Angin panas dari Lembah Neraka Api terasa menusuk kulit, membawa aroma belerang yang pekat dan menyesakkan. Selina menggenggam gagang pedangnya dengan erat, matanya menyapu medan yang terbentang di depan mereka. Batu-batu berwarna merah menyala seperti bara menyebar di segala arah, dan udara di sekitarnya bergetar oleh panas yang tak tertahankan.“Tuan Muda, apakah kau yakin kita harus melanjutkan?” tanyanya dengan nada khawatir, meskipun ia berusaha menyembunyikan ketakutannya. “Tempat ini... jauh lebih berbahaya daripada yang pernah kita hadapi.”Rendy menoleh, tatapan matanya tegas namun lembut. “Zhang Wei tidak akan berhenti sampai dia menghancurkan segalanya,” jawabnya pelan, suaranya penuh tekad. “Jika kita ingin menghentikannya, kita tidak punya pilihan lain selain menghadapi apa pun yang ada di lembah ini.”Di belakang mereka, Renata menarik napas dalam-dalam. Jari-jarinya gemetar saat ia merapikan rambutnya yang lengket oleh keringat. “Aku akan mendukungmu, Kak Rendy,” katany
Di bawah langit yang dipenuhi bayangan awan gelap, Rendy Wang berdiri di aula besar Dragon Sky Tower. Suasana di sekitarnya seperti dirasuki kegelisahan; angin membawa bisik-bisik kekuatan yang tak terlihat, seakan menjadi pertanda akan datangnya sesuatu yang besar. Selina Khan berdiri tak jauh darinya, matanya yang tajam menatap Rendy dengan intensitas yang sulit diterjemahkan. Renata Zhang, di sisi lain, sibuk memeriksa peta strategi yang terbentang di meja kayu berukir naga."Zhang Wei bergerak menuju Negeri Langit," kata Selina, jari telunjuknya menunjuk sebuah titik merah di peta. Suaranya tegas, tetapi ada nada kegetiran yang tak bisa ia sembunyikan. "Portal antar-dimensi itu adalah kunci. Jika dia memanggil roh-roh kuno dari Kuburan Pedang Spiritual, kita semua dalam bahaya."Renata mengangguk setuju, meski sorot matanya menyiratkan kecemasan yang mendalam. "Dia akan menjadi kekuatan yang tak tertandingi jika itu terjadi. Kita tidak punya pilihan lain selain menghentikannya sek
Ketika pesawat mendarat di Bandara Kotabaru, Negara Andalas, langit berwarna jingga menandakan senja mulai menyelimuti kota. Rendy melangkah keluar dari pintu pesawat dengan Selina di sisinya. Suasana bandara yang ramai tidak mengurangi kesan megahnya, dengan ornamen tradisional khas Andalas menghiasi setiap sudut.Di tengah keramaian, seorang wanita berdiri mencolok, menunggu di area khusus yang dikelilingi pengawal berseragam. Seruni — cantik jelita dengan gaun putih yang membalut tubuhnya sempurna, rambut hitam panjangnya tergerai indah. Senyumnya merekah saat matanya bertemu dengan Rendy."Tuan Muda Rendy," sapa Seruni lembut, suaranya seperti alunan musik yang menenangkan. Ia melangkah mendekat, membawa aura anggun yang memikat setiap mata yang memandang. "Selamat datang di Andalas."Rendy membalas senyuman itu, mengangguk kecil. "Terima kasih, Seruni. Kehadiranmu menyambut kami adalah kehormatan besar."Namun di sisi lain, Selina berdiri terpaku. Matanya mengamati setiap gerak S
