Beranda / Romansa / Kejar Target, Bang! / 2. Nyanyian Pagi Hari

Share

2. Nyanyian Pagi Hari

Penulis: Adfa Al Yakub
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-09 14:41:01

Rentetan nyanyian Mama di pagi buta terdengar sangat menyebalkan, aku yang baru tertidur pukul 24.00 terpaksa bangun demi tak menambah panjang daftar nyanyian yang akan dinyanyikan oleh Mama.

“Azan subuh udah ke mana tau, anak gadis masih belum bangun juga!”

Mata yang masih lengket kupaksa untuk terbuka, dengan setengah berlari aku menuju kamar mandi. Namun, karena nyawa yang belum utuh membuatku terjatuh karena terserimpet kaki sendiri.

Sial!

Tubuhku tertelungkup sempurna di atas lantai, jangan tanya lagi bagaimana rasa sakitnya.

“Apa pula yang dilakuin anak ini, Ya Allah.” Entah sejak kapan Mama berdiri di depan pintu kamarku yang terbuka dengan tangan bertolak pinggang.

“Kamu itu ngapain si, Ca? Enggak ada kerjaan banget! Kenapa malah telungkup di lantai gitu subuh-subuh begini?”

Bukan ditolong aku malah kena nyanyian Mama. “Caca jatuh, Ma,” balasku setengah kesal.

Aku bangkit dengan tertatih. Saat jatuh tadi, lututku yang jatuh lebih dulu.

“Udah tua masih aja jatuh! Cepet solat, abis itu bantu Mama masak!”

“Iya, Ma.”

“Udah enggak bisa dandan, pake baju selalu ngasal, tapi kalau kamu pinter masak, kan mending ada yang bisa dibanggain nanti sama suamimu!”

Astaga! Bahasan itu lagi?

Setelah Mama berlalu, aku bergegas mandi dan menjalankan salat subuh. Ya, meski terlambat.

Di rumah, Mama memang selalu menekankan untuk ibadah yang satu ini. Katanya meski kami belum berjilbab, jangan sampai meninggalkan salat. Karena salat adalah ibadah pertama yang akan dimintai pertanggung jawaban nanti.

Setelah selesai salat yang terlalu terlambat, aku menuju dapur. Di sana, sudah ada Ranita yang sedang mencuci piring. Sedangkan, Rania sedang menjemur baju. Sedang Mama sendiri saat ini pasti sedang menyiram tanaman kesayangannya.

“Kak, cepetan masak! Nanti Mama nyanyi lagi lho!”

“Iya. Iya. Sabar dong!”

“Kalau Mama nyanyi lagi bukan cuma, Kakak yang denger! Tapi semua orang!”

“Bawel lo!”

“Yeee ... dibilangin juga.”

“Papa mana?” tanyaku yang mulai merajang air untuk membuat teh.

“Ya, di mana lagi? Lagi nemenin Mama nyiram taneman lah.”

Papa memang punya kebiasaan unik. Setiap pagi, Papa akan menemani Mama menyiram tanaman. Katanya, melihat Mama yang tersenyum saat lihat tanaman adalah kebahagiaan tersendiri buat Papa. Unik, kan?

Katanya lagi, Mama terlihat lebih cantik saat bersama bunga-bunga kesayangan Mama itu. Kalau yang terakhir aku yakin sekali itu hanya gombalan Papa saja, tetapi walau begitu pipi Mama tetap  akan merona saat Papa bilang begitu.

Salah satu rumah tangga yang menjadi favoritku adalah pernikahan orang tuaku sendiri.

Mama yang akan menjadi sangat penurut saat bersama Papa, sedang Papa menjadi sosok suami yang selalu sigap membantu istri. Saling mengerti dan memahami juga selalu mengambil keputusan atas dasar keputusan bersama, kupikir adalah poin yang menjadi faktor penyebab pernikahan Mama Papa langgeng hingga saat ini.

