Home / Fantasi / Kebangkitan Pejuang Api / 1. Hanya Anak Biasa

Share

Kebangkitan Pejuang Api
Kebangkitan Pejuang Api
Author: Belarvcn

1. Hanya Anak Biasa

Author: Belarvcn
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Suara terompet dan parade memenuhi seisi kota hari ini, padahal masih dua pekan sebelum pertunangan Sang Pangeran. Dengan malas kubuka mata dan kupaksakan tubuhku untuk bangun. Setelah mengumpulkan nyawa sesaat, aku bergegas mandi lalu menyiapkan sikat, lap kain, serta semir sepatuku ke dalam kotak tua yang kugunakan untuk berkeliling mencari pelanggan.

Diriku masih tak bisa lepas dari bayang-bayang orang tuaku. Melihat kotak semir ini saja mampu mengingatkanku pada memori bersama mereka. Memori-memori hangat, seperti saat kami bertiga menjadi tim yang baik dalam urusan membuat alas kaki yang apik. Ayah sangat rapi dan teliti dalam mengerjakan sepatu-sepatunya, aku hanya membantu sedikit dengan memberi semir dan mengelapnya. Sedangkan ibu, ia yang menjadi bos kami yang baik, yang memberi semangat dan sepiring biskuit buatannya yang lezat.

Sayangnya, semakin kuingat, semakin sesak pula dada ini. Aku masih lari, belum bisa menerima semuanya.

Karena itu, aku berakhir di sini. Derasnya suara gemericik air memberi kesan tersendiri untukku. Menenangkan. Sering kusempatkan waktu di sela pekerjaan untuk mampir sejenak ke sungai kecil ini. Letaknya sukar untuk dijamah, sangat cocok untuk tempat menyendiri. Nyaman, keteduhannya sampai hingga hati dan pikiranku.

Akan tetapi, ada sesuatu yang aneh. Rasanya seperti ada mata yang mengawasiku dari kejauhan. Aku segera memutar kepala, mencoba mencari siapa yang mungkin sedang memperhatikanku. Namun, hanya semak-semak yang tergerak oleh hembusan angin dan pohon-pohon tinggi yang menyambutku.

Aku mencoba untuk tidak memperdulikan ini. Berusaha fokus menikmati lantunan arus di tepi sungai. Hembusan angin tiba-tiba berhenti menyapaku. Suara kicauan burung juga tidak lagi terdengar dengan tiba-tiba. Sunyi. Perasaanku tidak enak, ini seperti ketenangan sebelum sebuah bencana besar.

“Akhirnya aku menemukanmu, Gio”

Tunggu, suara siapa itu? Seperti ada yang memanggilku. Kutolehkan kepalaku untuk yang kedua kalinya. Namun, lagi-lagi nihil. Kali ini aku hanya mendapati seekor burung hantu yang bertengger di pohon tak jauh dari aku duduk.

Kuperhatikan dengan seksama, tatapannya seperti menghunus ke arahku. Sekali lagi aku dibuat bingung, mengapa ada burung hantu di pagi hari?

aku memilih bangkit dan beranjak pergi. Setiap langkahku terasa diikuti bayangan tak terlihat yang tampak mengikuti setiap gerakanku. Saat melewati gugusan pohon rimbun, aku memilih bersembunyi di baliknya, berusaha menajamkan telinga. Setelah itu, terdengar lirih suara langkah kaki. Benar, ternyata aku memang diikuti.

Dengan perasaan cemas, kuambil apapun di sekitarku untuk menjadi alat membela diri, berjaga-jaga jika yang mengikutiku adalah preman jalanan. Suara langkah kaki itu semakin dekat, aku menegakkan punggungku bersiap untuk menyambut siapa yang mengikutiku daritadi.

“AAAA.” Teriakan terkejut berasal dari pria di hadapanku setelah melihat kemunculanku yang tiba-tiba sembari mengacungkan sebilah dahan.

Bisa kukenali dia, tidak, semua orang di kota ini mengenalinya pula. Dengan seragam merah khasnya, dan kumis di sudut bibirnya, juga perawakannya yang tegas membuatnya ditakuti oleh warga. Mayor Aron, pimpinan militer Kerajaan Cosvan. Orang ini pula yang membantuku dalam penyelidikan kasus orang tuaku.

