Share

Eps 2 : Kebangkitan Yuan

“Yuan, aku mohon bangunlah!”

Remaja laki-laki itu samar-samar mendengar suara Fengyin, gadis yang merupakan tunangannya. Yuan bisa merasakan tubuhnya yang kaku diguncangkan, tapi dirinya tidak dapat memaksakan kesadarannya untuk pulih.

“Hanya kau yang kupunya sekarang, Yuan. Bangunlah .…” Permohonan gadis itu terdengar menyayat hati.

Namun, ada suara yang lebih keras dalam kepalanya, mengalahkan tangisan Fengyin.

[Yuan Qiancheng.]

“Siapa?”

[Amarahmu bisa kami rasakan dengan jelas. Keluargamu, rakyatmu, kerajaanmu telah musnah.]

Tiba-tiba Yuan merasakan kemarahannya makin membuncah.

[Apakah kau ingin membalas dendam?]

[Apakah kebencianmu cukup besar untuk membalas orang yang telah merenggut rumahmu?]

“Sampai mati, bahkan sekalipun aku telah mati, aku akan bangkit dari neraka dan menyeret mereka bersamaku dalam kesengsaraan abadi!”

[Bagus.]

[Bagus sekali ….]

“Aku ingin kekuatan. Aku ingin membayar kematian orang-orangku!”

[Kau akan kami bimbing. Amarahmu akan mengguncangkan dunia. Perang suci akan berkobar di bawah namamu. Kisah hidupmu akan terukir dari generasi ke generasi.]

[Mengamuklah. Biarkan emosimu meluap-luap. Bangkitkan amarahmu, sebarkan deritamu, buat dunia tunduk padamu.]

“Aku patuh pada perintahmu.”

[Bangkitlah, Yuan.]

[Bangkitlah, wahai Yang Terpilih.]

[Bangkitlah dari kematianmu, wahai Saniyala!]

Tiba-tiba Yuan membuka mata, memancing suara terkesiap dari orang-orang yang kini tengah mengelilinginya.  

Mereka semua melihat mata Yuan menyala kehijauan. Ada sesuatu yang berbeda dengan dirinya saat ini. 

“Yuan! Syukurlah kau sudah sadar.” Fengyin sontak memeluk sang kekasih dengan isak bahagia. 

Namun, di luar dugaan, Yuan malah mencekik gadis itu di leher sekuat tenaga. Tatapan matanya membara penuh amarah seakan bisa membunuh siapa pun yang berada di hadapan. 

“Yuan… apa yang kau lakukan–akh!”

Wajah manis gadis itu berubah biru kekurangan oksigen akibat cekatan tangan yang begitu kuat di leher. Air mata sukacita langsung berubah menjadi air mata kesakitan.

“Ini aku Fengyin–kau… menyakitiku–Yuan.”

Mendengar rintihan kesakitan Fengyin, kesadaran Yuan tiba-tiba kembali. Remaja itu terkejut mendapati apa yang tengah ia lakukan. Segera, Yuan melepaskan cengkeramannya.

Gadis itu terjatuh ke tanah terbatuk-batuk, memenuhi paru-parunya dengan udara sebanyak mungkin begitu terlepas dari tangan Yuan.

“Astaga, Fengyin. Maaf, aku tidak tahu apa yang–”

Sebilah pisau hitam tajam tiba-tiba terarah kepada Yuan. Seorang pria kekar dengan kulit agak kemerahan menghunuskan pisau dengan posisi siaga. 

Tubuh Yuan langsung menegang.

“Kau.” Samar-samar ia mengingat sesaat sebelum ia kehilangan kesadaran. “Siapa kau?”

Lawan bicaranya mengamati Yuan selama beberapa saat sebelum akhirnya menurunkan pisau.

“Namaku Hongli Huanran. Selamat datang di kediaman Suku Ner’iatu.”

Yuan mengernyit, kemudian mengedarkan pandangan ke sekeliling. Banyak kristal berserakan di mana-mana. Dan Yuan terduduk di atas batu yang paling besar di antara semuanya.

Di sekelilingnya, ada Fengyin dan beberapa manusia dengan kulit kemerahan, seperti Hongli.

“Di mana sebenarnya tempat ini?” ucap Yuan. “Dan kenapa aku bisa ada di sini?”

“Kau nyaris mati,” tandas Hongli. “Tapi kami membangkitkanmu kembali.”

Yuan mengernyit. “Apa? Bagaimana?”

“Aku tahu kau, Yuan Qiancheng,” ucap Hongli dengan tenang. “Putra di kerajaan Qingce. Ayahmu, Yinxen Qiancheng, adalah seorang raja kejam tanpa hati nurani.”

Tiba-tiba Yuan merasakan kemarahan dalam dadanya hingga tangannya mengepal.

“Jangan mengatakan hal buruk tentang ayahku atau kupotong lidahmu!”

Hongli terkekeh pelan, tampak terhibur. “Aku hanya mengatakan kenyataan. Dan setidaknya, kau seharusnya berterima kasih karena aku sudah menyelamatkan nyawamu.”

Mereka beradu pandang. Tatapan Yuan masih tajam ke arah Hongli, tidak mengatakan apa pun.

