Jalanan pada siang hari ini, terlihat begitu sepi. Tidak banyak mobil yang lewat sehingga kemungkinan tidak akan terjadi macet. Cuaca yang mendung dan gerimis, tak menyurutkan mobil mercedes-benz warna hitam untuk berhenti. Mobil itu melaju dengan kecepatan normal, meski kadang-kadang terlihat cepat karena mungkin saja seseorang yang mengendarai mobil itu terburu-buru.
Sebelum akhirnya mobil belok ke arah kanan, dapat terlihat lampu sen menyala. Memang kelihatannya tidak ada yang salah, tetapi mendadak keluar asap dari ban belakang mobil. Sepertinya sang pengemudi tidak menyadarinya, jadi mobil masih melaju seperti biasa.
Kaca mobil tiba-tiba terbuka, terlihat wanita berambut silver yang sedang menyetir panik. Sepertinya, ia baru menyadari bahwa mobil yang ia kendarai bermasalah. Kakinya pun langsung menginjak rem, tetapi mobil tidak mau berhenti. Wanita itu semakin panik, kala rem mobilnya ternyata rusak. Ia berusaha untuk menyetir pelan, sayangnya mobil yang dikendarainya mendadak melaju dengan kecepatan yang sangat cepat.
Napas wanita itu tercekat, ia melirik pada kaca spion berkali-kali, mungkin ia berharap ada mobil yang lewat dan akan ada yang membantunya. Namun, ternyata tidak ada satu pun.
Di tengah mobil yang sudah tidak terkendali, ia mencoba mengambil ponsel yang ada di dalam tas. Sial! Ponsel yang hendak ia ambil, malah terjatuh ke bawah kursi mobil. Ia kemudian mengamati jalanan sekilas, harap-harap cemas dengan terus berharap agar tak terjadi apa-apa. Lalu, dengan hati-hati, ia berupaya mengambil ponsel yang jatuh. Belum sempat tangannya menyentuh ponsel, ia bisa merasakan mobil oleng dan perlahan menjorok, dapat dipastikan mobilnya telah jatuh ke jurang. Tidak lama setelah itu, mobil menghantam pohon besar yang ada di depannya. Wanita itu merasakan kepalanya mendadak pening, tetapi masih bisa membuka mata dan melihat jelas darah bersimbah. Ia juga merasa badannya terlalu lemas untuk keluar dari mobil, hanya karena ia tidak ingin meninggal, ia lalu membuka pintu mobil. Sayangnya, sebelum ia keluar, mobil sudah meledak terlebih dahulu.
***
Adero Carlson Alyward, masih saja terus menenggak alkohol. Meski dapat dilihat, ada sekitar 5 sampai 6 botol yang tergeletak di meja depannya. Masih dalam kondisi sadar, pria itu merogoh saku celana saat merasakan getaran di ponselnya. Lagi, seperti biasa, ibunya akan menanyakan ia ada di mana. Biasanya, Adero akan segera pulang. Namun, kali ini biarkan ia menghabiskan malam ini di klub. Ia juga sudah merogoh kocek yang tak sedikit untuk memesan ruangan VVIP. Tidak ada yang bisa menganggungnya malam ini, hanya malam ini ia bisa kembali mengingat kenangan yang sudah pergi.
Adero menyandarkan tubuhnya ke sofa, ruangan yang ia pesan lumayan gelap meski sudah diterangi dengan lilin dan lampu dikso kecil yang terus berkedip-kedip. Ia mengambil kue keju yang diam-diam ia bawa dari toko kue yang tak jauh dari klub tempat ia berada. Menggigit pelan dan menikmati rasanya, mendadak hati Adero terasa sakit. Ia menyingkirkan kue itu dengan sekali senggol, sehingga kue yang tadinya ada di atas meja, jatuh ke lantai dan berserakan.
Adero memegangi kepalanya, ia menyadari betul bahwa tak seharusnya ia terus terjebak pada peristiwa 6 tahun yang lalu. Tidak hanya dirinya saja yang terluka, orang-orang di sekitarnya dan teman-temannya. Namun, selama ia belum menemukan siapa dalang di balik kecelakaan itu, Adero akan terus mengingat kejadian itu. Kejadian yang telah merenggut wanita yang paling ia cintai.
