"Pandya, kamu harus ingat kalau paman selalu ada di pihakmu. Jadi, berusahalah untuk tetap bertahan hidup."
Remaja laki-laki yang baru bangun itu lantas menatap sang Paman dengan bingung. "Aku benar-benar tidak mengerti. Apa Paman akan pergi jauh?"Akandra terlihat enggan untuk menjelaskan. Namun, jika dia terus menundanya akan semakin banyak waktu yang akan terbuang.Pria itu segera mengarahkan Pandya untuk menuju dapur belakang. Di atas meja, tampak sebuah kain pembungkus yang di dalamnya sudah terisi penuh dengan perbekalan."Paman mendapat laporan bahwa ada pembunuh bayaran yang mengincarmu. Saat ini pasukan ajaran pedang sedang menghadang mereka. Jadi, lebih baik kamu segera kabur dari sanggar ini," ucap Akandra sambil mencengkeram kedua lengan Pandya."Apa maksud, Paman?" tanya Pandya menegang, "apa pasukan kita tidak bisa menghadapi mereka, seperti biasa?"Pandya merasa ucapan pamannya sedikit tidak masuk akal. Sebagai salah satu calon pewaris Padepokan Nagendra yang tidak memiliki tenaga dalam, sudah banyak yang mengincarnya nyawa Pandya. Namun, dia yakin kalau pasukan mereka pasti bisa kalau hanya menghadapi pembunuh bayaran.Selama ini, dia telah melihat betapa hebatnya para pasukan yang dimilikinya itu ketika berlatih.Ditambah lagi, di sanggar ini ada sosok pamannya yang juga merupakan Ksatria Penjaga Timur Padepokan Nagendra.Bukankah kekuatan pamannya jauh lebih tinggi? Tapi, kenapa pamannya mengatakan kalau Pandya harus meninggalkan sanggar?BRAK!Sayangnya, pikiran Pandya langsung terbantah saat ada sesosok tubuh terpental dan mendarat tepat di ruangan samping-tempat mereka sekarang berada.Dan secara sekilas dari celah tirai yang menjadi penyekat pintu dapur, Pandya dapat mengenalinya bahwa orang itu salah satu pasukan Ajaran Pedang."Sudah tidak ada waktu untuk menjelaskannya, Pandya. Kamu sadar arena pertarungan sudah semakin dekat, bukan? Kita kalah jumlah dan kekuatan. Pembunuh bayaran berbeda dari biasanya. Mereka sudah dipersiapkan dalam waktu lama. Jadi, bergegaslah pergi lewat pintu rahasia dibalik dapur."Pamannya itu lalu menyerahkan buntalan di atas meja berisi perbekalan kepada Pandya. "Paman sudah menyiapkan ini semua, agar kamu dapat bertahan di luar sana untuk sementara waktu. Aku akan berusaha untuk tetap menjaga sanggar ini. Kamu harus selamat."Pandya terdiam. "Lalu bagaimana dengan Paman? Bukankah lebih baik kita pergi bersama, sebelum pembunuh bayaran itu datang kesini?"Remaja laki-laki yang biasanya terlihat santai itu-merasa khawatir. Ditariknya lengan sang paman untuk membujuknya pergi.Namun, Akandra hanya menggelengkan kepala. "Tidak, Pandya. Sanggar dan ajaran Pedang harus tetap dijaga, aku akan mengecoh mereka jadi kamu bisa segera kabur," ucap Akandra sambil mendorong tubuh Pandya. "Larilah! Dan jangan menoleh ke belakang kembali! Kamu harus kembali dengan selamat!"Set!Sang paman lalu berlari menuju luar sanggar-meninggalkannya sendiri.Pandya yang panik hanya bisa mengikuti apa yang dikatakan oleh sang paman.Dia masuk ke dalam jalan rahasia yang ditunjukkan oleh pamannya tadi.Pandya terus berlari dalam lorong sempit dan gelap-mengikuti jalan itu tanpa sekalipun menengok ke arah belakang.Ruangan yang dia lewati benar-benar sangat gelap, tapi dia tetap berlari sambil meraba tembok yang ada di sebelahnya untuk menuntun jalan.Buk!Anak itu tersandung oleh beberapa benda. Namun, Pandya tetap berlari-sesuai perintah sang paman.Dia tidak peduli akan kakinya yang terluka karena pergi tanpa alas kaki. Perintah pamannya untuk lari dan bertahan hidup adalah satu-satunya yang terngiang di kepalanya saat ini.