Malam itu, setelah makan malam bersama yang penuh dengan obrolan ringan dan tawa sopan, Rendy memutuskan untuk menemui Seruni secara pribadi. Ia menunggu hingga suasana rumah tenang, memastikan Selina telah berada di kamarnya. Bulan yang bersinar terang menjadi saksi keputusannya. Ia tahu, ini bukanlah percakapan yang mudah, tetapi juga bukan sesuatu yang bisa ditunda lebih lama.Rendy mengetuk pintu kamar Seruni. Tidak lama, pintu itu terbuka, menampilkan Seruni yang masih anggun meski hanya mengenakan pakaian santai. Rambutnya yang panjang tergerai di bahu, dan senyumnya menyambut Rendy dengan hangat."Tuan Muda, ada yang bisa kubantu?" tanyanya lembut, suaranya tetap serupa alunan musik yang menenangkan."Aku perlu bicara denganmu, Seruni," kata Rendy serius. "Ini penting."Seruni mengangguk, mempersilakannya masuk. Kamar itu dipenuhi aroma bunga melati yang lembut, dengan dekorasi yang mencerminkan kecintaan pemiliknya pada keindahan alami. Rendy mengambil tempat duduk di sofa, se
Keesokan paginya, sinar matahari pagi yang hangat menyelinap melalui jendela besar rumah megah Seruni. Burung-burung bernyanyi riang di taman, membawa ketenangan yang tampak bertolak belakang dengan suasana hati beberapa penghuni rumah itu. Di ruang makan, Rendy dan Selina duduk bersama Seruni menikmati sarapan yang telah disiapkan dengan sempurna.“Selamat pagi,” sapa Seruni lembut sambil meletakkan teko teh di tengah meja. Senyumnya tetap anggun, meskipun matanya menunjukkan tanda-tanda bahwa ia juga memikirkan sesuatu.“Pagi,” balas Rendy singkat, menatap Seruni sesaat sebelum kembali memfokuskan diri pada sarapannya.“Pagi,” tambah Selina, suaranya tenang, meskipun pandangannya memperhatikan setiap gerak-gerik Seruni dengan cermat.Percakapan ringan berlangsung di antara mereka, tetapi Selina tidak bisa menahan rasa ingin tahunya lebih lama. Ia menunggu hingga Rendy dan Seruni mulai berbicara tentang topik serius. Saat momen itu tiba, ia memutuskan untuk masuk ke dalam pembicaraan
Setelah hari yang penuh dengan percakapan serius dan keputusan yang menggantung, malam itu menjadi saksi keputusan besar yang akan diambil Seruni. Ia telah memikirkannya matang-matang sejak Rendy menyampaikan niatnya. Di kamarnya yang dipenuhi aroma melati, ia duduk di depan jendela besar yang menghadap ke taman teratai. Bulan purnama bersinar terang, seolah menyinari jalannya.Pintu diketuk pelan.“Masuk,” kata Seruni lembut.Rendy melangkah masuk, wajahnya tampak serius namun penuh harap. Ia berdiri beberapa saat, memandang Seruni yang terlihat begitu tenang, seolah sedang berbicara dengan dirinya sendiri.“Aku sudah memutuskan,” kata Seruni akhirnya, menatap Rendy dengan mata yang memancarkan keteguhan. “Aku akan membantumu, Tuan Muda. Jika ini memang satu-satunya cara untuk menyempurnakan Elemental Naga Petir di tubuhmu, aku siap melakukannya.”Rendy tampak lega, meskipun ia tahu keputusan ini bukanlah hal yang mudah bagi Seruni. “Terima kasih, Seruni. Aku tidak akan pernah melupa
Malam itu, di tengah keheningan setelah ritual kultivasi ganda, Jade Dragon di tubuh Rendy tiba-tiba bergetar hebat, seolah merespons panggilan yang tak bisa diabaikan. Getarannya begitu kuat hingga membuat tubuh Rendy limbung. Aura emas yang biasanya melingkupinya berubah menjadi merah gelap, penuh dengan energi yang mengancam.“Rendy, ada apa?” tanya Seruni dengan nada cemas, tetapi Rendy hanya mengangkat tangan, memberi isyarat agar dia tidak mendekat.“Aku... tidak tahu,” gumam Rendy. “Tapi ini seperti... panggilan. Jade Dragon ingin aku pergi.”Tanpa menunggu jawaban, tubuh Rendy dilingkupi cahaya naga yang mengangkatnya dari tanah. Dalam sekejap, ia melesat pergi, meninggalkan semua orang yang masih terpaku di tempatnya. Seruni, Selina, dan yang lainnya hanya bisa memandang dengan kebingungan dan kekhawatiran.Saat Rendy tiba di Lembah Roh Kultivator, tempat itu dipenuhi dengan aura mistis yang berat. Langit di atasnya tampak gelap dengan pusaran energi merah darah. Di pusat lem