Sejauh ingatanku, Mama dan Papa tak pernah memperlihatkan pada kami saat masalah. Aku yakin perbedaan dalam rumah tangga pastilah ada, tetapi percekcokan Mama Papa dari yang kecil hingga yang besar, tak pernah kami dengar pun tak pernah kami lihat.

Aku pernah menanyakan hal ini pada Papa, jawaban Papa sungguh membuatku takjub. Aku akan mengingat ini sampai kapan pun.

Katanya, menikah itu bukan hanya tentang aku atau kamu. Menikah itu bukan tentang egoku dan egomu, terlebih jika sudah memiliki anak. Jangan pernah membahas masalah orang tua di depan anak, karena itu akan merusak mentalnya.

“Sudah siap sarapan kita, Ca?”

“Sedikit lagi, Ma.”

“Jangan lambat-lambat kalau kerja, nanti-nanti udah nikah jadi biasa, apalagi kalau udah punya anak, terus jaraknya deket kayak kalian kecil dulu, bisa kurus kering badan! Syukur-syukur dapet suami mapan sanggup bayar pembantu. Makanya Mama jodohin kamu sama dia, Ca.”

Dia lagi? Aku memutar bola mata dengan malas. Jawab sedikit, Mama balas ratusan kalimat. Oke, ini berlebihan.

“Iya, Ma.”

“Nah, mumpung hari Sabtu kita jalan-jalan aja gimana?”

“Caca lembur, Ma.”

“Kerja teroooos!”

“Ck! Kan, udah biasa kalau mau akhir tahun, Ma.”

“Bukan cuma akhir tahun. Akhir bulan, awal bulan juga! Cuma tengah bulan aja yang enggak lembur.”

“Sarapan dah siap!” Sengaja kukencangkan suara agar Mama berhenti bernyanyi.

“Panggil Papamu sana! Ajak sarapan bareng sini,” perintah Mama pada Ranita.

Selesai sarapan, aku buru-buru berganti baju dan membawa mobil membelah jalanan.

Aku harus menambah kecepatan laju kendaraan jika tak ingin terlambat dan mendapat tatapan tajam milik Mbak Kia. Beruntung jalanan senggang di hari weekend seperti sekarang.

Memarkirkan mobil setelah memasuki basement kantor, setengah berlari aku menuju benda kotak yang membawaku ke lantai yang kutuju.

“Kenapa ngos-ngosan gitu, Mbak?”

“Aku abis lari!”

“Takut telat, ya?

“Iyalah ....”

“Santuy, Mbak. Mbak Kia juga belum dateng, kok!”

“Serius belum dateng?” tanyaku setelah menenggak setengah botol air mineral.

“Serius lah!”

“Tau gitu, aku enggak lari-lari dari basement!”

“Hahaha ... salah sendiri siapa suruh lari-lari? Btw, udah sarapan, Mbak Ca?”

“Udah tadi di rumah. Hah! Aku ngantuk banget.”

“Samaaa ... mau kopi enggak? Aku bikinin sekalian.”

“Mau, tap—“

“Gulanya dikit?”

“Hehehe ... kamu tau aja!”

Maria berdecak. “Kita udah kerja bareng selama tiga tahun. Titip! Jangan makan duluan lho!” ucapnya menaruh sekotak brownies di atas mejaku.

“Iyaaa ....”

Aku baru bisa menggerakkan pinggang setelah jam kerja selesai. Biasanya, over time di hari Sabtu hanya sampai jam satu siang. Namun, karena pekerjaan yang menggunung dan deadline yang mencekik jadilah jam empat sore kami baru bisa keluar dari kantor.

Aku melepas kacamata yang sedari pagi kugunakan, memijit pangkal hidung yang terasa pegal.

“Mbak ke toilet yuk!” ajak Maria.

Aku mengangguk pelan. “Hayuk!”

Biasanya toilet memang sepi saat harus lembur begini, karena hanya beberapa divisi saja yang harus lembur. “Mar, temenin aku salat, ya. Sebentar aja! Kalau sampe rumah udah kecapean jadi males.”

