Vincen merasa dadanya sesak ketika melihat adegan di depan mata. Tidak ada bayangan sedikit pun dalam benaknya bahwa Lidia, sang istri tercinta, sedang bermesraan dengan pria lain. Dengan sangat intim pula!
"Lidia!" seru Vincen lantang, selagi tubuhnya bergetar penuh amarah. Berjalan masuk ke dalam rumah tersebut, menarik perhatian semua orang di ruangan itu. Pria yang sedang bersama Lidia menoleh, menyipitkan matanya menatap Vincen yang mengenakan seragam kurir. Senyum sinis tersungging di wajahnya. "Lidia, lihat siapa yang datang," ujar pria itu dengan suara lembut. Lidia yang telah mabuk, wajahnya merah, tampak kesal saat pria itu menghentikan aktivitasnya. "Ada apa sih?" gerutunya. Namun begitu melihat sosok Vincen yang sudah ada di hadapannya, mata Lidia membulat kaget, "V-Vincen, kenapa kau ada di sini?!" Meski hati hancur, cinta Vincen untuk Istrinya masih sangat kuat. Dengan langkah tegap dia menghampiri sang istri, meraih tangannya. "Ayo kita pulang, Lidia," bisik Vincen seraya menahan rasa sakit di hatinya dan amarah yang mendalam. Akan tetapi Lidia langsung menghempaskan tangan Vincen begitu saja, membuat Vincen terkejut. "Tidak Vincen!" Alis Vincen tertaut. "Apa?" "Karena kau sudah tahu, maka aku tidak perlu menyembunyikan lagi. Lebih baik hubungan kita sampai di sini saja, aku sudah muak hidup miskin denganmu!" teriak Lidia dengan suara lantang. Wanita itu lalu mengambil tasnya, mengeluarkan amplop besar berwarna coklat, dan melemparkannya ke wajah Vincen. "Aku sudah menandatanganinya, jadi mulai sekarang kita resmi bercerai, Vincen Adama!" serunya dengan suara lantang. Dia pun duduk di pangkuan pria yang tengah bersamanya tadi, lalu menambahkan, "Sekarang aku sudah menemukan pria yang tepat untukku." Vincen mengambil amplop coklat tersebut dan terlihat tulisan yang menunjukan kalau amplop tersebut berasal dari pengadilan. Tangannya bergetar. "Lidia, ini pasti bohong kan? Kita bisa bicarakan ini baik-baik," ucap Vincen masih mencoba untuk tetap percaya dengan Lidia, air mata mulai menggenangi pelupuk matanya, menjatuhkan amplop coklat di tangannya. "Kamu hanya sedang mabuk, jadi tidak bisa berpikir jernih! Itu alasannya kamu mengatakan semua ini. Ayo, pulang denganku sekarang," ucap Vincen lagi dengan suara bergetar. Dia memaksakan senyum, mencoba menyampaikan sebuah berita bahagia, "Aku akan segera dipromosikan dan tas mewah yang kamu mau, akan segera aku belikan." Mendengar perkataan Vincen, Lidia tertawa terbahak-bahak. Dia beranjak dari pangkuan pria itu dan berdiri tepat di depan Vincen, menatap dengan pandangan sinis. "Kamu pikir aku menginginkan tas itu? Asal kamu tahu saja...." Lidia meraih tangan pria yang bersamanya, lalu merangkul lengannya dengan manja, "Marko bisa membelikan apa pun yang aku mau, dimana pun dan kapan pun, tidak seperti kamu yang miskin!" Seketika dunia Vincen terasa hancur mendengar kata-kata sang Istri, wajahnya berubah pucat. Dia masih tidak mempercayai apa yang didengarnya. Di saat itu juga, Marko merangkul pinggang Lidia, senyum sinis melukis di wajahnya. "Kamu dengar sendiri, bukan? Wanita secantik Lidia tidak pantas mendapatkan pria miskin sepertimu, lebih baik kau terima saja kenyataan dan pergi saja dari sini," usir Marko keji. Vincen mengepalkan tangan, menahan amarah yang mulai membuncah. "Lidia... kenapa kau tega melakukan ini padaku?" tanyanya dengan ekspresi putus asa. "Apa masih belum jelas? Ya karena kamu miskin