Getaran hebat dari Pedang Kabut Darah semakin intens, membuat tanah di sekitarnya retak. Energi merah gelap menyebar seperti kabut yang menyeramkan, memenuhi lembah dengan aura yang membawa ketakutan mendalam. Keenam Roh Kultivator berdiri dalam formasi, masing-masing mengerahkan energi spiritual mereka untuk meredam kekuatan dari Nisan Pedang Spiritual.Aiden mengangkat kedua tangannya, cahaya biru yang dingin memancar dari tubuhnya, menciptakan lingkaran perlindungan di sekitar nisan. “Kita tidak bisa membiarkan ini terjadi! Shin Kang harus tetap tersegel!”Guang Yu berdiri di sampingnya, tombak emas di tangannya bergetar, memancarkan aura yang berat. “Rendy, tetap di tempatmu! Jangan biarkan suara itu mempengaruhimu!”Namun, Rendy tidak bisa mengabaikan suara di dalam hatinya. Suara Shin Kang semakin jelas, seperti bisikan yang terus-menerus menarik perhatiannya. Aura merah gelap yang berasal dari Pedang Kabut Darah terasa begitu akrab, seolah memanggil jiwa terdalam Rendy.“Bocah!
Clara menatap tajam ke arah Rendy, matanya menyala dengan amarah yang tak tertahankan. "Jangan kau kira tindakanmu ini akan mengubah kebencianku padamu!" suaranya dingin, nyaris menggigit, tanpa sedikit pun nada terima kasih.Rendy menghela napas panjang, mencoba memahami kekerasan hati Clara. Wajahnya dipenuhi kebingungan, tetapi suaranya tetap tenang. "Aku terus mencarimu, Clara! Buat apa aku membunuhmu? Apa untungnya bagiku?" katanya, menatapnya lekat-lekat, mencari celah di balik tatapan penuh kebencian itu.Clara menyilangkan tangan di dadanya, dagunya sedikit terangkat, menegaskan keangkuhannya. "Aku tidak percaya padamu! Aku datang untuk memperingatimu. Berhenti mencari Kekuatan Tertinggi, atau kami akan menghancurkanmu!" suaranya bergetar, bukan karena takut, melainkan karena tekad yang membaja.Rendy mengernyit. "Kekuatan Tertinggi? Apakah organisasi itu yang membuatmu membenci aku?" tanyanya, mencoba menelisik lebih dalam.Clara tak menjawab. Dengan santai, ia melangkah ke b
Rendy menatap tubuh wanita yang berdiri di tengah kekacauan Klub Red Lotus. Gaun merahnya berkibar pelan, seolah ikut menari bersama cahaya lampu temaram yang berpendar di langit-langit. Aroma alkohol, asap rokok, dan keringat bercampur menjadi satu dalam udara yang berat. Mata Rendy menyipit, mengamati siluet wanita itu."Kenapa aku merasa mengenalnya?" pikirnya, langkahnya perlahan mendekat."Nona, ada masalah apa sampai kamu mengacau di Klub Red Lotus ini?" tanyanya dengan suara tenang namun penuh kewaspadaan.Plok! Plok! Plok!Tepukan tangan menggema, menggantikan hiruk-pikuk yang sempat mereda. Wanita bergaun merah itu tetap membelakanginya, tubuhnya tegak, aura misterius menguar dari setiap gerakannya."Apa kita perlu memanggil bantuan, Tuan Muda?" suara manager klub terdengar penuh kehati-hatian."Tidak perlu! Aku bisa mengatasinya sendiri!" Rendy menjawab, tetap melangkah maju.Sebuah tawa kecil menggema, renyah namun menusuk."Hihihi ... selamat datang, Jendral Wang!"Suara i
Tok! Tok! Tok!Suara ketukan di pintu menggema di dalam ruangan, menginterupsi atmosfer hangat yang tercipta antara Rendy dan Jessy. Rendy yang duduk di sofa menoleh dengan malas, sementara Jessy menghela napas panjang, kesal karena momennya terganggu."Siapa?" tanya Jessy, suaranya tajam, penuh ketidaksabaran.Pintu terbuka sedikit, memperlihatkan wajah pucat seorang pria berseragam hitam. Ia adalah manager klub, tampak gelisah, peluh mulai bercucuran di pelipisnya."Gawat, Chief! Ada sedikit masalah di Klub!" katanya dengan suara bergetar. Matanya sekilas melirik ke arah Rendy, lalu cepat-cepat menunduk saat melihat ekspresi tajam pria yang dikenal sebagai Naga Perang—sosok legendaris di dunia gelap Khatulistiwa.Jessy melipat tangan di dadanya, wajahnya penuh kejengkelan. "Masalah kecil saja tidak bisa kamu tangani! Bagaimana kamu bisa mempertahankan jabatanmu?"Seakan darahnya terkuras, wajah manager itu semakin pucat. Ia menelan ludah, tidak berani menatap Jessy."Apa yang terjad