“Siap, Mbak! Aku juga mau touch up.”

“Mau malmingan?”

“Iya, dong! Aku mau nge—date ini, kan malam minggu.”

“Enggak ada yang bilang ini malam Jum’at sih!”

“Ih ... Mbak Ca, lucu!” katanya tertawa sambil memukul bahuku.

Kadang aku heran sendiri, kenapa ada orang seperti Maria yang kalau ketawa harus memukul orang di sebelahnya. Bukan cuma sekali, tapi selama dia tertawa selama itu juga dia terus memukul.

***

“Kamu dijemput, Mar? Atau mau bareng? Yuk sekalian kuanterin!”

“Aku dijemput pacarku. Mbak Ca, duluan aja!”

“Oke, deh! Have fun ya ....”

“Have fun juga, Mbak!”

Aku melambaikan tangan sebelum meninggalkan basement kantor.

Have fun ya? Semoga saja sampai rumah aku tak mendengar nyanyian Mama tentang jodoh, terlebih ini malam minggu. Malam yang selalu dikaitkan dengan malamnya untuk cari jodoh.

Huffft!

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Tbc

Bab terkait

  • Kejar Target, Bang!   3. Rasa yang Tak Berbalas

    Aku menghentikan laju mobilku saat ponselku bergetar lama, menandakan panggilan masuk.[Ya, Ma?][Wa’alaikumus salam.][Hehehe ... Assalamualaikum, Mama cantik.][Wa’alaikumus salam. Kamu di mana? Kok, belum pulang? Biasanya, kan udah pulang. Kamu ke mana dulu? Awas, ya ke tempat enggak bener!][Ya, Allah. Ma, satu-satu dong!][Heleh!][Caca lagi di jalan, ini mau pulang.][Jalan mana? Jalan Sumatera?][Ngapain ke Sumatera?][Jangan ngalihin pembicaran, ya! Cepet jawab!][Caca tuh, beneran lagi di jalan mau pulang—][Sejak kapan dari kantor ke rumah makan waktu empat jam?][Ma, dengerin dulu, dong! Dari kantor tadi jam empat lewat lima belas menit. Nah, sekarang masih di jalan bentar lagi nyampe, kok. Kenapa si, Ma?][Mama titip belanjaan, udah Mama kirim ke hp kamu daftar belanjaannya. Jangan sampe ada yang kurang, abis dari situ langsung pulang! Jangan kelayaban!][Ya, Allah, Ma. Supermarketnya udah kelewat jauh, masa Caca harus puter balik? Kenapa enggak dari tadi ngabarinnya?][Ka

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-09
  • Kejar Target, Bang!   4. Tamu Spesial

    Aku terbangun karena perut yang keroncongan, melirik pada jam dinding yang menunjukkan pukul satu dini hari. Ah ... ternyata aku tertidur cukup lama.Aku mengerakkan tubuh yang serasa pegal karena tertidur dengan posisi yang tidak nyaman, mendesis kala tangan yang menjadi bantalan kepala selama tidur terasa ngilu.Terdengar lagi suara perutku yang kelaparan, jika diingat terakhir aku makan saat di kantor kemarin siang.Aku segera bangun saat mengingat belum mengerjakan salat Isya, bergegas ke kamar mandi kutemukan noda merah di celana dalam. Pantas, semalam aku begitu emosi.Rania adik bungsuku itu memang memiliki sikap yang menyebalkan. Selain terlahir bungsu, sikap Mama terhadap Rania selama ini membuatnya begitu manja.Menyelesaikan ritual mandi kilat, aku memilih piama untuk dipakai sekarang. Setelah selesai berpakaian, kubawa langkah menuruni tangga menuju dapur. Beruntung hari ini adalah hari libur, aku merencanakan untuk tidur lagi setelah makan malam di dini hari ini.Membuka

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-09
  • Kejar Target, Bang!   5. Bagaskara