Sebenarnya aku berutang banyak padanya. Sebab, atas kebaikannya, aku bisa mengetahui sedikit tentang kejadian naas yang menimpa mereka. Dia yang membantu membujuk hakim agar mau melakukan pencarian kedua orang tuaku. Meskipun hasilnya tidak seperti yang diharapkan, aku tetap bersyukur atas kebaikannya.

“Mayor Aron, apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku padanya.

“Kau mengagetkanku, Gio. Aku hanya berpatroli di dekat hutan ini. Kau sendiri mengapa ada di sini?” telisik Mayor Aron.

“Aku hanya bersantai di tepi sungai, sebelum aku merasakan ada orang lain di sini, dan ternyata memang benar,” jawabku jujur padanya.

“Sebaiknya kita keluar dari sini. Pertunangan Pangeran Nicholas sebentar lagi, banyak tamu dari kerajaan lain, sayangnya banyak pula pencurian yang terjadi akhir-akhir ini. Jangan percaya dengan orang asing, Gio.” Perbincangan santai terjalin diantara kami sembari keluar menuju keramaian.

Aku termasuk orang yang mengagumi pria ini juga, dulunya aku bermimpi untuk menjadi tentara sama sepertinya, tapi itu hanya menjadi mimpiku untuk selamanya. Diriku yang sekarang harus bisa bertahan dengan menjadi penyemir sepatu, seperti yang seharusnya kulakukan saat membantu ayah.

***

Sinar hangat matahari menerpa wajahku dengan lembut, berbanding terbalik dengan keadaanku yang sedikit berantakan. Bajuku mulai lusuh, banyak coretan hitam di sekujur tubuhku, bau keringat bercampur matahari juga menambah lengkap penampilanku. Mungkin, bagi sebagian orang aku dianggap menjijikan, tapi bagiku itu adalah tanda bahwa aku bekerja dengan maksimal.

Bisa dibilang hari ini adalah hari baikku, banyak warga asing di penjuru negeri datang kemari, banyak pula pelangganku hari ini. Sudah terhitung empat orang mengandalkan jasaku menyemir sepatu, padahal belum dua jam aku berkeliling.

Kusandarkan punggungku sebentar di pinggir kolam taman untuk beristirahat sejenak. Segan diriku untuk duduk di bangku yang disediakan, karena banyaknya kelompok bangsawan di taman ini. Kutatap kepingan koin di tasku dengan bahagia, aku bisa membelikan beberapa makanan untuk Bibi Mia dan Evan saat pulang nanti.

Akan tetapi, perhatianku langsung teralih akan kehadiran kereta kuda yang sangat mewah berdiri tepat di hadapanku. Kereta berwarna hitam dengan goresan warna emas di beberapa sisinya itu menampakkan seorang pria tua di dalamnya dengan penjaga menyeramkan di kanan kiri kereta. Salah satu dari mereka memerintahkan untuk melayani si pria tua.

Tidak bisa kutebak dari kerajaan mana asalnya rombongan ini. Aura mereka sangat menyeramkan, membuatku bergidik ngeri. Jangankan untuk bertanya, menjawab tawarannya saja aku hanya bisa mengangguk. Meskipun begitu, aku tetap harus bekerja dengan profesional.

Kuambil sikat dan lap kain dari dalam kotak, bersiap membersihkan sepatu untuk pelanggan kali ini. Dengan hati-hati kubersihkan noda dan kotoran yang menempel pada sepatu itu. Kuseka setiap sudut dan lipatan dengan teliti, kini saatnya menyemir sepatu. Kuambil pasta sepatu dari dalam kotak, lalu mengoleskan dengan lembut di beberapa bagian sepatu yang ada di hadapanku. Kusikat dengan gerakan yang lembut dan hati-hati, memberikan kilau yang sempurna pada permukaan sepatu.

“Hey, Nak, namamu Giovanni Colton bukan?” kata Sang Empunya sepatu tiba-tiba. Aku sedikit terkejut, pelanggan yang sedari tadi diam dengan cerutu yang terselip di bibirnya itu tampak seperti pedagang kaya lengkap dengan jas mewah yang membalut tubuhnya. Bagaimana ia tahu namaku?

“I-iya, Paman.” Gawat, kenapa suaraku bergetar saat menjawabnya?

