Selagi Noel akhirnya diperintahkan Pak Tua Clark untuk kembali ke kantor terlebih dahulu, Vincen masih tampak berlari masuk ke dalam sebuah gang.
Sampai di ujung gang, yang menuju ke jalan besar lain, Vincen menoleh ke kiri dan ke kanan, tampak jelas mencari-cari sesuatu … atau seseorang. Dengan alis tertaut erat, Vincen bergumam, “Aku yakin aku baru saja melihat wanita tadi malam di sini.” Namun, berlari ke sana kemari di area itu sama sekali tidak membawakan hasil, membuat Vincen mengepalkan tangan kesal. ‘Sial …’ makinya. ‘Mungkinkah aku salah lihat?’ batinnya bertanya-tanya. Ada rasa penasaran yang tidak bisa hilang di hati Vincen, terutama karena dia ingin sekalit ahu siapa sebenarnya wanita yang telah memberikan apartemen dan mobil kepadanya itu? Kenapa dia membantu Vincen? Apa mereka pernah berhubungan dulu? Tahu tidak akan mendapatkan jawaban, dan yakin kalau tidak akan menemukan wanita itu lagi karena kehilangan jejak–atau salah lihat–Vincen akhirnya menghela napas dan memutuskan untuk kembali ke jalan menuju kantor. ‘Kalau memang ditakdirkan bertemu, kami pasti akan bertemu lagi.’ Vincen mendengus, ‘Lagi pula, wanita itu berkata kita akan bertemu lagi nanti.’ *** Vincen berhenti sejenak di depan gedung kantor perusahaan kakeknya, memandang bangunan itu dengan ekspresi datar sebelum melangkah masuk. Sesampainya di dalam, dia menghampiri resepsionis dan langsung menyampaikan maksudnya. "Aku ada janji dengan Pak Tua Clark. Sampaikan padanya aku sudah tiba," ujar Vincen. Resepsionis mengangkat alis sejenak, lalu menjawab sopan, "Maaf Tuan, boleh tahu siapa nama Anda?" Vincen menghela nafas, menunjukkan ketidak senangannya terhadap formalitas yang tak perlu. "Vincen Adama," jawabnya singkat. "Baik tuan, biar saya cek dulu," ujar Resepsionis sambil mengecek jadwal Pak Tua Clark. Namun setelah mencari beberapa saat, ia tidak menemukan nama Vincen. Resepsionis meliriknya dengan tatapan curiga sebelum menjawab, "Maaf Tuan, tapi Tuan besar tidak ada janji dengan Anda. Silahkan kembali lagi saat Anda sudah membuat janji. Terima kasih." Mata Vincen menyipit, tetap menahan emosinya yang mulai terpancing. Dalam hati dia sebenarnya kesal, namun dia sadar betapa pentingnya menghadapi situasi ini dengan kepala dingin dan sopan. Vincen menghela nafas panjang, yakin bahwa Kakeknya memang sengaja tidak memberitahu karyawan lain di luar para eksekutif perusahaan tentang keberadaannya. Karena mereka tak boleh tahu tentang asal usul Vincen sebagai anak dari pernikahan yang tak diakui olehnya, terlebih sebelum perusahaan benar-benar siap menghadapi media.Vincen memikirkan dampak negatif yang mungkin terjadi pada nilai saham perusahaan. Vincen menatap resepsionis dengan seksama, mencoba membaca ekspresi wajah wanita itu. "Oke, katakan kalau aku memang belum buat janji dengan Pak Tua Clark, tapi bisa tolong buatkan janji untukku?" tanyanya sambil tersenyum tipis, mencoba untuk mengikuti prosedur perusahaan yang ketat. "Maaf, Tuan. Jika Anda ingin membuat janji dengan Tuan besar, silakan hubungi asisten beliau," jawab resepsionis dengan nada dingin, masih berusaha menjaga kesopanan. Vincen tidak tahu harus tertawa atau menangis, dia merasa terjebak dalam peraturan perusahaan yang akan menjadi miliknya. Ia menghela napas, lalu kembali mencoba bernegosiasi. "Begini saja, Nona. Tolong sambungkan aku dengan asisten Pak Tua Clark. Bilang padanya Vincen Adama ada di lobi dan ada masalah penting." Resepsionis menatap sinis Vincen, kesabarannya mulai habis. Matanya