Suasana di restoran semakin tegang saat Ryan mendapati Julian berdiri dekat Erika. Rasa cemas dan marah menyatu dalam diri Ryan, membuatnya ingin segera melindungi istrinya. Saat Julian mengangkat alisnya, dia merasakan tantangan dalam tatapan Ryan.“Halo, Ryan! Senang melihatmu lagi,” sapa Julian dengan nada yang berusaha terdengar ramah, meski dalam hatinya bergejolak rasa kesal, senang tapi juga marah melihat situasi ini. Dia tahu bahwa jika berhasil membuat Erika ragu terhadap suaminya, dia bisa mengambil keuntungan dari situasi ini.“Senang melihatmu juga, pak Julian. Kenapa Anda ada di sini?” Ryan bertanya, suaranya datar dan tajam saat bicara formal, menandakan ketidaknyamanan hubungan mereka.“Oh, aku hanya mencoba menemani Erika saat kamu tidak bisa datang. Ternyata, dia membutuhkan teman." Julian menjawab dengan senyum yang dipaksakan, seakan-akan tidak ada yang aneh dengan kehadirannya yang tidak pernah diharapkan.“Dan sepertinya kamu berhasil. Tapi aku datang sekarang, j
Suasana di restoran terasa semakin tegang, dan Erika bisa merasakan napasnya yang berat di antara dua pria yang sedang berdebat.Julian, dengan pakaian rapinya yang sudah sedikit berantakan tertegun mendengar penegasan Erika, tetapi amarah dan ketidakpuasan segera muncul di wajahnya. Dia merasa usahanya untuk menjatuhkan Ryan akan sia-sia jika Erika tetap berdiri di samping suaminya.Ryan, dengan segala ketenangan yang dimilikinya, tetap fokus pada Erika. Penampilannya juga masih rapi tidak seperti Julian yang memang terlihat sedikit tidak rapi. Laki-laki itu tahu betapa besar rasa cinta dan perasaan istrinya, dan ia ingin memastikan bahwa ia akan tetap menjadi tempat perlindungan bagi Erika.“Kita bisa melanjutkan makan kita, sayang. Aku sudah pesan beberapa makanan yang kamu suka,” ujarnya dengan senyum hangat, berusaha mengalihkan perhatian dari pertikaian yang tidak perlu ini.Namun, Julian yang masih berusaha mempertahankan posisinya, berkata, “Tunggu dulu, Ryan. Apakah kamu bena
Setelah kepergian Julian dan Dika, suasana di restoran mulai tenang kembali. Ryan dan Erika duduk berseberangan, saling menatap dengan campuran rasa lega dan cinta yang mendalam. Ryan merasa hatinya dipenuhi rasa bersalah karena telah mengabaikan perhatian yang seharusnya diberikan kepada istrinya di tengah kesibukannya mengembangkan bisnis.Erika tersenyum lembut, namun Ryan dapat melihat ada bayangan ketegangan yang tersisa di matanya. Ia merasa perlu melakukan sesuatu untuk menebus rasa bersalah dan menunjukkan betapa berartinya Erika baginya. Dengan lembut, Ryan menggenggam tangan Erika, menyalurkan rasa hangat yang menenangkan.“Sayang, aku minta maaf jika selama ini kamu merasa ditinggalkan. Semua ini tidak seharusnya terjadi. Aku ingin kita bisa lebih baik lagi,” ucapnya lembut.Erika mengangguk, mata mereka saling bertautan lama seakan-akan menikmati waktu yang telah lewat. Mereka tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan saat mereka bisa berdua, tanpa harus memikirkan apapun.“Ak
Sesampainya di rumah mereka yang tenang, setelah melalui hari yang penuh ketegangan, Ryan dan Erika masuk ke kamar mereka. Udara malam terasa lebih hangat, seolah menyelimuti mereka dalam keheningan yang penuh dengan perasaan dan ketulusan.Ryan duduk di tepi ranjang, melepaskan sepatu dan jaketnya. Erika, yang sudah menyiapkan suasana, mendekat dengan langkah pelan, matanya penuh dengan kelembutan. Dia tahu betul bagaimana cara menghibur dan menenangkan suaminya setelah hari yang penuh tantangan ini."Mas, aku tahu kamu sudah cukup lelah hari ini," ujar Erika dengan suara lembut, menatap Ryan dengan penuh perhatian. "Tapi aku ingin memastikan bahwa kamu merasa nyaman di sini, di rumah kita ini, bersama aku."Ryan menatap istrinya dengan senyum kecil, merasa bersyukur memiliki Erika di sisinya. "Kamu selalu tahu bagaimana membuatku merasa lebih baik, sayang."Erika perlahan mengusap pundak Ryan, merasakan betapa lelahnya tubuh suaminya. Namun, ada sesuatu yang lebih dalam yang ingin d
