“Aaagh! Jangan, Bang …!”
“Apa gunanya kamu, kalau bukan buat nyari duit, hah! Maumu apa?!”
Kulit kepala sangatlah sakit, sudah tak kutahu lagi cara katakan nyerinya. Rambut terasa tercerabut, ditarik kasar bagai diri manusia tak punya rasa. Ini sakit!
Mamak … tolong April, Maaak …!
Hati ini menjerit. Aku tidak mau lagi dibawa ke sana!
Tidak!
.
.
.
Bagaimana diri bisa terjebak ada di antara orang-orang jahat ini? Sangat miris bila kuingat.
Aku lari dari rumah Almira, terpaksa membawa Adam karena Mas Danang menyumpahi dan mengusirku pergi. Jahat sekali dia, aku hanya minta hak Adam, sempat berharap den
“Kalau Abang gak percaya akan aku buktiin!” tantangku. “Memang masalah kalau kamu kotor, hah?” “Se-sebentar, Bang, aku bersih-bersih dulu!” Dasar manusia set** alas, gimana aku bisa lolos?! “Awas kalau bohong, aku pecahin kepalamu. Kamu itu tidak berguna di sini!” “Ba-baik. Aku ke wc, A-Abang tunggu di sini.” Sial! Lelaki sangar itu malah mengkutiku, menunggu di depan pintu kamar kecil. Kunyalakan air, merasakan isi kepala terasa penuh. Habislah aku kalau kena virus itu …! Hidup tersiksa, kurus … sisa tulang belulang … tengkorak hidup …? Agh!! Hampir aku teriak membayangkannya. Tidak!
“Gimana ini, Mbak? Lah, aku musti antar ke mana?” “Aku gak punya saudara di sini.” “Waduhh, piye iki?” Pria yang kupanggil Mas sebelumnya ternyata terlihat lebih muda saat buka helm. Dia menepikan motor di sisi jalan dan menurunkanku tadi, bingung mau antar aku ke mana, tapi juga terlihat tidak tega meninggalkanku. Rambut tebalnya basah keringat disugar ke belakang sebelum memasang kembali helmnya. Tampak mengetik pesan di ponsel, selesai itu dia kembali melihatku yang berkali-kali meringis menahan denyut di hidung. Panas matahari terasa ikut memanggang hidung sial*n ini! “Beneran nggak punya orang dikenal sama sekali? Masa bisa terbawa gitu aja ke Jogja, Mbak? Apa Mbak ini dibius di jalan?” Kupandangi dia saksama, saat matanya juga memindai seakan aku sudah berbohong.
Nino ada di pangkuannya, selama beberapa menit aku duduk bersamanya di sini sudah berpuluh kali dia cium anak itu penuh sayang. Hatiku terasa selalu tercubit keras. “Sudah siap, Mbak April?” Suara Rosyid mengagetkanku. Lekas berdiri, kuraih nampan gorengan juga jajanan pasar lainnya di dalam keranjang, semua tadi sudah siap di meja. Jajanan ini titipan tetangga, juga gorengan buatanku, diajari Ibu. Sudah lima hari aku bantu menggantikan Ibu jualan jajanan di pasar tradisional, berangkat sekitar setengah enam, saat hari baru terang. Aku terpaksa mencari uang begini, awalnya ditawari Ibu ternyata hasilnya lumayan, bisa ditabung untuk biaya pulang. Ibu sama Bapak berangkatnya dini hari, Bapak jualan buah di pasar yang sama, hanya beda lokasi. Selepas Rosyid mengantarku, dia akan antar Ibu pulang baru berangkat ke kampus, katanya pa
Dari bandara, akan menuju kampung travel melewati Kota Cantik membuatku kembali mengingat awal datang dulu. Diri membawa sejuta harap hidup akan lebih baik, tapi ternyata sekarang harus kutinggalkan lagi kota ini, pulang dengan keadaan hancur lebur. Andai bisa diulang, mungkin aku akan serius belajar, dan sekarang sudah kerja di Bank, seperti mimpi yang pernah kuidamkan. Jadi seorang Customer Service, berdandan cantik, dan ditatap orang-orang penuh kekaguman. Lalu menikah dengan orang penting, kaya, dan hidup bahagia, seperti kata Nenek kalau aku ini istimewa. Namun … semua tinggal khayalan, aku sudah tidak bisa kembali seperti semula. Predikat buruk terlanjur disandang. Dengan wajah memakai masker, aku diam sepanjang perjalanan. Tidak mau orang terganggu melihat hidungku yang kembali merekah merah sebab meradang, aku juga malas ditanya kenapa ini kenapa itu, semua orang akan tanya hal sama me
