Pintu kamar rumah sakit perlahan terbuka, dan seketika aroma khas parfum mamanya memenuhi ruangan. Ryan menoleh, melihat kedua orang tua Erika—Papa dan Mama—melangkah masuk dengan wajah khawatir namun penuh kasih sayang. Mamanya, Tian Lee atau lebih akrab disapa Nyonya Lee, segera mendekat, memeluk dan mencium kening Erika, lalu duduk di sisi tempat tidur sambil menggenggam tangan anaknya."Sayang, gimana kabarmu? Kamu masih lemas?" tanya Nyonya Lee lembut, matanya tampak berkaca-kaca melihat putri satu-satunya terbaring di rumah sakit.Erika tersenyum lemah, berusaha menenangkan sang mama meskipun masih ada ketakutan yang tersimpan di benaknya. "Aku sudah lebih baik, Ma. Hanya sedikit lelah dan masih agak kaget."Papa Erika, Tuan Lee, berdiri di sebelah Ryan, menepuk pundak menantunya sambil berkata, "Untung saja kamu cepat dibawa ke rumah sakit. Kalau terlambat sedikit, siapa yang tahu bagaimana jadinya. Kamu harus bersyukur, Erika.""Iya, Pa. Yang penting sekarang Erika sudah selam
Setelah sepuluh hari menjalani perawatan di rumah sakit, Erika akhirnya diperbolehkan pulang. Dokter telah memeriksa kondisinya dengan seksama dan memastikan bahwa fisiknya sudah cukup pulih. Luka-lukanya mulai mengering, dan meskipun awalnya ia mengalami trauma yang cukup mendalam, secara perlahan, Erika telah melewati rasa takut yang menyelimuti dirinya dan ini berkat dukungan dari sang suami - Ryan."Syukurlah, aku sudah diperbolehkan pulang, mas." Erika terlihat senang sebab sudah sedikit bosan dengan suasana rumah sakit."Iya, sayang. Udah kangen rumah ya, hm?" tanya Ryan tapi tetap tangannya sibuk dengan pekerjaan.Pagi itu, Ryan memang sibuk mengemas barang-barang Erika. Ia memastikan semuanya sudah siap untuk dibawa pulang. Erika yang masih merasa sedikit lemah, duduk di tepi tempat tidurnya, menatap keluar jendela rumah sakit. Pemandangan matahari pagi yang mulai menyinari kota membuatnya merasa lega, bahwa hari ini ia bisa kembali ke rumah.Setelah selesai beberes, Ryan mend
Malam itu, Ryan duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop dengan penuh konsentrasi. Elsa baru saja mengirimkan laporan yang merinci penyelidikan terhadap seorang pria bernama Andi. Dari hasil investigasi, Andi ternyata memiliki keterkaitan dengan sebuah kelompok kriminal kecil yang kerap kali menyelundupkan barang-barang ilegal, namun mereka bukan pelaku biasa."Ternyata teroganisir juga mereka," gumam Ryan menggeleng perlahan.Nama-nama lain yang muncul dalam laporan itu membuat Ryan semakin waspada. Andi adalah salah satu kaki tangan penting dari seorang tokoh yang lebih besar dan mungkin berpengaruh dalam jaringan kejahatan tersebut.Ponsel Ryan bergetar di meja, menampilkan pesan dari Elsa. Memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai laporannya."Ada bukti kuat bahwa Andi terlibat langsung dalam sabotase mobil Bu Erika. Dia juga terlihat beberapa kali bertemu dengan seseorang yang kita curigai sebagai dalang utama. Aku bisa lanjut menyelidiki kalau pak Ryan mengijinkan."Ryan
