"Pemilikku sebelumnya merupakan pendekar legendaris Empu Catra Arkatama. Nama itu selalu di elu-elukan pada masanya," ucap Sakra mengenang masa lalu.
"Arkatama?" Pandya mengerutkan dahinya. "Jadi, beliau leluhur dari ibuku? Bukan ayahku?""Jika Arkatama adalah marga dari ibumu, berarti itu benar," jawab Sakra.Pandya cukup terkejut mendengar fakta itu. Bahkan, selama ini ibunya dihujat dengan sebutan rakyat jelata. Hanya karena beliau anak haram.Namun, ternyata leluhur ibunya adalah sang pendekar legenda. Dan, Pandya adalah penerus kekuatannya itu? Sepertinya, ada banyak hal yang perlu diselediki."Hei, Pandya!" teriak Sakra."Sssttttt...!" Pandya menyuruh Sakra diam dengan isyarat jari yang didekatkan ke mulutnya."Kenapa kau teriak?" tanya Pandya panik, "Bagaimana jika orang lain juga mendengarnya?""Tidak akan ada yang mendengarku," jawab Sakra, "Hanya pemilikku yang dapat mendengarnya. Bahkan, kau tidak perlu berbicara secara langsung. Cukup pikirkan saja apa yang kau ingin katakan padaku."Jawaban Sakra membuat Pandya merasa lebih tenang. Walaupun, dia masih belum benar-benar mengerti maksud dari berbicara dalam pikiran.Setelah Pandya merasa sudah cukup berendam, Pandya langsung keluar dari dalam bak dan berniat membasuh tubuhnya.Namun, apa yang dia lihat dan rasakan, justru membuatnya terkejut.'Sakra,' panggil Pandya dalam hati. 'Ini tidak mungkin! Tubuhku menjadi lebih kekar. Dan luka tusukan di perutku juga hilang tanpa bekas,' ucapnya dengan antusias. 'Apa ini perbuatanmu juga?''Benar, bukankah kamu sudah merasakan tenaga dalam di tubuhmu?' tanya Sakra, 'Aneh jika tubuhmu tidak berkembang dengan tenaga dalam itu.'Tok...tok...tok...Salah satu dayang bernama Sumi mengetok pintu, tanda dia akan memakaikan pakaian untuk Pandya.Setelah mendapat jawaban, dayang itu masuk dan mulai memakaikan pakaian Pandya.'Lalu bagaimana dengan kemampuanmu yang lain?' tanya Pandya dalam hati tanpa menghiraukan sang dayang.'Tentu, masih banyak lagi kemampuanku. Kamu akan kaget mengetahui semua kemampuanku,' ucap Sakra membanggakan diri, "Tapi, dengan tenaga dan kekuatanmu saat ini yang tepat adalah ilmu menyerap ilmu.''Bagaimana cara kerja kemampuan itu? Apakah itu bisa digunakan dalam hal apapun?' tanya Pandya.'Kau bisa mempelajarinya dari buku," jawab Sakra.Setelah dayang Sumi selesai memakaikan pakaian, dia langsung pamit undur diri.Pandya mengambil Sakra dan berjalan keluar dari kamar mandi. Dia langsung menuju perpustakaan yang berada dalam sanggar Ajaran Pedang.******Pandya kini berjalan menyusuri bangunan utama sanggar Ajaran Pedang.Saat sampai di perpustakaan, Pandya mencari sebuah buku untuknya menguji kemampuan yang dikatakan oleh Sakra.Dia mencoba mencari buku, yang bisa membuat kemampuannya berkembang dari dasar.Walau rajin mempelajari tiga inti beladiri untuk melatih fisik dan mental, Pandya tetap tidak akan bisa mengejar keterlambatannya.Akan sulit baginya untuk menjadi pendekar tingkat atas, bahkan jika dia berlatih seumur hidup. Jadi yang dipilih Pandya pertama kali untuk mempelajarinya adalah, ilmu pengobatan dan dimulai dengan akupuntur.Pandya segera mengambil salah satu buku di rak bagian pengobatan. Setelahnya, dia menuju meja kursi yang berada di tengah ruangan