“HEI NAK, JANGAN KABUR!” Tidak kuhiraukan teriakan pria tua itu yang masih terdengar di belakangku.
Gawat, semua orang di jalanan menatapku dengan pandangan yang tidak bisa kutafsirkan. Namun, yang pasti itu bukanlah pandangan baik, tebakku mereka mengira aku adalah pencuri yang tertangkap basah, sehingga pria kaya mengejarku tanpa henti. Namun, tidak kupedulikan semua pikiran mereka, aku hanya peduli dengan keselamatanku kali ini.“Gawat, gawat, gawat, bagaimana ini? Tidak mungkin aku kembali pulang, mereka akan mengetahui tempat tinggalku,” keluhku sambil berlari.Tinggal dua persimpangan lagi sebelum toko Bibi Mia dan rumahku. Tidak mungkin aku membiarkan Bibi Mia tahu keadaanku saat ini, sudah cukup aku menyusahkannya. Namun, kemana harus kulangkahkan kaki ini?“AAACKKK, kurang ajar!!” teriakku emosi. Dengan segenap amarah, aku berbelok entah kemana menjauhi tempat tinggalku. Bisa Kudengar suara kereta kuda itu terus mengejar. Aku tetap berlari menembus padatnya lalu lalang manusia. Riuhnya jalanan hari ini menjadi penyelamatku, keberadaanku sulit terlihat di sini.Terlalu takut dan kalut, aku sampai tidak memperhatikan arahku berlari. Cukup naas bagiku, sebab aku berlari ke arah pinggiran kota dimana hutan terlarang berada.Hutan yang menyimpan begitu banyak misteri, hanya berisi pohon dan tumbuhan besar yang berbentuk aneh, hewan-hewan saja tidak ada yang berani mendekati hutan itu. Banyak rumor menyeramkan tentang hutan terlarang, mulai dari seekor naga, manusia kerdil berwajah tua, hingga keberadaan penyihir yang mendiami hutan itu. Legenda mengatakan, dahulu kala ada beberapa pemuda kota pernah berbondong ke hutan itu untuk menguak misteri tersebut, tapi sayangnya mereka tidak pernah kembali.Kudengar lagi teriakan pria tua itu di belakangku. Gawat kenapa ia masih mengejarku hingga sejauh ini? Apakah sebesar itu utang kedua orang tuaku, sampai dia tidak mau melepaskanku begitu saja?Dengan nekat kulangkahkan kaki menembus hutan terlarang. Dalam hati aku hanya berdoa akan keselamatanku, tetapi di sisi lain aku juga pasrah tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Bibi Mia, Evan, terima kasih sudah merawatku selama ini, aku terlalu banyak merepotkan kalian, jadi aku minta maaf jika belum sempat membalasnya. Ayah, ibu, aku rindu sekali dengan kalian, mungkin sebentar lagi kita akan bertemu lagi, banyak hal yang ingin kutanyakan dan kuceritakan pada kalian.Sambil terus berdoa dan mengucapkan salam perpisahan, aku terus berlari tanpa mau membuka mataku. Aku terlalu takut. Pria tadi sepertinya sudah tidak mengejarku, mungkin nyalinya terlalu ciut untuk memasuki hutan ini atau diriku yang terlampau nekat.Setelah beberapa saat memasuki hutan terlarang, kudengar suara gemuruh yang kemudian disusul pula suara seekor burung yang terbang di atas kepalaku. Tunggu, suaranya begitu besar dan angin dari kepakan itu terasa menyapu rambutku. Mungkin itu gerombolan burung atau lebih parahnya apakah itu naga yang diceritakan orang-orang? Suara itu semakin dekat, angin yang dihasilkan juga semakin besar. Kuberlari lebih kencang dari sebelumnya dan tetap menutup mata pastinya, tidak peduli jika ada akar atau rintangan yang menganggu