Tanpa berpikir bahwa wanita itu sudah dimiliki pria lain, Adero masih terus mengharapkan wanita itu. Mencoba mencari sedikit celah agar wanita itu kembali padanya. Andai wanita itu bisa ia culik, ia sudah pasti menyekapnya untuk dirinya sendiri, agar wanita itu tetap aman, tetap hidup dan berada di sampingnya.
Lagi, Adero melihat ponselnya menyala, sang ibu sekarang tidak mengirimi ia pesan, tetapi meneleponnya sehingga suara dering itu membuat ia mau tak mau mengangkatnya. Ia tidak ingin mengambil risiko akan dimarahi oleh ibunya, jadi sekarang ia bisa mendengar ocehan ibunya dari seberang sana, menyuruhnya untuk segera pulang.
Adero tiba-tiba meletakkan ponselnya di meja, tatapannya menerawang ke seluruh sudut ruangan. Ia masih terus mendengar ucapan sang ibu, bahkan ketika ibunya bertanya apakah ia masih ada di sana. Ia mengangguk mantap, mencoba tersenyum sebaik mungkin, meski hasilnya menunjukkan seringaian yang cukup mengerikan.
“Aku akan kembali ke Spanyol, jika memang ayah menyuruhku untuk datang. Apa Ibu baik-baik saja?”
Setelah mendengar jawaban dari sang ibu, Adero menutup sambungan telepon. Ia berpikir untuk tidak jadi bermalam di klub, lalu mengambil jaket dan memakainya. Ia juga tak lupa membawa ponsel dan dompetnya. Kemudian, pergi meninggalkan ruangan klub itu dan berjalan dengan agak sempoyongan.
Wanita mungil mendadak menggenggam tangannya saat Adero melewati meja bar, ia melirik sekilas pada wanita bergaun merah seksi sambil menggelengkan kepala. Wanita tak tahu malu yang kini bergelayut manja padanya, itu sesekali merayunya dengan kata-kata yang menjijikkan. Ayolah, Adero bukan tipikal pria brengsek yang suka meniduri wanita. Ia hanya datang ke klub untuk minum-minum, tak terpikirkan untuk berbagi kehangatan di atas ranjang.
“Maaf, Nona. Saya harus pergi.”
Melihat wanita itu melepaskan tangannya dari lengannya dan mengernyit heran, Adero ingin rasanya tertawa terbahak-bahak sekarang, tetapi ia tahan. Dengan wajah memerah sambil cemberut, wanita itu meninggalkan Adero dengan umpatan.
Adero tidak peduli dan ia langsung menuju tempat parkir untuk mengambil mobilnya. Lamborghini warna biru hitam, menjadi teman setianya untuk pergi ke mana saja. Dengan gagah, pria itu memasuki mobil, menyalakan mesin mobil sambil meminum air mineral yang ada di samping jok. Lalu, ia segera mengendarai mobil, membawanya keluar dari tempat parkir dan melajukan dengan kecepatan sedang.
Seperti malam-malam biasanya, jalanan yang lenggang membuat Adero dapat cepat sampai ke rumah ibunya. Ia memasukkan mobil ke garasi, setelah pegawai ibunya membukakan pintu gerbang. Ia lantas turun dari mobil, membawa langkahnya memasuki rumah dan menaiki anak tangga menuju lantai dua.
Wanita yang melihat kedatangan Adero langsung memeluknya. Namun, ia segera melepaskannya, membuat Adero meyakini ibunya akan tahu apa yang sudah ia perbuat. Dan tatapan ibunya membuat Adero mau tidak mau mencoba tersenyum sebaik mungkin.
“Masuk ke kamarmu, mandi dan langsung istirahat,” kata sang ibu sambil memberikan sebuah amplop warna kuning pucat.
Adero melirik ibunya lalu membuka amplop cokelat itu. Ia menatap ibunya dengan tatapan tak percaya, mengetahui apa yang ada di dalam amplop itu.
“Kamu akan langsung pergi besok pagi, jadi sebaiknya kamu istirahat dengan baik. Ibu akan tetap di sini, jika terjadi sesuatu, kamu bisa hubungi Ibu.”
Adero dapat melihat ibunya tersenyum sangat tulus. Sedari dulu, harusnya ia tinggal bersama sang ibu, ketika orang tuanya tak lagi bersama. Namun, karena alasan ibunya yang tidak punya kehidupan layak seperti sekarang waktu itu, hak asuh beralih ke tangan ayahnya.