“Ini salahku sendiri, Mak.” Hidung rusak akibat ingin cantik, agar Joni mau menikahiku adalah bukti kebodohan sendiri. Kemudian dua tangan kuangkat. “Apa yang Mamak bilang ini karena pengaruh orang itu? Sampai Mamak segitu percaya dengan apa saja yang dia bilang?” Mata Mamak berkilat marah. “Ini dari mimpi mamak, April! Apa kamu mau semua turunan mamak habis kalau tidak dilakukan?” Mengambil ember, dan alat penyadap Mamak terlihat akan beranjak pulang. “Nanti di rumah, kamu harus pakai lagi minyaknya.” “Gak mau!” Aku kembali duduk di tangga pondok. “Mak, habis jin yang mirip nenek itu pergi aku gak apa-apa, malah merasa nyaman, Mak. Mamak itu dibodohi sama lelaki tua bejat itu! Mau-mau aja dengarkan set**!” Plak!! Alat penyadap karet dilemparkannya padaku, mengena
“Gimana, Yang?” “Itu kabarnya dirujuk ke Surabaya. Dibantu sama Komunitas Peduli Perempuan, Beb. Mereka kasihan lihat mamanya sampai rela nawarin ginjal gitu buat biaya operasi.” Kugigit bibir bawah, terasa ada sesuatu di dalam dada yang sulit dikatakan. “Titipanku udah Ayang kasih, kan?” “Sudah, dong, tadi habis dari bengkel mutar pulang lewat sana.” Dia ini, bukannya langsung mandi malah mendekat, berdiri di depanku. Membungkukkan badan, sementara tangannya yang kotor di belakang badan. Cup! Sempatin cium keningku. “Hatimu baik banget, Beb. Jadi makin cinta, nih.” Aku langsung pasang wajah imut. “Siapa dulu, dong, Denok. Makanya jangan cari bini lain.” Disambarnya bibirku yang menge
Suara mobil terdengar di depan. Kukira Jerry pulang, eh, pas lihat itu rupanya taksi bandara. Mama?! Wah kejutan! Mama datang gak bilang-bilang. Katanya waktu itu mau nunggu dekat hari perkiraan lahiran, masih seminggu lagi. Perlahan melangkah ke pintu samping. Jalan keluar-masuk favorit kami di sini. Pintu depan itu khusus buat tamu. “Mama …!” “Sayang.” Kami pelukan, setelah Mama ucapkan salam dan kujawab. “Mama ke sini kok gak ngabarin?” “Sengaja. Mendadak juga mama pulangnya, kangen.” Diusap Mama perutku. Supir menurunkan banyak barang ke teras. “Jerry mana?” “Lagi k
PoV Denok Rasa manis puding berubah jadi tawar di mulut. Kupaksa kunyah dan telan, lalu minum. Sendok kuletakkan kembali. Sudah hilang selera. “Memang kondisi Papi gimana?” tanyaku, entah nadanya kesal ataukah datar. “Dari pemeriksaan Mas Mahesa kena serangan jantung.” Mama menarik napas panjang sebelum lanjut. “Kemungkinan akan operasi katup jantung yang bocor. Mama mau lihat keadaannya. Maafkan mama akan ingkar janji.” Aku terdiam, memandanginya dengan rasa kecewa berat. Lebih memilih orang lain dibanding aku. “Jerry bisa merawatmu, Nok. Mama juga minta tantemu tinggal sementara di sini.” Air mata ini luruh deras. “Mereka itu beda, Ma,” ujarku menggemerutuk ge
POV Soraya Setelah tertegun sejenak, suami meletakkan ponselku di atas kasur, tepat di sisinya. Aku menatap semua pergerakannya dalam diam. Sepertinya memang ada yang tak kutahu. “Dek … maaf sebelumnya kalau mas belum cerita ini.” “Ceritakan saja, Mas. Saya siap dengar,” balasku tenang. Sesakit apa yang akan ia katakan, mungkin aku kuat karena pernah mengalaminya dulu. “Sebenarnya ini sudah lama. Mas mengenalnya sudah dua tahun belakangan. Hanya dia baru bilang suka beberapa bulan lalu.” Aku coba mengatur napas, untuk melonggarkan dada yang terasa nyeri dan sesak. Akankah ini terulang seperti Mas Danang dulu lakukan …? Tidak. Jangan ya, Rabb …! “Dia usia 40 tahun, belum menikah. Dan … bilang jatuh cinta pada mas.” Mas Mahesa mengambil tanganku, menggenggamnya erat. “Maafkan mas …” kalimatnya yang menggantung membuatku terpukul. Bayangan pengakuan Mas Danang dan April saat itu mengitari pikiran, menghantuiku. “Mas pernah