*****BANG!PRANG!BUK!Suara pertarungan di luar sana dapat terdengar oleh Pandya meski samar.Remaja laki-laki itu sangat berharap kalau Akandra juga bisa selamat.Bagi Pandya, sang paman merupakan satu-satunya keluarga kandung yang masih dia miliki. Ibunya telah lama meninggal dan sang ayah mengabaikannya.Meski pria itu pemimpin padepokan yang dihormati, dia tak pernah mengurus Pandya sama sekali.Bahkan, Pandya ragu pria itu peduli dengan keadaannya yang seringkali diserang pembunuh bayaran.Maka dari itu, Pandya tidak mampu membayangkan bila hal buruk terjadi kepada Akandra.Setelah berlari cukup lama, Pandya akhirnya melihat seberkas cahaya. Langkahnya mulai sedikit melambat."Jalan keluar?" pikir Pandya sembari mengingat ucapan pamannya tadi.Pandya lantas melangkah keluar dari ruangan rahasia itu.Perlahan, kakinya berlari kembali dan masuk ke dalam hutan.Sejujurnya, Pandya mulai ragu apakah dia dapat selamat di penyerangan kali ini. Dia sudah hampir kehabisan tenaga.Saat-saat seperti inilah yang membuat remaja laki-laki itu sedikit membenci tubuhnya yang sangat lemah sejak lahir. Dia tidak memiliki tenaga dalam sama sekali.Oleh sebab itu, latihan bela diri yang dilakukan bersama pamannya secara diam-diam, tidak dapat menyelamatkannya. Lawannya saja bisa mengalahkan semua prajurit yang mereka miliki.Bruk!Pandya tiba-tiba tersandung dan tergelincir ke bawah. Karena dia tidak melihat akar pohon yang mencuat di bawahnya."ARRGH!!!" Pandya berteriak saat tubuhnya terantuk beberapa batu.Dia tetap berusaha berdiri, walaupun badannya sudah sangat sakit akibat terjatuh dari ketinggian."Sial... kakiku lemas," ucap Pandya saat berusaha bangun. Dia baru menyadari banyak sekali luka di kakinya."Kamu sudah menghabiskan waktu satu jam untuk berlari ke sini, Pangeran Pandya."Suara asing itu sontak mengagetkan Pandya.Dari ujung matanya, ia dapat menangkap sosok-sosok bertopeng hitam yang tidak diharapkan.Tatapan Pandya seketika berubah serius dan tajam begitu melihat kelompok yang kemungkinan mengincar nyawanya."Siapa yang mengirim kalian?"Bersambung...Remaja laki-laki itu berusaha mengintimidasi lawannya.Hanya saja, di hadapan Pandya saat ini, bukan hanya satu atau dua orang saja. Segerombolan orang-orang bertopeng itu jelas terlihat tidak takut sama sekali.Entah 'Ajaran' mana yang mengirimnya, tapi Pandya yakin itu ulah salah satu dari saudara tirinya. Ibu mereka berasal dari keluarga Ajaran terpandang, tidak seperti dirinya. Dengan kuasa dan uang, mereka memang sudah sering melakukan upaya pembunuhan pada Pandya. Hanya saja, kali ini, skalanya terlihat benar-benar mematikan."Hahahaha … entahlah,” tawa salah satu dari mereka, “yang jelas, kami sudah menunggu cukup lama, hingga merasa bosan dan mengantuk." Mendengar itu, Pandya semakin bingung dengan situasinya saat ini. Dia bahkan sudah tidak memiliki tenaga untuk kabur."Siapa?!" bentak Pandya--berusaha mengintimidasi lagi.Namun, tidak ada jawaban dari sosok-sosok itu. Pandya semakin marah dan frustasi. Semua sosok bertopeng itu memiliki topeng dan pedang yang sama– membua
