuk mempromosikan anak gadisnya, pernah dengar tukang panci yang sedang berorasi? Nah, kira-kira seperti itulah Mama mempromosikan aku di depan Tante Anna, Om Handoko dan juga Bagas.Ngomong-ngomong tentang Bagas, sedari tadi dia hanya diam. Menjawab singkat saat di tanya, selebihnya sama sepertiku terpaksa mendengar obrolan para orang tua. Bedanya aku selalu tersenyum, sedangkan dia diam dengan wajah datarnya.Tetapi aku bersyukur, setidaknya tak harus membuka obrolan garing. Ya, aku memang tak pandai membuka obrolan apa lagi dengan orang asing.“Ma, ajak tamu kita makan dulu, ini udah masuk waktu makan siang,” kata Papa.Aku bersorak dalam hati, akhirnya cacing-cacing da
Aku mengerutkan kening saat membaca satu pesan yang masuk ke ponselku dari nomor yang tak kukenal.[Bisa ketemu nanti sore? Kutunggu di kafe Cinta pukul 17.00 hari ini.]Aku memutuskan untuk tak membalas, karena aku tak terbiasa membalas pesan dari nomor asing.Aku melirik tumpukan dokumen di atas meja, dokumen yang harus kuperiksa satu per satu. Setelahnya, membuat perbandingan agar hasilnya menemui titik balance.Berkutat dengan angka-angka memang kegemaranku, tetapi jika dikejar deadline seperti sekarang rasanya kepalaku hampir pecah.Aku memilih untuk menghiraukan getar notifikasi yang sedari tadi tak mau berhenti, aku bisa memeriksanya nanti. Begitu pikirku.Mendekati akhir tahun seperti ini, divisi keuangan memanglah menjadi divisi paling sibuk di antara yang lain.“Mbak! Makan siang, yoook!”“Eh ... udah jam istirahat?”“Kerja sih kerja! Badan tetep butuh makan kali! Kerja sampe lupa waktu begitu!” omel Maria“Hahaha ... emang beneran enggak kerasa kalau udah masuk waktu istir
Pagi-pagi sekali Mama sudah datang. Wanita yang paling cantik sedunia bagiku itu mnenteng banyak sekali bawaan di tangan kanan dan kirinya. Wanita bertubuh gemuk itu terlihat kesulitan ketika berjalan. Lalu yang membuatku cemberut adalah hal pertama yang dia tanyakan bukan menanyakan bagaimana keadaanku.“Kai mana, Ca? Mama bawa sarapan buat dia.”“Cuma buat Kak Kai?”“Loh, makanan buat kamu kan disediain rumah sakit, tapi Mama bawa banyak camilan kok.”Mama mengedarkan pandangannya ke seluruh sisi ruangan. “Kai lagi di kamar mandi?”“Iya.”Tak lama pintu kamar mandi terbuka, menampilkan Kak kai dengan rambut basah. Rambutnya itu bahkan masih meneteskan air dari ujung rambut. “Pagi, Tante,” sapa Kak Kai dengan senyumnya yang khas.“Pagi, Kai. Tante bawa sarapan buat kamu. Kita sarapan dulu, yuk!”“Tante kok malah repot-repot sih?”“Enggak apa-apa. Pagi-pagi gini belum banyak pilihan sarapan yang dijual. Lagian kan lebih sehat kalau dimasak sendiri.”Lalu, Mama menuntun Kak Kai ke kurs
Dengan sekali tegukkan aku meneguk air berserta tiga butir obat dengan ukuran kecil. Kak Kai kembali menurunkan ranjang. Dia menaikkan selimut hingga sebatas dadaku. Aku kembali membuka kembali mataku saat Kak Kai membisikkan sesuatu di telingaku dan pria itu berhasil mendaratkan ….“Ah, jantung apa kabarmu saat ini?”Pria itu mendaratkan satu kecupan di dahiku. Hal yang membuat tubuhku bukan hanya meremang, tetapi juga kembali menggigil. Usai mencium keningku, pria itu bersikap seolah-olah tak ada apa-apa. Dia berjalan menuju sofa. Lalu, berbaring dan memakai selimutnya sendiri. Tak lama kudengar dia mendengkur halus. Aku mendengkus dalam hati. Setelah mencuri satu ciuman pertama dariku dia enak-enak tertidur. Sementara aku didera insomnia karena ulahnya.Sampai jam satu dini hari mataku sulit banget buat dipejamin. Aku melirik ke arah Kak Kai, pria itu entah sedang terbang ke mana sekarang dalam mimpinya. Uh, ini sih sama saja aku enggak ditemanin namanya.Aku ambil ponselku. Aku li