dan tidak berguna! Beda dari Marko!" seru Lidia seraya memeluk tangan Marko, menempelkan dadanya dengan sensual ke lengan pria tersebut. Tahu tidak ada lagi yang perlu dibicarakan antara pasangan Suami-istri itu, Marko langsung menurunkan perintah, "siapa pun, seret dia keluar!" Seketika, sejumlah orang berusaha menyeret Vincen keluar, tapi pria itu masih memberontak. "Lidia! jangan seperti ini padaku," pintanya. Melihat usaha Vincen. Marko pun mendekatinya dengan langkah angkuh. "Masih tidak mau pergi?" Ia mengambil sebuah kondom dari kotak paket Vincen, lalu membukanya. "Apa kau ingin melihat kami berhubungan terlebih dahulu, sebelum pergi dari sini?" tanyanya sembari menyeringai jahat. Vincen menggertakkan giginya, emosinya memuncak. "Brengsek kau...." Dia berusaha untuk melepaskan diri menyerang Marko. Namun, orang-orang yang menahannya langsung menyeret Vincen keluar. "Tunggu!" seru Lidia. Suaranya membuat seisi ruangan terdiam sejenak. Teman-teman Marko berhenti, dan Vincen yang mendengar Lidia berteriak menatap penuh harap, dia pikir istrinya berubah pikiran. Namun, Lidia hanya memberikan amplop coklat dan surat cerai yang terjatuh di lantai kepada Vincen. "Kau melupakan ini!" tegurnya dengan suara yang lirih namun tegas. Wajah Vincen memerah oleh rasa kecewa, malu dan hina tak terkira. Saat Vincen akhirnya dihempas keluar, salah satu teman Marko dan Lida juga melemparkan surat cerai ke wajahnya. "Berhenti mempermalukan dirimu sendiri dan enyah dari sini!" hardik Lidia. "Sudah miskin, bodoh pula. Malah mengantarkan kondom untuk istrinya dan pria lain!" sahut salah satu dari mereka. "Kalau aku jadi dia, lebih baik melompat dari gedung. agar tak perlu menanggung malu seumur hidup!" timpal seorang pria lain. Tawa dan cemoohan terus berkumandang di telinga Vincen, menusuk ke hatinya. Sampai akhirnya pintu pun terbanting menutup, saat Vincen sudah dilemparkan keluar dari rumah tersebut, meninggalkan Vincen dalam kegelapan malam yang menenggelamkan. Di pinggir jalan tidak jauh dari Vincen mengirimkan paket tadi, tampak dia sedang duduk sambil menitikkan air matanya. Tidak dia sangka, kesetiaan dan pengorbanan yang selama ini dia lakukan untuk Lidia semuanya tidak berguna. Memang, sedari awal bisa menikah dengan Lidia saja sudah seperti berkah baginya yang hidup sederhana selama ini. Itu alasan dia begitu menghargai sang Istri dan berusaha yang terbaik untuknya. Namun, siapa yang menyangka... wanita itu malah mengkhianatinya dengan begitu keji. Selagi Vincen sedang meratapi nasibnya., ponselnya tiba-tiba berdering. Itu dari manajernya. Cepat-cepat Vincen mengangkatnya. "Halo Tuan...." "Apa kau bodoh Vincen!" maki sang manajer dengan suara memekakkan telinga. "Kenapa kau menyinggung Tuan Marko Helas?" Vincen terdiam. Marko Helas, Marko ... itu pasti pria yang tadi bersama dengan Lidia. Pria yang memesan paket dari tempatnya bekerja. "Tuan, saya bisa menjelas—" "Tutu mulutmu!" potong sang manajer dengan marah. "Aku tidak peduli omong kosongmu, mulai hari ini kau dipecat!" Mata Vincen membelalak. "T-Tuan, tolong, saya bisa ...." Vincen baru saja akan menjelaskan, tapi panggilan sudah dimatikan oleh manajer. "Argh!" Vincen berteriak marah dan frustasi, berniat membanting ponselnya. Namun, Vincen tahu tindakan konyol itu hanya akan merugikannya, jadi dia menahan diri dan kembali duduk di pinggir jalan. "Sial...," gerutu Vincen seraya menutup wajah dengan kedua tangannya. Sekarang