Di puncak gunung yang diselimuti awan gelap, Zhang Wei berdiri dengan tatapan tajam menembus kegelapan. Jubah hitamnya berkibar oleh angin dingin yang membawa aroma kematian. Sebagai kultivator terkuat di dunia, Zhang Wei adalah simbol ketakutan dan kekuasaan, sosok yang mampu membuat dunia bergetar hanya dengan sebutir kata.Di belakangnya, puluhan kultivator dari berbagai tingkat berdiri dengan sikap hormat, menunggu perintah dari penguasa mereka. Zhang Wei melirik salah satu di antara mereka—Seorang pria tua dengan rambut putih panjang yang auranya memancarkan tekanan luar biasa."Ada yang mencoba mencariku," suara Zhang Wei terdengar seperti bisikan tetapi penuh dengan kewibawaan. "Siapa dia?"Pria tua itu membungkuk dengan hormat sebelum menjawab, "Kami belum mendapatkan informasi lengkap, tetapi yang kami tahu, dia adalah seorang pemuda dengan kekuatan yang tidak biasa. Rumor mengatakan bahwa dia menggunakan teknik-teknik yang bahkan tidak berasal dari dunia ini."Zhang Wei ters
"Aku akan menunggu," bisiknya, senyuman tipis kembali menghiasi wajahnya. "Dan aku akan memastikan dia tidak akan pernah melupakan pertemuannya denganku."Di sisi lain, Zhang Wei berdiri di aula besar Benteng Langit Kegelapan, dikelilingi oleh murid-muridnya yang setia. Aula itu megah sekaligus mengerikan, diterangi cahaya redup dari obor-obor dengan api hijau, memancarkan suasana dingin yang menusuk tulang. Di langit-langit aula, ukiran-ukiran relief menggambarkan kisah-kisah kelam peperangan dan kehancuran, seolah menjadi saksi bisu kebesaran pemimpinnya.Zhang Wei memandangi peta dunia di hadapannya. Wilayah yang dikuasainya ditandai dengan tinta merah tua, hampir separuh dunia sudah berada di bawah kendalinya. Namun, satu titik kecil di luar wilayahnya kini memancarkan ancaman."Dia menuju ke sini," lapor seorang kultivator muda yang baru saja kembali dari penjaga wilayah luar. Tubuhnya bergetar saat berdiri di depan Zhang Wei.Zhang Wei tertawa kecil, suaranya dalam dan mengintim
Di aula besar Benteng Langit Kegelapan, Zhang Wei duduk di atas singgasana megahnya, mengenakan jubah hitam berhiaskan pola naga emas yang memancarkan aura angkuh. Para murid dan pengikutnya berjajar di sisi aula, menunduk dalam kepatuhan mutlak.Ketika suara langkah Rendy Wang menggema di aula itu, Zhang Wei membuka matanya perlahan, sorotannya tajam seperti kilat yang menusuk malam gelap. Dengan santai, ia mengamati pemuda yang berani menerobos Benteng Langit Kegelapan tanpa izin."Jadi, kau akhirnya datang," kata Zhang Wei dengan suara dalam dan dingin. wajahnya agak terkejut begitu menyadari kalau pemuda yang ditunggunya ini adalah anaknya sendiri yang diremehkan olehnya."Aku kira kau datang untuk memohon menjadi muridku, belajar kultivasi tingkat tinggi dari sang penguasa kegelapan."Rendy, yang sudah berdiri tegak di tengah aula, hanya tersenyum tipis. "Aku tidak datang untuk belajar darimu, Zhang Wei. Aku datang untuk mengakhiri kekuasaanmu."Tidak ada panggilan ayah terhadap
