Di Dragon Sky Tower, suasana megah dan modern mendominasi. Lantai atas gedung itu menjadi pusat kendali perusahaan raksasa yang kini berada di tangan Rendy Wang. Setelah pertarungan epik dengan Zhang Wei, Rendy menyadari bahwa kekuatannya belum cukup untuk menghadapi ancaman yang lebih besar. Ia memutuskan untuk mengunjungi Negeri Cakrawala, di mana Selina Khan—Elemental Naga Angin—tengah mengurus cabang perusahaan Dragon Sky. Namun, sebelum keberangkatannya, sebuah kejadian tak terduga mengubah hidupnya.Hari itu, di ruang konferensi utama Dragon Sky Tower, Katrin Chow tengah sibuk mengatur strategi agar perseteruan antara Rendy dan Zhang Wei tetap dirahasiakan dari media dan para pemegang saham. Katrin, dengan gaya profesionalnya, memimpin pertemuan dengan percaya diri.“Tuan Muda, semuanya sudah diatur. Tidak ada satu pun pemberitaan mengenai konflik internal ini yang bocor. Para pemegang saham hanya tahu bahwa kau menggantikan ayahmu sebagai CEO.” Katrin melirik Rendy, yang tampak
Rendy Wang tiba di Negeri Cakrawala, langkahnya mantap menuju Dragon Construction Tower. Meski lelah setelah pertempuran terakhir di Benteng Langit Kegelapan, ia tahu bahwa waktu tidak berpihak padanya. Kekuatan Zhang Wei semakin menjadi ancaman, dan penggabungan Elemental Naga Qi Angin adalah satu-satunya cara untuk menghadapi kultivator yang tak terkalahkan itu.Di ruang utama lantai 100, Selina Khan berdiri memandangi jendela besar yang memperlihatkan kota metropolitan dengan segala keindahannya. Gadis berambut merah itu menoleh ketika pintu terbuka.“Tuan Muda,” sapa Selina lembut namun penuh penghormatan. Ia sedikit membungkuk sebagai bentuk kesetiaan kepada Naga Perang. “Apa yang membawamu ke sini? Aku mendengar kabar kalau kau menghadapi Tuan Zhang di Benteng Langit Kegelapan.”Rendy mengangguk perlahan. ia tidak heran kalau Selina mengetahuinya karena kecerdasan wanita ini di atas rata-rata. Kelihaian Katrin menutupi kejadian di Benteng Langit Kegelapan tidak berpengaruh terha
Pintu lift terbuka dengan bunyi ding yang tajam. Rendy melangkah keluar, langkahnya santai, jaket cokelat lusuh melindunginya dari dingin yang menggigit.Tak pernah disangkanya akan ada kejadian yang sama persis seperti yang pernah dialaminya di masa sebelumnya.Rendy berjalan santai menuju Lobby yang mengarah ke pintu keluar.Matanya segera bertemu pandang dengan seorang petugas keamanan yang berdiri di depan meja resepsionis, ekspresinya kaku seperti patung batu."Heh! Apa kau karyawan di sini?" Suaranya berat, penuh curiga. Tatapannya menyapu Rendy dari kepala hingga ujung sepatu, seperti ingin menimbang nilai seseorang dari penampilannya saja. "Orang luar tidak diizinkan masuk, apalagi naik ke lantai atas. Kami harus memeriksa identitasmu!"Rendy mendengus kecil, memasukkan tangannya ke saku jaket, lalu menjawab dengan tenang, "Aku tamu Selina Khan."Ucapan itu, seolah memantik tawa. Lima petugas keamanan yang mengelilinginya meledak dalam gelak tawa yang menggema di koridor. Suar
