Mendengar perkataan Alya, Hana pun tidak bisa menahan amarahnya. Dia menggertakkan giginya dan berkata, "Jangan bicarakan kejadian itu, kamu tahu kalau itu nggak sama.""Keduanya melibatkan nyawa manusia, apanya yang nggak sama?""Nyawa manusia apanya. Sekarang baru berapa lama? Anak itu masih sebuah embrio!""Oh, apa Nona Hana nggak pernah menjadi embrio?"Hana kehabisan kata-kata.Dia merasa pembicaraan ini tidak mengarah ke mana-mana.Dia pun menyadari sesuatu, lalu menyipitkan matanya dan menatap Alya."Kenapa sekarang kamu seperti bermusuhan sekali denganku? Apa yang terjadi? Kita tampaknya bukan musuh, 'kan?""Nona Hana sudah salah paham, aku sama sekali nggak menganggapmu sebagai musuh."Alya terdiam sejenak, lalu melanjutkan, "Tapi kita juga bukan teman, 'kan?"Hana menyetujui bagian ini.Sedetik pun dia tidak pernah menganggap Alya sebagai teman.Meskipun dia tahu bahwa Alya adalah temannya Rizki, dia tidak mungkin menggapnya sebagai teman sungguhan. Keberadaan duri ini di keh
Ketika Alya meninggalkan perusahaan dan baru sampai di lantai bawah, dia menerima telepon dari Irfan."Kenapa hari ini kamu ke perusahaan?"Alya tertegun mendengar pertanyaan ini. "Kenapa kamu bisa ...."Di tengah kalimatnya, Alya tiba-tiba teringat sesuatu. Dia segera melihat ke arah tempat parkir yang waktu itu.Sesuai dugaannya, sebuah mobil yang tidak asing sedang terparkir di sana."Kenapa kamu ke sini?""Kebetulan saja." Tawa ringan Irfan terdengar dari ujung telepon. "Aku datang untuk membereskan pembicaraan kerja sama kita waktu itu."Menyebutkan kejadian waktu itu, Alya pun sama sekali tidak mencurigainya.Meskipun Irfan tidak menyebutkannya, Alya juga tidak akan mencurigainya. Lagi pula, beberapa hari ini dia tidak datang ke perusahaan. Irfan tidak mungkin terus menunggunya di sini.Pria itu tidak mungkin menunggunya setiap hari, 'kan?Mereka sudah bertemu, Alya pun bersiap untuk menghampirinya.Siapa sangka ketika dia baru melangkah, dia mendengar Irfan berkata, "Kamu di san
Setelah mendengar seluruh ucapannya, Irfan tidak bisa menahan tawa dan berkata, "Kamu benar-benar nggak sungkan, ya.""Ya, sekarang aku punya selera makan yang besar. Kalau kamu menyesal, sekarang masih ada waktu."Irfan berpikir sejenak. "Aku bisa mentraktirmu."Sebenarnya Irfan ingin berkata, aku bisa menafkahimu. Akan tetapi, sepertinya tidak pas untuk mengatakan hal semacam itu di saat seperti ini. Dia bisa saja menakutinya, 'kan?Sebaiknya dia pelan-pelan saja.Dalam perjalanan ke restoran, Irfan menanyakan situasi Alya dan Rizki.Setelah mengetahui bahwa Rizki menghindari Alya dan tidak mau bercerai, untuk sesaat mata Irfan tampak terkejut. Setelah terdiam sejenak, dia pun kembali tenang dan tersenyum.Tindakan Rizki ternyata cukup tidak terduga.Dia melirik Alya yang duduk di sampingnya dan bertanya dengan lembut, "Kalau begitu, apa yang kamu pikirkan sekarang?""Apanya?""Kalau dia bersikeras nggak mau cerai, apa kamu akan terus menjadi istrinya?"Terus menjadi istrinya?Tentu
"Itu mustahil."Jika dikatakan Rizki tahu dan akan datang, Alya masih menganggap itu mungkin.Namun bila dikatakan Rizki akan datang dengan terburu-buru, Alya merasa kemungkinannya sangat kecil."Sepertinya pandangan kita berbeda. Kalau begitu kita tetapkan begini saja, kalau dia datang, aku akan membantumu."Dengan percakapan mereka yang sudah sampai di titik ini, Alya pun tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Dia hanya bisa bertanya, "Bagaimana kamu akan membantuku?"Irfan hanya tersenyum dan tidak menjawab.Alya pun terdiam.Misteri apa ini.Restoran yang mereka sepakati berada cukup jauh, mereka membutuhkan waktu hampir setengah jam untuk sampai ke sana. Ketika turun dari mobil, Irfan masih membukakan pintu mobil untuknya.Alya berkata, "Nggak usah, aku bisa sendiri.""Ketika berakting, lakukanlah sepenuhnya."Alya tidak bisa berkata-kata.Alya terpaksa mengikutinya turun dari mobil, lalu masuk ke restoran itu bersama.Sebelum mereka datang, Irfan sudah menyuruh asistennya untuk mela