mengerling tajam, wajahnya merah padam karena emosi. "Tuan, lebih baik Anda pergi dari sini, sebelum saya memanggil keamanan!" Suaranya meninggi, sarat dengan amarah yang terpendam. Vincen tersenyum kecut, merasa tidak berdaya. Matanya menatap nanar resepsionis yang terus menerus memandang curiga ke arahnya. Sejenak, tangannya terangkat hendak menyentuh lengan wanita itu, namun seketika ia urungkan niatnya. "Percaya padaku, Nona. Aku sungguh ada masalah penting dengan Pak Tua Clark. Aku bukan orang sembarangan." "Tuan cukup! Lebih baik Anda pergi sekarang juga!" tegur resepsionis dengan wajah merah padam, tak mampu menyembunyikan rasa emosinya. Menghela nafas panjang, Vincen menahan kekesalan hati saat merasa diusir dari perusahaannya sendiri. Mencoba untuk tetap sabar, karena tahu kalau Resepsionis hanya menjalankan tugasnya. Vincen mengambil ponselnya dan menggulirkan kontak mencari nomor Noel, berharap segera bisa membicarakan keadaan ini. Namun begitu terhubung, belum sempat Vincen membuka mulut untuk berbicara, suara keras Noel langsung menggema di seberang sambungan, seolah tak sabar menghadapi masalah. "Tuan Muda! Anda di mana!? Tidakkah Anda tahu betapa khawatirnya saya dan Tuan Besar?!" Vincen menjauhkan telepon dari telinganya dengan kening sedikit berkerut, lalu menjawab, "Lobi. Tidak boleh masuk tanpa janji, jadi tolong jemput aku." Sebelum Noel sempat menjawab, Vincen memutuskan sambungan teleponnya. Resepsionis yang mendengar percakapan Vincen, kini memandangnya dengan tatapan curiga. 'Apa orang ini benar-benar ada janji dengan Tuan Besar Clark?' batinnya, merasa sedikit bersalah karena tadi sudah bersikap begitu keras. Akan tetapi, resepsionis merasa dirinya tidak salah. Dia hanya menjalankan tugas dan prosedur sesuai aturan. Akhirnya, resepsionis itu menghela napas dan berkata dalam hati, '_Menjalankan prosedur tidak berarti aku harus bersikap tidak sopan, 'kan?_' Akhirnya, resepsionis itu menghadap Vincen. "Tuan, duduklah di ruang tunggu. Hari ini Tuan Besar ada pertemuan khusus dengan para eksekutif, jadi ada kemungkinan Anda akan menunggu lama." Mendengar ucapan sang resepsionis, Vincen hanya tersenyum tipis. "Tidak masalah. Akan ada yang menjemputku sebentar lagi." Kemudian, dia tetap berdiri di depan resepsionis sambil memainkan ponselnya menunggu kedatangan Noel. Resepsionis pun mengangkat kedua bahunya, paling tidak dia sudah berusaha memperlakukan tamu perusahaan dengan sebaik mungkin. "Wah, bukankah ini kurir miskin menyedihkan yang kehilangan istrinya beberapa hari lalu?” Kalimat tersebut membuat Vincen dan sang resepsionis tersentak. Mereka menoleh ke belakang dan melihat dua orang datang menghampiri meja resepsionis. Ekspresi Vincen pun berubah buruk, tidak menyangka akan bertemu secepat ini dengan dua bedebah yang membuatnya sempat hancur di hari yang lalu. "Lidia ... Marko ...."Vincen menyipitkan matanya saat menoleh, mendapati Marko dan Lidia yang berjalan masuk ke perusahaan Kakeknya.Lidia, dengan intimnya, memeluk lengan Marko erat-erat. Pada detik itu, tatapan Vincen berubah seketika, terlihat semburat amarah membara dalam sorot matanya.Namun, di sisi lain, Lidia tampak terkejut dengan penampilan baru Vincen yang kini semakin tampan.Keduanya menghampiri Vincen yang saat itu tengah berdiri tegak di depan meja Resepsionis. Raut wajah Vincen tampak sulit diartikan, seolah ada perasaan yang terpendam."Tuan muda Helas," sapa Resepsionis dengan sopan, ia sadar betul Marko bukanlah sosok yang bisa disinggung begitu saja.Marko hanya menghadiahi Resepsionis senyum simpul, mengangguk pelan sebagai bentuk penghormatan.Lidia memandang Vincen dari atas hingga bawah, tak bisa mengelak bahwa penampilan baru Vincen cukup memukau.Namun, Lidia mengedarkan pandangan sinis, mengejek dengan suara yang me