lintasanku. Kemudian, langkahku terhenti setelah aku menabrak batu dengan begitu keras hingga tubuhku terjatuh.Kupegangi kepalaku yang terasa sedikit pusing setelah menabrak batu keras tadi, aku mencoba bangun dan membuka mataku. Gawat, kakiku langsung lemas, keringat panas sebab kelelahan setelah berlari tadi langsung tergantikan dengan keringat dingin, badanku gemetar lalu jatuh kembali menyapa tanah.Jantungku berdetak dengan tak karuan, saat kusadari aku berhadapan langsung dengan seekor naga. Aku ulangi, SEEKOR NAGA.Kenyataannya menabrak batu adalah pilihan lebih baik kali ini. Ketakutan melanda seluruh tubuhku, naga itu begitu besar dan menakutkan dengan mata menyala dan napas panas yang memercik. Pikiranku terisi tentang apa yang bisa dilakukan oleh makhluk mitos ini, sepertinya nyawaku terancam oleh kehadiran naga ini.Saat naga itu mendekat, aku masih tidak bisa menggerakkan tubuhku, mengangkat satu jari saja rasanya mustahil. Aku bisa merasakan napasnya menembus wajahku, rasanya seperti terkena api, panas sekali.Akan tetapi, di saat yang sama aku juga merasa kagum dan heran. Bagaimana mungkin makhluk sebesar ini ada di dunia? Kehadirannya yang magis dan sosoknya yang begitu legendaris terlihat begitu nyata di hadapanku. Tubuhku menggigil, air mata tak terasa keluar dari mataku. Rasanya seperti berada di saat-saat terakhir dalam hidup.Selanjutnya, naga itu menjauhkan diri dan diam beberapa saat. Aku memanfaatkan waktu itu untuk menetralkan detak jantungku.Saat aku merasa lebih tenang dan mencoba untuk kabur, dengan tiba-tiba naga itu mendekat kembali ke arahku. Aku kembali lemas dan berakhir dalam posisi dudukku lagi. Kulihat dengan seksama sosok mitologi di hadapanku itu, kupikir sejauh ini dia tidak melakukan sesuatu yang berbahaya untukku, mungkin jika ada kesempatan aku bisa kabur darinya.“Apakah kau tidak lelah berlarian terus, Gio?” Naga itu bertanya dengan suaranya yang berat.“EHH?” Belum reda semua ketakutan di dalam diriku, aku kembali dikejutkan dengan sesuatu yang ada dihadapanku. Bukankan naga itu menyemburkan api? Bagaimana mungkin ia bisa bicara? Dan mengapa ia juga mengenalku?“Kau bahkan belum menyelesaikan semir sepatumu,” lanjut Sang Naga dengan santainya.“HAH?” Sepertinya aku akan pingsan.Dengan napas terengah aku terus berlari menerobos masuk ke kerumunan orang yang ada di jalanan kota. Langit biru yang begitu cerah di atas kepalaku sangat kontras dengan bayangan makhluk mengerikan yang ada di belakangku. Aku berusaha membaur di tengah lautan manusia, mataku terus memantau jalanan di belakangku, mencari tanda-tanda kehadiran naga itu.Tunggu sebentar.... Jika naga itu mengejarku, tidak mungkin kerumunan ini masih bisa tenang menikmati hiburan di jalanan. Jika mereka melihat seekor naga, suasana tentu akan berubah. Suasana yang meriah pasti akan menjadi mencekam dengan kekacauan yang meluas. Sebaliknya, acara persiapan pertunangan ini masih berjalan dengan lancar.Kuhentikan kakiku yang mulai pegal setelah berlarian kesana-kemari, untuk sementara aku bisa menarik napas lega, sepertinya naga itu tidak sampai mengejarku hingga ke kota. Aku tersenyum, merasa beruntung bisa kabur dari naga sekaligus keluar dari hutan terlarang itu.Kejadian hari ini sudah cukup sial bagiku