“Dia benar-benar tak bisa bersabar,” ucap Adero dengan jengkel lalu memasukkan kembali isi amplop itu.
“Ayahmu begitu merindukanmu. Dia tidak salah jika menginginkan kamu cepat datang."
Mendengar ucapan sang ibu, Adero selalu bertanya-tanya, kenapa ayahnya tega selingkuh padahal ibunya sangat baik hati. Apa yang salah dari ibunya. Ia mendadak merasa emosional, tetapi ia tahan saja. Dan pula, ia kembali ke Spanyol bukan tanpa maksud. Ia menyadari betul bahwa ada yang tidak beres di dalam rumah ayahnya.
“Ya, aku tahu. Meski aku tidak pernah merindukannya.”
Adero memilih segera melenggang pergi, sebelum ibunya ceramah panjang lebar. Betapa ia harus menghormati pria yang bahkan tidak pernah menyayanginya. Pria itu terlihat begitu mencintai selingkuhan dan anak tirinya. Itu jelas terlihat ketika ia berada di Spanyol. Spanyol bak neraka, tetapi ia bahkan mungkin sebenarnya terjebak di sana.
Adero mengambil ponselnya, entah siapa gerangan yang mengiriminya pesan di malam yang sudah larut. Ia menatap layar ponsel dengan tatapan kelam, berani sekali anak selingkuhan ayahnya mengirimi pesan padanya. Dan kalimat pesan itu benar-benar membuat ia murka sekarang hingga melempar ponselnya.
Seterusnya hari itu, ia yang menikahi Hana Eurwyn, bukan anak dari ibu tirinya!
Tak seperti hari-hari biasanya yang sibuk, wanita yang kini masih memakai piama warna kuning tengah asyik menyesap teh hijau sambil menatap layar ponsel. Ia juga mengambil kue kering dan memakannya dengan pelan dan lembut. Matanya berbinar terang, entah keberuntungan apa yang sedang ia dapatkan, tetapi wanita itu segera berlari menuju ke kamar mandi. Dengan pelan dan pasti, wanita itu melepaskan pakaiannya. Punggung mulusnya terpampang dengan jelas, tentu tidak akan ada satu pria pun yang akan melewatkannya jika melihat pemandangan seperti itu. Tangannya mengambil sabun dan mulai menggosok tubuhnya hingga kaki yang panjang dan semampai. Terkutuklah semua pria di dunia ini, jika tidak menyukai atau mendambakan wanita ini. Setelah selesai membersihkan diri, ia mengambil handuk dan menyelimuti tubuhnya agar tidak mati kedinginan. Ia lalu pergi mencari pakaian yang layak untuk ia pakai, mengambil pakaian dalam yang begitu seksi dan juga gaun yang mewah. Tetapi, ia mengem
Adero memeluk ibunya. Ia yakin jika setibanya di Spanyol, ia akan merindukan ibunya langsung. Akan tetapi, benar seperti yang ibunya katakan bahwa ia tetap harus pergi. Sehingga, ia melepas pelukan dan tersenyum.“Kalau begitu, aku berangkat, Bu.” Adero menyeret koper, ia dapat melihat ibunya melambaikan tangan sambil tersenyum.Adero mendadak terdiam sebelum membuka pintu dan keluar. Keputusan yang ia ambil hari ini, akan menjadi penentu dari masa lalu yang belum terungkap. Dengan langkah mantap, ia menutup pintu, berjalan menuju taksi yang sudah dipesan ibunya, dan memberi tahu kepada sopir bahwa ia akan pergi ke bandara.Selama perjalanan menggunakan taksi, Adero terus membalas pesan sang ibu yang memberikan banyak sekali nasihat, seperti ia tidak boleh menampakkan wajah tak suka pada ibu tirinya, ia harus menghormati ayahnya dan juga menyayangi saudara tirinya.Mendapatkan banyak nasihat, dan ketika nama Aron tersebut di dalamnya, ia jadi
Adero berjalan meninggalkan ruangan yang sudah dipenuhi dengan hiasan untuk menyambut kedatangannya. Bukan tidak ingin merayakan pesta, ia hanya masih belum menerima sebagian kecil kejadian yang telah terjadi di masa lalu. Ia mengamati irisan kue keju yang kini ada di piring yang sedang ia pegang, kembali mengingatkannya pada masa di mana ia memilih untuk terus mengalah.Adero sudah sampai di depan kamarnya yang ada di lantai 3, ia hendak membuka pintu kamar yang pastinya akan selalu menjadi tempat ternyaman di rumah ini, akan tetapi tangan lain sudah lebih dulu membuka pintu. Ia menatap kepada seseorang yang tersenyum padanya sambil menyandarkan tubuh pada tembok.“Aku sudah memberi tahu Axel untuk tidak melakukan hal konyol seperti itu. Tapi, Kakak tahu dia kan? Dia hanya ingin menyenangkan keponakannya.”Adero membalas senyum pria itu. “Aku baik-baik saja, Ale. Jika itu yang kamu pikirkan. Sebaiknya kamu bergabung dengan keluarga yang lain.