“Apa kau tahu tentang ‘Orfeo ed Euridice’ karya Christoph Willibald?” tanya pria tua.

Sesungguhnya aku tahu kisah itu, kisah yang amat romantis sekaligus tragis, tetapi aku hanya membisu, mengamati maksud dan tujuan pria mencurigakan ini. Dengan ekspresi datar, ia tetap membolak-balik surat kabar di tangannya.

“Kisah tentang penyelamatan Euridice dari alam baka oleh pasangannya, Orfeo. Atas izin Dewa, Orfeo, diberi kesempatan untuk mengambil jiwa istrinya di alam kematian. Namun, akibat dari sifat ceroboh dan kurang sabar dari Orfeo, ia gagal mendapatkan kembali jiwa Euridice yang akhirnya menghilang untuk selamanya.” Sepertinya ia telah selesai dengan sesi dongengnya.

Dengan telaten, pria tua itu melipat kembali surat kabarnya. “Dalam kisah ini, aku yang akan berperan menjadi Dewa, menuntunmu ke alam kematian untuk menyelamatkan Gabriel dan Eva, serta akan kupastikan kau sebagai pemeran Orfeo, tidak melakukan hal bodoh yang berujung pada kesedihan abadi,” pungkas pria itu kepadaku.

Mataku membola mendengar akhir ceritanya, bagaimana bisa dia mengetahui nama orang tuaku? Bahkan ia mengetahui mereka telah meninggal? Apa-apaan ini? Hatiku dibuat bergejolak, pikiranku mendadak pening. Apa maksudnya menjadikan hidupku layaknya drama tragis? Aku tidak tahu harus menimpalinya apa.

“Hey, Nak, ikutlah denganku, kau akan bisa bertemu dengan Gabriel dan Eva,” lanjut pria itu mengajakku dengan senyum menyeramkan.

“Tidak, Paman, maaf aku harus segera menyelesaikan pekerjaanku,” jawabku sambil bergetar. Aku harus segera menyelesaikan satu sepatu ini dan keluar dari situasi gila ini.

“Ayolah, Nak, mereka berdua belum meninggal, kau hanya perlu menyelamatkan mereka. Jadi, ayo ikutlah denganku!” paksa pria tua itu. Tidak, ini tidak benar, sudah tiga tahun mereka meninggalkanku seorang diri, tidak mungkin mereka masih hidup tanpa mengabariku.

“Akkhh, lepaskan tanganku, Paman!” Sungguh gawat, apa aku akan diculik? Tak kehilangan akal, kugigit tangan yang menggenggam pergelanganku. Yang kemudian terjadi adalah diriku terhempas ke belakang. Para pria besar penjaga itu sedang sibuk menolong si pria tua.

“Tcihh, dasar anak kurang ajar, aku kemari untuk membantumu!” bentak pria menyeramkan itu.

Aku memandang dengan penuh rasa takut ke arah pria yang sedang memegangi tangannya kesakitan. Segera kuberlari menjauhi tempat itu.

Mimpi apa aku semalam, bisa-bisanya bertemu dengan pelanggan menyeramkan seperti dia.

Sepertinya ia adalah rentenir yang mengincarku untuk melunasi utang ayah dan ibu. Tapi, aku tidak ingat mereka pernah berutang ke rentenir gila. Mungkin, orang tuaku meninggalkan utang yang begitu banyak, hingga pria tadi datang mencariku setelah tiga tahun ini.

Bualan tadi bisa jadi modus baru, aku curiga jika aku ikut dengannya, aku akan berakhir dijual menjadi budak. Tidak mau. Takkan kubiarkan itu terjadi. Aku berlari sekencang mungkin, semua peralatan menyemirku kutinggalkan begitu saja, tak apa yang penting aku bisa kabur terlebih dahulu.