Baru saja Rendy meninggalkan gedung perkantoran Dragon Construction, ponselnya berbunyi. Tertera telepon dari Selina Khan. Rendy penasaran dengan keinginan Elemental Naga Angin ini karena ia merasakan energi yang cukup besar dari Selina Khan."Tuan Muda, apa Tuan Muda berkenan untuk menginap beberapa hari di Resort Mentari Senja? Akan ada Lelang Artefak Kuno dalam dua hari ke depan di Balai Lelang Lotus Biru."Suara manis dan merdu Selina terdengar dari balik ponsel.Rendy terdiam sejenak, menimbang-nimbang apakah ia akan langsung terbang dengan pesawat jet pribadi ke Negeri Andalas atau be,rtahan di Negara Cakrawala untuk menghadiri lelang artefak."Apa yang menarik dari lelang tersebut? Kenapa aku harus menunda perjalananku?" tanya Renndy dengan sikap yang dingin.Selina yang tidak menduga mendapatkan jawaban dingin dari Rendy melanjutkan bujukannya."Ada lelang Tungku Alkemis Kuno, Pedang Pembunuh Naga, Giok Naga Merah, dan Pil Seribu Tahun yang menjadi bintang dalam lelang ini sel
Di ruang rapat eksklusif di lantai atas Dragon Construction Tower, Selina Khan duduk dengan anggun di depan Rendy. Di meja kaca, proyektor mini memancarkan gambar artefak yang akan dilelang di Balai Lelang Lotus Biru."Barang-barang ini bukan sekadar artefak biasa, Tuan Muda," Selina memulai, suaranya lembut namun sarat keyakinan. "Masing-masing memiliki sejarah panjang dan kekuatan unik yang bisa mengubah permainan, bahkan untuk seorang seperti Anda."Rendy menyandarkan tubuhnya ke kursi, kedua tangannya bersilang di dada. "Jelaskan lebih rinci," katanya singkat, matanya tajam menatap proyeksi pertama.Gambar pertama menampilkan sebuah tungku berbentuk bulat, dengan ukiran rumit berbentuk naga yang melilit di permukaannya. Cahaya keemasan samar terpancar dari retakan kecil di tubuhnya."Ini adalah Tungku Alkemis Kuno," jelas Selina. "Diyakini milik seorang alkemis legendaris dari Negeri Langit. Tungku ini mampu mempercepat proses pembuatan pil dan eliksir hingga sepuluh kali lipat, s
Di ruang rapat yang remang dengan suasana serius, tatapan Rendy masih tak lepas dari proyeksi Giok Naga Merah. Cahaya merah menyala dari batu giok itu seolah menembus layar, memancarkan aura Qi yang begitu kuat hingga udara di sekitar terasa lebih berat.Rasa panas yang menyengat dirasakan oleh Rendy padahal mereka berada di dalam ruangan bersuhu dingin dengan AC yang menyala 24 jam.Selina juga menyadari perubahan suhu ruangan secara tiba-tiba saat gambar Giok Naga Merah muncul di layar proyektor. Langsung gadis ini mematikan proyektor dan menyalakan lampu ruangan kembali. "Menarik," gumam Rendy, suaranya nyaris tak terdengar. Namun Selina, yang berdiri di sisinya, menangkap perubahan di wajahnya—campuran rasa ingin tahu dan kehati-hatian. "Tuan Muda," Selina berkata, mencoba memecah kesunyian. "Giok Naga Merah memang terkenal dengan kekuatannya yang destruktif. Banyak yang mencoba memilikinya, tapi hampir semuanya gagal mengendalikannya. Legenda bahkan menyebutkan giok ini pernah
Rendy berdiri di balkon ruang VIP gedung Dragon Construction, menikmati hembusan angin malam yang membawa aroma hujan. Matanya menatap jauh ke arah horizon kota metropolitan yang berkilauan seperti lautan bintang. Di belakangnya, suara langkah lembut terdengar, dan ia tahu siapa yang datang. "Felicia," katanya tanpa menoleh."Bagaimana kamu bisa muncul di dunia nyata? Bukankah tempatmu hanya di dalam Lembah Roh Kultivator?" tanya Rendy yang merasa heran dengan kemunculan salah satu roh kultivator kuat dari Nisan Pedang Spiritual.Felicia Shang, wanita berambut hitam panjang dengan sorot mata setajam pedang, berjalan mendekat. Gaun panjangnya berkibar tertiup angin. Meski wajahnya terlihat tenang, ada kekhawatiran yang sulit disembunyikan dalam tatapannya."Aku bisa kemana saja sesuai keinginanku, Rendy. ... aku mendengar tentang rencanamu untuk menghadiri lelang di Lotus Biru," katanya pelan, namun penuh penekanan. "Dan juga tentang ketertarikanmu pada Giok Naga Merah." Rendy hanya