    Berada di tengah-tengah obrolan orang tua membuatku mati kutu, belum lagi bibirku terasa kering karena harus tersenyum terus menerus.Ditambah perut yang minta diisi, benar-benar membuatku nelangsa. Berkali-kali aku memberi kode pada Mama meminta izin untuk masuk, yang kudapat hanya delikan mata Mama.Mama sendiri sibuk mempromosikan anak gadisnya, pernah dengar tukang panci yang sedang berorasi? Nah, kira-kira seperti itulah Mama mempromosikan aku di depan Tante Anna, Om Handoko dan juga Bagas.Ngomong-ngomong tentang Bagas, sedari tadi dia hanya diam. Menjawab singkat saat di tanya, selebihnya sama sepertiku terpaksa mendengar obrolan para orang tua. Bedanya aku selalu tersenyum, sedangkan dia diam dengan wajah datarnya.Tetapi aku bersyukur, setidaknya tak harus membuka obrolan garing. Ya, aku memang tak pandai membuka obrolan apa lagi dengan orang asing.“Ma, ajak tamu kita makan dulu, ini udah masuk waktu makan siang,” kata Papa.Aku bersorak dalam hati, akhirnya cacing-cacing da

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-09
  • Kejar Target, Bang!   6. Nomor Asing

    Aku mengerutkan kening saat membaca satu pesan yang masuk ke ponselku dari nomor yang tak kukenal.[Bisa ketemu nanti sore? Kutunggu di kafe Cinta pukul 17.00 hari ini.]Aku memutuskan untuk tak membalas, karena aku tak terbiasa membalas pesan dari nomor asing.Aku melirik tumpukan dokumen di atas meja, dokumen yang harus kuperiksa satu per satu. Setelahnya, membuat perbandingan agar hasilnya menemui titik balance.Berkutat dengan angka-angka memang kegemaranku, tetapi jika dikejar deadline seperti sekarang rasanya kepalaku hampir pecah.Aku memilih untuk menghiraukan getar notifikasi yang sedari tadi tak mau berhenti, aku bisa memeriksanya nanti. Begitu pikirku.Mendekati akhir tahun seperti ini, divisi keuangan memanglah menjadi divisi paling sibuk di antara yang lain.“Mbak! Makan siang, yoook!”“Eh ... udah jam istirahat?”“Kerja sih kerja! Badan tetep butuh makan kali! Kerja sampe lupa waktu begitu!” omel Maria“Hahaha ... emang beneran enggak kerasa kalau udah masuk waktu istir

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-13
  • Kejar Target, Bang!   7. Hanya Singgah

    Setelah sampai rumah, kutunjukkan hasil rekaman pembicaraan antara aku dan Bagas. Terlihat perubahan pada wajah Mama, wajahnya terlihat sangat kecewa. Senyum yang coba Mama tampilkan malah terlihat hambar. Sebegitu kecewa Mama atas batalnya perjodohan kami. Namun, Mama berjanji akan menyelesaikan masalah ini dengan Tante Anna tanpa harus membahayakan kondisinya. “Istirahat, Ca. Udah malem.” Setelah berkata begitu, Mama masuk ke dalam kamar. Menyisakan aku yang termenung meratapi keadaan. Sungguh, sebenarnya keinginan Mama terhadapku sangatlah sederhana, tetapi aku pun tak bisa berbuat sesuatu di luar kendaliku. Melihatku menikah, menemukan pasangan hidup, membina sebuah rumah tangga, dan memiliki keturunan. Bukankah itu hal sederhana? Namun, apa yang bisa kulakukan jika Tuhan belum mau memberikan? Atau mungkin benar kata orang-orang. Bahwa, akulah yang kurang dalam berusaha? Aku mengusap air mata yang tiba-tiba hadir. Bukan! Bukan inginku begini. Lalu, apa yang harus aku lakukan?