Related chapters

  • Kebangkitan Pejuang Api   2. Hutan Terlarang

    “HEI NAK, JANGAN KABUR!” Tidak kuhiraukan teriakan pria tua itu yang masih terdengar di belakangku. Gawat, semua orang di jalanan menatapku dengan pandangan yang tidak bisa kutafsirkan. Namun, yang pasti itu bukanlah pandangan baik, tebakku mereka mengira aku adalah pencuri yang tertangkap basah, sehingga pria kaya mengejarku tanpa henti. Namun, tidak kupedulikan semua pikiran mereka, aku hanya peduli dengan keselamatanku kali ini.“Gawat, gawat, gawat, bagaimana ini? Tidak mungkin aku kembali pulang, mereka akan mengetahui tempat tinggalku,” keluhku sambil berlari.Tinggal dua persimpangan lagi sebelum toko Bibi Mia dan rumahku. Tidak mungkin aku membiarkan Bibi Mia tahu keadaanku saat ini, sudah cukup aku menyusahkannya. Namun, kemana harus kulangkahkan kaki ini? “AAACKKK, kurang ajar!!” teriakku emosi. Dengan segenap amarah, aku berbelok entah kemana menjauhi tempat tinggalku. Bisa Kudengar suara kereta kuda itu terus mengejar. Aku tetap berlari menembus padatnya lalu lalang manus

  • Kebangkitan Pejuang Api   3. Siapa Mereka

    Dengan napas terengah aku terus berlari menerobos masuk ke kerumunan orang yang ada di jalanan kota. Langit biru yang begitu cerah di atas kepalaku sangat kontras dengan bayangan makhluk mengerikan yang ada di belakangku. Aku berusaha membaur di tengah lautan manusia, mataku terus memantau jalanan di belakangku, mencari tanda-tanda kehadiran naga itu.Tunggu sebentar.... Jika naga itu mengejarku, tidak mungkin kerumunan ini masih bisa tenang menikmati hiburan di jalanan. Jika mereka melihat seekor naga, suasana tentu akan berubah. Suasana yang meriah pasti akan menjadi mencekam dengan kekacauan yang meluas. Sebaliknya, acara persiapan pertunangan ini masih berjalan dengan lancar.Kuhentikan kakiku yang mulai pegal setelah berlarian kesana-kemari, untuk sementara aku bisa menarik napas lega, sepertinya naga itu tidak sampai mengejarku hingga ke kota. Aku tersenyum, merasa beruntung bisa kabur dari naga sekaligus keluar dari hutan terlarang itu.Kejadian hari ini sudah cukup sial bagiku

  • Kebangkitan Pejuang Api   4. Kalung Berharga

    “Selain menjadi penyemir sepatu, apakah kau juga seorang atlet lari, Gio?” gerutu Burung Hantu itu sambil beralih terbang mendekati kami. Sontak aku dan Evan berteriak dan merapatkan tubuh kami ke tembok, berusaha menjaga jarak dengan makhluk aneh ini.“Hey hey berhentilah berteriak, apakah kau tidak mau mencoba mendengarkanku dulu?” protesnya, “aku sudah lelah mengejarmu, berilah aku kesempatan untuk bicara!” bentaknya kesal. Aku dan Evan masih ketakutan, bisa kulihat tubuh Evan bergetar hebat. Setelah meneguk ludahku, aku mulai memberanikan diri untuk mendekat ke arah burung hantu.“Apa....apa itu pelangganmu Gio? Bagaimana dia bisa bicara? Apakah dia anggota kerajaan?” Evan bertanya sembari jemarinya mencengkram tanganku dengan kuat. Dia ketakutan. Tidak bisa dipungkiri, aku juga merasakan hal yang sama.Kugelengkan pelan kepalaku sebagai jawaban untuknya. Aku tidak tau siapa makhluk aneh ini sebenarnya. Ada kemungkinan ketiga sosok yang mengejarku ini bersekongkol, atau bisa jadi i

  • Kebangkitan Pejuang Api   5. Apa Aku Bermimpi?

    Selepas berjalan cukup lama, kami bertiga telah sampai di depan hutan terlarang. Suasana kali ini berbeda dari sebelumnya. Tadinya diriku diselimuti ketakutan saat memasuki hutan ini, sekarang yang kurasakan hanyalah rasa penasaran. Penasaran tentang siapa burung hantu ini, Heka, keberadaan orang tuaku hingga kaitan diriku dengan Negeri Eldoria. “Apa kau yakin, Evan, ingin ikut bersamaku? Bagaimana dengan ibumu?” tanyaku khawatir. “Sudahlah, aku sudah berjanji kepadamu akan menemanimu hingga kasus ini selesai. Tidakkah kau penasaran? Selama ini tebakkanku benar, mereka belum meninggal. Akhirnya setelah tiga tahun ini, muncul setitik cahaya yang bisa menuntunmu ke orang tuamu,” jawab Evan antusias. “Aku tidak tahu harus apa, Evan, satu sisi aku bahagia dan penasaran, tapi aku juga takut untuk terlalu berharap,” ungkapku jujur kepadanya. Kurasakan tepukan pelan di pundakku. Aku mengerti pesannya itu, Aku memang bingung, tapi aku tahu, aku tidak sendirian. “Tak kusangka, pemberian nam