“Selain menjadi penyemir sepatu, apakah kau juga seorang atlet lari, Gio?” gerutu Burung Hantu itu sambil beralih terbang mendekati kami. Sontak aku dan Evan berteriak dan merapatkan tubuh kami ke tembok, berusaha menjaga jarak dengan makhluk aneh ini.“Hey hey berhentilah berteriak, apakah kau tidak mau mencoba mendengarkanku dulu?” protesnya, “aku sudah lelah mengejarmu, berilah aku kesempatan untuk bicara!” bentaknya kesal. Aku dan Evan masih ketakutan, bisa kulihat tubuh Evan bergetar hebat. Setelah meneguk ludahku, aku mulai memberanikan diri untuk mendekat ke arah burung hantu.“Apa....apa itu pelangganmu Gio? Bagaimana dia bisa bicara? Apakah dia anggota kerajaan?” Evan bertanya sembari jemarinya mencengkram tanganku dengan kuat. Dia ketakutan. Tidak bisa dipungkiri, aku juga merasakan hal yang sama.Kugelengkan pelan kepalaku sebagai jawaban untuknya. Aku tidak tau siapa makhluk aneh ini sebenarnya. Ada kemungkinan ketiga sosok yang mengejarku ini bersekongkol, atau bisa jadi i
Selepas berjalan cukup lama, kami bertiga telah sampai di depan hutan terlarang. Suasana kali ini berbeda dari sebelumnya. Tadinya diriku diselimuti ketakutan saat memasuki hutan ini, sekarang yang kurasakan hanyalah rasa penasaran. Penasaran tentang siapa burung hantu ini, Heka, keberadaan orang tuaku hingga kaitan diriku dengan Negeri Eldoria. “Apa kau yakin, Evan, ingin ikut bersamaku? Bagaimana dengan ibumu?” tanyaku khawatir. “Sudahlah, aku sudah berjanji kepadamu akan menemanimu hingga kasus ini selesai. Tidakkah kau penasaran? Selama ini tebakkanku benar, mereka belum meninggal. Akhirnya setelah tiga tahun ini, muncul setitik cahaya yang bisa menuntunmu ke orang tuamu,” jawab Evan antusias. “Aku tidak tahu harus apa, Evan, satu sisi aku bahagia dan penasaran, tapi aku juga takut untuk terlalu berharap,” ungkapku jujur kepadanya. Kurasakan tepukan pelan di pundakku. Aku mengerti pesannya itu, Aku memang bingung, tapi aku tahu, aku tidak sendirian. “Tak kusangka, pemberian nam
“Hampir saja aku tertidur menunggumu di sini.” Kudengar suara Burung Hantu itu menggerutu.Begitu kubuka mataku, bisa kulihat Evan berlarian kesana-kemari, matanya berbinar penuh kagum, kuarahkan pandanganku ke arah Evan menatap tak berkedip. Satu pertanyaan yang langsung muncul di pikiranku yaitu, tempat apa ini? “Hei, lihatlah, Gio! Bintang di sini sungguh indah, bagaimana bisa ada begitu banyak warna? Mereka seperti melayang, apa ini bintang? Ataukah kunang-kunang?” ujar Evan dengan bersemangat.“Kurasa tidak keduanya,” timpalku kepada Gio. Benda aneh yang bertebangan ini terlalu besar untuk ukuran kunang-kunang, serta tempatnya yang terlalu rendah untuk ukuran bintang, jika ada kastil Kerajaan Cosvan, aku yakin bisa meraihnya dari puncak kastil. “Benar, mereka adalah peri yang menjaga hutan ini. Omong-omong, selamat datang di Eldoria,” lontar Burung Hantu, “lebih tepatnya, di Hutan Dendron, pohon di sini begitu besar sehingga menghalau cahaya matahari. Jadi, jangan heran jika ban