Di kondisi itu pun, Pandya masih berusaha untuk bergerak. Melihat itu, para pembunuh bayaran tak senang. Salah satu dari mereka kembali menancapkan dan menarik pedangnya kembali dengan sangat cepat."Pelan-pelan. Matilah dengan menyakitkan, Pangeran!" ucap pembunuh itu sambil kembali menginjak perut Pandya."AARGH!!!!!" teriak Pandya kesakitan.Zing!Anehnya, dari kejauhan, tampak cahaya yang tiba-tiba semakin mendekat. Tanpa diduga, cahaya itu mengenai pembunuh bayaran yang melukai Pandya.BOM!Tubuh itu tiba-tiba meledak dengan hebat.Semua yang menyaksikan tampak menegang melihat kejadian yang terjadi dalam sekejap itu.Pemimpin gerombolan langsung mencari asal serangan. Tapi, mereka tidak dapat menemukan sosok yang menyerang.Situasi saat ini membuat mereka menyadari satu hal. Tanpa aba-aba, gerombolan pria bertopeng itu berusaha untuk melarikan diri. BOM! BOM! BOM!Hanya saja, baru beberapa langkah mereka melarikan diri, tubuh mereka mulai meledak satu per satu."ARRGH!!!!!!!!"
Sesampainya di sanggar, Akandra menidurkan Pandya pada salah satu ranjang di ruang kesehatan dalam sanggar.Tabib Suma langsung memeriksa kondisi Pandya. Namun, sedetik kemudian dia dibuat terkejut dengan apa yang dirasakannya."Apa yang sebenarnya terjadi pada Pangeran?" tanya sang tabib. Akandra hanya menjawab dengan gelengan kepala. Pria itu pun bingung dengan apa yang dia lihat, saat menemukan Pandya tadi.Tabib Suma lantas melanjutkan pemeriksaanya. 'Dia merasakan ada tenaga dalam yang cukup kuat di dalam tubuh Pandya. Bahkan, tampak lebih baik dari anak seusianya. Padahal, sebelumnya dia tidak pernah mengetahui jika sang Pangeran memilikinya.Hanya saja, pemikiran itu disimpan oleh tabib Suma. Dia pikir kondisi sang Pangeran ada sangkut pautnya dengan pemimpin padepokan.Tabib Suma menganggap ini hal yang memang seharusnya seorang ayah lakukan kepada anaknya."Tuan tidak perlu khawatir," ucap Tabib Suma. "Pangeran Pandya kondisinya sudah lebih baik.""Benarkah?" tanya Akandra
"Angkat aku lebih dulu, baru bertanya!" protes suara asing itu. "Anak muda zaman sekarang, tidak punya sopan santun sama sekali."Pandya yang masih terkejut--langsung mengambil pedang yang dia jatuhkan tadi, dan meletakkannya di atas ranjang. Dia benar-benar tidak mengerti, dengan apa yang terjadi. Tapi, dia yakin suara yang dia dengar sama seperti orang yang membantunya semalam."Benar. Akulah yang membunuh semua musuh-musuhmu," ucap pedang itu, "Dan aku pula yang menyelamatkan nyawamu. Tapi, tidak perlu berterima kasih karena itu memang sudah tugasku."Mata Pandya mengerjap cepat. "Bagaimana sebuah pedang bisa melakukan itu semua?" "Lalu tugas apa yang kamu maksud?"Kebingungan Pandya menjadi hiburan bagi pedang itu. Dengan sombong, ia pun berkata, "Tentu aku bisa! "Aku relief langka yang memiliki kemampuan tinggi. Tenaga dalam yang aku berikan padamu bukan sekedar tenaga dalam biasa. Bahkan, itu bisa menyelamatkanmu yang hampir tewas karena mengandung elemen penyembuh yang akura