Vincen sadar. Semua sepertinya sudah direncanakan oleh Marko. Dia tahu identitas Vincen untuk mengantar paket tersebut ke tempatnya. Sampai di sana ... Vincen pun terpaksa melihat perselingkuhan istrinya dengan Marko. "Bajingan!" Vincen mengepalkan tangannya, lalu berdiri. Dia menatap rumah Marko sebentar, sebelum akhirnya menghampiri motornya dan pergi dari tempat tersebut dengan wajah putus asa. Saat Vincen sampai disebuah jalanan sepi, motornya yang selama ini menjadi teman kerjanya tiba-tiba mogok. "Argh, sial, sial, sial!" gerutu Vincen kesal. Dia mendongak ke atas. "Tuhan! apakah Engkau tidak bisa memberikanku kebahagiaan sejati?!" serunya lantang sambil menitikkan air mata. Saat Vincen sedang meratapi nasibnya sendiri, tiba-tiba sebuah mobil Rolls-Royce berhenti tepat di depan motornya. Vincen yang sedang kesal Menggertakan giginya dan menoleh, "Apa lagi sekarang, apa dia juga akan menghinaku?" gerutunya kesal sembari turun menatap tajam ke mobil tersebut. Namun, tiba-tiba sopir turun dari mobil dan membukakan pintu untuk seorang pria sepuh. Pria sepuh itu keluar dengan tongkat dengan ukiran Naga, tubuhnya dibalut jas mewah, menunjukkan identitas yang tidak biasa. Vincen yang melihat hal itu mengerutkan kening, sebelum akhirnya dia membelalakkan mata terkejut, mengenali pria tua tersebut. Pria tua itu berjalan menghampiri Vincen, berdiri dihadapannya, lantas bertanya, "Apa kau akan terus bersembunyi, Vincenzo Clark Adama?"Pria sepuh itu berjalan mendekati Vincen yang tengah berdiri termenung di pinggir trotoar dengan memegangi motornya, disertai pengawal setianya. Melihat kedatangan pria sepuh, Vincen segera berdiri dengan tegap dan hendak mendorong motornya untuk segera pergi. "Mau sampai kapan kamu melarikan diri seperti ini? Apa kau ingin seperti Ayahmu!" ucap pria sepuh dengan suara lantang, membuat Vincen terhenyak. Vincen berhenti mendorong motornya, alisnya berkerut dan matanya menatap tajam pria sepuh. Dalam hati, dia bertekad tak akan terpancing emosinya saat orang tua itu mencoba merendahkannya. "Pulanglah, mau sampai kapan kau hidup dalam belenggu kemiskinan, Vincenzo? Istrimu sudah menceraikan mu, sekarang semua ucapanku benar, bukan?" lanjut pria sepuh, mencoba melumat harga diri Vincen. Kembali, Vincen merasakan amarah membara dalam hatinya. Tangannya mengepal kuat, ia berusaha menahan emosi. "Tidak perlu ikut campur urusanku, bukankah kau sendiri yang sudah mengusirku? A
Vincen mendengus. "Aku tidak mengenalmu! Sekarang katakan kamu siapa?" Walau dibalas dengan begitu ketus, wanita itu masih tersenyum manis padanya. Dengan gerakan lembut, wanita itu melepaskan cekalan tangan Vincen. Dia beranjak berdiri, menepuk-nepuk pakaian bagian belakangnya. Kemudian, Dari dalam tasnya, menjulurkan sebuah dompet dan kunci mobil pada Vincen. "Berhenti bersedih untuk sesuatu yang tak layak dan Pergilah ke alamat yang ku tuliskan di kertas dalam dompet," katanya. "Di sana kamu akan menemukan kehidupanmu yang layak." Kemudian, wanita itu langsung berbalik, berniat untuk pergi. "Tunggu! Apa maksudmu?!" Langkah wanita itu terhenti sesaat, lalu dia menoleh untuk menatap Vincen dengan tatapan penuh arti. "Kita akan bertemu lagi, Vincenzo Clark Adama." Usai mengatakan itu, wanita tersebut masuk ke dalam sebuah mobil mewah dan meninggalkan rumah kontrakan Vincen. "Hei!" teriak Vincen sambil berlari, berusaha mengejar si wanita, namun mobil itu semakin menjauh.