Cahaya gemerlap memancar dari dinding-dinding gua menciptakan suasana yang begitu magis di sekitarku. Saat aku melangkah lebih dalam, aku kembali dibuat terpesona dengan formasi stalaktit dan stalagmit yang menjulang tinggi di dinding gua. Sibuk terpesona dengan apa yang ada dihadapanku, aku dibuat terkejut dengan tarikan kuat di lenganku. Kulihat Evan dengan wajah pucatnya mulai merengek.“Gio, ayo kita pulang saja! Lihatlah ini seperti rumah hantu,” pinta Evan sambil memohon.“Lihat baik-baik, Evan, juga dengarkan baik-baik! Begitu indah bukan? Gua ini sangat menakjubkan. Tetesan air dari stalaktit menciptakan melodi yang unik, sungguh menenangkan. Bagaimana bisa kau berpikir tempat ini menyeramkan?” tanyaku heran kepada Evan. “Dasar aneh! Jelas-jelas gua ini menyeramkan. Tidak seharusnya kita mengikuti Burung Hantu itu, bisa saja kita dilenyapkan di sini,” tutur Evan penuh antisipasi. Belum sempat aku menjawab Evan, anak itu kembali merengek, kali ini dengan suara bergetar dan waja
Aku berbaring di atas gumpalan bunga kapas yang terasa sangat nyaman membelai punggungku. Evan sudah lebih dahulu masuk ke alam mimpinya. Ingin kuhabiskan waktu berbaring seperti ini selamanya. Kepalaku dibuat ingin meledak oleh dua orang yang secara tiba-tiba memaksa masuk ke hidupku, sekaligus kenyataan yang terasa menamparku hingga rasa nyerinya begitu nyata di tubuhku.Aku mulai mengerti perasaan Orfeo, rasa cintanya terhadap Euridice telah berhasil membuka gerbang kematian untuknya. Namun, iblis yang selalu menggoda manusia mebuat rasa egois tumbuh menggerogoti hati dan pikirannya, menggantikan rasa cinta yang telah memberinya kesempatan untuk menolong sang pujaan hati.Rasa cintaku terhadap orang tuaku diuji di sini. Apakah aku harus egois? Atau, apakah harus mengorbankan semua milikku untuk tujuan yang bahkan sangat kecil kemungkinannya? Baik, akan kujelaskan bagaimana aku berakhir dengan keadaan menyedihkan seperti ini.“Jadi, kau yang namanya, James?” Setelah melihat lebih sek
Kiyo berjalan mendekat ke arahku dan Evan dengan semangkuk air. Aku sedikit kasihan mengingat Evan yang terus mengoloknya saat pertama kali bertemu, padahal ia adalah makhluk yang manis. Dengan tergesa kami berdua menegak habis air yang disuguhkan tadi, napas kami masih terengah-engah, tangan kami mulai kebas dan kaki kami terasa seperti jelly. Sudah dua jam kami berlatih bela diri, setelah Willow memerintahkan kami untuk bersiap memulai misi penyelamatan Negara Api. Sejak itu pula Willow memberikanku sebuah panah, lalu menyerahkan sebilah pedang kepada Evan. Kami berlatih tanpa henti dipandu oleh James. Pria paruh baya itu lebih layak disebut malaikat berhati iblis, dibalik wajahnya yang sangat ramah itu, sifatnya sungguh keji, aku sampai tidak sanggup lagi menggerakkan otot-ototku.“Mana tenagamu, Evan? Ayunkan pedangmu dengan benar, jika ini pertarungan sungguhan, aku tidak yakin kau bisa bertahan selama tiga menit,” ucap James penuh penekanan. Bisa kulihat keadaan Evan yang san