Setelah memberikan perintah pada Dedi, Ryan langsung bergegas setelah menutup teleponnya. Hatinya berdebar kencang, memikirkan Elsa yang baru saja mengalami kecelakaan. Padahal, mereka baru saja membahas langkah-langkah penting dalam penyelidikan Andi. Kini, situasi berubah secepat kilat, menambah rasa cemas yang telah menghantui sejak kecelakaan Erika kemarin."Sayang, aku mau menemui Dedi di rumah sakit." Ryan pamit pada sang istri, supaya istrinya tidak mencari-cari - nanti."Ke rumah sakit? Dedi sakit, mas?" tanya Erika dengan kening berkerut.Wanita itu tahu siapa Dedi, tapi tidak dengan sakitnya atau kabar terbaru dari salah satu asisten Ryan. Dia juga tahu siapa saja yang saat ini menjadi orang-orang kepercayaan suaminya, yang dari dulu memang menjadi asisten dan membantu pekerjaan Ryan."Elsa kecelakaan, sayang. Tidak apa-apa, kan? Aku hanya ingin memastikan saja, semuanya diurus dengan baik." Ryan kembali meminta izin untuk pergi ke rumah sakit tempat Elsa dibawa.Erika menga
"Minta pada Tomi dan Fery untuk menyelidiki TKP!" perintah Ryan."Baik, pak." Dedi mengangguk lalu merokok ponselnya dan menghubungi Tomi."Aku ingin segera mendapatkan laporan," terang Ryan menambahi.Dengan dugaan sementara itu, Ryan meminta Dedi untuk menelpon Tomi dan Fery, memberikan perintah untuk segera menyelidik ke tempat kejadian - di tempat Elsa kecelakaan. Bisa jadi, ada petunjuk penting yang bisa menunjukkan siapa pelaku yang sudah mencelakai Elsa.Beberapa jam berlalu dengan keheningan yang mencekam di ruang tunggu rumah sakit. Ryan dan Dedi hanya bisa duduk di sana, menatap ke arah ruang perawatan intensif tempat Elsa dirawat. Awalnya, ada sedikit kelegaan setelah dokter mengatakan kondisinya stabil. Tapi sekarang, situasi mulai terasa lebih suram.Tak lama, seorang perawat keluar dari ruang perawatan dan menghampiri mereka. "Maaf, saya butuh tanda tangan untuk prosedur tambahan. Kondisi pasien sedikit berubah, jadi dokter memutuskan untuk melakukan pemindaian - scannin
Beberapa waktu lalu.Tomi menghela napas panjang sambil mengusap wajahnya yang mulai berkeringat. Mobil yang mereka kendarai nyaris tidak bergerak, terjebak dalam kemacetan panjang di tengah jalan raya kota. Fery yang duduk di sebelahnya, memukul-mukul setir dengan kesal."Macetnya parah banget. Kita bisa habis waktu di sini saja," gerutu Fery tidak sabar.Tiba-tiba, ponsel Tomi bergetar. Ia mengeluarkannya dari saku dan melihat nama Dedi muncul di layar. Tanpa menunggu lama, ia menjawab panggilan tersebut."Ya, Ded? Kami sedang dalam perjalanan," kata Tomi dengan suara sedikit frustasi."Dalam perjalanan? Lama sekali, kalian di mana sekarang?" tanya Dedi dari seberang - rumah sakit, suaranya terdengar tegang."Kami terjebak macet. Ada kecelakaan tadi, mungkin ini yang membuat jalanan jadi penuh. Kami masih di jalan, tapi kayaknya butuh waktu lebih lama untuk sampai ke TKP," jelas Tomi sambil melirik ke arah Fery, yang hanya mengangkat bahu tanda tidak berdaya."Pak Ryan sudah nunggu
Beberapa waktu kemudianDi lorong rumah sakit, suasana terasa tegang. Lampu-lampu neon yang terang tidak cukup untuk mengusir kecemasan yang menghantui. Ryan berdiri dengan gelisah di depan ruang operasi, sesekali melirik jam tangannya yang seolah bergerak lebih lambat dari biasanya. Dedi duduk di kursi tak jauh darinya, diam sambil menunduk, menahan segala emosi yang membuncah di dadanya.Sudah berjam-jam Elsa berada di dalam, dan hingga kini belum ada kabar yang pasti. Ryan hanya bisa berharap, meskipun kekhawatiran bahwa sesuatu yang lebih buruk bisa saja terjadi terus menghantuinya.Tiba-tiba, ponsel Dedi bergetar. Ia segera meraihnya, membaca pesan dari Tomi yang memberikan kabar tentang hasil penyelidikannya."Kami hampir sampai. Ada banyak bukti baru. Aku akan jelaskan begitu tiba."Dedi menghela napas, menoleh ke arah Ryan yang tampak semakin gelisah. Bosnya itu memang beda dari bos-bos yang lain, sebab rasa kekeluargaan mereka sangat kental - sudah seperti saudara sendiri."P