Langit sore berwarna jingga keemasan, memeluk bangunan megah Resort Matahari Senja yang berdiri anggun di tepi pantai berpasir putih. Angin laut membawa aroma garam dan bunga tropis, menyatu dengan gemerisik dedaunan kebun tropis yang mengelilingi tempat itu. Bangunan utama resort memadukan gaya modern minimalis dengan elemen tradisional: kayu ukir, dinding kaca yang memantulkan panorama, dan lampu gantung rotan yang menambah suasana hangat.Rendy melangkah keluar dari mobil mewah yang diatur Selina. Udara sore yang sejuk menyambutnya, bersama seorang butler berseragam rapi yang membungkuk sopan."Selamat datang di Resort Matahari Senja, Tuan Rendy," sapanya, menyodorkan segelas jus markisa segar dengan sentuhan daun mint.Rendy mengambil gelas itu, mencicipi sedikit. Kesegaran jus langsung meluncur di tenggorokannya, membangkitkan kembali semangat yang terkuras. Ia hanya mengangguk singkat, lalu mengikuti langkah butler menuju vila pribadinya.Vila itu terletak di sudut paling terpen
Azerith terdorong mundur, wajahnya kini lebih menyerupai bayangan iblis daripada manusia. Dengan tatapan penuh amarah dan kebencian, ia memutar tubuhnya. Pedang Iblis Merah ditebaskan dalam gerakan spiral yang nyaris mustahil ditangkap mata telanjang. Setiap sabetan memotong udara, menciptakan bilah-bilah energi merah gelap yang melesat seperti anak panah roh—menyasar bukan tubuh, tapi langsung pada jiwa.Namun, Rendy tak mundur.Dengan satu putaran cepat, Pedang Kabut Darah menyapu seluruh bilah serangan. Dalam sekejap, tercipta pusaran merah-putih yang menghisap dan membelokkan serangan itu, meledakkannya menjadi hujan cahaya yang luruh ke tanah seperti bintang jatuh yang kehabisan nyala.Azerith tertegun. Napasnya berat, jiwanya tergerus perlahan.Rendy berdiri di tengah pusaran cahaya yang perlahan mereda, tubuhnya luka namun tak gentar. Ia menatap lawannya—mata yang tak lagi menyimpan rasa benci, hanya keteguhan.“Aku tidak akan melawan kutukanmu dengan sihir,” gumamnya pelan namu
Angin terhenti begitu saja, seperti makhluk hidup yang menahan napas. Debu menggantung di udara, tak sempat jatuh. Waktu—biasanya tak terbendung—kini seperti dipaksa berhenti, membeku dalam ketegangan yang mencekam.Dari balik semburan cahaya yang menyilaukan mata, dan langit yang retak seperti kaca dihantam palu raksasa, dua sosok berdiri. Tak sempurna. Tak utuh. Namun masih tegak—meski dunia seolah menolak keberadaan mereka.Rendy terhuyung, nafasnya tersengal seolah paru-parunya terbakar dari dalam. Darah mengalir dari pelipis dan sudut bibirnya, menggurat merah pekat di wajah yang dipenuhi luka dan debu pertempuran. Namun, cahaya merah menyala di sekeliling tubuhnya, tak padam sedikit pun. Justru semakin membara.Aura naga itu bukan lagi sekadar energi—ia menjadi bagian dari dirinya. Sisik merah menyala terbentuk dari cahaya murni, mengilap seperti batu rubi. Tanduk melengkung memanjang dari pelipisnya, sementara sayap raksasa perlahan mekar dari punggungnya, mengepak pelan seperti