“Tante, apa kabar?”Aku yang mendapat sapaan itu langsung menoleh, seseorang perempuan berhijab panjang, dengan masker putih hingga yang terlihat hanya matanya.“Alhamdulillah, baik. Apa kabar juga,” balasku, tersenyum sambil mengingat-ngingat dia siapa.Seperti paham, ia menurunkan maskernya. Perempuan berwajah tirus dengan hidung lancip dan sedikit parut luka kecil di dekat hidung. Meski begitu dia tampak cantik.“Alhamdulillah baik juga, Tan. Saya … April,” ucapnya sambil meraih dan menyalim tanganku.“April?” Segera kubuka tangan memeluk tubuhnya. Sudah lumayan lama kami tak bertemu. “Senang bertemu kamu lagi.”Aku memang pernah dengar dia sakit, dan setelah sehat aku kemudian tak tahu lagi bagaimana hidupnya, hingga bisa bertemu di sini sekarang.April tampak jauh lebih baik.“Saya juga senang ketemu Tante.” Suaranya yang masih khas, tetapi kini
POV Danang“Saya minta maaf ... sangat mohon dimaafkan Al ... keluarga Mama, Papi, dan keluarga Ayah. Saya sudah terlalu jauh melangkah ... ini kesalahan besar yang sudah saya lakukan. Saya ... sudah menyakiti semua orang, terutama Almira.”Angger bicara begitu di malam harinya, saat kami sudah pulang dan berkumpul di rumah, kecuali Naya yang tetap tinggal di rumah besan.Semua kompak tinggal di rumah yang dulu Soraya beli saat anak-anak kuliah, dan sudah direnovasi berlantai tiga ini. Kami tidak ada yang menyewa hotel. Tempat ini lebih dari cukup untuk menikmati kebersamaan luar biasa, yang amat langka terjadi. Meski kami sudah bukan suami istri, Soraya tampak tak canggung menganggapku sebagai bagian dari keluarga.“Kami mendukungmu, Nak Angger. Keputusan apa pun memang hanya kalian berdua yang menjalani. Jika berdua sama-sama ingin bertahan, berjuanglah. Kami akan mendukung selama itu ke arah yang baik. Kami salut kamu be
Malam ini aku, Mas Mahesa juga Rama ngumpul di ruang tengah, kita baru selesai videocall dengan putri Mas Mahesa yang tinggal di Belanda. Rama dengan Bahasa Inggrisnya tadi amat fasih bicara dengan ponakan dan saudara lain di sana. Kontak kami memang sebatas video call, setelah tiga kali pertemuan secara langsung dengan gadis berwajah khas India itusangat ramah dan baik padaku, yang dipanggil Mami olehnya. “Kapan kita liburan ke Belanda?” Mas Mahesa bertanya. “Kalau liburan panjang bisa, Mas, sebelum Rama masuk SD, gimana?” “Bisa. Gimana, Dek Rama mau kita ketemu sama Mark dan Loui?” “Mau, Pi. Mau banget. Biar naik sepeda bareng.” Aku pun setujui kami akan liburan tiga bulan lagi. Selama fisik masih kuat ke manapun diajak suami oke aja. Beberapa tempat wisata di Indonesia sudah Mas Mahesa ajak. Ia termasuk laki-laki yang suka travelling, dan aku pun merasa ketularan. Masa tua kami isi sosial juga menjalin silaturahmi dengan ana
PoV Soraya“Pakabar Mama?” Pelukan dan cium pipi kiri kanan saat aku bertemu Almira di restoran.“Alhamdulillah, mama sehat. Kamu gimana, Sayang?”“Alhamdulillah, Ma.” Almira membuka tangan mengisyaratkan aku melihat kalau ia baik-baik saja.Aku tersenyum lega. “Kita ke ruang sana, yuk.” Tangan Al kemudian kugamit, kami mengikuti seorang waiters yang mengantarkan ke ruang pesananku.“Mama sempet nunggu, kah tadi?”“Enggak, kok, Al, papimu barusan aja pergi.”“Jadi beneran kita berdua aja nih?” Wajahnya sedikit heran melihat kami menyusuri lorong yang diapit susunan batu alam.“Skali-kali mama ngedate sama kamu, ya ‘kan?” godaku.“Aih, Mama. Tapi kok bikin deg-deg’an ya. Kita kemana? Kok, berasa kayak mau dikasih surprise. Masa aku lupa ini ulang tahunku?” katanya