Tiba-tiba bulu kuduk Hongli berdiri tanpa sebab. Sepintas, ada ketakutan tersirat dalam ekspresinya.

“Hongli!” Baik Yuan maupun Hongli menoleh ke arah suara itu. Tak lama, muncul seorang pria pendek berotot membuka pintu ruangan menginterupsi adegan intens mereka berdua. “Kau diminta untuk menghadap Bunda Ketua sekarang.”

Mata hijau Yuan melebar sesaat.

Ada senar.

Yuan melihat ada senar-senar aneh yang keluar dari tubuh Hongli, Fengyin, dan pria pendek di ujung pintu. Juga manusia-manusia lain yang ada di sana, membuat pandangan Yuan terganggu,

Namun, meski sudah beberapa kali dia coba menggapai tali-tali bening nyaris transparan di hadapannya, ia tetap tak bisa. 

Seakan benda itu tidak nyata.

“Apa ini?” gumam Yuan, merasa asing dan aneh.

“Yuan, kau tidak apa-apa?” tanya Fengyin. Gadis itu terdengar khawatir melihat kekasihnya bertingkah aneh semenjak bangun dari pingsannya.

Namun, Yuan justru bertanya balik, “Fengyin, apakah kau melihat senar-senar ini?” 

“Senar apa?”

Kening Yuan mengernyit. “Tidak ya?” 

Tampaknya hanya Yuan yang bisa melihatnya.

“Aku khawatir padamu,” ucap Fengyin sembari menatap wajah Yuan. “Kau yakin kau baik-baik saja? Matamu juga berubah hijau.”

Yuan balas menatap tunangannya. Namun, anehnya, ia bisa merasakan kalau Fengyin sedang berbohong padanya. Bukan rasa khawatir yang sedang gadis itu rasakan. Setidaknya, bukan hanya perasaan itu saja.

“Kau takut,” ucap Yuan. Sebuah pernyataan yang membuat Fengyin terkejut. Tunangannya tersebut tidak pernah sepeka ini. “Kau memang khawatir, tapi bukan hanya pada kondisiku, tapi karena apa yang tadi aku lakukan padamu.”

Fengyin menunduk. Merasa bersalah. “Ma-maaf, Yuan. Aku masih kaget kau tiba-tiba mencekikku seperti tadi,” kata gadis itu. “Untuk sesaat aku mengira kau benar-benar akan membunuhku.”

Yuan mengalihkan pandangannya dan mencoba menggerakkan tubuhnya kali ini.

Akan tetapi ia tidak merasakan sakit.

Bahkan luka sayatan pedang yang seharusnya ada di punggung Yuan kini sudah tidak ada.

“Apa yang sebenarnya terjadi padaku?” gumam Yuan. “Tubuhku seperti tidak pernah terluka. Namun, emosiku seperti meluap-luap.”

Tiba-tiba ia baru menyadari sebuah batu kristal warna hijau tengah menggantung di lehernya.

“Dan apa ini?” Ia menggenggam batu tersebut sejenak, sebelum Fengyin bicara.

“Saat aku sadar, kita sudah di sini, Yuan,” terang Fengyin. “Aku sendiri kurang tahu, tapi memang benar yang dikatakan pria itu. Jika bukan karena bantuan pria tadi, kita berdua sudah mati sekarang.”

Yuan tersenyum sinis. “Tapi aku tetap ingin memotong lidahnya karena sudah berkata buruk tentang ayahku.”

“Yuan!” Fengyin terdengar tidak percaya. Tunangannya ini memang bersikap aneh.

Yuan menggeleng. “Pasti ada maksud lain kenapa mereka menolong kita,” tandasnya, membuat Fengyin terdiam sejenak. 

“Mereka tadi sempat bilang kalau kau adalah seseorang yang telah lama mereka tunggu-tunggu kedatangannya.”

“Maksudnya?” Yuan mengernyit. Lalu tiba-tiba ia teringat cerita dari orang tuanya tentang suku kanibal yang katanya tinggal di bawah tanah. Sang ayah masih saja mencoba mencari keberadaan suku itu untuk membasmi mereka. “Apa … jangan-jangan–”

Yuan mengedarkan pandangannya ke langit-langit.

Mereka memang tampaknya sedang berada di bawah tanah.

“Sial!”

Yuan langsung bangkit berdiri dan menggenggam tangan Fengyin, berniat kabur dari sana.

Namun, mereka segera dikepung oleh manusia-manusia berkulit kemerahan yang ada di sana.

“Minggir!” seru Yuan.

Akan tetapi, dalam sekejap mereka mencengkeram lengan Yuan dan Fengyin, lalu membawa mereka mengikuti pria kekar yang menyebut dirinya Hongli serta pria pendek yang baru saja datang.

“Mau kalian bawa ke mana kami!?” ucap Yuan, berusaha menarik diri.

“Tenanglah, Yuan Qiancheng.” Hongli berucap. “Sebagai utusan surga, kau harus menghadap pemimpin kami.”

Yuan mengeryit.

Apa maksudnya … utusan surga?

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Enalus
terima kasih dukungan nya :)
goodnovel comment avatar
Sabam Silalahi
mantap bah
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status