Pertanyaan itu menghentikan Zhang Wei sejenak, tetapi hanya untuk sesaat. Ia kembali menyerang dengan lebih ganas, tetapi Rendy melihat celah dalam serangannya.Dengan satu tebasan kuat, Rendy mematahkan pertahanan Zhang Wei, membuatnya terlempar ke belakang. Zhang Wei terjatuh, darah mengalir dari sudut bibirnya.Perasaan terhina menghinggapi Zhang Wei karena ia kalah telak di hadapan anak buahnya.Pertarungan ini belum selesai, tetapi untuk pertama kalinya, Zhang Wei merasakan sesuatu yang belum pernah ia alami sebelumnya—rasa takut.Zhang Wei bangkit perlahan, tubuhnya diselimuti aura mengerikan. Wajahnya memancarkan kebanggaan penuh dendam, dan senyum licik tersungging di bibirnya. Dengan kedua tangan terangkat, ia memanggil energi dari ranah Immortal Ascension, membuat langit di atas Benteng Langit Kegelapan mendung dan bergetar.“Ini adalah kekuatan sejati seorang penguasa!” serunya. “Rendy Wang, kau akan menjadi saksi terakhir dari kekuatan absolut ini!”Zhang Wei mulai melantu
Rendy Wang berdiri tegak di tengah aura keemasan yang memancar dari tubuhnya. Pedang Elixir Felicia Shang berada di tangannya, bersinar seperti matahari yang tidak pernah pudar. Qi Nirvana Elixir mengalir deras dalam pembuluh energinya, membuat setiap gerakannya bagaikan tarian yang penuh keagungan dan kekuatan.Di hadapannya, Zhang Wei memancarkan kekuatan yang tidak kalah dahsyat. Aura dari Kuburan Pedang Spiritual menciptakan badai energi gelap yang terus berputar di sekelilingnya. Di udara, puluhan pedang spiritual melayang, mengeluarkan dengungan yang mengintimidasi."Rendy Wang! Qi Nirvana Elixir-mu mungkin kuat, tapi tidak ada yang bisa menandingi kekuatan Kuburan Pedang Spiritual ini. Bersiaplah mati di bawah ribuan pedangku!" teriak Zhang Wei, suaranya menggelegar seperti guntur.Zhang Wei melancarkan serangan pertama. Dengan gerakan cepat, ia mengendalikan puluhan pedang spiritual yang melesat seperti kilat ke arah Rendy. Serangan ini membentuk formasi Rantai Pedang Jiwa, te
Rendy Wang melangkah dengan tenang, meski tubuhnya telah penuh luka dan napasnya mulai tersengal. Pedang Elixir di tangannya memancarkan aura Qi Nirvana yang menyala-nyala, bagaikan api abadi yang tidak pernah padam. Namun, Zhang Wei, meski jelas kelelahan dan terluka parah, masih memancarkan energi gelap dari Kuburan Pedang Spiritual. Mata pria itu berkilat dengan semangat perlawanan yang tak mau padam."Rendy Wang..." suara Zhang Wei terdengar serak, namun dipenuhi tekad. "Kau membuatku terdesak lebih dari siapapun yang pernah aku hadapi. Tapi jangan berpikir kau sudah menang. Aku akan menunjukkanmu mengapa aku disebut Kultivator Terkuat.Zhang Wei tiba-tiba mengangkat tangannya ke udara, memanggil seluruh kekuatan Kuburan Pedang Spiritual. Sebuah gemuruh terdengar, seperti ratusan roh meraung dalam penderitaan. Tanah di sekitar mereka bergetar hebat, dan retakan mulai terbentuk di benteng."Ritual Jiwa Terakhir-Penyerapan Roh Kuburan!"Tubuh Zhang Wei mulai menyerap roh-roh dari pe
Rendy Wang berdiri tegap dengan Pedang Elixir di tangannya, memancarkan aura Qi Nirvana yang semakin kuat. Di hadapannya, Zhang Wei memegang Pedang Darah Kehancuran, sebuah pedang raksasa yang tampak hidup, berdenyut seperti urat nadi, dengan energi merah darah yang menguar ganas. Atmosfer di sekitar mereka terasa begitu berat, seolah dunia sendiri menahan napas untuk menyaksikan pertarungan dua kekuatan dahsyat ini.Zhang Wei menyeringai, meskipun tubuhnya penuh luka. “Rendy Wang, aku akui kau tangguh. Tapi Pedang Darah Kehancuran ini adalah akhir dari semua lawan yang berani menantangku. Bersiaplah untuk mati!”“Kau terlalu percaya diri, Zhang Wei,” jawab Rendy dengan tenang, matanya bersinar dengan tekad. “Felicia Shang tidak hanya memberiku kekuatan penyembuh, tetapi juga teknik pamungkas yang akan mengakhiri kejahatanmu.”Zhang Wei mengayunkan Pedang Darah Kehancuran dengan satu gerakan besar. Tebasan itu menciptakan gelombang energi merah yang memotong tanah, membelah bukit-buki