Julian duduk termenung di dalam kamarnya, matanya menatap kosong ke luar jendela. Malam semakin larut, namun pikirannya tak kunjung tenang. Suasana kota yang hening terasa kontras dengan gelora emosi yang ada dalam dirinya. Perasaan marah, kecewa, dan kesepian bercampur aduk. Semua yang dia usahakan, semua yang dia perjuangkan, kini terasa seperti puing-puing yang hancur di depannya.Tanu, salah satu teman sekaligus sahabat terdekatnya terasa semakin jauh dari harapannya, dan Ryan, yang kini sukses dengan Erika, semakin memperburuk perasaan hati Julian. Sebuah rasa marah, kecewa dan sejuta rasa lainnya mulai menguasai. Ia menyadari bahwa "pertempuran" yang ia hadapi bukan hanya dengan Ryan, tapi juga dengan masa lalu yang kembali menghantuinya. Masa lalu yang melibatkan Tuan Lee, pria yang menjadi penyebab kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuanya.Julian memijat pelipisnya, berpikir keras. Ia tahu, untuk mencapai tujuannya—membalas dendam pada Tuan Lee—dia harus merencanakan lang
Tanu terkulai di dalam taksi, kepalanya serasa mau pecah akibat alkohol yang masih mengalir dalam tubuhnya. Ia menatap kosong ke luar jendela, memandangi lampu-lampu kota yang berkelap-kelip, merasa dunia di sekitarnya berputar. Suara musik yang menggema dari klub malam masih terngiang di telinganya, menciptakan ruwetnya semua hal yang ada dalam pikirannya yang sudah kacau.“Hai, kau! Ke mana pun, cepat!” teriak Tanu pada sopir taksi, berusaha menegakkan diri meski tubuhnya terasa berat, lalu ambruk lagi.Namun, pikiran-pikiran laki-laki itu tidak bisa berhenti memikirkan semua masalah yang dihadapinya. Papanya, Julian dan bisnisnya yang hancur menyebabkan semua masalah yang berkaitan dengannya membuat posisi dirinya merasa semakin terjepit.Di luar mobil, seperti ada banyak sekali bayangan-bayangan gelap mengintai. Dan salah satu dari mereka - bayangan itu, seorang pria bertubuh besar dengan jaket hitam, menunggu di sudut jalan. Rencana untuk mencelakai Tanu telah disusun dengan mata
Dari kejauhan, seorang pria berpenampilan rapi mengamati situasi yang sedang berlangsung. Dia berdiri di dalam bayang-bayang kegelapan, memanfaatkan kegelapan malam untuk menyembunyikan niat jahatnya. Pria itu adalah Arman, seorang rival bisnis Tuan Lee yang telah lama menginginkan untuk menghancurkan reputasi dan kekuasaan pria itu. Dalam pandangannya, Tuan Lee adalah penghalang terbesar untuk mencapai tujuannya.Mendengar berita tentang Tanu yang sudah tertangkap dan sedang dalam bahaya membuatnya tersenyum sinis, senang karena rencana yang telah disusun berjalan dengan mudah dan lancar.“Begitu mudahnya mengatur rencana,” pikirnya. Arman telah merencanakan semuanya dengan hati-hati, dan sekarang saatnya untuk memanfaatkan situasi ini.“Dengan menculik Tanu, aku bisa memaksa Tuan Lee untuk melakukan kesalahan,” gumamnya, menyeringai. Dia ingin melihat lelaki itu berjuang, terkejut dalam kepanikan saat tahu putra yang dibangga-banggakan dalam bahaya.“Mungkin dia bahkan bisa mati kar
Dalam ketegangan yang menyelimuti malam, situasi semakin memburuk ketika bentrokan antara tiga kubu mulai mengemuka. Dika dan pria paruh baya bersiap untuk menyerang, namun mereka tidak sendirian. Dari arah lain, Arman dan sekutunya juga bersiap untuk bertindak, memanfaatkan kekacauan yang terjadi.Malam yang seharusnya digunakan untuk beristirahat dengan tenang, harus pecah karena ulah mereka-mereka. Untung saja, area yang mereka gunakan untuk bentrok ini ada di daerah sepi dari pemukiman warga.Dengan tatapan penuh, Dika bergerak lebih dekat. Dia berteriak pada sahabatnya supaya tenang, karena dia yang akan menyelesaikan kekacauan ini.“Tanu, bertahanlah! Aku akan membebaskanmu!” teriaknya dengan penuh semangat. Pria paruh baya di sampingnya menegaskan sikapnya, menatap pria besar itu dengan sinis, siap untuk melawan demi menyelamatkan Tanu.Namun, situasi menjadi semakin rumit ketika sekutu Arman muncul, kelompok pria bersenjata yang bersembunyi di kegelapan malam dengan berlindung