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-13
  • Kejar Target, Bang!   8. Kado Misterius

    Seminggu sudah aku mengenakan segala pernak pernik yang di sebut make up juga segala produk perawatan kulit serta menggunakan dress-dress yang Mama belikan. Aku bahkan membeli beberapa dress lagi.Tatapan aneh dan penuh selidik tak lagi kudapatkan dari orang di sekitarku, baik di kantor maupun di rumah. Pagi itu saat aku akan masuk mobil, Mama mencekal tanganku.“Ca, pakai apa yang buat kamu nyaman. Jangan paksain sesuatu yang enggak kamu suka.”Aku mengerutkan kening. “Caca suka, kok, Ma. Udah, ya, aku berangkat dulu. Assalamualaikum.”“Wa alaikum salam.”“Kak, lo baik-baik aja, kan?”“Kenapa emang?“Lah, ini lo bukan style lo banget!”“Emang style gue gimana?”Bisa kulihat kedua adikku itu memutar mata malas secara bersamaan. “Belaga pilon lagi.”“Emangnya salah kalau gue mau berubah?”“Ya, enggak sih.”“Trus?”“Kak, ini bukan karena perjodohan itu batal, kan?” cicit Rania hampir saja tak terdengar.“Enggaklah. Iya kali cuma gara-gara dia gue harus berubah!”“Ya, baguslah. Betewe, l

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-13
  • Kejar Target, Bang!   9. Sebuah Tas Branded

    Ck! Harganya puluhan juta ini! Duh, cakep banget!” Maria berdecap kagum.“Hah? Masa sih, Mar?”“Hah-hah, mulu dari tadi! Mbak pegang deh!”“Mau apa kamu, Mar?”“Mau cek harganya.” Maria meraih ponselnya dan mulai mengetikkan sesuatu di ponselnya.“Tuh, kan Mbak! Harganya tiga puluh jeti!”“Hah? Yang bener kamu, Mar!”“Nih, liat kalau enggak percaya!”Maria menyodorkan ponselnya, dan benar di sana terpampang gambar tas yang sama dengan yang saat ini kupegang beserta harga dalam jumlah dollar.“Kalau Mbak enggak mau, aku mau nampung, kok!”“Enak aja!”“Ish! Tadi aja sok-sokan enggak mau buka, tapi siapa yang ngirim ya, Mbak?”Dering di ponselku mengalihkan perhatian kami. Aku segera meraih ponselku, mengangkat satu alis kala mendapati nomor yang memang tidak kusave. Namun, aku tahu siapa pemiliknya. Bagas.Untuk menjawab rasa penasaran, aku segera menjawab teleponnya.“Ya?”“Hai, Ca!”“Ada apa?”“Ck! Kamu tuh selalu tanpa basa basi, ya?”“Yang basi itu enggak enak. Ada apa? Bukannya mas

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-14
  • Kejar Target, Bang!   10. Pertemuan

    "Itu kan si Bagas. Ngapain dia di sini?” gumamku. Aku segera menoleh ke arah Mama. Aku bersyukur Mama sedang sibuk dengan ponselnya. Aku juga bersyukur karena Bagas segera melaju dan tak sempat melihat ke arah kami. Kami berdua sampai di rumah Tante Fania tepat pukul sembilan. Di rumah itu sudah banyak orang. Lapangan di depan rumah Tante Fania juga terlihat sudah penuh oleh mobil keluarga kami. Sebenarnya aku malas sekali menghadiri acara ini jika bukan karena perkara jodoh. Sebelum turun aku mengecek kembali penampilanku. Memastikan penampilanku tetap paripurna. “Ayo, Ca!” “Iya, Ma.” Setelahnya aku menekan tombol kunci otomatis, dan menggandeng tangan Mama. Baru sampai di halaman rumah, saudara-saudara Mama sudah bersorak menyambut kedatangan kami. Kemudian suara-suara yang lebih banyak didominasi oleh wanita itu terdengar bergantian. Tentu saja akulah yang menjadi objek utama mereka. “Pantes hari ini cerah banget, Caca datang rupanya.” “Wah, Caca makin cantik ya, kalau pake