Setelah berhari-hari menghabiskan waktu berlatih, sepertinya aku harus meminta James menceritakan kisah mengerikan itu setiap saat.Evan terlihat sangat lesu, aku jadi merasa bersalah menyeretnya ke dalam masalah yang bahkan tidak ada hubungannya dengan dirinya. Tidak sendirian, aku pun merasakan hal yang sama. Entah berapa lama aku habiskan waktu di gua ini untuk berlatih bertarung, melihat keluar pun percuma sebab hanya kegelapan yang akan kutemui. Diriku lelah, semangatku mulai terkikis, begitu pula harapan yang begitu bergejolak di hatiku. Aku tidak tahu apa yang akan kuhadapi kedepannya, tidak mungkin berlatih beberapa hari akan membuatku langsung menjadi ksatria hebat yang menyelamatkan seisi dunia. Dengan sisa-sisa anganku untuk bertemu ayah dan ibu kuteguhkan kembali hatiku, kuangkat kembali panah ini untuk berlatih. Aku bisa merasakan pergerakanku berkembang, sudah banyak objek yang kupanah dengan tepat, bahkan bisa membelah targetku.Akan tetapi, aku bisa melihat kekosongan
Sorot gemerlap cahaya, hentakan kaki dari mereka yang menari, suara tawa yang menyelimuti dingin dan gelapnya Hutan Dendron. Setelah semua hal yang terjadi sudah tidak ada kekhawatiran yang menjeratku, aku bisa bebas berpesta sekarang. “Ini dia pahlawan kita, kemari dan bergabunglah, Gio!” ajak Evan yang sudah duduk di meja bersama yang lainnya. Teriakannya cukup kencang hingga aku bisa merasakan seluruh atensi sepenuhnya menuju ke arahku. Langkahku terhenti akibat banyaknya orang yang menghampiriku. Mereka memberiku berbagai macam hadiah, mengajakku menari, hingga menarikku ke meja mereka. Oh Tuhan, tolong aku. “Akhirnya kau sampai juga Tuan Populer,” ejek Evan. “Dengan wajah seperti itu mustahil dia tidak populer di kalangan wanita, benarkan, Willow?” Willow yang semula terlihat tidak tertarik dengan semua ini sontak terlihat panik. “Mengapa kau bertanya padaku?” jawab Willow kesal. Wajahnya memerah, lucu sekali. “Sudahlah, aku tidak melakukan apa-apa, jangan
Teriakan mengejutkan tadi langsung menyadarkanku akan situasi berbahaya yang menyambut. Belum sempat menoleh ke belakang, tubuhku sudah terhuyung, seseorang menimpaku, dari bawah sini aku tidak dapat mengenalinya, ia terlihat samar, tapi teriakannya sesudah itu membuatku langsung mengenalinya. Itu suara James.“Syukurlah kau sudah sadar, lihatlah semua, Gio, berhasil!” teriak pria tua itu. Kami berada di balik tubuh Atlas. Tubuhnya yang besar dan terbuat dari batu sangat sempurna untuk dijadikan benteng dadakan. Akan tetapi, percuma bila ada panah yang berjatuhan dari segala arah. Kami terkepung oleh puluhan Shapeshifter. Aku bisa melihat Evan, Willow, dan Kiyo bersembunyi tak jauh dari tempatku saat ini. Mereka tidak mengacungkan senjata untuk melawan, mereka hanya bersembunyi. Dengan hati-hati James menggiringku menuju tempat yang lain berkumpul.“Gio, kau tidak apa-apa?” Kekhawatiran tampak jelas di mata Evan, begitu pula yang lainnya. Aku hanya men
Aku berjalan melewati tubuh Atlas yang tak berdaya, di baliknya terlihat Kiyo yang memang sudah terkulai lemas di pangkuan Evan. Luka goresan kecil menghiasi tubuh Kiyo, sepertinya itu hanya luka akibat terlempar tadi, untung saja Atlas benar-benar tidak melakukan hal keji terhadap Kiyo, kelumpuhannya sepertinya diakibatkan oleh air dari sungai perak, berarti itu akan memakan 24 jam untuk Kiyo segera pulih. “Ayo bangunlah, peri jelek!! Kita tak ada waktu untuk bersantai, lagipula siapa yang mau menggendongmu, perjalanan kita masih panjang.” Meski cercaan tak henti-hentinya keluar dari mulut Evan, raut wajahnya tak bisa menyembunyikan kesedihan dan kepanikannya. Dalam keadaan seperti ini, tidak ada yang bisa menenangkan Evan selain hal yang diinginkannya terkabul. Masalahnya, kita tidak punya cukup waktu jika harus menunggu kepulihan Kiyo.Di sisi lain keheningan justru mengelilingi Willow, ia hanya menatap Kiyo sejenak sebelum beranjak pergi. Ekspresi itu, ekspresi datar yang terlih