Nevilla mendadak kesal karena ia sudah menunggu hampir 15 menit, tetapi Serena malah membatalkan janji. Ia tidak habis pikir, padahal Serena sendiri yang mengajaknya bertemu dan mengatakan bahwa akan mendengarkan segala keluh kesahnya.Pesan masuk membuat Nevilla menatap ponselnya. Ia tidak sempat menghitung sudah berapa kali Aron mengirimi pesan dan meneleponnya. Sejujurnya, ia hanya takut, jika tidak bisa menerima Aron yang ternyata bukan anak kandung Pak Arkan.Kepala Nevilla mendadak pusing, ia juga belum makan. Kebetulan sekali, dari tempat janji temu bersama Serena, tak jauh dari perusahaan ia kerja. Ia pun berniat mencari restoran terdekat untuk makan.Nevilla menaruh ponsel ke tas, ia lalu membawa langkahnya menyusuri jalanan yang tidak terlalu ramai. Mungkin karena lokasi yang ia datangi merupakan lokasi industri, jadi tidak banyak orang yang berlalu lalang. Hanya beberapa orang yang terlihat ingin mengunjungi perusahaan, para penjaga gedung, dan bebera
Adero sempat terpaku setelah wanita yang ia tabrak berlalu pergi. Ia menggelengkan kepala, mencoba untuk berpikir jernih karena wanita yang menabraknya bukanlah Helena Dwight. Ia membereskan pakaiannya, lalu berjalan menuju ke pintu restoran.Tangan kanannya mendorong pintu dan ia pun masuk. Menengok ke arah kanan kiri, ia bisa menemukan di mana wanita bermata biru itu duduk. Ia mencoba mengabaikan, tetapi entah mengapa ia merasa bahwa wanita itu memperhatikannya.Adero mengangkat bahu lalu mendekati kursi yang tampak kosong. Tak lama kemudian, seorang pelayan datang dengan membawakan buku menu.Adero membuka buku menu, baginya menu di restoran ini cukup biasa saja, sehingga ia bahkan tidak tahu harus memesan apa. Sepertinya, ia sudah sering memakan jenis makanan yang ditawarkan restoran yang ia datangi ini. Akan tetapi, ia tetap harus memesan makanan karena perutnya sudah lapar.“Aku pesan salmó marinat amb anet, suquet de rap amb patates, h
Sinar matahari pagi hari ini begitu silau, Nevilla membuka mata dan langsung mencari keberadaan ponselnya. Setelah menemukan ponselnya, ia melihat jam, waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Dengan mata yang masih mengantuk, ia bangun dari tempat tidur. Betapa terkejutnya, saat ia melihat seseorang yang mengantarnya pulang kemarin, berdiri di dekat pintunya.Nevilla meneguk air liurnya, ia memundurkan langkah bersamaan dengan Carlson yang mendekatinya. Tangan kekar milik Carlson dengan sigap memeluk tubuhnya, membuat ia menegang seketika. Embusan napas berat dari Carlson membuat ia menahan napas. Ia memejamkan mata, ketika wajah Carlson semakin mendekat ke arahnya.Nevilla tidak bisa berbuat apa pun selain menuruti gerakan tubuhnya, ia bahkan tak bisa menolak saat pria itu mengangkat tubuhnya dan membaringkan dirinya di kasur. Ia mendadak bersemu, saat Carlson membuka kaos yang dipakainya. Bentuk tubuhnya yang kekar, serta tatapan yang tak pernah lepas darinya, membuat
Nevilla terpaku sejenak, ia melirik ke arah Serena yang tampak terkejut. Ia menarik napas lalu mengembuskannya. “Kenapa harus aku?”Sungguh, Nevilla sangat menyadari bahwa pertanyaan yang ia ajukan sangat konyol. Ia bekerja di perusahaan itu cukup lama dan bahkan ia malah menanyakan hal yang tidak penting padahal ia hanya perlu menyetujuinya saja.“Sebenarnya aku juga tidak begitu yakin kalau kamu bisa membantu ayahku, tapi Aron tetap bersikeras bahwa kamu memiliki bukti mengenai bagaimana ayahku mendapatkan proyek-proyek besar.”“Kamu salah,” bantah Nevilla. Ia sangat yakin, jika Aron melakukan hal ini karena ingin bertemu dengannya, ia memang beberapa hari ini tidak pernah membalas atau menerima panggilan dari pria itu.Nevilla mencari kertas dan juga pulpen, setelahnya ia menuliskan alamat seseorang dan memberikannya pada Ale. “Kamu bisa menemui sekretaris Viana, dia yang selalu bersama dengan Pak Davi dan Pak Arkan untuk mengurus proyek-proyek besar.”