  • Kebangkitan Pejuang Api   6. Dunia Ajaib

    “Hampir saja aku tertidur menunggumu di sini.” Kudengar suara Burung Hantu itu menggerutu.Begitu kubuka mataku, bisa kulihat Evan berlarian kesana-kemari, matanya berbinar penuh kagum, kuarahkan pandanganku ke arah Evan menatap tak berkedip. Satu pertanyaan yang langsung muncul di pikiranku yaitu, tempat apa ini? “Hei, lihatlah, Gio! Bintang di sini sungguh indah, bagaimana bisa ada begitu banyak warna? Mereka seperti melayang, apa ini bintang? Ataukah kunang-kunang?” ujar Evan dengan bersemangat.“Kurasa tidak keduanya,” timpalku kepada Gio. Benda aneh yang bertebangan ini terlalu besar untuk ukuran kunang-kunang, serta tempatnya yang terlalu rendah untuk ukuran bintang, jika ada kastil Kerajaan Cosvan, aku yakin bisa meraihnya dari puncak kastil. “Benar, mereka adalah peri yang menjaga hutan ini. Omong-omong, selamat datang di Eldoria,” lontar Burung Hantu, “lebih tepatnya, di Hutan Dendron, pohon di sini begitu besar sehingga menghalau cahaya matahari. Jadi, jangan heran jika ban

  • Kebangkitan Pejuang Api   7. Penyambutan Yang Mengejutkan

    Cahaya gemerlap memancar dari dinding-dinding gua menciptakan suasana yang begitu magis di sekitarku. Saat aku melangkah lebih dalam, aku kembali dibuat terpesona dengan formasi stalaktit dan stalagmit yang menjulang tinggi di dinding gua. Sibuk terpesona dengan apa yang ada dihadapanku, aku dibuat terkejut dengan tarikan kuat di lenganku. Kulihat Evan dengan wajah pucatnya mulai merengek.“Gio, ayo kita pulang saja! Lihatlah ini seperti rumah hantu,” pinta Evan sambil memohon.“Lihat baik-baik, Evan, juga dengarkan baik-baik! Begitu indah bukan? Gua ini sangat menakjubkan. Tetesan air dari stalaktit menciptakan melodi yang unik, sungguh menenangkan. Bagaimana bisa kau berpikir tempat ini menyeramkan?” tanyaku heran kepada Evan. “Dasar aneh! Jelas-jelas gua ini menyeramkan. Tidak seharusnya kita mengikuti Burung Hantu itu, bisa saja kita dilenyapkan di sini,” tutur Evan penuh antisipasi. Belum sempat aku menjawab Evan, anak itu kembali merengek, kali ini dengan suara bergetar dan waja

  • Kebangkitan Pejuang Api   8. Kebenaran

    Aku berbaring di atas gumpalan bunga kapas yang terasa sangat nyaman membelai punggungku. Evan sudah lebih dahulu masuk ke alam mimpinya. Ingin kuhabiskan waktu berbaring seperti ini selamanya. Kepalaku dibuat ingin meledak oleh dua orang yang secara tiba-tiba memaksa masuk ke hidupku, sekaligus kenyataan yang terasa menamparku hingga rasa nyerinya begitu nyata di tubuhku.Aku mulai mengerti perasaan Orfeo, rasa cintanya terhadap Euridice telah berhasil membuka gerbang kematian untuknya. Namun, iblis yang selalu menggoda manusia mebuat rasa egois tumbuh menggerogoti hati dan pikirannya, menggantikan rasa cinta yang telah memberinya kesempatan untuk menolong sang pujaan hati.Rasa cintaku terhadap orang tuaku diuji di sini. Apakah aku harus egois? Atau, apakah harus mengorbankan semua milikku untuk tujuan yang bahkan sangat kecil kemungkinannya? Baik, akan kujelaskan bagaimana aku berakhir dengan keadaan menyedihkan seperti ini.“Jadi, kau yang namanya, James?” Setelah melihat lebih sek

