Vincen baru saja tiba di apartemennya setelah menjalani hari yang panjang dan melelahkan. Langkahnya terasa berat seiring pintu apartemen terbuka, dan ia segera duduk di sofa. Badannya menyenderkan diri pada sandaran sofa, matanya menatap langit-langit yang putih, seolah mencari jawaban atas pertanyaan yang menggelayut di benaknya. "Master belum juga memberikan informasi lanjutan, lebih baik aku fokus ke perusahaan dulu," gumam Vincen pada dirinya sendiri. Merasa tidak bisa lagi terus berdiam diri, Vincen beranjak dari sofa dengan perlahan. Ia menghampiri meja kerjanya yang tertata rapi, lalu duduk di kursi yang telah menunggunya. Dengan sigap, ia membuka laptopnya dan mulai meninjau laporan yang telah dikirimkan oleh bawahannya melalui email. Pria itu terlihat serius memperhatikan layar laptopnya, jemarinya menari-nari di atas keyboard, mengklik dan menggulirkan dokumen yang ditampilkan di layar. Matanya terfokus pada angka-angka dan grafik yang menggambarkan perkembangan ren
Vincen mengerutkan kening saat melihat wanita yang mendekatinya, matanya menyelidik dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dia tidak mengenal wanita itu sama sekali. Ia menatapnya dengan tajam seolah mempertanyakan siapa dia sebenarnya. Wanita itu terlihat berani dan percaya diri, wajah orientalnya menarik perhatian Vincen, dan tubuhnya yang proporsional memikat setiap pandangan yang melihatnya."Diamlah, yang penting kamu bisa masuk kedalam," bisik wanita itu sambil tersenyum manis pada pria yang sebelumnya mengolok-olok Vincen. Senyumnya mengandung rahasia yang membuat Vincen semakin penasaran.Pria yang mengolok-olok Vincen sebelumnya, menyipitkan matanya, menatap wanita yang tiba-tiba memanggil Vincen dengan sebutan sayang. Terlihat jelas rasa tertarik dan penasaran dalam sorot matanya, namun sekaligus ada rasa iri yang menyelimuti wajahnya.Vincen mencoba menenangkan diri, menarik nafas dalam-dalam dan merasa bingung akan kehadiran wanita tersebut. Namun, dia memutuskan untuk mengi
Vincen berjalan menuju meja yang berisi berbagai macam minuman. Dengan canggung, ia mengambil segelas jus jeruk dan melangkah gontai menuju sudut ruangan. Di sana, ia duduk seorang diri di kursi yang tak terisi, membiarkan pandangannya mengamati teman-teman sekelasnya dulu yang saling bercanda dan tertawa."Ah, seperti dulu juga... Aku tetap sendirian," gumam Vincen sambil tersenyum kecut, merasakan rasa sepi yang melilit hatinya. Rasa tidak nyaman dan canggung membuatnya merasa semakin terasing di tengah keramaian reuni tersebut.Sejujurnya, Vincen tidak ingin datang ke acara reuni ini. Namun, karena Veronica memintanya datang, ia pun menurut dengan harapan bisa bersenang-senang di sana. Sayangnya, hingga saat ini Veronica belum juga menampakkan diri.Dalam hatinya, Vincen mulai merasa kecewa dan bertanya-tanya mengapa ia harus datang ke tempat ini, merasa dirinya lebih baik berada di rumah saja.Saat semua undangan sudah berkumpul dan Restoran s
Di tengah-tengah reuni kelas yang riuh, tiba-tiba semua percakapan terhenti ketika Vincen dengan santainya mengeluarkan sebuah Black Card dari dompetnya untuk membayar tagihan.Mata semua orang langsung tertuju padanya, suasana berubah menjadi hening sejenak sebelum bisikan mulai memecah keheningan."Tidak mungkin? Bukankah dia hanya kurir? Bagaimana mungkin dia bisa memiliki Black Card?" gumam seorang laki-laki dari sudut ruangan, matanya terbelalak tidak percaya."Aku setuju, Lidia meninggalkannya karena dia miskin. Jika dia kaya, pasti Lidia tidak akan menceraikannya," timpal wanita di sebelahnya, mengangkat alisnya dengan rasa ingin tahu yang mendalam.Para teman sekelas Vincen, yang sebelumnya hanya menyapa singkat atau bahkan mengabaikannya, kini memandangnya dengan rasa bingung. Karena Vincen terkenal dengan sebutan Suami tak berguna.Saat semua teman-temannya sedang membicarakan darimana Vincen bisa memiliki Black card. Tiba-tiba Bili beranjak dari duduknya sambil tepuk tangan