“Jangan menyerah!” Suara itu meluncur membelah senyap, nyaring dan penuh nyawa. Gaungnya memantul di tebing-tebing gelap Negeri Malam, menghentak dada siapa pun yang mendengarnya. Tegas. Tak tergoyahkan. “Kekuatan mereka memang besar… tapi bukan tak terbatas! Jika kita mampu bertahan, maka mereka akan tumbang—oleh kesombongan dan kekuatan mereka sendiri!”Laras berdiri terpaku. Nafasnya berat, terseret di antara angin dingin dan aroma darah yang menggantung di udara. Kepalanya menunduk perlahan, bayangan luka dan kehilangan berkecamuk di matanya. Dengan gerakan lirih, ia membuka payung ungu kesayangannya—gerakan kecil yang mengandung ribuan kutukan.“Ini sudah melewati batas…” ucapnya, suara nyaris tak lebih dari bisikan yang terbawa angin. Lalu, dengan ketenangan yang menakutkan, ia menancapkan payung itu ke tanah.KRAAAK ...Begitu ujung payung menyentuh tanah, suara retakan halus terdengar—seolah bumi sendiri merintih. Aura ungu merembes keluar dari celah tanah, melilit udara sepert
Langit Negeri Malam seakan telah robek.Azerith melesat keluar dari kawah api yang ia ciptakan sendiri. Tubuhnya diselimuti aura hitam pekat, berkilauan seperti logam cair yang mendidih. Sayap iblis terbuka lebar di punggungnya—bukan sayap biasa, tapi sayap yang terbuat dari bayangan penderitaan ribuan jiwa. Di belakangnya, dua mata raksasa tanpa kelopak muncul di langit, menatap ke segala arah.“Rendy…” suara Azerith menggema seperti jeritan dari dasar neraka, “Aku sudah mati... berkali-kali... untuk negeri ini. Tapi ayah kami—ayahku—dibunuh olehmu. Kau dan ambisimu untuk perdamaian, hanya menyisakan pembantaian!”Rendy tak menjawab. Sorot matanya tajam, dan api merah dari Pedang Kabut Darah makin membara. Aura spiritual di sekeliling tubuhnya membentuk cincin cahaya merah tua yang berdenyut seirama dengan detak jantungnya.“Kau ingin kebenaran, Azerith?” seru Rendy, melayang perlahan maju. “Bukankah aku sudah bilang kalau ayahmu ingin menghancurkan dunia dan bersekutu dengann kekuata
Tak jauh dari situ, Lintang mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Tongkat itu memancarkan cahaya biru langit, lalu menyala terang seperti bintang meledak.“Wahai semesta! Beri aku kekuatan!”Lintang menghentak tanah dengan ujung tongkat. Seketika, dari bawah tanah muncul jaring akar-akar bercahaya yang menjulur dan menyambar para prajurit tanpa jiwa, menarik mereka masuk ke dalam bumi yang menganga. Suara jeritan mengerikan bergema ketika tubuh-tubuh itu ditelan tanah.Tiga prajurit melompat dari sisi kanan—Lintang memutar tongkatnya, mengubahnya menjadi cambuk cahaya. Dengan gerakan cepat dan presisi, cambuk itu membelit leher dan tangan lawan-lawannya, lalu ditarik ke satu arah hingga mereka saling bertabrakan dan meledak menjadi abu.*****Dari atas reruntuhan, melayanglah Lily, gaunnya mengepak, kipas giok di tangan kanannya terbuka perlahan.“Jangan meremehkan kelembutan…”Ia mengibaskan kipas sekali. Angin yang keluar bukan sekadar angin—ia adalah gelombang serangan berbentuk kelo
Rendy tak bergeming. Ia melangkah ke depan, dan setiap langkahnya seperti membangunkan tanah yang tertidur. Aura panas merambat dari tubuhnya, membuat udara di sekitarnya bergetar samar. Lalu, suara hatinya menggema—keras, tegas, mengguncang lebih dari sekadar suara.“Aku tidak takut pada mereka!” serunya, dan dalam sekejap, tubuhnya diselimuti oleh cahaya merah yang membakar. Dari balik punggung dan dadanya, muncul siluet seekor naga—merah membara, melingkar seperti pusaran petir yang hendak menerkam. Matanya menyala, dan setiap sisiknya memantulkan kilatan kekuatan purba.Lintang membeku. Matanya membelalak tak percaya. Di sebelahnya, Laras mundur satu langkah, tubuhnya bergetar hebat.“Mustahil…” bisiknya dengan suara tercekat. “Ras Naga sudah punah… jutaan tahun yang lalu…”Rendy menatap lurus ke mata Azerith. Tak ada keraguan. Tak ada gentar. Hanya kepercayaan yang tak tergoyahkan.“Ini bukan tentang balas dendam,” katanya pelan, namun suaranya mengandung kekuatan yang tak bisa di