Entah berapa lama aku tertidur, atau mungkin pingsan? Yang jelas aku terbangun dengan kepala yang berdenyut hebat. Aku merasa sinar lampu tepat di atas kepalaku. Sinar lampu yang aku rasa terlalu dekat, membuatku kesulitan membuka mata. Aku meringis saat merasakan seluruh tubuhku terasa remuk.“Caca ….”Aku tahu betul itu suara Mama. Aku ingin menjawab, tetapi tenggorokanku seakan-akan tak mau mengekuarkan suara. Aku mengerang kembali saat rasa dingin yang begitu hebat memeluk tubuhku erat. Aku seperti berada di dalam lemari es. Tubuhku menggigil hingga aku harus merapatkan gigi. Namun, di saat yang bersamaan rasa panas juga ikut menyebar seluruh nadi di dalam tubuh.Mataku masih enggan terbuka. Aku merasakan Mama menambah lembaran selimut atau apa pun itu. Namun, rasa dingin yang kurasakan enggak juga berkurang. Di sisi yang lain keringat terasa membasahi tubuh. Tak lama suara pintu dibuka terdengar.“Bagaimana keadaan Caca, Tante?”“Caca udah bangun, tapi kayaknya sekarang lagi kedi
Lalu apa yang dilakukan oleh pria itu selanjutnya membuatku ingin menjerit keras. Pria aneh itu tertawa terbahak sembari membawa langkahnya ke luar dari kamarku. Dia berbalik di ambang pintu. “Mukamu merah, Ca.”Setelah ngomong gitu, dia mengedipkan sebelah matanya ke arahku, dan menutup pintu kamarku. Di dalam kamar aku masih bisa dengar suaranya yang tertawa kencang. Sumpah, aku baru tahu kalau Kak Kai memiliki sifat jahil. Astaga bisa-bisanya aku bersemu merah jambu hanya karen aulah jahilnya. Ish, jantungku juga kok norak banget, baru segitu saja udah deg-degan enggak karuan. Raisa bodoh banget!Usai membersihkan diri, memakai baju, aku sedikit memoleskan pelembap bibir agar bibirku tak terlalu pucat. Setelahnya aku menuruni tangga dengan hati-hati. Meski sudah lebih baik, sqakit di kepalaku masih terasa. Badanku juga masih lemas banget.Di tengah tangga, tiga orang yang sedang mengobrol asyik sambil menikmati secangkir teh dan sepiring camilan buatan Mama itu kompak menoleh ke a
Demi apa pun selama 27 tahun aku hidup, aku tak pernah sekali pun melihat Mama tersenyum begitu indah sekaligus mengerikan seperti sekarang ini. Aku kembali mengalihkan pandangan pada dua orang yang ada di belakang Mama. Dua orang dengan wajah hampir serupa dalam jenis kelamin berbeda itu sedang tersenyum ke arahku.Aku meringis sejadi-jadinya. Astaga, dalam keadaan tidak sakit saja aku merasa tak cantik. Apa lagi sekarang? Wajah pucat, bibir pucat, rambut bak singa, berkeringat, baju rumahan tipis karena sudah terlalu sering aku gunakan sekarang dalam keadaan yang sudah basah, dan satu ingatan tentang aktivitas pagi berhasil membuatku ingin menelenggelamkan diri ke laut. Ya, Tuhan … aku belum mandi.Langkah Mama dan dua orang tamunya itu makin mendekat ke arahku. Senyum Mama tak luntur, berbanding terbalik denganku yang hanya bisa pasrah. Senyuman Mama itu masih bertahan bahkan saat telah sampai di dekatku. Aku hanya bisa diam tanpa merasa bisa melakukan apa-apa. Ah … masa bodoh lah