Suara decit roda mobil yang berhenti di pinggir jalan terdengar. Tampak Vincen baru saja sampai di alamat yang diberikan oleh wanita asing di rumah kontrakannya tadi. Melihat gedung yang sekarang berada di sebelahnya itu, Vincen menautkan alis. "Apartemen Diamond?" ucapnya bertanya-tanya. Ini adalah apartemen tempat dirinya pernah tinggal dulu semasa orang tuanya masih hidup. Kenapa wanita itu tahu tempat dirinya dulu– “Ugh ….” Kepala Vincen mendadak terasa sakit. Sejumlah potongan samar muncul silih berganti dengan cepat dalam benaknya. Seorang gadis, darah, dan juga sebuah janji. Tiga hal itu saja yang Vincen tangkap sebelum semuanya menghilang. “Apa itu tadi?” batin Vincen bertanya-tanya. Dia merasa ada suatu hal yang dia lupakan, dan betapa pun dia berusaha mengingat, dia tidak bisa ingat! Frustrasi, Vincen menggelengkan kepalanya. Dia menatap kunci yang diberikan sang wanita dan yakin itu adalah kunci apartemen tersebut. “Apa maksudnya memberikanku ini semua?” ucap
Vincen hanya bisa menggertakkan gigi selagi menatap Noel dalam diam. Kegigihan pria paruh baya itu dalam membela sang kakek membuat hati Vincen tergerak. Hanya orang hebat yang bisa membuat bawahannya rela merendahkan dirinya sampai seperti ini. Namun, apa hal itu bisa dalam sekejap menghapus dendam yang selama ini menumpuk dalam hati Vincen? Terdiam untuk waktu yang cukup lama, akhirnya Vincen angkat bicara, "Berapa lama lagi waktu yang dia punya?” Mendengar pertanyaan itu, Noel menjawab, “Tidak sampai satu tahun ….” Ekspresi Vincen berubah pahit. “Aku mengerti.” Kalimat itu membuat Noel mengangkat pandangannya dan menatap Vincen penuh harap. "Apa itu berarti Tuan Muda setuju untuk kembali!?” “Tidak,” jawab Vincen membuat Noel menautkan alis, bingung. Pria itu kemudian memegang pundak Noel, mengisyaratkan dirinya agar berdiri. "Akan tetapi … aku tertarik untuk mengenali bisnis keluarga Clark dengan lebih dalam." Mendengar ucapan Vincen, mata Noel langsung bersinar. Sif
Keesokan harinya, Vincen bangun lebih awal dari biasanya. Dia merasa bersemangat untuk menghadapi hari yang baru.Setelah mandi dan menyiapkan diri, dia mengenakan jas rapi yang sudah disiapkan oleh Noel.Di depan cermin, Vincen mengenakan dasi yang serasi dengan jasnya, lalu melirik ke arah cermin. Dia tersenyum puas melihat penampilannya yang kini berubah sembilan puluh derajat dari sebelumnya.Tak ada lagi jejak kekusutan atau kelelahan di wajahnya, kini yang tersisa hanyalah wajah berkarisma dan penuh percaya diri."Ternyata aku tampan juga.” Dia tertawa saat mendengar pujian konyol yang dia kumandangkan untuk dirinya sendiri.Sudah begitu lama sejak Vincen memiliki waktu untuk mempersiapkan dirinya seperti ini. Lagi pula, sebagian besar waktunya dia luangkan untuk bekerja demi menafkahi sang istri, Lidia. Ah salah... Mantan istri harusnya.Mengingat hal tersebut, Vincen cepat-cepat menggelengkan kepalanya. ‘Berhenti memikirk
Selagi Noel akhirnya diperintahkan Pak Tua Clark untuk kembali ke kantor terlebih dahulu, Vincen masih tampak berlari masuk ke dalam sebuah gang.Sampai di ujung gang, yang menuju ke jalan besar lain, Vincen menoleh ke kiri dan ke kanan, tampak jelas mencari-cari sesuatu … atau seseorang.Dengan alis tertaut erat, Vincen bergumam, “Aku yakin aku baru saja melihat wanita tadi malam di sini.” Namun, berlari ke sana kemari di area itu sama sekali tidak membawakan hasil, membuat Vincen mengepalkan tangan kesal. ‘Sial …’ makinya. ‘Mungkinkah aku salah lihat?’ batinnya bertanya-tanya.Ada rasa penasaran yang tidak bisa hilang di hati Vincen, terutama karena dia ingin sekalit ahu siapa sebenarnya wanita yang telah memberikan apartemen dan mobil kepadanya itu?Kenapa dia membantu Vincen? Apa mereka pernah berhubungan dulu? Tahu tidak akan mendapatkan jawaban, dan yakin kalau tidak akan menemukan wanita itu lagi karena kehilangan jejak–atau salah lihat–Vincen akhirnya menghela napas dan memut