Desa ini dipenuh sorak sorai dan tawa riang penduduknya. Cahaya obor dan susunan kristal memancar di penjuru desa, menciptakan suasana hangat. Pesta penyambutan Willow ini sangat mendadak, tapi tetap saja meriah. Aku berusaha berbaur dengan yang lain, mencoba menyelaraskan langkah kaki dengan irama musik yang memenuhi udara. Makanan lezat tersaji di meja, minuman juga melimpah ruah layaknya sungai. Namun, beban berat rasanya masih menghantuiku. Dari bangku ini bisa kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru Desa Shapeshifter. Pesta ini seharusnya menjadi saat-saat gembira, tapi hatiku terasa terbebani oleh rancana gelap yang sedang kucoba sembunyikan di balik senyuman palsu ini. Bisa kulihat Willow sedang menari bersama kedua kakaknya, terlihat sangat bahagia. Bagaimana ia bisa sesantai ini sebelum mengirimkan bencana ke klannya sendiri. Apakah itu semua juga palsu seperti yang sedang kulakukan? Kurasakan tarikan kecil di belakang bajuku. Terlihat beberapa anak mani
Berhari-hari menghabiskan waktu di dalam gua-tidak, maksudku di cangkang seekor kura-kura raksasa, membuatku sedikit melupakan suasana magis di Hutan Dendron. Cabang-cabang pohon saling merangkul memperlihatkan hamparan kegelapan. Pepatah bilang, kekurangan akan selalu diiringi oleh kelebihan lain. Memang benar, sebab aku membuktikannya di sini. “Menurut kalian, mengapa beberapa hewan dan tumbuhan di sini bersinar?” Seluruh perhatian terpusat kepadaku. Willow terlihat berpkir, seperti menimang jawaban pertanyaanku.“Apa kau tidak melihat di sini tidak ada cahaya matahari? Pertanyaanmu sungguh aneh, Gio,” protes Evan kepadaku. Willow terlihat menahan gelakannya. Dasar Evan, kau membuatku seperti orang bodoh di hadapan seorang gadis.“Aku mengerti maksudmu, Gio.” Willow mulai membuka suara, “kalian tahu kan bahwa setiap wilayah di Eldoria ini memiliki roh yang harus di jaga?” Semua mengangguk memperhatikan, “tiap roh itu memiliki kekuatan yang menyeimbangkan wilayahnya. Seperti di sini,
Setelah melalui malam yang cukup menguras emosi, aku tertidur lumayan lama. Aku terbangun dan melihat segala perlengkapan sudah dikemas oleh Willow dan Evan. Segera aku makan untuk mengisi tenaga sebelum berangkat, lalu bergabung dengan yang lainnya untuk membahas kembali rencana kami. Untuk bisa mengalahkan Heka, kami perlu mengumpulkan keempat roh magis dan harus bisa mengendalikannya. Tujuan kami yang pertama adalah mendapatkan roh tanah. Yang ikut dalam perjalanan ini hanya aku, Evan, Willow, dan Kiyo. James akan tinggal dan bertugas menjaga gua, sebab akan sangat berbahaya jika bangsa shapeshifter lain menemukan kami, mungkin perang saudara bisa terjadi. Kami berempat akan bergerak ke arah Timur hingga bertemu dengan sungai perak. Di hulu sungai itu terdapat gunung batu yang menjadi tempat roh tanah bersemayam. Namun, yang jadi masalah adalah sungai perak yang akan kita lewati itu sangat berbahaya, air yang mengalir di sepanjang sungai itu bisa menyebabkan siapa saja yang terke