Di Dragon Sky Tower, suasana megah dan modern mendominasi. Lantai atas gedung itu menjadi pusat kendali perusahaan raksasa yang kini berada di tangan Rendy Wang. Setelah pertarungan epik dengan Zhang Wei, Rendy menyadari bahwa kekuatannya belum cukup untuk menghadapi ancaman yang lebih besar. Ia memutuskan untuk mengunjungi Negeri Cakrawala, di mana Selina Khan—Elemental Naga Angin—tengah mengurus cabang perusahaan Dragon Sky. Namun, sebelum keberangkatannya, sebuah kejadian tak terduga mengubah hidupnya.Hari itu, di ruang konferensi utama Dragon Sky Tower, Katrin Chow tengah sibuk mengatur strategi agar perseteruan antara Rendy dan Zhang Wei tetap dirahasiakan dari media dan para pemegang saham. Katrin, dengan gaya profesionalnya, memimpin pertemuan dengan percaya diri.“Tuan Muda, semuanya sudah diatur. Tidak ada satu pun pemberitaan mengenai konflik internal ini yang bocor. Para pemegang saham hanya tahu bahwa kau menggantikan ayahmu sebagai CEO.” Katrin melirik Rendy, yang tampak
Azerith terdorong mundur, wajahnya kini lebih menyerupai bayangan iblis daripada manusia. Dengan tatapan penuh amarah dan kebencian, ia memutar tubuhnya. Pedang Iblis Merah ditebaskan dalam gerakan spiral yang nyaris mustahil ditangkap mata telanjang. Setiap sabetan memotong udara, menciptakan bilah-bilah energi merah gelap yang melesat seperti anak panah roh—menyasar bukan tubuh, tapi langsung pada jiwa.Namun, Rendy tak mundur.Dengan satu putaran cepat, Pedang Kabut Darah menyapu seluruh bilah serangan. Dalam sekejap, tercipta pusaran merah-putih yang menghisap dan membelokkan serangan itu, meledakkannya menjadi hujan cahaya yang luruh ke tanah seperti bintang jatuh yang kehabisan nyala.Azerith tertegun. Napasnya berat, jiwanya tergerus perlahan.Rendy berdiri di tengah pusaran cahaya yang perlahan mereda, tubuhnya luka namun tak gentar. Ia menatap lawannya—mata yang tak lagi menyimpan rasa benci, hanya keteguhan.“Aku tidak akan melawan kutukanmu dengan sihir,” gumamnya pelan namu
Angin terhenti begitu saja, seperti makhluk hidup yang menahan napas. Debu menggantung di udara, tak sempat jatuh. Waktu—biasanya tak terbendung—kini seperti dipaksa berhenti, membeku dalam ketegangan yang mencekam.Dari balik semburan cahaya yang menyilaukan mata, dan langit yang retak seperti kaca dihantam palu raksasa, dua sosok berdiri. Tak sempurna. Tak utuh. Namun masih tegak—meski dunia seolah menolak keberadaan mereka.Rendy terhuyung, nafasnya tersengal seolah paru-parunya terbakar dari dalam. Darah mengalir dari pelipis dan sudut bibirnya, menggurat merah pekat di wajah yang dipenuhi luka dan debu pertempuran. Namun, cahaya merah menyala di sekeliling tubuhnya, tak padam sedikit pun. Justru semakin membara.Aura naga itu bukan lagi sekadar energi—ia menjadi bagian dari dirinya. Sisik merah menyala terbentuk dari cahaya murni, mengilap seperti batu rubi. Tanduk melengkung memanjang dari pelipisnya, sementara sayap raksasa perlahan mekar dari punggungnya, mengepak pelan seperti