perpustakaan.'Sakra, bagaimana aku bisa menyalin ilmu yang ada dibuku ini?' tanya Pandya kebingungan, "Apakah aku harus melihat orang lain mempraktikkannya dulu?''Tidak perlu hal sulit seperti itu, kau cukup mengumpulkan tenaga dalam di area mata dan bacalah buku itu dengan cepat,' jelas Sakra, 'Semua tulisan yang ada di dalam buku itu, akan langsung masuk ke otakmu dan membuatmu bisa langsung memahaminya.'Pandya ragu dengan penjelasan yang diberikan oleh Sakra. Karena untuk mengumpulkan tenaga dalam menjadi satu titik saja dia belum pernah mencobanya.Tapi Pandya mencoba mengingat, bagaimana saat para prajuritnya berlatih. Diapun menirukan cara itu, dan langsung berhasil pada percobaan pertama.Pandya pun mulai membuka buku yang dia bawa. Tanpa diduga dia bisa membaca semua tulisan di dalam buku dengan sangat cepat.Bahkan, satu buku yang sangat tebal, bisa dia selesaikan hanya dalam hitungan detik.Namun, efek samping setelahnya, dirasakan oleh Pandya yang langsung merasa pusing dan mual. Semua ilmu masuk dengan sangat cepat ke dalam otaknya, dan itu membuatnya sedikit kewalahan.'Kau akan segera mengatasinya,' ucap Sakra dengan santainya.Pandya duduk sambil memegangi kepalanya, yang masih terasa seperti berputar. Butuh cukup waktu hingga dia dapat mengatasi efek samping itu, hingga rasa pusing dan mual itu menghilang.'Lalu aku harus bagaimana sekarang?' tanya Pandya setelah dia merasa lebih baik.'Kau hanya perlu memikirkan apa yang kamu pelajari tadi dan mencobanya,' jelas Sakra, 'Saat ini semua sudah ada di otakmu, Pandya.''Lumayan juga mendengarmu memanggil namaku.' ucap Pandya dengan nada mengejek.'Bukankah kau sendiri yang memintaku memanggil dengan nama itu?' tanya Sakra dengan nada suara meninggi.'Baguslah kalau begitu. Berarti pendekatan kita berhasil, ucap Pandya. "Kalau begitu apakah aku harus mempraktikkan kepada seseorang?''Hanya memikirkan saja apa yang kamu ketahui, nantinya kamu akan paham dengan apa yang aku maksud.'Pandya masih ragu harus bagaimana memulainya, yang bisa dia lakukan hanya mengingat apa saja yang dia tahu tentang akupuntur.'Akupuntur... Akupuntur berhubungan dengan titik tubuh untuk melancarkan aliran darah. Titik tubuh contohnya titik aliran darah dan titik akupuntur. Jika titik aliran darah ditusuk dengan jari, maka akan berhenti sejenak...'Pandya terdiam. Dia merasa ini terlalu luar biasa untuk menjadi kenyataan."Hahaha... tidak mungkin ini benar-benar terjadi, kan?"Bersambung...Pandya terlihat tampak tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Karena, saat ini apa yang diucapkan terlihat dengan matanya.Semua seperti terpindai dengan mata, dan memperlihatkan dimana saja letak titik aliran darah dan titik akupuntur itu berada dengan tulisan yang sangat jelas.Awalnya, Pandya ragu dan mencoba untuk mengusap matanya. Namun, setelah itupun dia tetap dapat melihat tulisan-tulisan itu dengan sangat jelas."Ini bukannya curang?" tanya Pandya skeptis, "Aku tidak hanya menghapalnya, tapi juga bisa mengamatinya," ucap Pandya sambil tertawa sarkas.'Jangan cepat senang, Pandya!' Sakra mengingatkan, 'Kamu masih belum tahu kekuatan itu sepenuhnya,' ucap Sakra mengingatkan.Pandya menjadi semakin tertarik dengan kemampuan yang belum diketahuinya itu. Padahal, kemampuan menyerap ilmu sudah sangat luar biasa.'Memang apa yang belum aku ketahui?' Pandya kembali antusias, 'Apakah kekuatan ini bisa jauh lebih hebat dari sekarang?''Tentu saja! Semua kekuatan yang aku berikan, ha
