Clara menatap tajam ke arah Rendy, matanya menyala dengan amarah yang tak tertahankan. "Jangan kau kira tindakanmu ini akan mengubah kebencianku padamu!" suaranya dingin, nyaris menggigit, tanpa sedikit pun nada terima kasih.Rendy menghela napas panjang, mencoba memahami kekerasan hati Clara. Wajahnya dipenuhi kebingungan, tetapi suaranya tetap tenang. "Aku terus mencarimu, Clara! Buat apa aku membunuhmu? Apa untungnya bagiku?" katanya, menatapnya lekat-lekat, mencari celah di balik tatapan penuh kebencian itu.Clara menyilangkan tangan di dadanya, dagunya sedikit terangkat, menegaskan keangkuhannya. "Aku tidak percaya padamu! Aku datang untuk memperingatimu. Berhenti mencari Kekuatan Tertinggi, atau kami akan menghancurkanmu!" suaranya bergetar, bukan karena takut, melainkan karena tekad yang membaja.Rendy mengernyit. "Kekuatan Tertinggi? Apakah organisasi itu yang membuatmu membenci aku?" tanyanya, mencoba menelisik lebih dalam.Clara tak menjawab. Dengan santai, ia melangkah ke b
Rendy masih terpaku di tempatnya, matanya tak lepas dari sosok Clara yang perlahan menghilang di balik kabut malam. Langkah gadis itu terdengar samar, seolah setiap jejaknya membawa pergi sesuatu yang berharga dari hati Rendy. Napasnya tertahan, dadanya terasa sesak. Ia mengepalkan tangan, berusaha meredam emosi yang bergolak dalam dirinya.Setelah beberapa detik yang terasa begitu panjang, ia menghela napas dan merogoh saku jasnya. Ponselnya dingin di genggaman, tetapi pikirannya lebih dingin lagi. Tanpa ragu, ia menekan sebuah nomor yang sudah lama tersimpan, menunggu panggilan tersambung.“Halo, apa ini masih nomor Kristin?” suaranya terdengar tegas, meskipun ada sedikit ketegangan di baliknya.Di seberang sana, terdengar suara wanita yang sudah lama tak ia dengar.[Jendral Wang, ada keperluan apa meneleponku? Apa ada misi baru lagi untuk Elemental Naga?]Rendy menatap lurus ke depan, sorot matanya tajam. “Bisa kita ketemu besok di Red Lotus? Ada yang ingin aku tanyakan padamu.”Se
Pagi itu, Red Lotus Club terasa lebih sunyi dari biasanya. Matahari baru saja muncul di ufuk timur, mewarnai langit dengan semburat jingga keemasan. Rendy duduk di salah satu sudut ruangan VIP, tangannya menggenggam secangkir kopi hitam yang masih mengepulkan uap. Pikirannya berkecamuk, memikirkan pertemuan yang sebentar lagi akan terjadi.Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar mendekat. Pintu terbuka, dan satu per satu anggota Elemental Naga mulai memasuki ruangan.Kristin datang pertama, mengenakan mantel panjang dengan ekspresi penuh kewaspadaan. Matanya menatap tajam ke arah Rendy, seolah menuntut jawaban sebelum ia sempat mengucapkan sepatah kata pun.“Jadi, apa yang sebenarnya terjadi, Jenderal?” tanya Kristin, menyilangkan tangan di depan dada.Tak lama, Katrin Chow muncul dengan gaya santainya, mengenakan jaket kulit dan menyesap bubble tea yang entah dari mana ia dapatkan. “Tumben banget kita dikumpulkan. Biasanya kalau kayak gini, ada sesuatu yang besar, kan?”Renat