Dalam keheningan yang hanya diisi suara dengungan komputer, Jessy menatap layar dengan penuh konsentrasi. Cahaya biru dari monitor memantul di wajahnya yang tegang, memperlihatkan garis-garis kelelahan yang tersembunyi di balik sorot matanya yang tajam. Jari-jarinya menari di atas keyboard, sesekali berhenti untuk meneliti setiap baris kode dengan seksama. Rendy berdiri di belakangnya, tubuhnya tegang seperti kawat yang ditarik kencang, matanya tak berkedip menatap layar holografik yang terus berubah di hadapan mereka."Aku menemukannya," bisik Jessy, suaranya bergetar oleh ketegangan yang nyaris tak tertahankan. "Ada lokasi yang tersembunyi dalam sistem mereka... Ini bukan sekadar markas biasa, Ketua. Ini pusat dari segalanya."Rendy mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Ada api yang menyala di matanya, kemarahan yang selama ini ia pendam akhirnya menemukan bentuknya. "Di situlah ibuku disekap?" tanyanya dengan suara yang nyaris bergetar.Jessy menoleh padanya, menatap dalam-dal
Di balik kerlip lampu dan gemerlap modernitas Red Lotus Club and Resort, Rendy melangkah dengan penuh ketegasan, namun di balik mata dinginnya tersimpan segudang kenangan. Di tengah kekacauan hidupnya—konflik dengan Cindy dan keputusannya untuk mencari kebenaran tentang ibunya—hanya satu hal yang selalu ia rindukan yaitu kehadiran Jessy Liu.Jessy, wanita yang telah lama menjadi bagian dari hidupnya, kini duduk di sebuah ruangan rahasia di balik dinding resort yang mewah. Di sana, di antara deretan monitor dan kode-kode digital yang menari, ia mungkin bisa menyusun petunjuk-petunjuk yang akan membongkar rahasia Kekuatan Tertinggi. Setiap detik tanpa Rendy terasa begitu lama baginya. Rindu yang selama ini tersembunyi di balik ketenangan profesional kini terpancar jelas saat ia melihat pintu terbuka perlahan."Ketua," panggilnya dengan nada lembut penuh harap, suaranya seakan melunakkan segala kegamangan. Saat Rendy melangkah mendekat, hatinya sejenak luluh oleh kehadiran wanita yang ta
Rendy tidak lagi menghiraukan Vera Huang. Wanita itu baginya bukan lagi seorang mertua, melainkan hanya semut yang bisa ia injak kapan saja jika ia mau. Matanya menatap kosong ke depan, tapi pikirannya dipenuhi kemarahan yang mendidih. Hatinya telah beku. Jika Cindy lebih memilih ibunya, maka ia akan pergi—mereka akan bercerai. Sesederhana itu."Masih ada hal yang lebih penting daripada mengurusi seorang mertua yang tidak berarti!" gumamnya, suara rendahnya nyaris seperti geraman. "Aku harus mencari tahu di mana ibuku yang ditahan oleh Kekuatan Tertinggi."Ia melangkah menuju gudang garasi, membuka pintu dengan sedikit tenaga. Derit engsel yang berkarat memenuhi udara, menyambutnya dengan suasana yang muram. Di dalam, skuter bututnya masih berdiri dengan setia, lapisan debu tipis menyelimutinya. Tanpa ragu, ia menyalakan mesin tua itu, suara bisingnya langsung menggema di seantero garasi.Baru saja ia hendak memutar gas, suara langkah kaki yang terburu-buru menghentikannya."Ren...!"