"Egh... Mas? Mas Ryan..." Erika mencari-cari sang suami."oh ya, mas Ryan sedang berada di rumah sakit. Bagaimana keadaan Elsa, ya?" gumam Erika, seorang diri.Tengah malam, Erika yang terbaring di kamarnya, terjaga di tengah malam. Sinar lampu dari luar masuk melalui celah tirai, menerangi sebagian ruangan yang sunyi. Meski tubuhnya masih terasa lemah, pikirannya berputar-putar, gelisah memikirkan keadaan suaminya yang ada di rumah sakit - menunggu operasinya Elsa bersama dengan Dedi dan dua asistennya yang lain.Wanita itu sadar bahwa sang suami memang seperti itu, tidak bisa mengabaikan orang-orang terdekatnya - meskipun itu adalah asistennya, jika sedang dalam keadaan darurat seperti ini. Apalagi dirinya sudah lebih baik daripada beberapa waktu lalu setelah kecelakaan yang dialaminya."Issshhh... aduh! Aku mau telpon mas Ryan, mau tanya keadaan Elsa."Erika mencoba duduk, meskipun rasa nyeri di tubuhnya masih terasa. Dengan sedikit usaha, ia meraih ponselnya yang tergeletak di me
"Apa maksudmu, Bang Ded?" tanya Elsa dengan nada heran, menatap Dedi dengan bingung - tidak mengerti arah pembicaraannya tadi.Dedi menghela napas panjang, berhenti sejenak di depan lift yang belum terbuka. Ia memastikan tidak ada orang lain di sekitar mereka sebelum melanjutkan pembicaraannya."Aku tahu kamu dekat dengan Pak Ryan. Kita semua dekat dengannya, tapi aku melihat ada sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan profesional antara kamu dan dia," ujar Dedi dengan serius, menatap langsung ke mata Elsa.Elsa mengerutkan kening. "Maksudmu, aku dan Pak Ryan...?" Ia tertawa kecil, merasa absurd dengan apa yang dipikirkan Dedi. "Bang Ded, kamu salah paham. Aku tidak ada perasaan apa-apa terhadap Pak Ryan. Dia bosku, dan kita hanya bekerja sama. Hubungan kita sebatas profesional, tidak lebih."Namun, Dedi tampak tidak terpengaruh oleh penjelasan Elsa. "El, aku tahu kamu orang yang baik. Tapi terkadang, kedekatan bisa menimbulkan persepsi yang salah, apalagi ketika orang lain melihatny
Beberapa hari setelah perbincangan Ryan dan Rangga, suasana di sekitarnya semakin stabil. Hubungan Ryan dengan orang-orang di sekitarnya mulai membaik, terutama dengan istrinya - Erika, yang sempat syok berat karena mengetahui papanya ikut terlibat dalam konspirasi yang ingin menjatuhkan suaminya. Sementara Nyonya Lee juga ikut syok dan akhirnya harus mengungsi ke luar negeri demi kesehatan mentalnya.Tanu yang sempat khawatir dengan kehadiran Rangga, akhirnya bisa bernapas lega setelah mengetahui bahwa Rangga tidak lagi memiliki ambisi untuk mengambil alih perusahaan. Tindakan Ryan yang memperbaiki hubungan dengan Rangga menjadi kunci untuk menghindari konflik lebih jauh, dan itu membuatnya semakin dihargai oleh keluarga dan orang-orang di sekitarnya.Sementara itu, di rumah, hubungan Ryan dan Erika semakin hangat. Meskipun sibuk dengan urusan perusahaan dan masalah-masalah yang baru saja berlalu, Ryan selalu meluangkan waktu untuk istrinya. Mereka sering menghabiskan waktu bersama d