“Jangan menyerah!” Suara itu meluncur membelah senyap, nyaring dan penuh nyawa. Gaungnya memantul di tebing-tebing gelap Negeri Malam, menghentak dada siapa pun yang mendengarnya. Tegas. Tak tergoyahkan. “Kekuatan mereka memang besar… tapi bukan tak terbatas! Jika kita mampu bertahan, maka mereka akan tumbang—oleh kesombongan dan kekuatan mereka sendiri!”Laras berdiri terpaku. Nafasnya berat, terseret di antara angin dingin dan aroma darah yang menggantung di udara. Kepalanya menunduk perlahan, bayangan luka dan kehilangan berkecamuk di matanya. Dengan gerakan lirih, ia membuka payung ungu kesayangannya—gerakan kecil yang mengandung ribuan kutukan.“Ini sudah melewati batas…” ucapnya, suara nyaris tak lebih dari bisikan yang terbawa angin. Lalu, dengan ketenangan yang menakutkan, ia menancapkan payung itu ke tanah.KRAAAK ...Begitu ujung payung menyentuh tanah, suara retakan halus terdengar—seolah bumi sendiri merintih. Aura ungu merembes keluar dari celah tanah, melilit udara sepert
Langit Negeri Malam seakan telah robek.Azerith melesat keluar dari kawah api yang ia ciptakan sendiri. Tubuhnya diselimuti aura hitam pekat, berkilauan seperti logam cair yang mendidih. Sayap iblis terbuka lebar di punggungnya—bukan sayap biasa, tapi sayap yang terbuat dari bayangan penderitaan ribuan jiwa. Di belakangnya, dua mata raksasa tanpa kelopak muncul di langit, menatap ke segala arah.“Rendy…” suara Azerith menggema seperti jeritan dari dasar neraka, “Aku sudah mati... berkali-kali... untuk negeri ini. Tapi ayah kami—ayahku—dibunuh olehmu. Kau dan ambisimu untuk perdamaian, hanya menyisakan pembantaian!”Rendy tak menjawab. Sorot matanya tajam, dan api merah dari Pedang Kabut Darah makin membara. Aura spiritual di sekeliling tubuhnya membentuk cincin cahaya merah tua yang berdenyut seirama dengan detak jantungnya.“Kau ingin kebenaran, Azerith?” seru Rendy, melayang perlahan maju. “Bukankah aku sudah bilang kalau ayahmu ingin menghancurkan dunia dan bersekutu dengann kekuata
Tak jauh dari situ, Lintang mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Tongkat itu memancarkan cahaya biru langit, lalu menyala terang seperti bintang meledak.“Wahai semesta! Beri aku kekuatan!”Lintang menghentak tanah dengan ujung tongkat. Seketika, dari bawah tanah muncul jaring akar-akar bercahaya yang menjulur dan menyambar para prajurit tanpa jiwa, menarik mereka masuk ke dalam bumi yang menganga. Suara jeritan mengerikan bergema ketika tubuh-tubuh itu ditelan tanah.Tiga prajurit melompat dari sisi kanan—Lintang memutar tongkatnya, mengubahnya menjadi cambuk cahaya. Dengan gerakan cepat dan presisi, cambuk itu membelit leher dan tangan lawan-lawannya, lalu ditarik ke satu arah hingga mereka saling bertabrakan dan meledak menjadi abu.*****Dari atas reruntuhan, melayanglah Lily, gaunnya mengepak, kipas giok di tangan kanannya terbuka perlahan.“Jangan meremehkan kelembutan…”Ia mengibaskan kipas sekali. Angin yang keluar bukan sekadar angin—ia adalah gelombang serangan berbentuk kelo
Rendy tak bergeming. Ia melangkah ke depan, dan setiap langkahnya seperti membangunkan tanah yang tertidur. Aura panas merambat dari tubuhnya, membuat udara di sekitarnya bergetar samar. Lalu, suara hatinya menggema—keras, tegas, mengguncang lebih dari sekadar suara.“Aku tidak takut pada mereka!” serunya, dan dalam sekejap, tubuhnya diselimuti oleh cahaya merah yang membakar. Dari balik punggung dan dadanya, muncul siluet seekor naga—merah membara, melingkar seperti pusaran petir yang hendak menerkam. Matanya menyala, dan setiap sisiknya memantulkan kilatan kekuatan purba.Lintang membeku. Matanya membelalak tak percaya. Di sebelahnya, Laras mundur satu langkah, tubuhnya bergetar hebat.“Mustahil…” bisiknya dengan suara tercekat. “Ras Naga sudah punah… jutaan tahun yang lalu…”Rendy menatap lurus ke mata Azerith. Tak ada keraguan. Tak ada gentar. Hanya kepercayaan yang tak tergoyahkan.“Ini bukan tentang balas dendam,” katanya pelan, namun suaranya mengandung kekuatan yang tak bisa di