"Pemilikku sebelumnya merupakan pendekar legendaris Empu Catra Arkatama. Nama itu selalu di elu-elukan pada masanya," ucap Sakra mengenang masa lalu."Arkatama?" Pandya mengerutkan dahinya. "Jadi, beliau leluhur dari ibuku? Bukan ayahku?""Jika Arkatama adalah marga dari ibumu, berarti itu benar," jawab Sakra.Pandya cukup terkejut mendengar fakta itu. Bahkan, selama ini ibunya dihujat dengan sebutan rakyat jelata. Hanya karena beliau anak haram.Namun, ternyata leluhur ibunya adalah sang pendekar legenda. Dan, Pandya adalah penerus kekuatannya itu? Sepertinya, ada banyak hal yang perlu diselediki."Hei, Pandya!" teriak Sakra."Sssttttt...!" Pandya menyuruh Sakra diam dengan isyarat jari yang didekatkan ke mulutnya. "Kenapa kau teriak?" tanya Pandya panik, "Bagaimana jika orang lain juga mendengarnya?""Tidak akan ada yang mendengarku," jawab Sakra, "Hanya pemilikku yang dapat mendengarnya. Bahkan, kau tidak perlu berbicara secara langsung. Cukup pikirkan saja apa yang kau ingin katak
Pandya terlihat tampak tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Karena, saat ini apa yang diucapkan terlihat dengan matanya.Semua seperti terpindai dengan mata, dan memperlihatkan dimana saja letak titik aliran darah dan titik akupuntur itu berada dengan tulisan yang sangat jelas.Awalnya, Pandya ragu dan mencoba untuk mengusap matanya. Namun, setelah itupun dia tetap dapat melihat tulisan-tulisan itu dengan sangat jelas."Ini bukannya curang?" tanya Pandya skeptis, "Aku tidak hanya menghapalnya, tapi juga bisa mengamatinya," ucap Pandya sambil tertawa sarkas.'Jangan cepat senang, Pandya!' Sakra mengingatkan, 'Kamu masih belum tahu kekuatan itu sepenuhnya,' ucap Sakra mengingatkan.Pandya menjadi semakin tertarik dengan kemampuan yang belum diketahuinya itu. Padahal, kemampuan menyerap ilmu sudah sangat luar biasa.'Memang apa yang belum aku ketahui?' Pandya kembali antusias, 'Apakah kekuatan ini bisa jauh lebih hebat dari sekarang?''Tentu saja! Semua kekuatan yang aku berikan, ha
Di dalam Padepokan Nagendra, terdapat sejumlah ajaran bela diri yang sangat menjunjung tinggi ilmu bertarung serta Padepokan Nagendra itu sendiri. Lalu ada enam ajaran yang menjadi dasar Padepokan Nagendra. Ada Ajaran Pedang, Ajaran Api, Ajaran Ramuan, Ajaran Sihir, Ajaran Suara dan Ajaran Pengintai. Pemimpin Padepokan Nagendra menyambut banyak gadis perawan dari enam ajaran tersebut. Dan terjalinlah kesepakatan untuk melahirkan keturunan. Keturunan pemimpin dari setiap ajaran, akan tumbuh di keluarga sang ibu dan memiliki hak menjadi calon pemimpin di setiap ajarannya. Nantinya, mereka akan masuk ke dalam akademi Padepokan Nagendra saat cukup umur. Akademi itu di buka setiap 10 tahun sekali, dan selalu di pimpin oleh para empu dari padepokan Nagendra. Tujuannya adalah untuk mempertandingkan para calon pendekar baru dari setiap ajaran, dan meningkatkan kemampuan bela diri hingga tahap akhir. Tidak hanya pemimpin dan calon pemimpin dari setiap ajaran yang boleh mengikuti akademi