Di dalam Padepokan Nagendra, terdapat sejumlah ajaran bela diri yang sangat menjunjung tinggi ilmu bertarung serta Padepokan Nagendra itu sendiri. Lalu ada enam ajaran yang menjadi dasar Padepokan Nagendra. Ada Ajaran Pedang, Ajaran Api, Ajaran Ramuan, Ajaran Sihir, Ajaran Suara dan Ajaran Pengintai. Pemimpin Padepokan Nagendra menyambut banyak gadis perawan dari enam ajaran tersebut. Dan terjalinlah kesepakatan untuk melahirkan keturunan. Keturunan pemimpin dari setiap ajaran, akan tumbuh di keluarga sang ibu dan memiliki hak menjadi calon pemimpin di setiap ajarannya. Nantinya, mereka akan masuk ke dalam akademi Padepokan Nagendra saat cukup umur. Akademi itu di buka setiap 10 tahun sekali, dan selalu di pimpin oleh para empu dari padepokan Nagendra. Tujuannya adalah untuk mempertandingkan para calon pendekar baru dari setiap ajaran, dan meningkatkan kemampuan bela diri hingga tahap akhir. Tidak hanya pemimpin dan calon pemimpin dari setiap ajaran yang boleh mengikuti akademi
Di dalam sanggar Ajaran Pedang. Tampak Pandya yang sedang berada di atas ranjang dengan mata yang terbuka.Matanya, menatap lurus ke langit-langit kamar sudah sejak semalam. Dari wajah Pandya tampak guratan wajah bingung seperti memikirkan sesuatu dan tidak menemukan jawabannya.Detik berikutnya, Pandya berdiri dan berniat membuka jendela dalam kamarnya itu."Karena terlalu banyak pikiran aku jadi tidak bisa tidur. Apakah ini masih terlalu pagi?" Pandya bangun dari ranjang.KREEK!Suara jendela yang di bukanya terdengar memecah kehehingan di kamar itu. Matahari yang masih bersembunyi hanya memperlihatkan semburat warna jingganya."Akhirnya hari ini tiba," ucap Pandya sambil menatap langit pagi. "Hari dimana aku akan masuk ke dalam Akademi Nagendra."Dari kejauhan, Pandya tanpa sengaja melihat sang Paman yang sedang pemanasan pagi."SYUUK!""CHWAAK!""PAATS!""BWAATS!" suara gerakan Akandra yang menembus udara terdengar menggema di lapangan sanggar Ajaran Pedang.Pandangan Pandya tidak
'Apa masuk ke dalam akademi begitu penting?' tanya Sakra kesal, 'bukankah kau sudah bisa mempelajari segala macam hal dengan kemampuan yang aku berikan?''Itu salah satu syarat agar aku tetap bisa menjadi calon pewaris!' jawab Pandya dengan nada meninggi."AARGH!"Pandya kembali mengerang karena rasa sakit yang tidak ada hentinya. Semua otot dalam tubuhnya menarik dan mengendur terus menerus hingga terasa seperti terobek.'Kalau begitu masih ada satu cara," ucap Sakra memberikan jalan keluar.'Bagiamana?!' tanya Pandya dengan rahang terkatup.'Proses adaptasi bisa dipacu dengan kontrol tenaga dalam. Tapi...,' ucap Sakra ragu.'Tapi apa?!!!' teriak Pandya frustasi. 'Aku sudah kesakitan seperti ini tapi kau malah bicara setengah-setengah!'Pandya kembali mengepalkan kedua tangannya untuk menahan rasa sakit dan rasa frustasinya. Dia mencoba mengatur napas untuk mengalihkan pikirannya dari rasa sakit itu.'Tapi hanya 1% kemungkinan kamu bisa bertahan dalam keadaan sadar. Karena rasa sakit