Langit Kartanesia menggantung kelabu, awan pekat menggumpal di atas menara-menara pencakar langit. Angin berembus dingin saat Vera Huang keluar dari mobil mewahnya, tumit runcing sepatunya mengetuk lantai marmer dengan ketukan tajam yang memantul di udara. Gaun merah darah yang membalut tubuh rampingnya berkibar sedikit saat ia berjalan dengan penuh percaya diri, namun ekspresi wajahnya kontras dengan penampilannya yang elegan—kening berkerut, rahang mengeras, dan mata berkilat tajam penuh kemarahan."Beraninya mereka menarik kembali investasi 250 miliar dari Wang Industries!" gerutunya dalam hati, tangannya mencengkeram erat tas bermerk yang tergantung di lengannya.Menara Naga Perang berdiri menjulang megah di hadapannya, kaca-kaca reflektifnya seakan mengejeknya, memantulkan bayangan seorang wanita yang saat ini dipenuhi amarah. Begitu ia melangkah mendekati pintu masuk, tiga petugas keamanan yang telah mendapat instruksi khusus bergerak cepat, membentuk barisan penghalang. Mata me
Katrin Chow melangkah keluar dari Menara Naga Perang, sepatu hak tingginya mengetuk lantai marmer dengan ritme yang tegas. Wajahnya tetap tak terbaca, ekspresi yang ia kenakan seperti topeng batu yang tak tergoyahkan. Begitu ia muncul, terik matahari langsung membakar kulitnya, tapi tak ada tanda ia terganggu. Hembusan angin hanya mengibarkan helaian rambut hitam legamnya, seperti bendera perang yang berkibar di tengah pertempuran.Di hadapannya, jalanan telah berubah menjadi lautan manusia yang bergejolak. Ribuan pengunjuk rasa memadati area, mengacungkan papan tuntutan dengan tangan yang gemetar karena emosi atau mungkin kelelahan. Udara dipenuhi bau keringat dan asap kendaraan yang tertahan akibat kerumunan. Sorak-sorai mereka menggema, kata-kata tuntutan melesat ke udara seperti anak panah yang dilepaskan tanpa ampun.Kata-kata itu berpendar di atas karton dan papan, berayun-ayun di tangan para demonstran yang tampak beringas.KEMBALIKAN DANA INVESTASI KAMI!TURUNKAN NAGA PERANG!
Teror Katrin Chow terus menghantui para demonstran, ibarat semut yang sewaktu-waktu bisa diinjak dan dihancurkan olehnya tanpa ampun. Napas mereka tersengal, keringat dingin mengalir di pelipis meski matahari terik membakar langit Kartanesia."Apa kalian masih ingin menghancurkan Menara Naga Perang?" Suaranya rendah, namun tajam bagaikan bilah pisau yang siap mengiris keberanian mereka. Seketika angin dingin menyelinap di antara kerumunan, bertentangan dengan panas yang membara di udara. Tubuh mereka gemetar, bukan hanya karena hawa yang aneh itu, tapi juga ketakutan yang mengunci hati mereka.Bahkan para petugas keamanan Menara Naga Perang yang berdiri menyaksikan pun mulai merasa ketakutan. Mereka tahu betul betapa mengerikannya kemarahan CEO mereka. Jika Katrin bisa melakukan ini kepada para demonstran, apa yang akan terjadi jika mereka suatu hari menjadi targetnya?Seluruh demonstran saling berpandangan, wajah-wajah mereka pucat pasi, seakan darah telah terkuras dari tubuh mereka.