Vincen menyipitkan matanya saat menoleh, mendapati Marko dan Lidia yang berjalan masuk ke perusahaan Kakeknya.Lidia, dengan intimnya, memeluk lengan Marko erat-erat. Pada detik itu, tatapan Vincen berubah seketika, terlihat semburat amarah membara dalam sorot matanya.Namun, di sisi lain, Lidia tampak terkejut dengan penampilan baru Vincen yang kini semakin tampan.Keduanya menghampiri Vincen yang saat itu tengah berdiri tegak di depan meja Resepsionis. Raut wajah Vincen tampak sulit diartikan, seolah ada perasaan yang terpendam."Tuan muda Helas," sapa Resepsionis dengan sopan, ia sadar betul Marko bukanlah sosok yang bisa disinggung begitu saja.Marko hanya menghadiahi Resepsionis senyum simpul, mengangguk pelan sebagai bentuk penghormatan.Lidia memandang Vincen dari atas hingga bawah, tak bisa mengelak bahwa penampilan baru Vincen cukup memukau.Namun, Lidia mengedarkan pandangan sinis, mengejek dengan suara yang me
"Ehem!" Vincen berdehem keras, membuat Sebastian langsung menghentikan perkataannya dan refleks menoleh ke arah tuan mudanya tersebut. Wajah Sebastian tampak bingung, matanya bergerak bolak-balik antara Silas dan Vincen, mencoba mencari tahu maksud dari suara berdehem tadi. Di sela Sebastian yang bingung, terlihat Silas dengan ragu menegurnya secara sopan. Wajahnya pucat, keringat dingin mengucur deras di keningnya. Tangannya gemetar, menunjukkan betapa takutnya ia pada Sebastian. "T-Tuan Sebastian, memangnya siapa dia? Saya tidak pernah melihatnya di perusahaan ini sebelumnya," tanya Silas penasaran, wajahnya tampak ketakutan melihat Sebastian. Sebastian kembali menatap Silas dan Marko, masih bingung akan maksud isyarat yang diberikan oleh Vincen. "Dia...." Sebelum Sebastian menjawab, Vincen bergegas bicara terlebih dahulu. "Aku merupakan pengawal khusus Tuan besar Clark," ucapnya sembari menatap Sebastian yang terkejut. “Bukan begitu, Pak Sebastian?” Melihat panc
Vincen berdiri di depan jendela besar rumahnya, pandangannya kosong melintasi langit malam yang penuh bintang. Tangan kanannya yang menggenggam telepon genggam sedikit gemetar. Wajahnya yang tadinya tegang dan pucat perlahan mulai menunjukkan raut lega saat mendengar berita tersebut dari ujung telepon. "Apa benar-benar semua telah dikalahkan, Master?" suaranya terdengar serak, mencari kepastian."Iya, Tuan Clark. Semua sudah beres. Tidak perlu khawatir lagi," jawab suara di seberang sana, tegas dan menenangkan.Seketika, otot-otot yang tegang di leher Vincen melunak. Dia menutup matanya, menghela napas panjang dan mengusap muka dengan kedua tangannya. Pria itu kemudian berjalan pelan menuju sofa, duduk dengan letih. Rasa cemas yang selama ini menderanya perlahan menguap, digantikan oleh rasa syukur yang dalam.Vincen menatap ke atas, mengucap syukur dalam hati. Kepalanya yang tadinya dipenuhi oleh ketakutan dan kecemasan tentang apa yang mungkin terjadi pada orang-orang di sekitarnya
Dentuman keras menggema, membuat tanah di bawah mereka bergetar dan debu mengepul tinggi ke udara. Saat kekuatan mereka berdua saling beradu satu sama lainTubuh Harley bergetar karena kekuatan yang baru saja dia lepaskan. Matanya menyala tajam, energi spiritualnya mengalir seperti sungai yang deras. Di depannya, Lizzy dengan cekatan menahan serangannya dengan pedang yang ia oegang, menciptakan gelombang energi yang bertabrakan dengan pukulan Harley.Asap perlahan mulai menghilang, Lizzy berdiri tegak, pedangnya masih terjulur ke depan, tapi nafasnya terengah-engah menandakan usaha yang ia keluarkan.Harley, di sisi lain, masih terpaku di posisinya, matanya terpaku pada sosok Lizzy yang ternyata mampu menahan serangannya. Ada rasa kagum yang bercampur dengan kegigihan dalam dirinya, mengetahui bahwa pertarungan ini akan lebih sulit dari yang dia bayangkan.Dengan gerakan yang begitu cepat, Harley dan Lizzy saling menyerang dengan serangan dahsyat yang bertenaga. Benturan energi spirit