"Ehem!" Vincen berdehem keras, membuat Sebastian langsung menghentikan perkataannya dan refleks menoleh ke arah tuan mudanya tersebut. Wajah Sebastian tampak bingung, matanya bergerak bolak-balik antara Silas dan Vincen, mencoba mencari tahu maksud dari suara berdehem tadi. Di sela Sebastian yang bingung, terlihat Silas dengan ragu menegurnya secara sopan. Wajahnya pucat, keringat dingin mengucur deras di keningnya. Tangannya gemetar, menunjukkan betapa takutnya ia pada Sebastian. "T-Tuan Sebastian, memangnya siapa dia? Saya tidak pernah melihatnya di perusahaan ini sebelumnya," tanya Silas penasaran, wajahnya tampak ketakutan melihat Sebastian. Sebastian kembali menatap Silas dan Marko, masih bingung akan maksud isyarat yang diberikan oleh Vincen. "Dia...." Sebelum Sebastian menjawab, Vincen bergegas bicara terlebih dahulu. "Aku merupakan pengawal khusus Tuan besar Clark," ucapnya sembari menatap Sebastian yang terkejut. “Bukan begitu, Pak Sebastian?” Melihat panc
Sebastian terkejut dengan perintah mendadak dari Vincen yang memintanya untuk mengusir Marko dan Lidia. Namun, kesetiaan pada tuan mudanya membuat dia segera mengeksekusi perintah itu. "Keamanan!" seru Sebastian lantang, membuat security yang tadi menyeret Silas bergegas masuk ke dalam perusahaan kembali. "Seret mereka berdua keluar!" lanjut Sebastian tegas. Sontak saja Marko dan Lidia terkejut, karena orang kepercayaan Pak Tua Clark, dengan mudahnya menuruti perintah Vincen. Security dengan sigap mencengkeram lengan Marko dan Lidia. “Ahh! Lepaskan aku! Marko, tolong aku!” seru Lidia yang terseret dengan mudahnya karena tenaganya sebagai seorang wanita tidak sebanding dengan para sekuriti. Di sisi lain, Marko berusaha memberontak dan berteriak, “Kalian tidak bisa melakukan ini padaku! Aku adalah putra dari Markus Helas! Apa kalian tahu menyinggung ayahku akan berakibat fatal bagi kalian!? Tuan Besar Clark akan menghukum kalian karena telah berani menghinaku seperti ini!” Mende
Di ruang meeting, para eksekutif Central Clark Capital terlihat sibuk membahas mengenai sosok pewaris keluarga Clark. Mereka penasaran tentang latar belakang dan kredibilitas pewaris tersebut.Suasana di ruangan itu terasa semakin tegang. Beberapa eksekutif terlihat mengepalkan tangan, seolah mencoba menahan emosi mereka. Salah seorang di antara mereka menghela napas, menunjukkan rasa frustrasi yang mendalam.Meskipun, kecurigaan dan ketidakpercayaan masih terpancar dari sorot mata mereka. Mereka kemudian melanjutkan diskusi mereka, mencoba menggali lebih dalam mengenai sosok pewaris keluarga Clark yang menjadi teka-teki besar bagi perusahaan mereka. "Menurut informasi, pewaris ini tumbuh besar sebagai orang biasa.Apakah dia mampu dan cukup kredibel untuk menjadi seorang pemimpin?" ujar salah satu eksekutif dengan nada skeptis.Beberapa orang di ruangan itu terdiam, tidak berani setuju maupun menentang pertanyaan tersebut. Di saat ini, orang yang tadi sempat mengajukan pertanyaan la