Di dalam sanggar Ajaran Pedang. Tampak Pandya yang sedang berada di atas ranjang dengan mata yang terbuka.Matanya, menatap lurus ke langit-langit kamar sudah sejak semalam. Dari wajah Pandya tampak guratan wajah bingung seperti memikirkan sesuatu dan tidak menemukan jawabannya.Detik berikutnya, Pandya berdiri dan berniat membuka jendela dalam kamarnya itu."Karena terlalu banyak pikiran aku jadi tidak bisa tidur. Apakah ini masih terlalu pagi?" Pandya bangun dari ranjang.KREEK!Suara jendela yang di bukanya terdengar memecah kehehingan di kamar itu. Matahari yang masih bersembunyi hanya memperlihatkan semburat warna jingganya."Akhirnya hari ini tiba," ucap Pandya sambil menatap langit pagi. "Hari dimana aku akan masuk ke dalam Akademi Nagendra."Dari kejauhan, Pandya tanpa sengaja melihat sang Paman yang sedang pemanasan pagi."SYUUK!""CHWAAK!""PAATS!""BWAATS!" suara gerakan Akandra yang menembus udara terdengar menggema di lapangan sanggar Ajaran Pedang.Pandangan Pandya tidak
Ribuan aura berbentuk pedang itu langsung berjatuhan, dan menancap di tubuh semua pasukan beserta Tuan Huda. Tidak ada satu orangpun yang selamat dari pedang-pedang itu.Tuan Urdha yang melihat sang anak, merasa sangat bangga dengan kemampuan yang berhasil dicapainya. Dan dirinya menjadi paham, dengan alasan Pandya memintanya membuat perisai untuk dirinya beserta anak-anak dan para istrinya.Dan bertepatan saat Pandya mengeluarkan jurus itu, para saudaranya telah sadarkan diri setelah dibuat tidak sadarkan diri oleh sang ayah. Dan saat mereka melihat apa yang dilakukan oleh Pandya, mereka semua terdiam takjub dengan apa yang terlihat di depan mata.Tibra pun dalam hati akhirnya mengakui kekuatan Pandya dan kekalahannya. Seberapa keras dirinya berlatih selama ini, dan seberapa besar tuntutan yang harus diembannya, tidak membuat kekuatannya bisa bersaing dengan Pandya.Tibra beserta keempat saudara Pandya yang lain, hanya korban dari keegoisan dan keserakahan para orang-orang tua di seki
Setelah berteriak dengan lantang, Tuan Huda semakin menggencarkan serangannya. Dia bahkan sudah merencanakan serangan, dengan bekerja sama dengan para pasukannya untuk membuat sebuah pola sihir tanpa disadari oleh Pandya.Pandya terus terdorong walaupun tanpa terluka, mengingat jumlah orang yang menyerangnya secara bersamaan bukan hanya puluhan orang—tapi bahkan ratusan orang. Puluhan orang berterbangan setelah satu serangan yang Pandya lakukan, namun puluhan lainnya ganti menyerangnya lagi. Dan itu terus berlanjut, karena sejak awal Tuan Huda merencanakan penyerangan saat Pandya sudah dalam keadaan kelelahan.Apalagi, saat ini tidak ada satu orang pun yang menolong Pandya. Sebenarnya Tuan Urdha yang masih ada di tempat itu berencana untuk keluar dari perisai yang dibuatnya, namun pikirannya itu langsung dihentikan oleh Pandya.‘Aku masih merasa aneh dengan keadaan ini!’ ucap Sakra dalam pikiran Pandya.‘Bukankah dengan ini kita jadi lebih bisa menyatu?!’ sahut Pandya dengan seringa
SRIIING!Sebuah sihir kutukan yang ditujukan pada Pandya, berhasil ditangkis dengan perisai sihir yang dibuat oleh Sakra. Pandya yang melihat itu cukup terkejut, karena sejak tadi dirinya tidak melihat Sakra sama sekali dan tiba-tiba saja muncul dihadapannya.‘Sakra! Darimana saja kau?!’ tanya Pandya bersemangat dalam hati.‘Entahlah, sesuatu terjadi padaku. Tapi, aku sama sekali tidak ingat apa yang terjadi!’ sahut Sakra dengan suara lirih.Pandya menatap pedang Sakra sekilas, sebelum dirinya kembali disibukkan dengan serangan-serangan yang semakin menjadi. Para pendekar, tetua dan bahkan pemimpin dari lima Ajaran menyerbu mereka secara bersamaan.WHUUUUSH!ZHIIIING!BLAAAAR!Pandya dan seluruh pengikutnya semakin terdorong, walaupun Tuan Agha sudah membantu sebagai perisai utama. Namun, dengan kekuatan dan jumlah yang dimiliki musuh jauh lebih banyak dibandingkan jumlah pengikut yang Tuan Urdha dan Pandya miliki. Belum lagi aliansi yang dimiliki saudara-saudaranya yang sudah memilik