Harley melihat ke sekitar arena pertarungan. Setelah mengalahkan lawannya, matanya mencari sosok Solomon yang terlihat berada dalam kesulitan. Dengan langkah cepat dan pasti, Harley melompat melewati pohon dan bebatuan yang ada dibawahnya, bergegas menuju Solomon yang tampak kewalahan.Solomon, dengan tubuhnya yang sudah renta, berusaha menangkis serangan dengan teknik pernapasan Alam. Wajahnya terlihat pucat dan keringat membanjiri dahi, menunjukkan betapa dia berjuang untuk bertahan. Harley, dengan mata yang tajam dan gerakan cepat, langsung menghampiri, mengayunkan pukulan kuat ke arah sosok lawan Solomon. membuatnya sosok tersebut terhempas jauh ke belakang."Anda tidak apa-apa?!" teriak Harley bertanya sambil berdiri didepan pria tua itu. Solomon, dengan napas yang tersengal, hanya bisa mengangguk pelan dan mencoba untuk tetap berdiri.Sosok yang terhempas barusan, terlihat terbang kembali ke arah Harley, melakukan serangan cepat.Namun, Harley dengan gerakan lincah, melindungi
Lotar segera waspada saat menatap sosok yang membangkitkan energi spiritual Iblis. Dia tahu betul bahwa pengguna energi spiritual kegelapan memiliki kekuatan yang sangat luar biasa.Menarik napas dalam-dalam, Lotar memutuskan untuk tidak menahan kekuatan lagi. Dia melepaskan seluruh energi spiritualnya yang mendalam dan kuat."Hahaha... bagus, gunakan semua kekuatanmu, pak tua!" seru pengguna energi spiritual kegelapan dengan nada mengejek, sambil melayang di udara bak sosok yang menguasai langit.Swuz!Tak ada yang menduga, Lotar tiba-tiba menghilang dari tempatnya. Hanya terdengar ledakan dahsyat saat dia melompat ke atas dengan kecepatan luar biasa.Sosok pengguna energi spiritual kegelapan tersenyum mengejek, seolah sudah tahu akan serangan Lotar. Dia dengan mudah menahan serangan pukulan dahsyat dari Lotar, tanpa perlu mengeluarkan banyak tenaga.Duak!Gelombang angin menerjang sekitar mereka akibat benturan pukulan Lotar yang ditahan oleh sosok pengguna energi kegelapan dengan s
Harley berdiri dengan tegap, tatapan matanya terkunci pada sosok yang dengan tenang menahan serangannya.Tanah di bawah kaki mereka terbelah, membentuk jurang kecil, dan debu berterbangan mengelilingi area pertarungan mereka. Sosok tersebut, dengan ekspresi yang tidak terbaca, membetulkan posisi kakinya, menyiapkan diri untuk serangan berikutnya.Harley, dengan kecepatan kilat, melancarkan pukulan lain, namun Sosok itu hanya mengangkat tangan kanannya dan dengan mudahnya mengalihkan serangan tersebut. Gerakan Sosok itu begitu tenang dan terkendali, seolah-olah dia sedang berada dalam latihan rutin bukan dalam pertarungan sengit.Harley merasakan emosi yang mulai membuncah di dalam dadanya, dia tidak pernah bertemu lawan yang seakan meremehkannya seperti itu. Setiap serangan yang dia lancarkannya hanya seperti angin lalu bagi Sosoj tersebut.Kemarahan dan kekaguman bercampur dalam pandangannya, namun dia tidak akan menyerah. Dengan rahang yang mengeras, Harley mengumpulkan seluruh kek