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-14

Bab terbaru

  • Kejar Target, Bang!   20. Saya Calon Suaminya Caca

    Pagi-pagi sekali Mama sudah datang. Wanita yang paling cantik sedunia bagiku itu mnenteng banyak sekali bawaan di tangan kanan dan kirinya. Wanita bertubuh gemuk itu terlihat kesulitan ketika berjalan. Lalu yang membuatku cemberut adalah hal pertama yang dia tanyakan bukan menanyakan bagaimana keadaanku.“Kai mana, Ca? Mama bawa sarapan buat dia.”“Cuma buat Kak Kai?”“Loh, makanan buat kamu kan disediain rumah sakit, tapi Mama bawa banyak camilan kok.”Mama mengedarkan pandangannya ke seluruh sisi ruangan. “Kai lagi di kamar mandi?”“Iya.”Tak lama pintu kamar mandi terbuka, menampilkan Kak kai dengan rambut basah. Rambutnya itu bahkan masih meneteskan air dari ujung rambut. “Pagi, Tante,” sapa Kak Kai dengan senyumnya yang khas.“Pagi, Kai. Tante bawa sarapan buat kamu. Kita sarapan dulu, yuk!”“Tante kok malah repot-repot sih?”“Enggak apa-apa. Pagi-pagi gini belum banyak pilihan sarapan yang dijual. Lagian kan lebih sehat kalau dimasak sendiri.”Lalu, Mama menuntun Kak Kai ke kurs

  • Kejar Target, Bang!   19. Perhatian Kecil

    Dengan sekali tegukkan aku meneguk air berserta tiga butir obat dengan ukuran kecil. Kak Kai kembali menurunkan ranjang. Dia menaikkan selimut hingga sebatas dadaku. Aku kembali membuka kembali mataku saat Kak Kai membisikkan sesuatu di telingaku dan pria itu berhasil mendaratkan ….“Ah, jantung apa kabarmu saat ini?”Pria itu mendaratkan satu kecupan di dahiku. Hal yang membuat tubuhku bukan hanya meremang, tetapi juga kembali menggigil. Usai mencium keningku, pria itu bersikap seolah-olah tak ada apa-apa. Dia berjalan menuju sofa. Lalu, berbaring dan memakai selimutnya sendiri. Tak lama kudengar dia mendengkur halus. Aku mendengkus dalam hati. Setelah mencuri satu ciuman pertama dariku dia enak-enak tertidur. Sementara aku didera insomnia karena ulahnya.Sampai jam satu dini hari mataku sulit banget buat dipejamin. Aku melirik ke arah Kak Kai, pria itu entah sedang terbang ke mana sekarang dalam mimpinya. Uh, ini sih sama saja aku enggak ditemanin namanya.Aku ambil ponselku. Aku li

  • Kejar Target, Bang!   18. Kabar Si Jantung

    Entah berapa lama aku tertidur, atau mungkin pingsan? Yang jelas aku terbangun dengan kepala yang berdenyut hebat. Aku merasa sinar lampu tepat di atas kepalaku. Sinar lampu yang aku rasa terlalu dekat, membuatku kesulitan membuka mata. Aku meringis saat merasakan seluruh tubuhku terasa remuk.“Caca ….”Aku tahu betul itu suara Mama. Aku ingin menjawab, tetapi tenggorokanku seakan-akan tak mau mengekuarkan suara. Aku mengerang kembali saat rasa dingin yang begitu hebat memeluk tubuhku erat. Aku seperti berada di dalam lemari es. Tubuhku menggigil hingga aku harus merapatkan gigi. Namun, di saat yang bersamaan rasa panas juga ikut menyebar seluruh nadi di dalam tubuh.Mataku masih enggan terbuka. Aku merasakan Mama menambah lembaran selimut atau apa pun itu. Namun, rasa dingin yang kurasakan enggak juga berkurang. Di sisi yang lain keringat terasa membasahi tubuh. Tak lama suara pintu dibuka terdengar.“Bagaimana keadaan Caca, Tante?”“Caca udah bangun, tapi kayaknya sekarang lagi kedi