Pemuda berambut gondrong itu membuka mulut, seolah hendak mengucapkan sesuatu. Tapi sebelum satu kata pun keluar, napasnya tersengal. Matanya melebar, seakan menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Lalu, dari sela-sela bibirnya, busa putih berbuih, meluber hingga dagunya. Tubuhnya mendadak menegang, bergetar hebat seperti seseorang yang disambar listrik. Lalu, dalam satu kedutan terakhir, matanya membelalak kosong. Ia ambruk ke aspal berdebu dengan suara yang memekakkan hati.Kerumunan demonstran yang semula meneriakkan tuntutan kini terdiam sejenak sebelum kepanikan meledak seperti gelombang pasang. Orang-orang saling bertubrukan saat mereka mundur, wajah mereka dipenuhi ketakutan dan kebingungan. Bisikan-bisikan cemas menyebar di antara mereka, menggeliat seperti ular berbisa di tengah kegaduhan."Itu pasti ulah wanita iblis itu," seseorang berbisik tajam, suaranya mengandung tuduhan yang menusuk.Katrin berdiri terpaku, jantungnya berdentam begitu keras hingga ia merasa telinganya
Vera Huang berdiri mematung, napasnya tertahan di tenggorokan. Pemandangan di hadapannya seperti mimpi buruk yang tak berkesudahan. Para demonstran yang tadi berteriak lantang menuntut keadilan kini bergelimpangan di tanah, tubuh mereka bersimbah darah. Jeritan kesakitan menggema di udara, bercampur dengan suara panik para demonstran yang berusaha melarikan diri tapi tidak bisa karena terkurung energi spiritual dari Karen Chow..Jantungnya berdegup kencang. Ia tak pernah membayangkan rencananya untuk membalas dendam akan berujung seperti ini. Seharusnya ini hanya demonstrasi damai, hanya sebuah gerakan protes untuk menuntut Wang Industries mengembalikan investasinya. Namun, apa yang terjadi justru jauh di luar perkiraannya.Semuanya berawal dari pagi itu, saat ia melangkah keluar dari Menara Naga Perang dengan wajah memerah oleh amarah dan rasa malu. Rendy Wang, pria yang pernah ia hina dan usir dari keluarganya, ternyata bukanlah pria miskin tak berguna seperti yang ia kira. Ia adala
The Killer berdiri di tengah medan, darah hitam menetes dari lengannya, menodai tanah Negeri Malam yang retak. Untuk pertama kalinya dalam berabad-abad, ia merasakan tekanan—bukan dari satu musuh, tapi dari kekuatan bersatu.Jessy menggenggam erat pedang lebarnya yang bergetar karena energi spiritual. Napasnya berat, tapi matanya penuh keyakinan. Di sisi lain, Renata mengaktifkan mode serangan penuh dari Nova-Core, tubuhnya dilapisi armor spiritual tipis berkilau biru muda. Kupu-kupu logam di belakangnya mulai berubah, mengepakkan sayap berbentuk bilah tajam, siap menghujani The Killer kapan saja.Sementara itu, Rendy, walau masih berlutut dan tubuhnya gemetar, membuka matanya perlahan. Cahaya keemasan samar mulai berkedip di dalam irisnya — tanda bahwa sebagian kecil energi Naga Perang mulai bangkit kembali.The Killer menggeram rendah, suaranya seperti dua dimensi bertabrakan.“Aku... tidak akan berakhir di sini...”Dengan satu gerakan memutar, tubuhnya membelah menjadi sepuluh baya
Namun, di tengah keheningan yang sakral, di antara debu-debu yang melayang pelan bagai abu dupa, sebuah aura kelam menyusup perlahan. Tak seperti kebencian Azerith yang membara dan membuncah, aura ini dingin… nyaris tak terdeteksi, namun menyusup ke dalam setiap pori-pori dunia, seperti kabut maut yang tak menyuarakan langkahnya.Rendy jatuh berlutut. Pedang Kabut Darah tertancap lemah di sampingnya, menahan tubuhnya yang gemetar karena kelelahan. Luka-lukanya belum sembuh, dan energi spiritualnya hampir habis, terkuras oleh Segel Jiwa dan tebasan terakhir yang nyaris membelah dunia.Tiba-tiba, udara di belakangnya bergetar—bukan oleh angin, melainkan oleh kehadiran yang tidak seharusnya ada.Sebuah bisikan lirih mengalir di antara angin.“Akhirnya… saatnya menuai bayangan terakhir dari Naga Perang.”Rendy mengangkat kepala, pelan.Dari balik kegelapan yang masih menyelimuti sebagian Negeri Malam, muncul sosok yang menyatu dengan bayangannya sendiri. Hitam pekat tanpa bentuk jelas, wa