Kilatan petir terakhir mencabik langit, menyambar reruntuhan yang hangus di belakang Azerith. Sekilas, cahaya itu memahat siluet sosoknya yang menjulang tinggi, berdiri laksana dewa penghancur dengan pedang terangkat ke langit. Dari bilah senjata itu, lidah-lidah api neraka melompat liar, memekik dalam nyala yang bukan hanya membakar udara, tapi juga jiwa. Tangisan lirih bergema dari logamnya—jeritan ribuan roh yang terperangkap di dalam, merintih antara harapan akan kebebasan… atau kehancuran abadi.Sheila tersentak. Tumitnya bergeser ke belakang, satu langkah kecil yang nyaris tak terdengar. Bukan ketakutan yang membuatnya mundur, tapi sesuatu yang lebih kompleks—kesadaran akan kekuatan yang berdiri di hadapannya.“Rendy…” bisiknya, tangan refleks terangkat. Tapi sebelum ia bergerak lebih jauh, sebuah tangan menggenggam pergelangannya.“Jangan,” ujar Rendy pelan, suaranya rendah tapi tegas, nyaris seperti bisikan petir sebelum badai.Tatapannya tertuju penuh pada Azerith, dan di mata
Azerith melangkah maju, jubahnya berkibar perlahan seiring gerakannya. Suhu ruangan turun drastis. Nafas menjadi uap putih.“Itu semua hanya... umpan. Seleksi alam, Sheila. Dunia Bawah tidak butuh simpati. Ia menuntut kekuatan. Yang lemah... hilang. Yang kuat... bertahan. Itu hukum satu-satunya di sini.”Ia berhenti tepat di depan Sheila. Mereka hanya dipisahkan oleh helai napas.“Tapi kau... masih terlalu naif untuk mengerti.”Sheila menggertakkan gigi, menahan amarah. Tapi matanya tidak berpaling.“Kau bukan Tuhan, Azerith. Dan aku di sini... untuk menjatuhkan dewa palsu.”Langkah Rendy menggema di antara debu dan reruntuhan menara tua. Bayangan dari nyala obor menari di wajahnya yang tegang, rahangnya mengeras. Matanya tajam, penuh kemarahan yang tak bisa lagi ditahan.“Kau menyebut kehancuran sebagai seleksi?” suaranya memotong keheningan seperti kilatan petir. “Kau buang anak-anak, wanita, dan turis tak berdosa hanya untuk eksperimen sosial?”Angin mendesis, membawa aroma tanah ba
Dua malam telah berlalu sejak aliansi antara Rendy dan Sheila terbentuk—sebuah kesepakatan rapuh yang ditandai dengan percikan api kebencian masa lalu dan bara tekad akan pembalasan. Malam ini, langit Negeri Malam tampak lebih kelam dari biasanya, seolah bintang pun enggan menatap apa yang akan terjadi.Delapan sosok berdiri tegak di pelataran batu obsidian di depan Menara Tanpa Bayangan—bangunan menjulang dengan dinding berkilau hitam pekat yang tampak hidup, berdenyut halus seperti nadi monster kuno yang sedang tertidur. Cahaya bulan pun lenyap begitu menyentuh permukaannya, seakan tertelan oleh lapisan spiritual yang tak mengenal pantulan.Rendy berdiri paling depan. Nafasnya terlihat dalam kepulan dingin malam, tapi keringat hangat membasahi tengkuknya. Di sisinya, Sheila tampak tenang, namun sorot matanya tajam seperti bilah belati yang disembunyikan di balik senyuman.Empat Penjuru Angin mengitari mereka dalam formasi setengah lingkaran, menjaga dua orang di belakang: para saksi