Nevilla terkejut bukan main setelah tanpa sengaja harus bertemu dengan Aron dan kedua anaknya, yaitu Vincent dan Vena. Tak ada pilihan lain, Nevilla menerima ajakan Aron untuk bergabung dengannya, Serena bahkan tak keberatan akan fakta itu. Mereka kemudian memilih untuk pergi ke salah satu restoran untuk makan siang.Aron melambaikan tangan kepada salah seorang pelayan yang langsung datang menghampiri. Ia lalu menyerahkan daftar menu pada Nevilla dan Serena. Serena tanpa basa-basi memesan makanan kesukaannya dan Nevilla hanya mengikuti Serena tanpa berniat memilih menu yang lain.Aron memerhatikan Nevilla dan ia melihat perubahan yang aneh pada wanita itu. Nevilla biasanya begitu ramah dan sesekali menggoda Vincent, hari ini wanita itu tidak melakukan apa pun, kecuali duduk sambil memandangi seluruh sudut restoran. Aron merasa dirinya ingin menanyakan sesuatu, tetapi ia tahan karena ia tidak memiliki hak apa pun terhadap wanita itu.“Tante Villa habis dari
"Terima kasih," ujar Adero lalu memutuskan sambungan telepon. Dia baru saja menghubungi seseorang yang bisa diajak kerja sama untuk mengungkap kembali kasus kecelakan yang terjadi pada Hana. Bagaimana pun, dia tidak bisa bertindak seorang diri, mengingat akan banyak orang yang dilibatkan dalam kasus tersebut.Adero mengambil jaket yang sudah dia siapkan. Hari ini, dia tidak berniat untuk pergi ke perusahaan karena sudah muak dengan segala pembicaraan mengenai penolakan investor yang baginya akan merugikan itu. Ayahnya, Arkan, bersikeras kalau dia harusnya nenerima saja karena selalu ada risiko dalam setiap pengambilan keputusan. Sayangnya, dia tidak menikmati itu, mengingat dia tidak mau rugi besar."Tidak ke kantor?" Ale tersenyum tipis pada Adero yang baru saja keluar dari kamar. Dia sudah menduga kalau kakaknya itu akan melakukan hal seenaknya ketika pendapatnya tidak dihargai. Dia kembali bertanya, "Hari ini mau ke mana?"Adero mengangkat bahu acuh seakan dia tak mau Ale tahu meng
Kepulangan Vena langsung disambut oleh Avalee. Ia bersyukur karena cucunya baik-baik saja. Ia pun mendekat pada Arkan untuk mengetahui kondisi kesehatan Vena. “Bagaimana? Dokter tidak mengatakan hal buruk kan? Aku sungguh khawatir,” ujarnya sambil mengikuti langkah Arkan menuju ruang keluarga.“Apakah Adero dan Ale belum pulang?” tanya Arkan tanpa menjawab pertanyaan Avalee. Ada yang ingin ia bicarakan pada kedua putranya itu. Tentunya terkait dengan kemajuan perusahaan dan kerja sama dengan investor dari Jerman. Ia sudah mendapatkan laporannya dari Nevilla sehingga harus segera bicara mengenai kejelasannya.“Aku bertanya keadaan cucuku. Bisakah kamu tidak mengurusi pekerjaan dulu? Aku yakin mereka bekerja dengan baik.” Avalee tidak suka ketika Arkan malah fokus pada perusahaan saat mereka sedang membahas keluarga di rumah.Arkan mengangguk paham. “Vena baik-baik saja. Dia harus istirahat yang banyak dan meminta obat. Tak ada