  • Kejar Target, Bang!   17. Calon Istri

    Lalu apa yang dilakukan oleh pria itu selanjutnya membuatku ingin menjerit keras. Pria aneh itu tertawa terbahak sembari membawa langkahnya ke luar dari kamarku. Dia berbalik di ambang pintu. “Mukamu merah, Ca.”Setelah ngomong gitu, dia mengedipkan sebelah matanya ke arahku, dan menutup pintu kamarku. Di dalam kamar aku masih bisa dengar suaranya yang tertawa kencang. Sumpah, aku baru tahu kalau Kak Kai memiliki sifat jahil. Astaga bisa-bisanya aku bersemu merah jambu hanya karen aulah jahilnya. Ish, jantungku juga kok norak banget, baru segitu saja udah deg-degan enggak karuan. Raisa bodoh banget!Usai membersihkan diri, memakai baju, aku sedikit memoleskan pelembap bibir agar bibirku tak terlalu pucat. Setelahnya aku menuruni tangga dengan hati-hati. Meski sudah lebih baik, sqakit di kepalaku masih terasa. Badanku juga masih lemas banget.Di tengah tangga, tiga orang yang sedang mengobrol asyik sambil menikmati secangkir teh dan sepiring camilan buatan Mama itu kompak menoleh ke a

  • Kejar Target, Bang!   16. Aku Mau Gantiin Baju Kamu

    Demi apa pun selama 27 tahun aku hidup, aku tak pernah sekali pun melihat Mama tersenyum begitu indah sekaligus mengerikan seperti sekarang ini. Aku kembali mengalihkan pandangan pada dua orang yang ada di belakang Mama. Dua orang dengan wajah hampir serupa dalam jenis kelamin berbeda itu sedang tersenyum ke arahku.Aku meringis sejadi-jadinya. Astaga, dalam keadaan tidak sakit saja aku merasa tak cantik. Apa lagi sekarang? Wajah pucat, bibir pucat, rambut bak singa, berkeringat, baju rumahan tipis karena sudah terlalu sering aku gunakan sekarang dalam keadaan yang sudah basah, dan satu ingatan tentang aktivitas pagi berhasil membuatku ingin menelenggelamkan diri ke laut. Ya, Tuhan … aku belum mandi.Langkah Mama dan dua orang tamunya itu makin mendekat ke arahku. Senyum Mama tak luntur, berbanding terbalik denganku yang hanya bisa pasrah. Senyuman Mama itu masih bertahan bahkan saat telah sampai di dekatku. Aku hanya bisa diam tanpa merasa bisa melakukan apa-apa. Ah … masa bodoh lah

  • Kejar Target, Bang!   15. Sebuah Kejutan

    Setelah membantuku menaruh baju basah, Kak Kai lantas mengunci mobil. Dia tersu melangkah masuk ke dalam rumah tanpa menjawab pertanyaanku. Sialnya kuci mobilku dia bawa. Gagal sidah rencanaku untuk kabur.Aku terpaksa mengikuti langkahnya masuk lagi ke dalam rumah. Langkahku terasa sangat berat. Terbayang sudah pertanyaan-pertanyaanyang akan aku terima di dalam sana. Aku yakin tak akan melepaskan aku begitu saja.Arggh!Tahu begini aku lebih baik di rumah saja. Menikmati hari minggu sembari membaca novel penulis favoritku yang kubeli satu minggu lalu dan belum sempat kusentuh sama sekali. Masa bodoh dengan urusan jodoh. Toh aku bisa mencari jalan lain untuk bertemu dengan Kak Kai.Ngomong-ngomong soal Kak kai, aku masih penasaran dengan dress yang kupakai. Sebenarnya dress ini punya siapa sih? Ah, bikin penasaran aja.Akhirnya acara arisan yang membuatku harus jadi topik pembicaraan itu selesai. Namun, penderitaanku belum juga berakhir. Sampai di rumah, Mama memberondongku dengan ban