“Apa maksud, Pemimpin?!” tanya Tibra terkejut dengan ucapan Tuan Urdha.“Kau sama sekali tidak memperdulikan aku, tapi kau bersikap seolah ingin melindungiku! Apa kau pikir karena aku sudah tua jadi bisa kau bodohi?!” teriak Tuan Urdha yang terlihat kehabisan kesabarannya.Semua terdiam. Tidak ada yang berani menjawab, karena ruangan itu kini penuh sesak dengan tenaga dalam yang luar biasa besar yang dikeluarkan oleh Tuan Urdha. Namun, seperti ada isyarat khusus yang dimiliki oleh Tibra, para tetua yang berada di luar ruangan masuk secara bersamaan sambil menekan tenaga dalam yang besar itu.“Apa yang kalian lakukan?!” teriak Tuan Huda marah, sambil melototkan mata tajam ke arah para tetua.“Maafkan kami, Pemimpin! Tapi, kami setuju dengan ucapan Pangeran Tibra! Jika perkamen itu tersebar, maka akan sangat banyak pemberontakan yang akan terjadi!” jawab salah satu tetua dengan kemampuan yang cukup hebat diantara yang lainnya.“Bukankah pemberontakan ini kalian yang buat?! Aku tidak mel
“Mereka membuat kesepakatan berlainan dari yang aku ajukan. Tapi, mereka berjanji untuk memberikan balasan yang setimpal dari perkamen itu,” jawab Tuan Huda sambil was-was dengan reaksi yang akan diberikan oleh Pandya.“Jadi, maksudmu mereka saat ini mulai mencoba mengambil alih kepemimpinan secara paksa?!” Pandya mulai meninggikan suara, sambil menahan amarahnya.“Bukan hanya padepokan, sanggar Klan milikmu juga mereka datangi saat mereka tahu kau sedang tidak ada di tempat!” tambah Tuan Huda yang membuat Pandya langsung membuka sub ruang yang dibuatnya, dan berlari meninggalkan ruangan itu dengan tergesa.Setelah mendapatkan seluruh senjatanya termasuk pedang Sakra, Pandya langsung menggunakan jurus meringankan tubuh miliknya dan melesat meninggalkan Padepokan Janardana dalam sekejap.WHUUUSH!Sakra yang langsung tahu apa yang terjadi dari pikiran Pandya, ikut merasakan amarah yang tidak jauh berbeda. Begitu pula Akandra, yang sejak tadi masih menunggu mereka di luar gerbang Padepok
“Aku yakin kau akan menggunakan ini untuk membuat kesepakatan dengan para saudaraku. Apa aku salah?!” tanya Pandya dengan santai.Tuan Huda tidak langsung menjawab. Dia cukup terkejut, karena tidak mengira jika pemimpin Padepokan Nagendra memberitahukan aibnya sendiri kepada seseorang.“Hahaha…, ternyata kau cukup cerdik, Nak! Tapi, kalau kau mengetahuinya, apa kau memiliki tawaran yang lebih baik untukku?!” tanya Tuan Huda setelah kembali tertawa untuk menutupi rasa terkejutnya.Bukannya menjawab, Pandya kembali menggulung perkamen yang dibukanya tadi. Setelah memasukkan perkamen itu kembali ke balik jubahnya, dia mengeluarkan sebuah perkamen yang lain.“Sayangnya aku tidak memerlukan tawaran yang lebih baik, karena kau akan membantuku tanpa tawaran apapun!” jawab Pandya santai sambil memperlihatkan perkamen yang baru.Tuan Huda mengernyitkan dahinya, kemudian membaca isi perkamen yang baru saja dibuka oleh Pandya. Dan rasa terkejutnya semakin besar, saat melihat isi perkamen itu.“Ka