Setelah berhari-hari menghabiskan waktu berlatih, sepertinya aku harus meminta James menceritakan kisah mengerikan itu setiap saat.Evan terlihat sangat lesu, aku jadi merasa bersalah menyeretnya ke dalam masalah yang bahkan tidak ada hubungannya dengan dirinya. Tidak sendirian, aku pun merasakan hal yang sama. Entah berapa lama aku habiskan waktu di gua ini untuk berlatih bertarung, melihat keluar pun percuma sebab hanya kegelapan yang akan kutemui. Diriku lelah, semangatku mulai terkikis, begitu pula harapan yang begitu bergejolak di hatiku. Aku tidak tahu apa yang akan kuhadapi kedepannya, tidak mungkin berlatih beberapa hari akan membuatku langsung menjadi ksatria hebat yang menyelamatkan seisi dunia. Dengan sisa-sisa anganku untuk bertemu ayah dan ibu kuteguhkan kembali hatiku, kuangkat kembali panah ini untuk berlatih. Aku bisa merasakan pergerakanku berkembang, sudah banyak objek yang kupanah dengan tepat, bahkan bisa membelah targetku.Akan tetapi, aku bisa melihat kekosongan
Kiyo berjalan mendekat ke arahku dan Evan dengan semangkuk air. Aku sedikit kasihan mengingat Evan yang terus mengoloknya saat pertama kali bertemu, padahal ia adalah makhluk yang manis. Dengan tergesa kami berdua menegak habis air yang disuguhkan tadi, napas kami masih terengah-engah, tangan kami mulai kebas dan kaki kami terasa seperti jelly. Sudah dua jam kami berlatih bela diri, setelah Willow memerintahkan kami untuk bersiap memulai misi penyelamatan Negara Api. Sejak itu pula Willow memberikanku sebuah panah, lalu menyerahkan sebilah pedang kepada Evan. Kami berlatih tanpa henti dipandu oleh James. Pria paruh baya itu lebih layak disebut malaikat berhati iblis, dibalik wajahnya yang sangat ramah itu, sifatnya sungguh keji, aku sampai tidak sanggup lagi menggerakkan otot-ototku.“Mana tenagamu, Evan? Ayunkan pedangmu dengan benar, jika ini pertarungan sungguhan, aku tidak yakin kau bisa bertahan selama tiga menit,” ucap James penuh penekanan. Bisa kulihat keadaan Evan yang san
Aku berbaring di atas gumpalan bunga kapas yang terasa sangat nyaman membelai punggungku. Evan sudah lebih dahulu masuk ke alam mimpinya. Ingin kuhabiskan waktu berbaring seperti ini selamanya. Kepalaku dibuat ingin meledak oleh dua orang yang secara tiba-tiba memaksa masuk ke hidupku, sekaligus kenyataan yang terasa menamparku hingga rasa nyerinya begitu nyata di tubuhku.Aku mulai mengerti perasaan Orfeo, rasa cintanya terhadap Euridice telah berhasil membuka gerbang kematian untuknya. Namun, iblis yang selalu menggoda manusia mebuat rasa egois tumbuh menggerogoti hati dan pikirannya, menggantikan rasa cinta yang telah memberinya kesempatan untuk menolong sang pujaan hati.Rasa cintaku terhadap orang tuaku diuji di sini. Apakah aku harus egois? Atau, apakah harus mengorbankan semua milikku untuk tujuan yang bahkan sangat kecil kemungkinannya? Baik, akan kujelaskan bagaimana aku berakhir dengan keadaan menyedihkan seperti ini.“Jadi, kau yang namanya, James?” Setelah melihat lebih sek