Setelah membantuku menaruh baju basah, Kak Kai lantas mengunci mobil. Dia tersu melangkah masuk ke dalam rumah tanpa menjawab pertanyaanku. Sialnya kuci mobilku dia bawa. Gagal sidah rencanaku untuk kabur.Aku terpaksa mengikuti langkahnya masuk lagi ke dalam rumah. Langkahku terasa sangat berat. Terbayang sudah pertanyaan-pertanyaanyang akan aku terima di dalam sana. Aku yakin tak akan melepaskan aku begitu saja.Arggh!Tahu begini aku lebih baik di rumah saja. Menikmati hari minggu sembari membaca novel penulis favoritku yang kubeli satu minggu lalu dan belum sempat kusentuh sama sekali. Masa bodoh dengan urusan jodoh. Toh aku bisa mencari jalan lain untuk bertemu dengan Kak Kai.Ngomong-ngomong soal Kak kai, aku masih penasaran dengan dress yang kupakai. Sebenarnya dress ini punya siapa sih? Ah, bikin penasaran aja.Akhirnya acara arisan yang membuatku harus jadi topik pembicaraan itu selesai. Namun, penderitaanku belum juga berakhir. Sampai di rumah, Mama memberondongku dengan ban
Usai kejadian memalukan di kamar Kak Kai beberapa saat lalu. Aku seperti kehilangan muka. Setelah kak Kai berlalu, aku buru-buru mengganti baju di kamar mandi. Aku baru sadar bahwa dress berwarna merah muda yang kupakai kalau terkena air akan begitu transparan. Belum lagi pakaian dalaman yang kugunakan hari ini berwarna merah terang. Pantaslah dia memintaku menutupi bagian depan tubuhku dengan kemejanya.Aku juga baru sadar dari kepolosan, ah bukan. Bukan kepolosan, lebih tepatnya kebodohanku. Kenapa aku baru paham arti perkataan Kak Kai sekarang sih.Aku menelan ludah dengan susah payah mengingat kebersamaan kami beberapa saat lalu. Artinya dalam beberapa menit itu Kak Kai menahan diri untuk tidak menerkamku.Setelah berganti baju, aku segera ke luar dari kamar Kak Kai. Suatu hal yang syukuri adalah kak Kai juga memberi satu set pakaian wanita yang terlihat masih baru beserta sepotong dress berwarna abu muda dengan label tag yang masih menggantung.Aku sempat bingung kenapa di rumah
"Ka—kak, ma—mau apa?”“Menurut kamu?”“Jangan macem-macem ya, Kak!”Kak Kai mengulurkan kemeja basahnya ke pangkuanku dengan pandangan menunduk. Kulihat napasnya naik turun dengan cepat. “Tolong tutupi bagian depan badan kamu pakai ini dan jangan bertanya kenapa.”Adalah hal yang menjadi tanya besar ketika manusia dilarang melakukan sesuatu, justru menimbulkan rasa penasaran yang mengembung makin besar. Sama halnya dengan manusia lain, aku pun merasa perlu menanyakan hal yang dilarang oleh Kak Kai. Namun tak urung aku menuruti permintaannya dengan menutup bagian dadaku.“Kenapa?”Setelah aku menutupi dada dengan kemeja itu, Kak Kai kembali menarik kaki sebelah kiriku dan memijatnya. Kali ini pijatannya terasa terburu-buru.“Kenapa, Kak?” ulangku saat kulihat dia tak menunjukkan tanda-tanda akan menjawab pertanyaanku. “Awww! Sakit, Kak!”Kulihat dia memejamkan mata sambil terus memijat kakiku. Kenapa dia terlihat begitu frustrasi. Sebenarnya dia itu kenapa sih?“Aaah!”“Astagfirullah,
“Awas, Ca ...!”Hanya sepersekian detik tubuh kurusku sudah terlempar ke dalam kolam renang. Untuk beberapa detik aku merasa bingung dengan apa yang terjadi padaku. Astaga, aku tercebur! Begitu sadar bahwa tubuhku kini berada di dalam air, aku segera menggerakkan tubuh. Berkali-kali aku mencoba untuk membuat posisi kepala di permukaan air agar bisa bernapas. Aku tak menghiraukan pekikkan-pekikkan kaget dari semua orang. Bagaimana bisa menghiraukan orang-orang, sedangkan untuk bernapas saja aku kesulitan. Iya, aku tak bisa berenang. Di keluargaku hanya akulah yang tak bisa berenang.Jangan tanya penyebabnya, karena aku malas mengingat peristiwa masa kecil yang membuatku trauma akan air. Apa yang dikatakan Tante Fania dan Kak Kai memang benar. Sewaktu kecil aku adalah anak yang memiliki tubuh gendut dan ceroboh, mungkin karena itulah aku sering tercebur.Tak lama kudengar suara cipratan air dekat dengan posisiku berada. Entah siapa yang memelukku dari belakang, dia mengangkat tubuhku hi