POV DanangAh, harusnya ketenangan sudah kugenggam ... tapi kenapa terasa masih jauh. Setelah semua yang kuminta pada anak-anak terpenuhi, juga hubungan Adam yang membaik dengan April pun dikabulkan. Aku tetap merasa ada yang berlubang dalam dasar hati.Ada apa denganku ...?Pagi-pagi, seperti biasa keluar kamar aku langsung ke dapur, berpapasan dan berbagi senyum dengan Almira. Wajah pucatnya cepat mengurai senyum lebar setelah menyadari tatapanku, kurasa senyum itu sangat dipaksakan.“Ayah mau sarapan apa, nanti tinggal bilang simbok, ya, Al buru-buru piket pagi. Kalau bahan kurang atau butuh apa bisa wa aja, pulangnya Al belikan.”Di atas rasa sedih atas rumahtangganya ia masih memikirkan keperluanku. Dia pikir aku tak tahu apa-apa. Betapa aku merasa tak berguna sebagai ayah. Kalimatnya terasa menegurku yang selama ini terlalu banyak permintaan dan kecerewetan, termasuk tentang makanan.“Ah, ayah a
“Wuaah, ini ajaib, Mama Al.” “Cakepnya, anak bule, kulit putih ambil mamanya, hidung mancung dari papanya.” “Kada nyangka, Aya, ikam kawa bisi anak lagi.” (Nggak nyangka, Aya, kamu bisa punya anak lagi) Itu sebagian kecil beragam komentar kawan-kawan saat aku lahiran, bahkan sampai sekarang. Sejak hamil sampai melahirkan mereka rutin lakukan panggilan video, ikut gemas lihat perkembangan anakku. Sekarang Rama sedang aktif-aktifnya melangkah, seperti mau cepat bisa lari. Otot kakinya sudah kuat, tak pernah terlihat jatuh lagi. Aku bersyukur atas kesehatannya ini. Dua perawat siaga, satu bertugas untuk Rama, satu untukku. Suami benar-benar memanjakan kami dengan kemampuannya. Ia melarangku terlalu lelah mengejar Rama yang sangat aktif bermain. “Biarkan yang muda aja
PoV SorayaHari di mana anak-anak memberi hadiah untukku, lukisan pemandangan yang menggetarkan hati. Sangat mengharukan, karena di situ ada kenangan dua orang yang tersimpan dalam.Pertama, tempat itu tempat Mas Danang dulu mengutarakan isi hati. Getaran cinta pertama pada lawan jenis. Kenapa bisa di sana, ya karena aku mengenalnya saat study tour kelas 2 SMA ke Jogja. Ia lebih tua 6 tahun dariku, bertemu di Borobudur langsung bilang suka dalam pandangan pertama. Jodoh menggariskan kami bertemu lagi di Palangkaraya dua tahun kemudian, lalu menikah di usiaku yang masih terbilang muda.Kedua, itu tempat kenangan bersama Mas Mahesa juga. Getaran pertama muncul makin kuat padanya, ia pernah dalam diam menungguku menikmati pemandangan bak karpet hijau terpampang di depan mata. Meski sudah tua saat itu, tapi getarku padanya sempat membuat diri
PoV Denok“Iya, iya. Kewajiban seorang mama ya memang begitu. Memastikan kalau anak-anaknya tumbuh baik.”“Termasuk harus berbohong?” Kututup mulut yang refleks bertanya.“Bohong buat kebaikan kenapa enggak?”“Ih, namanya Mama jahat sama diri sendiri.” Aku memeluk kakinya, mata hampir kembali basah.“Al, Nay, Fa, Denok … kalian dengarkan, ya. Mama ini sayang diri sendiri, sayang kalian-““Sayang Ayah?” Mama terhenti melihatku.Mengatup mulut sedikit mengangguk.“Ya, mama akui sayang ayahmu juga … 21 tahun bersama sebelum peristiwa itu bukanlah waktu sebentar. Kebaikan ayah kalian, di awal kami membangun rumah tangga