Langit malam yang gelap berpadu dengan gemerisik dedaunan yang tertiup angin kencang, menciptakan suasana yang mencekam di tengah pepohonan yang rimbun. Di kejauhan, cahaya obor dari para pemuja Iblis menerangi area sekeliling mereka, membentuk lingkaran yang terang benderang. Sementara itu, dari balik kegelapan, Lotar, Harley, Face, Solomon dan bawahannya bersembunyi di balik pepohonan besar, mata mereka fokus memantau setiap gerakan pemuja Iblis. Wajah mereka tegang, penuh konsentrasi, tangan mereka memegang senjata yang siap digunakan.Lotar, memberi isyarat untuk mendekat. Dia berbisik, "Sekarang atau tidak sama sekali." Mereka mengangguk, mengerti akan tugas yang harus dilakukan. Perlahan, mereka bergerak keluar dari persembunyian, mengatur langkah agar tidak mengundang perhatian.Solomon, dengan pisau panjang di tangannya, memimpin langkah. Harley dan Face mengikuti di belakang, sementara Lotar bergerak melingkar, mencari sudut yang lebih baik untuk menyerang. Mereka mendekat,
Sementara itu, di kediaman keluarga Clark, suasana hati para penghuni rumah sedang riang gembira. Vincen menemui keluarga pujaan hatinya, Veronica, ditemani oleh Nenek Elma yang kini menjadi wali untuknya."Kami semua sudah sepakat untuk menggelar pernikahan mereka berdua satu Minggu lagi, bagaimana pendapat Anda, Nyonya Ritsu?" tanya Pak Tua Shancez dengan penuh antusias, sebagai wakil pembicaraan keluarga Shancez."Jika itu keinginan kalian, aku tidak keberatan sama sekali. Malahan, aku juga ingin segera memiliki cicit dari mereka berdua," jawab Elma sambil tersenyum hangat, melirik Vincen dan Veronica yang duduk bersebelahan.Semua anggota keluarga Shancez tersenyum bahagia, merasa lega karena tidak ada penolakan dari pihak keluarga Vincen.Veronica terlihat sangat bahagia. Setelah sekian lama menunggu, akhirnya dia akan dapat bersanding dengan pria yang telah mencuri hatinya selama ini.Mereka pun melanjutkan obrolan dengan santai, sambil menikmati hidangan makan malam yang lezat.
Matahari terbenam perlahan, memberikan cahaya temaram yang melapisi bukit pinggiran kota Helsia.Solomon dan para bawahannya bergerak cepat saat sudah sampai diwilayah tujuan, menuruni jalan setapak yang berliku, memenuhi perintah Vincen. Daun-daun kering berderak di bawah tapak sepatu mereka, mengumumkan kedatangan mereka kepada siapa pun yang mungkin mendengar.Di kejauhan, Solomon melihat siluet Lotar, Harley, dan Face yang bersembunyi di balik semak-semak, mengintai gerak-gerik kelompok pemuja kekuatan Iblis. Mereka tampak tegang, mata mereka tajam mengawasi setiap gerakan yang mencurigakan.Solomon memberi isyarat kepada bawahannya untuk bergerak lebih hati-hati. Mereka merunduk, menghindari siluet yang bisa terlihat oleh musuh. Udara dingin malam semakin menambah ketegangan.Sesampainya di posisi yang lebih dekat, Solomon dan timnya bergabung dengan Lotar dan yang lainnya. Lotas berbisik. "Ada dua belas orang yang kemungkinan akan melakukan ritual di sana," ujarnya sambil menun
Harley pun akhirnya setuju untuk bersembunyi, walau sebenarnya dia ingin bertarung dengan orang-orang tersebut.Mereka segera mencari tempat persembunyian yang aman di ruangan tersebut. Lotar melirik ke sekeliling, menemukan ruang kecil di belakang tumpukan kotak kayu tua. Ia memberi isyarat pada Harley dan Face untuk mengikutinya ke sana."Ssst, jangan berisik," bisik Lotar saat mereka memasuki ruang kecil itu, bersembunyi di balik kotak-kotak kayu.Harley dan Face menahan napas, mencoba untuk tidak membuat suara apa pun. Mereka melihat sekelompok orang berpakaian hitam itu berkumpul di tengah ruangan, berbicara dengan suara yang pelan dan serius. Lotar mencoba untuk mendengarkan percakapan mereka, mencari informasi penting yang bisa digunakan nanti.Salah satu orang berpakaian hitam melihat ke arah tempat mereka bersembunyi, membuat jantung Lotar berdegup kencang. Namun, untungnya orang itu tidak mendekati mereka dan melanjutkan percakapannya dengan yang lain.Tiba-tiba, seorang pr