Vincen menghela napas panjang ketika ia memasuki apartemennya yang sepi setelah mengantarkan Veronica pulang ke rumahnya. Langkah kakinya terasa berat, dipenuhi dengan kelelahan yang menghantui tubuhnya. Dengan berat hati, ia menutup pintu apartemen dan memasuki kamar tidurnya, merasa begitu kesepian.Perlahan, Vincen melepas sepatunya dan menjatuhkan diri di atas ranjang, merasakan kenikmatan kasur yang empuk menopang tubuhnya yang letih. Namun, pikirannya terganggu oleh tulisan dikertas yang diberikan pria sepuh yang menyembuhkannya. Dia menatap langit-langit, seakan mencari jawaban di sana."Gunung Piek? Apa aku harus ke sana?" gumam Vincen dengan ragu. Dalam hatinya, ia bingung dan khawatir tentang apa yang mungkin menunggunya di sana. "Apa ini semua takdirku? Apakah aku harus percaya dengan pria sepuh itu?"Dalam kebingungan, Vincen menghela napas, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Dia menutupi matanya dengan siku, merasakan kelelahan yang semakin menumpuk, seolah menung
Dua pengintai itu menyadari bahwa peluang untuk melarikan diri dari kejaran pengawal bayangan keluarga Clark kian menipis."Jin, sepertinya kita benar-benar terjebak kali ini," ucap pengintai yang lebih tua dengan nada berat, sambil mengeluarkan sebuah belati dari lipatan jubahnya.Gagang belati itu berukiran Kalajengking hitam yang mengintimidasi, menunjukkan bahwa pemiliknya adalah orang yang tidak bisa dianggap remeh.Pria yang lebih muda, yang dipanggil Jin, tersenyum sinis sambil menghela napas. "Tidak ada pilihan lain, Kakak. Kita harus melawan mereka," katanya tegas, sambil mengeluarkan belati serupa dari balik jubahnya.Mereka berdiri berdampingan, memegang belati erat-erat, menghadapi para pengawal bayangan yang mendekat. Mulut mereka bergerak cepat, merapalkan mantra yang misterius. Tak lama, tanda kutukan hitam menjalar keluar dari tato di punggung tangan mereka, menyelimuti tubuh mereka hingga wajah mereka pun tertutupi oleh
Renz dan Nomi menatap Jin dengan tatapan tidak percaya, padahal pria itu telah terkena belasan kali tinju angin, tetapi dia masih bisa berdiri juga. "Nomi, biar aku yang menghadapinya," ucap Renz sembari berdiri didepan Nomi, tahu kalau rekannya itu sudah hampir kehabisan energi spiritual. "Hati-hati Renz, tubuhnya benar-benar sangat Kuat," ucap Nomi yang sedang memegangi dadanya. Renz mengangguk mengerti, dia menghunuskan pedangnya ke depan, walau tahu lawannya sangat kuat tak terlihat dia tak tampak gentar sedikit pun. Cahaya dari pedang Renz berkilau tajam, mencerminkan determinasi yang menggebu di matanya. "Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan apa yang kami lindungi!" teriak Renz dengan penuh semangat. Jin, dengan wajah yang sudah memar dan bercak darah di bibirnya, tersenyum sinis. "Kau pikir kau bisa menghentikanku dengan pedangmu itu?" ejeknya, suaranya serak karena pukulan yang telah diterimanya. Dengan langkah mantap, Renz memajukan diri, pedangnya siap menga
Di saat Rekan Jin tengah dilanda kebingungan akibat racunnya yang berhasil dikeluarkan oleh teknik ajaib Vincen, tiba-tiba saja sosok Vincen muncul di hadapannya dengan kecepatan luar biasa.Swut!Duak!Pukulan mematikan Vincen berhasil mendarat dengan sempurna di wajah Rekan Jin, yang seketika terhempas jauh ke belakang dengan kecepatan tinggi.Bruak!Tubuh pria itu dengan kerasnya menghantam sebuah tong sampah di pinggir trotoar jalan hingga tong tersebut hancur berantakan. Beberapa serpihan tong sampah melukai tubuhnya, meninggalkan bekas goresan di kulitnya.Rekan Jin yang mencoba bangkit dengan cepat. Namun, belum sempat berdiri, Vincen sudah melompat ke arahnya dan menekan dadanya dengan lutut yang kuat.Duak!"Hoek!" Pria itu terpaksa menyemburkan seteguk darah dari mulutnya, dia menatap Vincen dengan penuh penyesalan, sebelum akhirnya kehilangan kesadaran.Vincen perlahan beranjak dari tubuh Rekan Jin yang tak berdaya, dia menghirup napas dalam-dalam dan kemudian membuangnya p