Azerith terdorong mundur, wajahnya kini lebih menyerupai bayangan iblis daripada manusia. Dengan tatapan penuh amarah dan kebencian, ia memutar tubuhnya. Pedang Iblis Merah ditebaskan dalam gerakan spiral yang nyaris mustahil ditangkap mata telanjang. Setiap sabetan memotong udara, menciptakan bilah-bilah energi merah gelap yang melesat seperti anak panah roh—menyasar bukan tubuh, tapi langsung pada jiwa.Namun, Rendy tak mundur.Dengan satu putaran cepat, Pedang Kabut Darah menyapu seluruh bilah serangan. Dalam sekejap, tercipta pusaran merah-putih yang menghisap dan membelokkan serangan itu, meledakkannya menjadi hujan cahaya yang luruh ke tanah seperti bintang jatuh yang kehabisan nyala.Azerith tertegun. Napasnya berat, jiwanya tergerus perlahan.Rendy berdiri di tengah pusaran cahaya yang perlahan mereda, tubuhnya luka namun tak gentar. Ia menatap lawannya—mata yang tak lagi menyimpan rasa benci, hanya keteguhan.“Aku tidak akan melawan kutukanmu dengan sihir,” gumamnya pelan namu
Angin terhenti begitu saja, seperti makhluk hidup yang menahan napas. Debu menggantung di udara, tak sempat jatuh. Waktu—biasanya tak terbendung—kini seperti dipaksa berhenti, membeku dalam ketegangan yang mencekam.Dari balik semburan cahaya yang menyilaukan mata, dan langit yang retak seperti kaca dihantam palu raksasa, dua sosok berdiri. Tak sempurna. Tak utuh. Namun masih tegak—meski dunia seolah menolak keberadaan mereka.Rendy terhuyung, nafasnya tersengal seolah paru-parunya terbakar dari dalam. Darah mengalir dari pelipis dan sudut bibirnya, menggurat merah pekat di wajah yang dipenuhi luka dan debu pertempuran. Namun, cahaya merah menyala di sekeliling tubuhnya, tak padam sedikit pun. Justru semakin membara.Aura naga itu bukan lagi sekadar energi—ia menjadi bagian dari dirinya. Sisik merah menyala terbentuk dari cahaya murni, mengilap seperti batu rubi. Tanduk melengkung memanjang dari pelipisnya, sementara sayap raksasa perlahan mekar dari punggungnya, mengepak pelan seperti
“Jangan menyerah!” Suara itu meluncur membelah senyap, nyaring dan penuh nyawa. Gaungnya memantul di tebing-tebing gelap Negeri Malam, menghentak dada siapa pun yang mendengarnya. Tegas. Tak tergoyahkan. “Kekuatan mereka memang besar… tapi bukan tak terbatas! Jika kita mampu bertahan, maka mereka akan tumbang—oleh kesombongan dan kekuatan mereka sendiri!”Laras berdiri terpaku. Nafasnya berat, terseret di antara angin dingin dan aroma darah yang menggantung di udara. Kepalanya menunduk perlahan, bayangan luka dan kehilangan berkecamuk di matanya. Dengan gerakan lirih, ia membuka payung ungu kesayangannya—gerakan kecil yang mengandung ribuan kutukan.“Ini sudah melewati batas…” ucapnya, suara nyaris tak lebih dari bisikan yang terbawa angin. Lalu, dengan ketenangan yang menakutkan, ia menancapkan payung itu ke tanah.KRAAAK ...Begitu ujung payung menyentuh tanah, suara retakan halus terdengar—seolah bumi sendiri merintih. Aura ungu merembes keluar dari celah tanah, melilit udara sepert