  • Kejar Target, Bang!   14. Teka-teki

    Usai kejadian memalukan di kamar Kak Kai beberapa saat lalu. Aku seperti kehilangan muka. Setelah kak Kai berlalu, aku buru-buru mengganti baju di kamar mandi. Aku baru sadar bahwa dress berwarna merah muda yang kupakai kalau terkena air akan begitu transparan. Belum lagi pakaian dalaman yang kugunakan hari ini berwarna merah terang. Pantaslah dia memintaku menutupi bagian depan tubuhku dengan kemejanya.Aku juga baru sadar dari kepolosan, ah bukan. Bukan kepolosan, lebih tepatnya kebodohanku. Kenapa aku baru paham arti perkataan Kak Kai sekarang sih.Aku menelan ludah dengan susah payah mengingat kebersamaan kami beberapa saat lalu. Artinya dalam beberapa menit itu Kak Kai menahan diri untuk tidak menerkamku.Setelah berganti baju, aku segera ke luar dari kamar Kak Kai. Suatu hal yang syukuri adalah kak Kai juga memberi satu set pakaian wanita yang terlihat masih baru beserta sepotong dress berwarna abu muda dengan label tag yang masih menggantung.Aku sempat bingung kenapa di rumah

  • Kejar Target, Bang!   13. Dada Kamu Transparan

    "Ka—kak, ma—mau apa?”“Menurut kamu?”“Jangan macem-macem ya, Kak!”Kak Kai mengulurkan kemeja basahnya ke pangkuanku dengan pandangan menunduk. Kulihat napasnya naik turun dengan cepat. “Tolong tutupi bagian depan badan kamu pakai ini dan jangan bertanya kenapa.”Adalah hal yang menjadi tanya besar ketika manusia dilarang melakukan sesuatu, justru menimbulkan rasa penasaran yang mengembung makin besar. Sama halnya dengan manusia lain, aku pun merasa perlu menanyakan hal yang dilarang oleh Kak Kai. Namun tak urung aku menuruti permintaannya dengan menutup bagian dadaku.“Kenapa?”Setelah aku menutupi dada dengan kemeja itu, Kak Kai kembali menarik kaki sebelah kiriku dan memijatnya. Kali ini pijatannya terasa terburu-buru.“Kenapa, Kak?” ulangku saat kulihat dia tak menunjukkan tanda-tanda akan menjawab pertanyaanku. “Awww! Sakit, Kak!”Kulihat dia memejamkan mata sambil terus memijat kakiku. Kenapa dia terlihat begitu frustrasi. Sebenarnya dia itu kenapa sih?“Aaah!”“Astagfirullah,

  • Kejar Target, Bang!   12. Adegan Erotis

    “Awas, Ca ...!”Hanya sepersekian detik tubuh kurusku sudah terlempar ke dalam kolam renang. Untuk beberapa detik aku merasa bingung dengan apa yang terjadi padaku. Astaga, aku tercebur! Begitu sadar bahwa tubuhku kini berada di dalam air, aku segera menggerakkan tubuh. Berkali-kali aku mencoba untuk membuat posisi kepala di permukaan air agar bisa bernapas. Aku tak menghiraukan pekikkan-pekikkan kaget dari semua orang. Bagaimana bisa menghiraukan orang-orang, sedangkan untuk bernapas saja aku kesulitan. Iya, aku tak bisa berenang. Di keluargaku hanya akulah yang tak bisa berenang.Jangan tanya penyebabnya, karena aku malas mengingat peristiwa masa kecil yang membuatku trauma akan air. Apa yang dikatakan Tante Fania dan Kak Kai memang benar. Sewaktu kecil aku adalah anak yang memiliki tubuh gendut dan ceroboh, mungkin karena itulah aku sering tercebur.Tak lama kudengar suara cipratan air dekat dengan posisiku berada. Entah siapa yang memelukku dari belakang, dia mengangkat tubuhku hi

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status