Vera menggertakkan giginya, rahangnya mengeras sementara napasnya memburu. Matanya menyala penuh kebencian, seperti bara api yang siap melalap habis apa pun di hadapannya. Dengan suara yang lebih tajam dari pisau belati, ia berdesis, "Aku tidak akan membiarkan ini terjadi! Huang Corporation tidak akan runtuh hanya karena seorang pria yang dulu kupandang sebelah mata! Kau bukan Naga Perang... Semua ini hanya kebetulan belaka."Rendy tetap berdiri dengan tenang, sikapnya tegap bagai gunung yang tak tergoyahkan oleh badai. Sorot matanya dingin, penuh ketegasan yang tak terbantahkan. "Sudah kubilang, Vera, ini baru permulaan. Kau pikir aku akan berhenti di sini? Tidak. Aku akan memastikan kau merasakan kehancuran yang lebih menyakitkan daripada sekadar kehilangan investasi. Kau telah mempermainkan hidupku, dan sekarang, aku yang akan menentukan nasibmu."Wajahnya yang dulu dikenal lemah lembut kini menampakkan ketegasan yang mengerikan. Rendy bukan lagi pria yang bisa diabaikan begitu saj
Di tengah ruangan yang remang, bayangan senja menari di dinding-dinding mewah, Vera mengeluarkan dengusan penuh ejekan. Matanya yang tajam dan dingin menembus kegelapan, seolah memancarkan bara amarah. Dengan suara yang menyeruak, ia mencaci,"Menolak? Hah! Kamu pikir dirimu siapa? Hanya seorang pecundang yang bahkan tidak mampu membeli dasi layak, berani menantangku!"Rendy, berdiri tegap bagaikan patung besi di tengah badai, menatap balik tanpa setitik ragu. Tatapannya yang tajam dan dingin menantang, seolah berkata bahwa ia telah lelah menjadi korban hinaan. Suaranya rendah namun menggema dengan kepastian, "Aku sudah muak dipandang rendah. Jika aku mengaku sebagai Naga Perang, maka aku memang Naga Perang! Dan jika kau memaksaku menceraikan Cindy demi keuntunganmu sendiri, kau akan merasakan penyesalan yang meendalam!"Rendy sudah habis kesabaran dengan sikap arogan Vera yang selalu menghinanya.Tawa sinis Vera pecah, melayang ke udara seperti asap pahit, "Oh, jadi sekarang kau meng
HA-HA-HA ...!!!Tawa itu meledak di udara, menggetarkan ruangan dengan gaungnya yang menusuk telinga. Vera Huang menepuk-nepuk pahanya, seolah ucapan yang baru didengarnya adalah lelucon paling konyol yang pernah ada."Ha-ha-ha! Astaga, Rendy! Aku tahu kamu ini miskin dan tidak berguna, tapi aku sungguh tidak menyangka kamu juga pintar membual!" katanya dengan nada mengejek, matanya menyipit penuh penghinaan.Rendy mengepalkan tangan, kuku-kukunya hampir menembus kulit telapak tangannya sendiri. Napasnya berat, dadanya naik turun dengan penuh amarah. "Aku tidak berbohong! Aku memang Naga Perang yang akan menarik seluruh investasi Wang Industries dari Huang Corporation! Aku sudah muak hidup seperti ini, tanpa kejelasan dan tanpa harga diri!" suaranya bergetar, bukan karena ketakutan, tapi karena tekad yang sudah tak bisa dibendung lagi"Mentang-mentang nama margamu sama dengan nama perusahaan Grade A, terus kamu klaim kalau itu perusahaanmu? Hah! Sungguh lucu dan tak masuk akal!" sind