Langit Negeri Malam seakan telah robek.Azerith melesat keluar dari kawah api yang ia ciptakan sendiri. Tubuhnya diselimuti aura hitam pekat, berkilauan seperti logam cair yang mendidih. Sayap iblis terbuka lebar di punggungnya—bukan sayap biasa, tapi sayap yang terbuat dari bayangan penderitaan ribuan jiwa. Di belakangnya, dua mata raksasa tanpa kelopak muncul di langit, menatap ke segala arah.“Rendy…” suara Azerith menggema seperti jeritan dari dasar neraka, “Aku sudah mati... berkali-kali... untuk negeri ini. Tapi ayah kami—ayahku—dibunuh olehmu. Kau dan ambisimu untuk perdamaian, hanya menyisakan pembantaian!”Rendy tak menjawab. Sorot matanya tajam, dan api merah dari Pedang Kabut Darah makin membara. Aura spiritual di sekeliling tubuhnya membentuk cincin cahaya merah tua yang berdenyut seirama dengan detak jantungnya.“Kau ingin kebenaran, Azerith?” seru Rendy, melayang perlahan maju. “Bukankah aku sudah bilang kalau ayahmu ingin menghancurkan dunia dan bersekutu dengann kekuata
Tak jauh dari situ, Lintang mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Tongkat itu memancarkan cahaya biru langit, lalu menyala terang seperti bintang meledak.“Wahai semesta! Beri aku kekuatan!”Lintang menghentak tanah dengan ujung tongkat. Seketika, dari bawah tanah muncul jaring akar-akar bercahaya yang menjulur dan menyambar para prajurit tanpa jiwa, menarik mereka masuk ke dalam bumi yang menganga. Suara jeritan mengerikan bergema ketika tubuh-tubuh itu ditelan tanah.Tiga prajurit melompat dari sisi kanan—Lintang memutar tongkatnya, mengubahnya menjadi cambuk cahaya. Dengan gerakan cepat dan presisi, cambuk itu membelit leher dan tangan lawan-lawannya, lalu ditarik ke satu arah hingga mereka saling bertabrakan dan meledak menjadi abu.*****Dari atas reruntuhan, melayanglah Lily, gaunnya mengepak, kipas giok di tangan kanannya terbuka perlahan.“Jangan meremehkan kelembutan…”Ia mengibaskan kipas sekali. Angin yang keluar bukan sekadar angin—ia adalah gelombang serangan berbentuk kelo
Rendy tak bergeming. Ia melangkah ke depan, dan setiap langkahnya seperti membangunkan tanah yang tertidur. Aura panas merambat dari tubuhnya, membuat udara di sekitarnya bergetar samar. Lalu, suara hatinya menggema—keras, tegas, mengguncang lebih dari sekadar suara.“Aku tidak takut pada mereka!” serunya, dan dalam sekejap, tubuhnya diselimuti oleh cahaya merah yang membakar. Dari balik punggung dan dadanya, muncul siluet seekor naga—merah membara, melingkar seperti pusaran petir yang hendak menerkam. Matanya menyala, dan setiap sisiknya memantulkan kilatan kekuatan purba.Lintang membeku. Matanya membelalak tak percaya. Di sebelahnya, Laras mundur satu langkah, tubuhnya bergetar hebat.“Mustahil…” bisiknya dengan suara tercekat. “Ras Naga sudah punah… jutaan tahun yang lalu…”Rendy menatap lurus ke mata Azerith. Tak ada keraguan. Tak ada gentar. Hanya kepercayaan yang tak tergoyahkan.“Ini bukan tentang balas dendam,” katanya pelan, namun suaranya mengandung kekuatan yang tak bisa di
Kilatan petir terakhir mencabik langit, menyambar reruntuhan yang hangus di belakang Azerith. Sekilas, cahaya itu memahat siluet sosoknya yang menjulang tinggi, berdiri laksana dewa penghancur dengan pedang terangkat ke langit. Dari bilah senjata itu, lidah-lidah api neraka melompat liar, memekik dalam nyala yang bukan hanya membakar udara, tapi juga jiwa. Tangisan lirih bergema dari logamnya—jeritan ribuan roh yang terperangkap di dalam, merintih antara harapan akan kebebasan… atau kehancuran abadi.Sheila tersentak. Tumitnya bergeser ke belakang, satu langkah kecil yang nyaris tak terdengar. Bukan ketakutan yang membuatnya mundur, tapi sesuatu yang lebih kompleks—kesadaran akan kekuatan yang berdiri di hadapannya.“Rendy…” bisiknya, tangan refleks terangkat. Tapi sebelum ia bergerak lebih jauh, sebuah tangan menggenggam pergelangannya.“Jangan,” ujar Rendy pelan, suaranya rendah tapi tegas, nyaris seperti bisikan petir sebelum badai.Tatapannya tertuju penuh pada Azerith, dan di mata