Suasana berubahmenjadi tegang. Bili, yang berdiri dengan postur bingung dan cemas, menyaksikan Veronica yang tampak tenang dan berwibawa. Matanya tak lepas dari Vincen yang dengan santainya berbicara di telepon.“Nona Veronica Shancez, ada apa ini sebenarnya?” suara Bili terdengar lemah, mencoba memahami situasi yang terjadi di depannya. Dia melirik Vincen yang kini sedang menghubungi seseorang penting.Tanpa menunggu jawaban dari Veronica, Bili mendengar Vincen berbicara dengan lantang ditelepon. “Paman Sebastian, hubungi direksi perusahaan, putus kontrak kerja kita dengan Hayden Grup, aku ingin masalah ini segera diatasi sesegera mungkin!” Ucapan itu seperti guntur yang menyambar di siang bolong, membuat Bili semakin bingung."Vincen, kau pikir bisa menakuti aku dengan omong kosongmu?!" raung Bili yang masih tidak percaya dengan Vincen.Namun, Vincen dengan santainya mematikan panggilan dan menaruh kembali ponselnya di saku sambil menatap Bili d
Setelah gelaran reuni yang riuh usai, ruangan kini terasa sepi dengan beberapa kursi yang terguling dan piring kotor bertumpuk di sudut ruangan. Vincen mengambil napas dalam-dalam, mencoba meredakan kelelahan yang menyerang. Ia mengeluarkan Black card-nya untuk membayar tagihan.Ditempat tersebut hanya tersisa Vincen dan Veronica, stelah selesai membayar mereka berdua keluar dari Restoran tersebut.Di luar, angin malam berhembus sejuk, membawa mereka berdua melangkah meninggalkan kebisingan yang telah usai. Veronica, dengan langkah gontai, seolah-olah masih terbebani oleh keramaian tadi berjalan dismaping Vincen. Rambutnya yang terurai menari-nari tertiup angin, matanya menatap Vincen dengan kekhawatiran."Kamu yakin tidak apa-apa, identitasmu diketahui banyak orang, seperti sekarang?" suaranya rendah, nyaris terbawa angin malam.Vincen, yang berjalan di sampingnya, menoleh dengan senyum menawan. "Kamu tidak pru khawatir, lagipula cepat atau lambat semuanya juga akan tahu identitasku
Kaca depan mobil yang pecah berserakan di sekitar mereka, bingkai mobil yang ringsek menunjukkan keparahan kecelakaan itu. Vincen, dengan napas tersengal-sengal, masih memeluk Veronica yang terlihat pucat pasi. Dia merasakan kehangatan darah yang bercampur dengan keringat dingin yang mengalir di antara mereka. "Kau tidak apa-apa, Veronica?" suaranya serak, matanya menelusuri setiap goresan yang terlihat di wajah dan tangan Veronica yang gemetar. Meski luka dan sakit, Vincen berusaha keras menggunakan kekuatan yang tersisa untuk memberikan rasa aman pada Veronica. Veronica, yang shock dengan kejadian itu, hanya bisa mengangguk lemah. Tubuhnya bergetar, tidak hanya karena benturan tapi juga ketakutan yang mendalam. Matanya yang sembab menatap Vincen, mencari kekuatan dari laki-laki yang selama ini selalu melindunginya. BRAK! Vincen menendang pintu mobil hingga terhempas menggunakan kekuatan pernapasan alamnya. "Ayo kita keluar sekarang," ajak Vincen yang segera mendorong Veroni
Vincen menatap tajam sosok yang ada di hadapannya, merasakan kecurigaan dan keingintahuan yang bergolak dalam dada. Orang itu seakan memiliki kunci terhadap misteri yang selama ini menyelimuti asal-usul keluarganya."Katakan, siapa dirimu sebenarnya dan apa hubunganmu dengan Klan Ritsu?" desak Vincen, nadanya meninggi, tangan dan kakinya terus mengunci gerak lawannya. Sosok di depannya hanya menyeringai, senyuman yang mengerikan terukir di wajahnya yang buruk rupa, membuat bulu kuduk Vincen merinding. "Kalian, keturunan Klan Ritsu, harus hilang dari muka bumi ini," geramnya dengan suara serak, "agar tidak ada lagi konflik yang berkepanjangan lagi!" Vincen merasa jantungnya berdegup kencang, penuh amarah mendengar ancaman itu. "Apa maksudmu!" bentaknya.Tiba-tiba dalam sekejap, suara pedang yang beradu dengan udara terdengar. SwutPral! Dengan cepat, seseorang menghunjamkan pedangnya pada sosok tersebut dari belakang, sosok itu langsung memuntahkan darah, membasahi tanah di bawahny