BUAKKK!'Bangun!' teriak Sakra yang menggema di pikiran Pandya.Pukulan tubuh pedang Sakra membangunkan Pandya dari tidurnya."UAAGH – HAAH– HAH," Pandya terkejut dan bangun dari tidurnya. Dia menghembuskan napas dengan kasar, seperti baru saja menemukan kembali napasnya.'Aku sudah selesai mengontrol otot dan pembuluh darahmu dengan tenaga dalam. Kini semua otot dalam tubuhmu sudah beradaptasi dengan jurus yang kau salin,' Sakra mulai menjelaskan."Aku tidak akan melakukan ini lagi!" ucap Pandya menyesal.'Aku sudah memperingatkanmu sebelumnya!' elak Sakra membela diri.Pandya tidak menghiraukan jawaban Sakra. Dia masih fokus untuk menetralkan kembali pernapasannya.Secara perlahan Pandya mulai merasakan perbedaan pada tubuhnya. Badannya terasa jauh lebih ringan dari sebelumnya. Bahkan, kini dia merasa jauh lebih bertenaga ketika bergerak."Eh–tapi kenapa aku bisa tidur dengan posisi seperti ini? Apa Paman tadi sempat masuk?" tanya Pandya sambil turun dari ranjangnya.'Pamanmu tadi l
DRRRRK!KRIEEETT!Suara meja yang didorong paksa oleh Akandra terdengar sangat nyaring. Akandra seperti sudah tahu sejak awal, apa yang tersembunyi di bawah meja itu. Sedangkan Pandya sudah tidak bisa mengelak lagi setelah jejak kaki terakhirnya terlihat dengan jelas."Ini adalah jurus belati rahasia sebelum masuk ke tahap kedua—jejaknya terlihat dengan sangat jelas," ucap Akandra sambil melihat jejak kaki Pandya yang berada di bawah meja tadi."A–aku bisa menjelaskannya Paman. Ini bukan seperti yang paman pikirkan," ucap Pandya tergagap sembari mencari alasan."Aku tidak salah melihatnya!" Akandra mengatakannya dengan wajah tegang.Pandya hanya bisa menundukkan kepalanya. Dia benar-benar merasa bersalah, karena mencuri jurus orang lain itu dilarang di dunia persilatan. Tapi, dia malah mencuri karena tergoda dengan kemampuan menyalinnya.'Bagaimana ini Sakra? Aku tidak bisa mengelak lagi. Bagaimana jika Paman membenciku?' Pandya bertanya pada Sakra dengan frustasi.'Aku juga tidak tahu
Siang hari di halaman utama akademi Padepokan Nagendra, tampak ratusan orang mulai berkumpul dan mencari tempat untuk berbaris. Suara riuh dari orang-orang yang antusias untuk mengikuti ujian pertama akademi—terdengar memadati halaman itu tanpa ada yang berusaha menenangkan."Apa benar semua calon pewaris dari setiap ajaran Padepokan Nagendra berkumpul tahun ini?" ucap salah satu pemuda yang bertubuh gempal dan bermata sipit."Sepertinya rumor itu benar. Lihatlah barisan depan! Ujian masuk akademi kali ini menjadi sangat banyak peminatnya," jawab pria kurus disebelahnya sambil memperbaiki posisi buntalan kain pembungkus yang tergantung di pundaknya.Mereka berdua yang hanya penduduk biasa dari salah satu ajaran, dengan mudahnya terdorong oleh orang-orang lain yang mengikuti ujian siang itu. Mereka hanya bisa mengikuti arus, yang pada akhirnya membuat mereka mendapat barisan paling belakang."Seberapa banyak kira-kira yang mengikuti tes kali ini?" Pria bertubuh gempal mengedarkan pandan