Beberapa hari setelah Tuan Lee, Tuan Haris, dan Nadia diproses hukum, suasana di perusahaan Ryan mulai stabil. Tidak ada yang bisa lepas begitu saja dari jerat hukum, jika memang mereka bersalah. Dan Ryan, tidak memiliki toleransi bagi mereka yang berkhianat.Berbeda dengan keadaan Ryan, Tanu justru sedang resah. Keberadaan Rangga yang masih berkeliaran di sekitar perusahaan Lee membuatnya merasa terganggu. Meski Rangga tidak lagi membuat keributan atau mencoba mengambil alih perusahaan, kehadirannya tetap memicu ketegangan yang membuat suasana tidak nyaman. Tanu tidak bisa menyembunyikan rasa jengkelnya, sering kali mengeluh pada Ryan atau Erika tentang hal tersebut.Melihat ketidaknyamanan Tanu dan menyadari bahwa permasalahan di antara mereka bisa saja merusak hubungan keluarga yang tersisa, Ryan memutuskan untuk mengambil inisiatif. Dia merasa sudah waktunya berbicara dengan Rangga, bukan sebagai rival bisnis, tetapi sebagai saudara yang masih memiliki ikatan darah dengan istrinya
Ryan berhenti melangkah dan menoleh kembali ke arah Tanu, matanya tampak serius. Pertanyaan yang baru saja dilontarkan Tanu membuat suasana yang semula mulai mereda kembali terasa tegang. Erika, yang berdiri di samping suaminya, menatap Tanu dengan cemas, seakan tahu bahwa pembahasan ini akan membawa kembali ingatan-ingatan buruk yang tentu saja masih membekas dengan jelas.Ryan menghela napas panjang sebelum berbicara. "Kak Tanu, aku tahu ini bukan hal yang mudah untuk kita semua. Apalagi, bagimu dan Erika, dia tetaplah papa kalian." Ryan berbicara dengan hati-hati, tak ingin memancing lebih banyak perasaan keduanya terluka."Tapi, Papa..." Suara Tanu tercekat, menelan ludahnya susah. "Apa yang harus kita lakukan sekarang? Bagaimana jika dia—""Kita harus menyerahkan semuanya pada hukum, Kak Tanu." Ryan memotong dengan tegas, namun suaranya tetap tenang. "Semua bukti sudah jelas mengarah ke Papa. Dia terlibat dalam rencana bersama Tuan Haris dan melibatkan Nadia juga untuk mencelakak
Erika berjalan anggun memasuki ruang meeting, di sampingnya ada Ryan yang selalu tampak tenang namun penuh wibawa. Suara langkah kaki mereka berdua yang berirama membuat suasana di ruangan itu terasa semakin menegangkan. Tanu yang masih berdiri di depan meja konferensi menatap ke arah keduanya, sementara Rangga yang semula tampak percaya diri, kini mulai terlihat tidak nyaman dengan kehadiran mereka.Ryan, yang memegang saham terbesar di perusahaan ini setelah penyuntikan dana besar-besaran saat perusahaan Lee hampir bangkrut, hanya memberikan anggukan kecil kepada Tanu. Ia kemudian berjalan ke arah kursi di ujung meja, posisi yang biasanya diisi oleh pemegang keputusan tertinggi dalam pertemuan semacam ini.Erika, yang selama ini menjadi sosok penting di balik layar - sebab dirinya juga memiliki beberapa persen saham di perusahaan keluarganya ini, tidak banyak bicara. Namun kehadirannya kali ini jelas menunjukkan bahwa dia bukan sekadar anak perempuan dari Tuan Lee, tetapi juga seora
Tanu berdiri tegak di ruang pertemuan yang luas, matanya menatap dengan tajam ke arah sepupunya - Rangga, yang memaksa ikut dalam pertemuan ini. Rangga duduk di hadapannya dengan sikap percaya diri, merasa menjadi bagian dari perusahaan yang saat ini dipimpin Tanu.Rangga, sepupu Tanu yang juga sekaligus keponakan Tuan Lee, kini berani menunjukkan ketertarikannya untuk mengambil alih kepemimpinan perusahaan yang selama ini dijalankan oleh Tuan Lee. Sementara itu, Tuan Lee, ayah Tanu dan Erika, kini tengah mendekam di penjara, jelas telah membuat keputusan-keputusan yang mempengaruhi banyak hal - termasuk merosotnya harga saham perusahaan. Namun, meskipun hubungan keluarga ini mengikat mereka dalam ikatan darah, Tanu tahu bahwa tidak ada tempat bagi Rangga di dalam dunia bisnisnya ini —terutama dengan segala yang telah terjadi.Tangga sendiri - bersama dengan keluarganya yang lain, sudah mendapatkan bagiannya di luar kota - perusahaan cabang yang selama ini ditangani mendiang ayahnya R