Kecelakaan mobil yang mengakibatkan Hana terbunuh karena ada yang salah dengan remnya. Tak hanya itu saja, sebenarnya ban belakangnya pun sudah hampir pecah saat itu. Seseorang yang Adero temui kemarin memberi tahu kalau ini mungkin kasus pembunuhan. Ada seseorang yang merencanakan lebih dulu kecelakaan yang menimpa Hana tetapi tertutupnya kasus membuat segalanya tidak terkuak. Jika ingin membuka kasus ini kembali, pasti membutuhkan waktu yang banyak karena tak mudah untuk dieksekusi lagi.Bayangkan saja. Sudah enam tahu lamanya. Adero sadar kalau saran ibunya memang benar. Ia harus bergerak maju, menjalani kehidupan yang membawanya ke titik melupakan. Namun, semakin ia berusaha untuk melupakan, nyatanya ia tak bisa menghindarinya kalau ia masih penasaran dengan siapa pelaku sebenarnya dan kenap. Hana tidak salah apa pun. Aron yang salah karena menghamilinya dan membawanya pada kematian. Ia tak akan melupakan kenyataan itu. Tak akan pernah.Adero menatap pintu yang sedari tadi
Arkan menatap Aron dengan tatapan menyelidik. Ia masih tak percaya kalau putra tirinya tidak tahu kalau badan Vena sudah panas sejak tadi pagi. Ia mendapatkan pesan dari Juniel yang kebetulan akan mengantar Vena ke sekolah. Juniel yang merasa kalau wajah Vena pucat segera menelepon Arkan dan memberi tahu kalau Vena sakit. Ketika dokter memeriksa pun dikatakan bahwa seharusnya ada gejala lebih dulu sehingga jika ditangani dengan tepat sebelum dibawa ke rumah sakit, Vena tidak akan pingsan.“Apakah kamu tidak membaca pesan dari ibumu? Dia juga meneleponmu beberapa kali. Apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Arkan.“Aku harus menggantikan Adero mengurus proyek apartemen Helton. Jadi, aku tidak bisa menolaknya. Pesan dan panggilan itu aku minta maaf." Aron sadar ia telah salah mengabaikan pesan dari ibunya. Ini karena ia punya kesempatan untuk berdekatan dengan Nevilla dan baginya itu kesempatan agar hubungan mereka menjadi lebih baik lagi.Kening A
Kedatangan Nevilla ke perusahaan membuat karyawan yang datang berbisik-bisik. Ia menatap para karyawan dengan pandangan bingung lalu menaiki lift menuju ruangan barunya. Ia menatap pintu lift yang dibuka paksa oleh Malvin. Ia menatap tidak suka meskipun Malvin tersenyum padanya.“Aku tidak menyangka kalau kamu dengan mudahnya mampu menggantikan posisi Viana,” ujar Malvin setelah menekan nomor lantai yang hendak ia kunjungi. “Aku tahu kalau kamu merupakan satu-satunya kandidat yang cocok menggantikan Viana tetapi bukankah ini terasa aneh?”Nevilla ingin menjawab perkataan Malvin tetapi ia menahan diri karena sudah pasti akan terjadi keributan. Malvin juga biangnya gosip sehingga ia harus memastikan kalau pria itu tidak bicara macam-macam pada siapa pun sehingga ia menahan untuk tak bicara sampai pintu lift terbuka.“Bukankah kamu seharusnya turun?” Nevilla memandang Malvin dengan senyum bahagia. Ia berharap lega ketika pintu lift kem
Badan Nevilla terasa pegal karena ia harus menyelesaikan beberapa laporan yang harus dikirim hari ini. Ia menatap layar laptop dengan pandangan mengantuk tetapi ia tahan saja sebab ia harus mengerjakan tugas dengan baik, tak peduli siang atau malam. Ia telah mengambil posisi Viana tanpa perlu bersusah payah. Meski tahu menjadi sekretaris bukan pekerjaan yang mudah, ia sudah mengetahui segala risikonya. Ia menutup layar laptop setelah memastikan kembali semua laporan tidak ada yang salah. Ia menatap gadget yang berdering di meja dengan senyuman. Sudah lama wanita yang menyuruhnya pindah tak menghubunginya lagi.“Pagi, Helen. Ada apa?” tanya Nevilla dengan senyum merekah. Ia ingin sekali melakukan panggilan video tetapi ia tahu Helena tidak akan mau.“Aku minta maaf karena belum bisa memastikan, tetapi kamu harus tahu kalau posisiku di perusahaan akan mampu membawaku menemukan apa yang kamu cari.” Nevilla mendebarkan jawaban dari seberang sana dengan