Dengan berpikir seperti itu, Alya tidak lagi memberontak. Sekujur tubuhnya melemas, seolah-olah dia sudah menerima nasibnya.Irfan juga merasakan kepasrahannya.Tidak, daripada mengatakannya pasrah, Alya lebih seperti sepotong kayu yang sudah lama terombang-ambing di laut, rusak akibat angin dan hujan. Saat ini, dia sudah tidak ingin lagi melawan, dia hanya ingin mengikuti arus.Melihat Alya yang seperti ini, Irfan merasa sangat tak berdaya dan sedih.Meskipun Alya adalah sepotong kayu apung, dia masih membutuhkan seseorang untuk menyelamatkan dan merawatnya.Tanpa sadar, Irfan menggenggam tangannya dan dengan hati-hati meremasnya.Kemudian, dia mengangkat kepalanya dan menghadap Rizki yang berwajah pucat. Sementara Rizki bergegas melewati meja dan kursi, Irfan tersenyumSenyumnya tampak penuh dengan kemenangan.Setelah bertahun-tahun saling mengenal, ini adalah pertama kalinya Irfan menunjukkan senyum dan ekspresi seperti ini pada Rizki.Buk!Rizki datang dengan langkah lebar, tinjuny
Rizki menyipitkan matanya dengan mengancam."Kapan kamu yang memutuskan kalau dia mau bersamaku atau nggak?""Kamu benar." Irfan tersenyum. Dia tidak marah dan hanya menggeser pandangannya pada Alya. "Kalau begitu biar Aci saja yang bilang. Bagaimana menurutmu, Aci?"Aci.Itu adalah nama kecil Alya.Rizki menatap tajam wanita itu.Mungkinkah pria yang akhirnya dia pilih adalah Irfan? Karena itulah dia membolehkan Irfan memanggilnya dengan nama kecilnya?Tenggorokan Alya terasa tercekik.Dia tahu bahwa Irfan sedang membantunya supaya dia bisa terbebas dari Rizki, supaya perceraian dia dan Rizki dapat berjalan dengan lancar.Alya menatap Rizki yang berada di depannya, bibir merahnya terkatup rapat.Dia memang seharusnya mengambil kesempatan ini.Dengan pikiran ini, bibir Alya pun bergerak dan hendak berbicara.Akan tetapi, saat ini Rizki menggertakkan gigi dan memelototinya. "Alya, sebaiknya kamu pikirkan baik-baik apa yang mau kamu katakan."Disela oleh Rizki seperti ini, mulut Alya pun
Dia hanya ingin bercerai, Irfan tidak perlu sampai terus dipukul karenanya.Barusan Irfan sudah dipukul dua kali dengan tidak adil.Saat ini, pandangan Rizki bergeser dari wajah Irfan ke pergelangan tangannya."Kukatakan untuk terakhir kalinya, lepas."Alya yang juga mendengar ini segera menoleh menatap Irfan dan menjelaskan, "Biar aku tangani masalah ini sendiri."Mendengar penjelasannya, Irfan menatap Alya untuk beberapa saat. Lalu sebuah senyum kembali muncul di wajahnya."Baiklah, aku akan menunggumu."Setelah itu, Irfan pun melepaskan tangannya.Irfan baru saja melepaskan tangannya sedikit, tetapi Rizki sudah cepat-cepat membawa wanita itu pergi.Setelah mereka pergi, asisten Irfan pun berjalan masuk. Dia mengeluarkan sebuah sapu tangan dan memberikannya pada Irfan."Apa Tuan Irfan baik-baik saja?"Irfan mengambil sapu tangan tersebut dan mengelap ujung bibirnya dengan wajah datar. Matanya tampak sangat dingin dan ganas.Bagian tubuhnya yang dipukul Rizki jelas terluka.Namun, dia
Suasana yang panas tadi pun seketika menghilang.Setelah beberapa saat, barulah Rizki menoleh untuk menatapnya.Kemudian Rizki terpikirkan sesuatu, mata hitamnya pun berkilat. Dia sekali lagi memegang dagu Alya, jari-jarinya menekan ujung bibir Alya yang membengkak karena diciumnya. Dia tersenyum dan berkata, "Pernikahan kita memang palsu, tapi apakah kegiatan ranjang kita juga palsu?"Alya tidak dapat memercayai apa yang baru saja dia dengar."Apa katamu?""Memangnya nggak?" Jari Rizki bergerak ke bawah, menyentuh leher Alya yang cantik, lalu berhenti di atas tulang selangka yang indah itu.Tenggorokannya terasa tercekik. Dengan suara beratnya, dia berkata sembarangan, "Saat kamu memohon padaku untuk melakukannya denganmu waktu itu, kamu nggak seperti ini."Pupil mata Alya pun mengecil.Tak lama kemudian, dia mengangkat tangannya dan menampar Rizki lagi.Wajah Rizki lagi-lagi tertampar ke samping. Sesaat kemudian, pria itu mencibir, "Menamparku lagi dan lagi. Aci, kamu kira aku nggak