  • Kebangkitan Pejuang Api   9. Yang Harus Kulakukan

    Kiyo berjalan mendekat ke arahku dan Evan dengan semangkuk air. Aku sedikit kasihan mengingat Evan yang terus mengoloknya saat pertama kali bertemu, padahal ia adalah makhluk yang manis. Dengan tergesa kami berdua menegak habis air yang disuguhkan tadi, napas kami masih terengah-engah, tangan kami mulai kebas dan kaki kami terasa seperti jelly. Sudah dua jam kami berlatih bela diri, setelah Willow memerintahkan kami untuk bersiap memulai misi penyelamatan Negara Api. Sejak itu pula Willow memberikanku sebuah panah, lalu menyerahkan sebilah pedang kepada Evan. Kami berlatih tanpa henti dipandu oleh James. Pria paruh baya itu lebih layak disebut malaikat berhati iblis, dibalik wajahnya yang sangat ramah itu, sifatnya sungguh keji, aku sampai tidak sanggup lagi menggerakkan otot-ototku.“Mana tenagamu, Evan? Ayunkan pedangmu dengan benar, jika ini pertarungan sungguhan, aku tidak yakin kau bisa bertahan selama tiga menit,” ucap James penuh penekanan. Bisa kulihat keadaan Evan yang san

Latest chapter

  • Kebangkitan Pejuang Api   16. Masih Harus Berkorban

    Sorot gemerlap cahaya, hentakan kaki dari mereka yang menari, suara tawa yang menyelimuti dingin dan gelapnya Hutan Dendron. Setelah semua hal yang terjadi sudah tidak ada kekhawatiran yang menjeratku, aku bisa bebas berpesta sekarang. “Ini dia pahlawan kita, kemari dan bergabunglah, Gio!” ajak Evan yang sudah duduk di meja bersama yang lainnya. Teriakannya cukup kencang hingga aku bisa merasakan seluruh atensi sepenuhnya menuju ke arahku. Langkahku terhenti akibat banyaknya orang yang menghampiriku. Mereka memberiku berbagai macam hadiah, mengajakku menari, hingga menarikku ke meja mereka. Oh Tuhan, tolong aku. “Akhirnya kau sampai juga Tuan Populer,” ejek Evan. “Dengan wajah seperti itu mustahil dia tidak populer di kalangan wanita, benarkan, Willow?” Willow yang semula terlihat tidak tertarik dengan semua ini sontak terlihat panik. “Mengapa kau bertanya padaku?” jawab Willow kesal. Wajahnya memerah, lucu sekali. “Sudahlah, aku tidak melakukan apa-apa, jangan

  • Kebangkitan Pejuang Api   15. Dunia yang Indah

    Teriakan mengejutkan tadi langsung menyadarkanku akan situasi berbahaya yang menyambut. Belum sempat menoleh ke belakang, tubuhku sudah terhuyung, seseorang menimpaku, dari bawah sini aku tidak dapat mengenalinya, ia terlihat samar, tapi teriakannya sesudah itu membuatku langsung mengenalinya. Itu suara James.“Syukurlah kau sudah sadar, lihatlah semua, Gio, berhasil!” teriak pria tua itu. Kami berada di balik tubuh Atlas. Tubuhnya yang besar dan terbuat dari batu sangat sempurna untuk dijadikan benteng dadakan. Akan tetapi, percuma bila ada panah yang berjatuhan dari segala arah. Kami terkepung oleh puluhan Shapeshifter. Aku bisa melihat Evan, Willow, dan Kiyo bersembunyi tak jauh dari tempatku saat ini. Mereka tidak mengacungkan senjata untuk melawan, mereka hanya bersembunyi. Dengan hati-hati James menggiringku menuju tempat yang lain berkumpul.“Gio, kau tidak apa-apa?” Kekhawatiran tampak jelas di mata Evan, begitu pula yang lainnya. Aku hanya men