Kilatan petir terakhir mencabik langit, menyambar reruntuhan yang hangus di belakang Azerith. Sekilas, cahaya itu memahat siluet sosoknya yang menjulang tinggi, berdiri laksana dewa penghancur dengan pedang terangkat ke langit. Dari bilah senjata itu, lidah-lidah api neraka melompat liar, memekik dalam nyala yang bukan hanya membakar udara, tapi juga jiwa. Tangisan lirih bergema dari logamnya—jeritan ribuan roh yang terperangkap di dalam, merintih antara harapan akan kebebasan… atau kehancuran abadi.Sheila tersentak. Tumitnya bergeser ke belakang, satu langkah kecil yang nyaris tak terdengar. Bukan ketakutan yang membuatnya mundur, tapi sesuatu yang lebih kompleks—kesadaran akan kekuatan yang berdiri di hadapannya.“Rendy…” bisiknya, tangan refleks terangkat. Tapi sebelum ia bergerak lebih jauh, sebuah tangan menggenggam pergelangannya.“Jangan,” ujar Rendy pelan, suaranya rendah tapi tegas, nyaris seperti bisikan petir sebelum badai.Tatapannya tertuju penuh pada Azerith, dan di mata
Azerith melangkah maju, jubahnya berkibar perlahan seiring gerakannya. Suhu ruangan turun drastis. Nafas menjadi uap putih.“Itu semua hanya... umpan. Seleksi alam, Sheila. Dunia Bawah tidak butuh simpati. Ia menuntut kekuatan. Yang lemah... hilang. Yang kuat... bertahan. Itu hukum satu-satunya di sini.”Ia berhenti tepat di depan Sheila. Mereka hanya dipisahkan oleh helai napas.“Tapi kau... masih terlalu naif untuk mengerti.”Sheila menggertakkan gigi, menahan amarah. Tapi matanya tidak berpaling.“Kau bukan Tuhan, Azerith. Dan aku di sini... untuk menjatuhkan dewa palsu.”Langkah Rendy menggema di antara debu dan reruntuhan menara tua. Bayangan dari nyala obor menari di wajahnya yang tegang, rahangnya mengeras. Matanya tajam, penuh kemarahan yang tak bisa lagi ditahan.“Kau menyebut kehancuran sebagai seleksi?” suaranya memotong keheningan seperti kilatan petir. “Kau buang anak-anak, wanita, dan turis tak berdosa hanya untuk eksperimen sosial?”Angin mendesis, membawa aroma tanah ba
Dua malam telah berlalu sejak aliansi antara Rendy dan Sheila terbentuk—sebuah kesepakatan rapuh yang ditandai dengan percikan api kebencian masa lalu dan bara tekad akan pembalasan. Malam ini, langit Negeri Malam tampak lebih kelam dari biasanya, seolah bintang pun enggan menatap apa yang akan terjadi.Delapan sosok berdiri tegak di pelataran batu obsidian di depan Menara Tanpa Bayangan—bangunan menjulang dengan dinding berkilau hitam pekat yang tampak hidup, berdenyut halus seperti nadi monster kuno yang sedang tertidur. Cahaya bulan pun lenyap begitu menyentuh permukaannya, seakan tertelan oleh lapisan spiritual yang tak mengenal pantulan.Rendy berdiri paling depan. Nafasnya terlihat dalam kepulan dingin malam, tapi keringat hangat membasahi tengkuknya. Di sisinya, Sheila tampak tenang, namun sorot matanya tajam seperti bilah belati yang disembunyikan di balik senyuman.Empat Penjuru Angin mengitari mereka dalam formasi setengah lingkaran, menjaga dua orang di belakang: para saksi