“Aaarrghhh! Kenapa kau memukulku Sakra!” teriak Pandya setelah mengerang cukup keras.PLAK! PLAK! PLAK!Bukannya menjawab, Sakra kembali memukuli Pandya namun dengan lebih pelan dibandingkan pukulan pertama. Sedangkan Akandra yang melihat itu, hanya tersenyum tipis dengan tatapan hangat.“Aku kira kau akan mati begitu saja! Kenapa kau mengabaikan retakan itu?!” teriak Sakra setelah puas memukuli Pandya.“Aku tidak akan mati semudah itu!” jawab Pandya sambil kembali menyeringai dengan memperlihatkan deretan giginya.“Kau tahu, tubuhmu sudah hampir meledak! Mungkin, jika terlambat sedikit lagi kau akan menjadi arang!” teriak Sakra yang kembali kesal karena jawaban Pandya yang begitu santaiPandya hanya terkekeh kecil, saat melihat reaksi Sakra yang seperti cacing kepanasan. Namun, tidak lama sudut matanya akhirnya menyadari kehadiran seseorang diantara mereka.Akandra yang menatap mereka sejak tadi, masih tersenyum penuh arti kearah Pandya yang akhirnya menyadari keberadaannya. Pandya
Akandra langsung menghampiri tubuh Pandya yang tergeletak, tanpa menyadari sebuah pedang sedang melayang di hadapannya. Sambil membangunkan sebagian tubuh Pandya dan menyandarkannya di bahunya, Akandra mencoba memeriksa tubuh Pandya dengan tenaga dalamnya.“Sebenarnya apa yang terjadi, Pandya?! Kenapa tenaga dalammu berantakan seperti ini?!” tanya Akandra tanpa berharap mendapat balasan.“Sepertinya, itu karena efek tenaga dari Batu Ratnaraj yang disegel dalam tubuhnya retak!” sahut Sakra yang membuat Akandra terkejut, dan tanpa sadar menarik tubuh Pandya menjauh.“Ba–bagaimana pe–pedang bisa berbicara?!” teriak Akandra terbata dengan suara tercekat.Akandra berusaha untuk meyakinkan diri jika pendengarannya tadi tidaklah salah, dengan mengorek telinganya. Dirinya juga mengucek matanya, untuk memastikan apa yang dilihatnya bukan hanya halusinasinya saja.“Akulah yang mengirimkan pola sihir pelacak itu padamu!” ucap Sakra kesal karena melihat reaksi Akandra yang seperti melihat hantu.
Sakra mencoba memasukkan energinya untuk membantu Pandya, namun sayangnya semua usahanya tidak membuahkan hasil. Pandya benar-benar sudah tidak sadarkan diri, dengan suhu tubuh yang semakin panas.PLAK! PLAK!Pandya mencoba menampar pipi Pandya dengan badan pedangnya, sambil memanggil-manggil Pandya dengan suara lantang. Namun, Pandya sama sekali tidak memberikan respon.“Apa yang harus aku lakukan?! Bahkan, tidak ada yang mengetahui posisi kami saat ini?” ucap Sakra pada diri sendiri, karena panik dengan kondisi Pandya yang semakin memburuk.ZHIIING!Sakra mencoba memasukkan energinya kembali, sembari mencari penyebab utama kondisi Pandya seperti itu. Dan saat energinya mencapai pusat tubuh Pandya, Sakra menemukan celah di dalam energi Batu Ratnaraj yang di segel sebelumnya.‘Mungkinkah retakan itu muncul saat Pandya tidak sadarkan diri dan muncul cahaya pada tubuhnya?!” pikir Sakra sambil memikirkan cara agar bisa menyelamatkan Pandya.Saat dirinya hendak kembali memukuli Pandya agar