  • Kebangkitan Pejuang Api   14. HAI Gaia

    Aku berjalan melewati tubuh Atlas yang tak berdaya, di baliknya terlihat Kiyo yang memang sudah terkulai lemas di pangkuan Evan. Luka goresan kecil menghiasi tubuh Kiyo, sepertinya itu hanya luka akibat terlempar tadi, untung saja Atlas benar-benar tidak melakukan hal keji terhadap Kiyo, kelumpuhannya sepertinya diakibatkan oleh air dari sungai perak, berarti itu akan memakan 24 jam untuk Kiyo segera pulih. “Ayo bangunlah, peri jelek!! Kita tak ada waktu untuk bersantai, lagipula siapa yang mau menggendongmu, perjalanan kita masih panjang.” Meski cercaan tak henti-hentinya keluar dari mulut Evan, raut wajahnya tak bisa menyembunyikan kesedihan dan kepanikannya. Dalam keadaan seperti ini, tidak ada yang bisa menenangkan Evan selain hal yang diinginkannya terkabul. Masalahnya, kita tidak punya cukup waktu jika harus menunggu kepulihan Kiyo.Di sisi lain keheningan justru mengelilingi Willow, ia hanya menatap Kiyo sejenak sebelum beranjak pergi. Ekspresi itu, ekspresi datar yang terlih

  • Kebangkitan Pejuang Api   13. Atlas

    Desa ini dipenuh sorak sorai dan tawa riang penduduknya. Cahaya obor dan susunan kristal memancar di penjuru desa, menciptakan suasana hangat. Pesta penyambutan Willow ini sangat mendadak, tapi tetap saja meriah. Aku berusaha berbaur dengan yang lain, mencoba menyelaraskan langkah kaki dengan irama musik yang memenuhi udara. Makanan lezat tersaji di meja, minuman juga melimpah ruah layaknya sungai. Namun, beban berat rasanya masih menghantuiku. Dari bangku ini bisa kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru Desa Shapeshifter. Pesta ini seharusnya menjadi saat-saat gembira, tapi hatiku terasa terbebani oleh rancana gelap yang sedang kucoba sembunyikan di balik senyuman palsu ini. Bisa kulihat Willow sedang menari bersama kedua kakaknya, terlihat sangat bahagia. Bagaimana ia bisa sesantai ini sebelum mengirimkan bencana ke klannya sendiri. Apakah itu semua juga palsu seperti yang sedang kulakukan? Kurasakan tarikan kecil di belakang bajuku. Terlihat beberapa anak mani

  • Kebangkitan Pejuang Api   12. Para Shapeshifter

    Berhari-hari menghabiskan waktu di dalam gua-tidak, maksudku di cangkang seekor kura-kura raksasa, membuatku sedikit melupakan suasana magis di Hutan Dendron. Cabang-cabang pohon saling merangkul memperlihatkan hamparan kegelapan. Pepatah bilang, kekurangan akan selalu diiringi oleh kelebihan lain. Memang benar, sebab aku membuktikannya di sini. “Menurut kalian, mengapa beberapa hewan dan tumbuhan di sini bersinar?” Seluruh perhatian terpusat kepadaku. Willow terlihat berpkir, seperti menimang jawaban pertanyaanku.“Apa kau tidak melihat di sini tidak ada cahaya matahari? Pertanyaanmu sungguh aneh, Gio,” protes Evan kepadaku. Willow terlihat menahan gelakannya. Dasar Evan, kau membuatku seperti orang bodoh di hadapan seorang gadis.“Aku mengerti maksudmu, Gio.” Willow mulai membuka suara, “kalian tahu kan bahwa setiap wilayah di Eldoria ini memiliki roh yang harus di jaga?” Semua mengangguk memperhatikan, “tiap roh itu memiliki kekuatan yang menyeimbangkan wilayahnya. Seperti di sini,

  • Kebangkitan Pejuang Api   11. Ayo Mulai Bermain

    Setelah melalui malam yang cukup menguras emosi, aku tertidur lumayan lama. Aku terbangun dan melihat segala perlengkapan sudah dikemas oleh Willow dan Evan. Segera aku makan untuk mengisi tenaga sebelum berangkat, lalu bergabung dengan yang lainnya untuk membahas kembali rencana kami. Untuk bisa mengalahkan Heka, kami perlu mengumpulkan keempat roh magis dan harus bisa mengendalikannya. Tujuan kami yang pertama adalah mendapatkan roh tanah. Yang ikut dalam perjalanan ini hanya aku, Evan, Willow, dan Kiyo. James akan tinggal dan bertugas menjaga gua, sebab akan sangat berbahaya jika bangsa shapeshifter lain menemukan kami, mungkin perang saudara bisa terjadi. Kami berempat akan bergerak ke arah Timur hingga bertemu dengan sungai perak. Di hulu sungai itu terdapat gunung batu yang menjadi tempat roh tanah bersemayam. Namun, yang jadi masalah adalah sungai perak yang akan kita lewati itu sangat berbahaya, air yang mengalir di sepanjang sungai itu bisa menyebabkan siapa saja yang terke