Markus melihat Vincen yang baru saja muncul di hadapannya bersama dengan Sebastian disisinya. Dengan segera ia mematikan telepon yang sedang ia pegang. Pikiran Markus menebak-nebak bahwa Vincen mungkin adalah cucu dari Tuan Besar Clark, sosok yang sangat dihormati di perusahaan tersebut. "Salam, Tuan," sapa Markus sopan seraya mengulurkan tangannya. “Anda pasti cucu Tuan Besar Clark yang sering dibicarakan, Tuan Muda Clark, bukan begitu?” Vincen seketika berhenti. Dia menatap Markus dari atas sampai bawah, ingin tahu siapa pria paruh baya di depannya itu. Di saat ini, Sebastian segera mendekat dan berbisik. "Tuan muda, dia Ayah Marko, Markus Helas."Mendengar hal itu, ekspresi bingung Vincen langsung berubah dingin. Tanpa menjabat tangan Markus, dia berkata, "Anda salah sangka, Tuan Helas. Saya hanyalah bodyguard khusus yang ditugaskan Tuan Besar Clark untuk menjaga Tuan Muda Clark." Kemudian, dia menatap ruang meeting yang pintunya terbuka, lalu menatap Markus sekilas. “Saya masih
Merasa dirinya sangat konyol, Marko langsung menepis pemikiran tersebut dan bertanya langsung pada sang ayah, “Ayah, apa maksudmu? Aku tidak pernah bertemu Tuan muda Clark, jadi bagaimana bisa aku menyinggungnya?" ujarnya lemah dengan Lidia memeluk lengannya, membantunya tetap berdiri. Melihat sosok Lidia, Markus bertanya, “Apa wanita ini istri seseorang?!” Pertanyaan itu langsung membuat Lidia dan Marko membeku. “Kenapa … Ayah bertanya begitu?” "Jawab!” Bentakan sang ayah membuat Marko sedikit takut. Dia baru pernah melihat pria itu begitu marah kepadanya! “Lidia memang pernah menikah, tapi dia sudah bercerai. Aku dan dia–” “Bajingan!” maki Markus dengan penuh kekesalan. Sekarang, dia tahu kalau paling tidak ucapan Vincen ada benarnya, dan dalang dirinya diusir dari meeting internal Clark adalah putranya sendiri! Sudah marah karena dipermalukan dan kembali naik pitam lanta
Penjelasan Sebastian membuat Vincen langsung mengerti. Pria ini adalah duri dalam daging yang mengambil keuntungan dari Central Clark Capital melalui kerja sama kotor dengan orang-orang seperti Markus! Tiba-tiba, dari sisi ruangan yang lain, seorang eksekutif lain dengan mata cokelat terangnya angkat suara. “Jaga ucapan kalian!” tegurnya, mengalihkan perhatian semua orang dengan suara marahnya. “Apa kalian sadar ucapan kalian sama saja dengan menghina Tuan Besar?!”Mata Vincen langsung mengarah pada orang itu. Sebastian yang tahu arah pandang Vincen menjelaskan, “Itu adalah Serdan Lovre, direktur pengembangan bisnis.” Vincen menganggukkan kepala, memerhatikan perdebatan Serdan dan John. “Apa maksudmu menghina? Aku hanya mengatakan kebenaran! Tuan Muda memang tidak berpengalaman, jadi sangat berbahaya menempatkannya sebagai pemimpin!” John membela diri sembari melipat kedua tangannya, tampak angkuh karena merasa sudah mengendalikan opini.
Setelah rapat usai, hanya tersisa Vincen dan Pak Tua Clark di ruang rapat, sementara para eksekutif lainnya kembali ke ruangan mereka masing-masing. Vincen beranjak dari kursinya, niat untuk segera pergi dari ruangan itu. Namun, Pak Tua Clark segera berbicara. "Maksud John baik, dia hanya ingin perusahaan ini terhindar dari masalah. Kakek harap kau bisa mendapatkan kepercayaannya, mengingat dia juga memiliki peran besar selama bekerja denganku." Langkah Vincen terhenti mendalam saat ia mendengar ucapan Pak Tua Clark. Matanya mendelik, kecewa. "Bahkan Anda masih memihak orang lain daripada aku yang katanya cucumu? Bukankah tadi Anda sudah melihat sendiri, bagaimana dia akan menjatuhkanku?" Pak Tua Clark menghela napas panjang, tampak terbebani akan suatu hal. "Orang kompeten memiliki ambisi, dan sebuah ambisi didasari sebuah alasan.” Pria tua tersebut menatap sang cucu. “Apakah kamu mengerti maksudku?” Vincen terdiam sesaat,