Suasana makan siang sangat canggung karena Arkan mengajak Aron dan Adero ikut serta. Ale tadi sudah memberi tahu ayahnya agar makan siang di rumah saja tetapi Arkan mengabaikan perkataannya dan malah mengajak kedua kakaknya sendiri. Ia mau tak mau harus hadir agar tidak terjadi hal yang jauh lebih mengerikan daripada saling diam seperti ini.Arkan meneguk minum setelah menyelesaikan makannya. Ia menatap Adero dan Aron yang duduk bersebelahan. Keduanya tak banyak bicara lagi setelah menyelesaikan masalah yang terjadi di perusahaan. “Apakah kalian ingin makan hidangan penutup?” tanya Arkan.“Tidak,” ujar Adero dan Aron bersamaan. Hal ini membuat Ale melirik sekilas sambil menggelengkan kepala.“Baiklah kalau begitu. Setelah ini kalian langsung kembali ke perusahaan?” Arkan menatap Adero dan Aron bergantian. Ia ingin tahu siapa dulu yang akan menjawab.“Kita akan kembali ke perusahaan karena masih ada pekerjaan yang harus di
Serena terkejut ketika Nevilla menaruh beberapa berkas di meja kerjanya. Ia menghela napas kasar kemudian tersenyum. “Aku harus memberikan ini kepada Viana. Oh, malas sekali. Aku benar-benar muak dengan sikapnya. Tidak bisakah dia meminta maaf dengan benar?”Nevilla mengangkat bahu. “Aku berusaha untuk memaafkan apa yang telah dia perbuat padaku tetapi aku tidak ingin menemuinya. Kamu berikan itu padanya, katakan juga untuk segera mengirim email untuk perusahaan Recodeck karena mereka ingin segera membayar uang mukanya. Apakah kamu paham?”“Aku harap dia segera dipecat dari perusahaan!” teriak Serena tanpa memedulikan rekan kerja lain yang menatapnya penuh kebingungan. Ia membawa berkas-berkas keluar dari ruangan. Ia tak akan menolak keinginan Nevilla karena sahabatnya telah berjanji akan membantunya menyelesaikan laporan.Serena melangkah dengan cepat menuju ruangan Viana. Ia sudah mempersiapkan diri dengan baik untuk mengucapkan s
“Apakah Ade belum keluar dari kamarnya?” tanya Avalee saat tahu anggota keluarga sudah berkumpul di ruang makan untuk sarapan, tetapi anak tirinya belum ada di tempatnya duduk. “Apakah aku perlu memanggilkan?” Avalee menatap Arkan yang sedang menyesap kopi buatan pelayan rumah.“Dia pasti akan keluar dari kamarnya, jadi sebaiknya Ibu sarapan.” Aron pikir tak penting juga menunggu kedatangan seseorang yang tak menghargai keluarga ini. “Aku dengar Ibu akan mendatangi salah satu kerabat yang putrinya hendak bertunangan, ada baiknya Ibu segara bersiap-siap.”Arkan sengaja membanting garpu ke piring, membuat semua orang yang ada di sana langsung memperhatikan.“Kakek sedang marah ya? Ada apa?” tanya Vena dengan wajah ketakutan. “Vena mau berangkat sekolah saja. Kak Vincent, ayo!” Vena menarik tangan kakaknya sebelum dipeluk oleh Vincent.“Kamu membuatnya ketakutan. Tidak bisakah kamu melakuk