  • Kebangkitan Pejuang Api   10. Keraguan di Setiap Pertaruhan

    Setelah berhari-hari menghabiskan waktu berlatih, sepertinya aku harus meminta James menceritakan kisah mengerikan itu setiap saat.Evan terlihat sangat lesu, aku jadi merasa bersalah menyeretnya ke dalam masalah yang bahkan tidak ada hubungannya dengan dirinya. Tidak sendirian, aku pun merasakan hal yang sama. Entah berapa lama aku habiskan waktu di gua ini untuk berlatih bertarung, melihat keluar pun percuma sebab hanya kegelapan yang akan kutemui. Diriku lelah, semangatku mulai terkikis, begitu pula harapan yang begitu bergejolak di hatiku. Aku tidak tahu apa yang akan kuhadapi kedepannya, tidak mungkin berlatih beberapa hari akan membuatku langsung menjadi ksatria hebat yang menyelamatkan seisi dunia. Dengan sisa-sisa anganku untuk bertemu ayah dan ibu kuteguhkan kembali hatiku, kuangkat kembali panah ini untuk berlatih. Aku bisa merasakan pergerakanku berkembang, sudah banyak objek yang kupanah dengan tepat, bahkan bisa membelah targetku.Akan tetapi, aku bisa melihat kekosongan

  • Kebangkitan Pejuang Api   9. Yang Harus Kulakukan

    Kiyo berjalan mendekat ke arahku dan Evan dengan semangkuk air. Aku sedikit kasihan mengingat Evan yang terus mengoloknya saat pertama kali bertemu, padahal ia adalah makhluk yang manis. Dengan tergesa kami berdua menegak habis air yang disuguhkan tadi, napas kami masih terengah-engah, tangan kami mulai kebas dan kaki kami terasa seperti jelly. Sudah dua jam kami berlatih bela diri, setelah Willow memerintahkan kami untuk bersiap memulai misi penyelamatan Negara Api. Sejak itu pula Willow memberikanku sebuah panah, lalu menyerahkan sebilah pedang kepada Evan. Kami berlatih tanpa henti dipandu oleh James. Pria paruh baya itu lebih layak disebut malaikat berhati iblis, dibalik wajahnya yang sangat ramah itu, sifatnya sungguh keji, aku sampai tidak sanggup lagi menggerakkan otot-ototku.“Mana tenagamu, Evan? Ayunkan pedangmu dengan benar, jika ini pertarungan sungguhan, aku tidak yakin kau bisa bertahan selama tiga menit,” ucap James penuh penekanan. Bisa kulihat keadaan Evan yang san

  • Kebangkitan Pejuang Api   8. Kebenaran

    Aku berbaring di atas gumpalan bunga kapas yang terasa sangat nyaman membelai punggungku. Evan sudah lebih dahulu masuk ke alam mimpinya. Ingin kuhabiskan waktu berbaring seperti ini selamanya. Kepalaku dibuat ingin meledak oleh dua orang yang secara tiba-tiba memaksa masuk ke hidupku, sekaligus kenyataan yang terasa menamparku hingga rasa nyerinya begitu nyata di tubuhku.Aku mulai mengerti perasaan Orfeo, rasa cintanya terhadap Euridice telah berhasil membuka gerbang kematian untuknya. Namun, iblis yang selalu menggoda manusia mebuat rasa egois tumbuh menggerogoti hati dan pikirannya, menggantikan rasa cinta yang telah memberinya kesempatan untuk menolong sang pujaan hati.Rasa cintaku terhadap orang tuaku diuji di sini. Apakah aku harus egois? Atau, apakah harus mengorbankan semua milikku untuk tujuan yang bahkan sangat kecil kemungkinannya? Baik, akan kujelaskan bagaimana aku berakhir dengan keadaan menyedihkan seperti ini.“Jadi, kau yang namanya, James?” Setelah melihat lebih sek

DMCA.com Protection Status