Bersamaan dengan pengakuan Vincen yang menolak perasaan Selena, Noel yang dihubungi lebih awal oleh Vincen, muncul di pintu apartemen. Alangkah terkejutnya Noel ketika melihat Selena berada di sana, dan seketika itu juga, ia berniat untuk mundur perlahan. Namun, Vincen yang melihat Noel, menahannya dengan tegas. "Paman, tolong minta orangmu untuk mengantarkan Selena pulang," ucap Vincen dengan suara yang dingin dan tanpa perasaan, sebelum dia berjalan keluar, meninggalkan Selena sendirian.Noel tampak linglung, ketidakpastian terpancar jelas di wajahnya, apalagi melihat Selena yang kini duduk terdiam dengan air mata yang mengalir deras, menyayat hatinya. Namun, Noel tahu dia tidak bisa menentang perintah sang tuan muda. Dengan langkah berat, dia mendekati Selena yang membatu di sofa, terhanyut dalam derai air mata yang mengkilap terpantul oleh cahaya lampu apartemen Vincen. Noel, yang hatinya teriris melihat penderitaan di mata Selen
Malam itu, udara dingin masih menyelimuti jalanan yang sepi. Namun, suasana hening seketika pecah ketika terdengar deru mesin tronton yang melaju kencang, ditumpangi oleh pengawal keluarga Clark. Tanpa ampun, tronton tersebut menabrak mobil hitam itu dari samping dengan kekuatan penuh, membuatnya terpental dan berputar beberapa kali sebelum akhirnya terhenti dengan kondisi hancur. Kaca-kaca pecah berserakan, dan asap mulai mengepul dari kap mesin yang remuk.Pengemudi tronton, seorang pria berpostur besar, segera keluar dengan wajah yang tegang namun penuh konsentrasi. Dia lalu berseru dengan tegas, "Habisi mereka sekarang!"Perintah tersebut telah dinantikan oleh Sebastian, yang juga telah menunggu di sana bersama bawahannya.Dengan gerakan yang terlatih, Sebastian melemparkan granat ke arah mobil yang hancur itu.Duar! Duar!Ledakan beruntun terdengar memekakkan telinga, api dan asap membubung tinggi, menyulut langit yang tadinya cerah. Serpihan-serpihan mobil Dark Scorpion berserak
Vincen mengamati dengan saksama saat Noel, pengawal sekaligus sopirnya, berteriak dan terjatuh pingsan, mengira sosok yang mereka temui adalah hantu.Di tengah keheranannya, Vincen segera keluar dari mobil begitu menyadari bahwa sosok misterius itu adalah pria sepuh yang menyembuhkannya."Salam tuan," sapa Vincen dengan nada hormat seraya menundukkan kepala.Pria sepuh itu membalas dengan senyuman hangat, mengelus jenggot putih panjangnya. "Akhirnya kamu datang juga," katanya lembut. Vincen, dengan rasa penasaran yang memuncak, melihat sekeliling dan bertanya, "Tuan, di mana Anda tinggal? Tidak ada rumah di sekitar sini, hanya ada pohon dan bebatuan saja."Tanpa banyak kata, pria sepuh itu menunjuk ke sebuah gubuk yang nyaris tersembunyi di balik semak-semak. "Di sana," jawabnya sambil memulai langkah perlahan menuju ke gubuk. Vincen berdiri sejenak, ragu, melirik ke arah Noel yang masih tak sadarkan diri di dalam mobil. Jangan khawatir, pikirnya, tetapi belum sempat kata-kata itu
Vincen merasa penasaran yang tak terbendung tentang siapa sosok pria sepuh di hadapannya, terlebih ketika pria itu memiliki foto Ibunya sewaktu masih muda. Namun, alih-alih menjawab rasa penasaran Vincen, pria sepuh itu hanya tersenyum misterius. "Aku akan memberitahumu nanti," katanya lembut. "Yang terpenting sekarang, aku akan mengajari kamu teknik Pengendalian Darah terlebih dahulu, bukankah itu tujuanmu ke sini?" Vincen seakan tercekat, ingin mengungkapkan perasaannya, tapi pria sepuh itu kembali menyela. "Bawahanmu, sudah sadar. Pergilah menjemputnya dan bawalah dia kemari. Kita akan memulai latihan besok," ucapnya dengan tegas sebelum berlalu masuk ke kamar. Meskipun penasaran, Vincen sadar bahwa dia tak bisa memaksa pria sepuh itu untuk berbicara. Lagipula, dia akan tinggal di sana, sehingga akan ada banyak waktu untuk mengenal sosok misterius tersebut. Dengan langkah pasti, Vincen keluar dari gunung tua itu dan berjalan ke mobil untuk