"Apa benar tidak ada namaku di pengambilan nomor urut?" Pandya tampak berdebat dengan seseorang yang mengurus pendaftaran masuk akademi."Iya. Hanya nama Pangeran dari Ajaran Pedang yang tidak ada," jawab orang itu. "Sepertinya Pangeran harus menunggu hingga nomor urut Pangeran ditemukan," tambahnya."Baiklah! Akan aku tunggu," Pandya lantas pergi dari meja pendaftaran dan berdiri di ujung tembok gerbang akademi. Dia hanya bisa menunggu hingga pengurus itu menemukan nama untuk nomor urutnya. Walaupun dia tahu itu ulah siapa, tapi dia juga tidak bisa apa-apa untuk saat ini. Pandya mencari tempat yang cukup bersih untuknya duduk di bawah, sambil menunggu namanya ditemukan.'Ini pasti ulah salah satu saudaraku dari ajaran lain. Jelas sekali mereka sengaja melakukan ini padaku,' pikir Pandya dengan wajah masamnya.'Kau yakin ini ulah salah satu saudaramu? Untuk apa mereka melakukannya?' Sakra merespon pikiran Pandya karena penasaran.'Mungkin mereka tidak mau berbaris denganku. Lagipula t
Ribuan aura berbentuk pedang itu langsung berjatuhan, dan menancap di tubuh semua pasukan beserta Tuan Huda. Tidak ada satu orangpun yang selamat dari pedang-pedang itu.Tuan Urdha yang melihat sang anak, merasa sangat bangga dengan kemampuan yang berhasil dicapainya. Dan dirinya menjadi paham, dengan alasan Pandya memintanya membuat perisai untuk dirinya beserta anak-anak dan para istrinya.Dan bertepatan saat Pandya mengeluarkan jurus itu, para saudaranya telah sadarkan diri setelah dibuat tidak sadarkan diri oleh sang ayah. Dan saat mereka melihat apa yang dilakukan oleh Pandya, mereka semua terdiam takjub dengan apa yang terlihat di depan mata.Tibra pun dalam hati akhirnya mengakui kekuatan Pandya dan kekalahannya. Seberapa keras dirinya berlatih selama ini, dan seberapa besar tuntutan yang harus diembannya, tidak membuat kekuatannya bisa bersaing dengan Pandya.Tibra beserta keempat saudara Pandya yang lain, hanya korban dari keegoisan dan keserakahan para orang-orang tua di seki
Setelah berteriak dengan lantang, Tuan Huda semakin menggencarkan serangannya. Dia bahkan sudah merencanakan serangan, dengan bekerja sama dengan para pasukannya untuk membuat sebuah pola sihir tanpa disadari oleh Pandya.Pandya terus terdorong walaupun tanpa terluka, mengingat jumlah orang yang menyerangnya secara bersamaan bukan hanya puluhan orang—tapi bahkan ratusan orang. Puluhan orang berterbangan setelah satu serangan yang Pandya lakukan, namun puluhan lainnya ganti menyerangnya lagi. Dan itu terus berlanjut, karena sejak awal Tuan Huda merencanakan penyerangan saat Pandya sudah dalam keadaan kelelahan.Apalagi, saat ini tidak ada satu orang pun yang menolong Pandya. Sebenarnya Tuan Urdha yang masih ada di tempat itu berencana untuk keluar dari perisai yang dibuatnya, namun pikirannya itu langsung dihentikan oleh Pandya.‘Aku masih merasa aneh dengan keadaan ini!’ ucap Sakra dalam pikiran Pandya.‘Bukankah dengan ini kita jadi lebih bisa menyatu?!’ sahut Pandya dengan seringa
SRIIING!Sebuah sihir kutukan yang ditujukan pada Pandya, berhasil ditangkis dengan perisai sihir yang dibuat oleh Sakra. Pandya yang melihat itu cukup terkejut, karena sejak tadi dirinya tidak melihat Sakra sama sekali dan tiba-tiba saja muncul dihadapannya.‘Sakra! Darimana saja kau?!’ tanya Pandya bersemangat dalam hati.‘Entahlah, sesuatu terjadi padaku. Tapi, aku sama sekali tidak ingat apa yang terjadi!’ sahut Sakra dengan suara lirih.Pandya menatap pedang Sakra sekilas, sebelum dirinya kembali disibukkan dengan serangan-serangan yang semakin menjadi. Para pendekar, tetua dan bahkan pemimpin dari lima Ajaran menyerbu mereka secara bersamaan.WHUUUUSH!ZHIIIING!BLAAAAR!Pandya dan seluruh pengikutnya semakin terdorong, walaupun Tuan Agha sudah membantu sebagai perisai utama. Namun, dengan kekuatan dan jumlah yang dimiliki musuh jauh lebih banyak dibandingkan jumlah pengikut yang Tuan Urdha dan Pandya miliki. Belum lagi aliansi yang dimiliki saudara-saudaranya yang sudah memilik
“Apa maksud, Pemimpin?!” tanya Tibra terkejut dengan ucapan Tuan Urdha.“Kau sama sekali tidak memperdulikan aku, tapi kau bersikap seolah ingin melindungiku! Apa kau pikir karena aku sudah tua jadi bisa kau bodohi?!” teriak Tuan Urdha yang terlihat kehabisan kesabarannya.Semua terdiam. Tidak ada yang berani menjawab, karena ruangan itu kini penuh sesak dengan tenaga dalam yang luar biasa besar yang dikeluarkan oleh Tuan Urdha. Namun, seperti ada isyarat khusus yang dimiliki oleh Tibra, para tetua yang berada di luar ruangan masuk secara bersamaan sambil menekan tenaga dalam yang besar itu.“Apa yang kalian lakukan?!” teriak Tuan Huda marah, sambil melototkan mata tajam ke arah para tetua.“Maafkan kami, Pemimpin! Tapi, kami setuju dengan ucapan Pangeran Tibra! Jika perkamen itu tersebar, maka akan sangat banyak pemberontakan yang akan terjadi!” jawab salah satu tetua dengan kemampuan yang cukup hebat diantara yang lainnya.“Bukankah pemberontakan ini kalian yang buat?! Aku tidak mel
“Mereka membuat kesepakatan berlainan dari yang aku ajukan. Tapi, mereka berjanji untuk memberikan balasan yang setimpal dari perkamen itu,” jawab Tuan Huda sambil was-was dengan reaksi yang akan diberikan oleh Pandya.“Jadi, maksudmu mereka saat ini mulai mencoba mengambil alih kepemimpinan secara paksa?!” Pandya mulai meninggikan suara, sambil menahan amarahnya.“Bukan hanya padepokan, sanggar Klan milikmu juga mereka datangi saat mereka tahu kau sedang tidak ada di tempat!” tambah Tuan Huda yang membuat Pandya langsung membuka sub ruang yang dibuatnya, dan berlari meninggalkan ruangan itu dengan tergesa.Setelah mendapatkan seluruh senjatanya termasuk pedang Sakra, Pandya langsung menggunakan jurus meringankan tubuh miliknya dan melesat meninggalkan Padepokan Janardana dalam sekejap.WHUUUSH!Sakra yang langsung tahu apa yang terjadi dari pikiran Pandya, ikut merasakan amarah yang tidak jauh berbeda. Begitu pula Akandra, yang sejak tadi masih menunggu mereka di luar gerbang Padepok
“Aku yakin kau akan menggunakan ini untuk membuat kesepakatan dengan para saudaraku. Apa aku salah?!” tanya Pandya dengan santai.Tuan Huda tidak langsung menjawab. Dia cukup terkejut, karena tidak mengira jika pemimpin Padepokan Nagendra memberitahukan aibnya sendiri kepada seseorang.“Hahaha…, ternyata kau cukup cerdik, Nak! Tapi, kalau kau mengetahuinya, apa kau memiliki tawaran yang lebih baik untukku?!” tanya Tuan Huda setelah kembali tertawa untuk menutupi rasa terkejutnya.Bukannya menjawab, Pandya kembali menggulung perkamen yang dibukanya tadi. Setelah memasukkan perkamen itu kembali ke balik jubahnya, dia mengeluarkan sebuah perkamen yang lain.“Sayangnya aku tidak memerlukan tawaran yang lebih baik, karena kau akan membantuku tanpa tawaran apapun!” jawab Pandya santai sambil memperlihatkan perkamen yang baru.Tuan Huda mengernyitkan dahinya, kemudian membaca isi perkamen yang baru saja dibuka oleh Pandya. Dan rasa terkejutnya semakin besar, saat melihat isi perkamen itu.“Ka