Malam itu, Ryan duduk di tepi tempat tidur mereka, memandangi Erika yang duduk masih betah terpaku di kursi dekat jendela, menatap kosong ke luar. Udara malam yang sejuk tampaknya tidak bisa menenangkan kekacauan yang bergejolak di dalam diri Erika.Ryan bisa melihatnya, bagaimana istrinya itu memendam sesuatu yang besar, sebuah kepedihan yang lebih dalam dari sekadar banyak peristiwa - termasuk kecelakaan yang pernah dia alami beberapa waktu lalu."Aku nggak tahu harus bagaimana, mas Ryan," ujar Erika pelan, suaranya serak."Kenapa, hm?" Ryan bertanya maksud perkataan istrinya."Papa... dia... dia..." Erika terhenti, suaranya hampir hilang ditelan perasaan yang mendalam."Selama ini aku merasa terjebak dalam permainan yang tak aku pahami. Semua ini ternyata sudah direncanakan sejak lama, dan aku... aku tidak pernah tahu apa-apa tentang rencana papa." Akhirnya, Erika bisa mengeluarkan kata-kata yang begitu menyesakkan dadanya.Ryan menghembuskan napas panjang, berjalan mendekat dan du
Setelah peristiwa yang mengguncang mereka semua, hari-hari selanjutnya penuh dengan ketegangan meskipun situasi sudah mulai mereda. Ryan masih berusaha menenangkan Erika dan dirinya sendiri setelah semua yang terjadi, sementara Elsa, Dedi, Fery, dan Tomi berusaha memberikan dukungan moral pada mereka berdua. Namun, ada satu hal yang tak banyak orang ketahui, bahkan Elsa sendiri belum menyadarinya.Dedi selalu memperhatikan Elsa dari kejauhan, bahkan sudah sejak lama. Di tengah segala kecemasan dan ketegangan yang mereka alami, Dedi merasa cemas dengan keberadaan Elsa yang selalu berada di dekat Ryan. Entah mengapa, setiap kali melihat Elsa tertawa atau berbicara dengan Ryan, hatinya terasa teriris. Dedi tahu perasaan ini bukan hal yang bisa ia tunjukkan, apalagi di tengah kesibukan mereka yang terus bergulir. Namun, perasaan itu semakin tak bisa ia bendung."Elsa, bisa bantu aku sebentar?" Dedi memanggil, berusaha tidak terlalu terlihat gelisah.Elsa yang sedang berdiri bersama Fery d
Ketika suasana semakin tegang dan tak terkontrol di ruangan gelap itu, tiba-tiba terdengar suara sirine polisi dari kejauhan, semakin dan mendekat ke lokasi. Ryan, Julian, dan Tuan Lee sama-sama tersentak, menyadari bahwa keadaan akan segera berubah drastis.Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka dengan keras. Dedi, Fery, dan Tomi masuk berbarengan, wajah mereka tegang namun sedikit lega melihat Ryan masih berdiri meskipun dengan wajah yang tampak lelah dan tubuh penuh luka."Kalian?!" seru Ryan, terkejut melihat asistennya. "Bagaimana kalian bisa tahu kami di sini?" tanyanya kemudian.Dedi mendekat cepat, matanya melirik sejenak ke arah Tuan Lee yang masih tersandar di dinding dan Tuan Haris yang tergeletak di lantai, juga Julian yang diam saja seperti tidak melakukan apapun dalam keadaan ini."Kami dapat info dari Elsa, Pak Ryan. Kami segera ke sini begitu tahu kau dalam bahaya," terang Dedi."Kau tamat, selesai sekarang ini, Tuan Haris. Polisi juga sudah di sini," ujar Fery dingi