“Aaarrghhh! Kenapa kau memukulku Sakra!” teriak Pandya setelah mengerang cukup keras.PLAK! PLAK! PLAK!Bukannya menjawab, Sakra kembali memukuli Pandya namun dengan lebih pelan dibandingkan pukulan pertama. Sedangkan Akandra yang melihat itu, hanya tersenyum tipis dengan tatapan hangat.“Aku kira kau akan mati begitu saja! Kenapa kau mengabaikan retakan itu?!” teriak Sakra setelah puas memukuli Pandya.“Aku tidak akan mati semudah itu!” jawab Pandya sambil kembali menyeringai dengan memperlihatkan deretan giginya.“Kau tahu, tubuhmu sudah hampir meledak! Mungkin, jika terlambat sedikit lagi kau akan menjadi arang!” teriak Sakra yang kembali kesal karena jawaban Pandya yang begitu santaiPandya hanya terkekeh kecil, saat melihat reaksi Sakra yang seperti cacing kepanasan. Namun, tidak lama sudut matanya akhirnya menyadari kehadiran seseorang diantara mereka.Akandra yang menatap mereka sejak tadi, masih tersenyum penuh arti kearah Pandya yang akhirnya menyadari keberadaannya. Pandya
Akandra langsung menghampiri tubuh Pandya yang tergeletak, tanpa menyadari sebuah pedang sedang melayang di hadapannya. Sambil membangunkan sebagian tubuh Pandya dan menyandarkannya di bahunya, Akandra mencoba memeriksa tubuh Pandya dengan tenaga dalamnya.“Sebenarnya apa yang terjadi, Pandya?! Kenapa tenaga dalammu berantakan seperti ini?!” tanya Akandra tanpa berharap mendapat balasan.“Sepertinya, itu karena efek tenaga dari Batu Ratnaraj yang disegel dalam tubuhnya retak!” sahut Sakra yang membuat Akandra terkejut, dan tanpa sadar menarik tubuh Pandya menjauh.“Ba–bagaimana pe–pedang bisa berbicara?!” teriak Akandra terbata dengan suara tercekat.Akandra berusaha untuk meyakinkan diri jika pendengarannya tadi tidaklah salah, dengan mengorek telinganya. Dirinya juga mengucek matanya, untuk memastikan apa yang dilihatnya bukan hanya halusinasinya saja.“Akulah yang mengirimkan pola sihir pelacak itu padamu!” ucap Sakra kesal karena melihat reaksi Akandra yang seperti melihat hantu.
Sakra mencoba memasukkan energinya untuk membantu Pandya, namun sayangnya semua usahanya tidak membuahkan hasil. Pandya benar-benar sudah tidak sadarkan diri, dengan suhu tubuh yang semakin panas.PLAK! PLAK!Pandya mencoba menampar pipi Pandya dengan badan pedangnya, sambil memanggil-manggil Pandya dengan suara lantang. Namun, Pandya sama sekali tidak memberikan respon.“Apa yang harus aku lakukan?! Bahkan, tidak ada yang mengetahui posisi kami saat ini?” ucap Sakra pada diri sendiri, karena panik dengan kondisi Pandya yang semakin memburuk.ZHIIING!Sakra mencoba memasukkan energinya kembali, sembari mencari penyebab utama kondisi Pandya seperti itu. Dan saat energinya mencapai pusat tubuh Pandya, Sakra menemukan celah di dalam energi Batu Ratnaraj yang di segel sebelumnya.‘Mungkinkah retakan itu muncul saat Pandya tidak sadarkan diri dan muncul cahaya pada tubuhnya?!” pikir Sakra sambil memikirkan cara agar bisa menyelamatkan Pandya.Saat dirinya hendak kembali memukuli Pandya agar