Ceklek!"Tanu!" panggil seseorang yang baru saja masuk ke ruangannya - dengan nada tinggi."Kau..." Tanu tidak sanggup menyebutkan sebuah nama, yang baru saja masuk ke dalam ruangannya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.Tanu mematung di tempatnya, matanya terpaku pada sosok yang berdiri di ambang pintu. Wajah itu tidak asing baginya—begitu akrab hingga membawa kenangan yang sempat ia kubur dalam-dalam."Mei..." gumam Tanu, suaranya serak.Wanita itu melangkah masuk dengan tatapan penuh emosi. Dia tampak berbeda dari terakhir kali mereka bertemu. Raut wajahnya tidak hanya memancarkan kemarahan, tetapi juga keteguhan, seolah dia datang dengan tujuan yang jelas."Tanu, kita harus bicara," kata Mei tegas, tanpa basa-basi."Kalau ini soal masa lalu, Maya, aku sudah selesai dengan semua itu. Aku sudah minta maaf..." Tanu menghela napas panjang, lalu kembali duduk di kursinya.Maya mendengus tak suka dengan jawaban Tanu, sebab dia ingin bicara sesuatu yang lebih besar daripada masalah yan
Perusahaan keluarga Lee.Di ruangannya, Tanu duduk termenung di balik meja kerjanya. Laporan keuangan yang sebelumnya memenuhi pikirannya kini hanya seperti bayangan kabur. Kata-kata mamanya, "Keluarga Lee membutuhkan penerus," terus terngiang di kepalanya. Meski ia tahu maksud mamanya baik, tapi rasanya terlalu banyak beban yang harus ia pikul.Bukannya Tanu tidak tertarik dengan Clara. Gadis itu anggun dan terlihat cerdas. Namun, pikirannya terlalu penuh dengan masalah perusahaan. Di balik pintu tertutup ruangannya, Tanu merasa sendirian, memikul harapan keluarganya yang begitu besar."Hm..."Dia menatap ponselnya yang tergeletak di meja, ada panggilan tak terjawab dari papanya - Tuan Lee. Mungkin sang papa ingin membahas situasi perusahaan, atau lebih buruk lagi, tentang rencana perjodohan ini.Bisa jadi, kan? Nyonya Lee tentu meminta dukungan dari suaminya, dengan alasan jika sudah waktunya Tanu menikah dan memiliki keluarga agar punya anak juga. Dan Nyonya Lee pastinya mengompor-
Rumah Sakit.Di kamar rawat inap Elsa, suasana terasa tenang meski udara dingin dari AC sedikit menusuk kulit. Elsa masih terbaring dengan selimut menutupi tubuhnya. Wajahnya tampak lelah, tetapi sorot matanya tetap menunjukkan tekadnya yang kuat. Di kursi sebelah tempat tidurnya, Dedi duduk dengan serius, tangannya memegang laptop kecil yang terhubung dengan ponsel Elsa.“Mas Dedi,” panggil Elsa, suaranya pelan namun tetap terdengar pasti.“Ya, El?” Dedi langsung menoleh, mengalihkan perhatiannya dari layar laptop.“Aku butuh bantuanmu untuk menyelidiki seseorang,” ujar Elsa tanpa basa-basi. Ia berusaha duduk, tetapi Dedi segera membantunya agar tidak terlalu memaksakan diri - karena Elsa masih belum cukup kuat.“Siapa yang harus aku selidiki, El?” tanya Dedi, wajahnya menunjukkan kesiapan penuh.“Diana,” jawab Elsa sambil menarik napas dalam. “Dia staf keuangan di perusahaan, mas. Beberapa waktu lalu, aku menemukan bukti kalau dia melakukan penyelewengan dana. Tapi sebelum aku bisa
Di tengah kesibukannya di kantor keluarga Lee, Tanu sibuk memeriksa tumpukan laporan keuangan yang harus ia teliti. Ia mengerjakan setiap angka dengan teliti, memastikan tidak ada kesalahan yang terlewatkan. Fokusnya penuh, meski kelelahan mulai terasa. Namun, keseriusannya tiba-tiba terhenti ketika pintu ruangannya diketuk keras, dan masuklah mamanya, Nyonya Lee, bersama seorang gadis muda yang cantik dan anggun.“Mama?” Tanu menatap mamanya dengan sedikit bingung, apalagi melihat kehadiran tamu tak diundang itu.Nyonya Lee tersenyum, tampak sangat senang dengan apa yang dilakukannya. "Tanu, sayang, Mama ingin mengenalkan seseorang padamu." Ia memandang gadis di sebelahnya dengan bangga."Ini Clara, anak temannya Mama. Kalian harus saling mengenal lebih baik, ya!" Nyonya Lee memperkenalkan gadis yang berada di sampingnya.Tanu menghela napas dalam-dalam. Ia bisa menebak ke mana arah percakapan ini akan menuju. Ya, sama seperti beberapa waktu lalu sebelum adiknya - Erika, resmi menika
Dia hari berlalu, suasana yang menegangkan perlahan-lahan mulai tenang. Erika, yang sebelumnya diteror dengan ancaman dan rasa takut, kini bisa sedikit bernapas lega. Tidak ada lagi pesan-pesan menakutkan atau kejadian aneh yang mengancam keselamatan keluarganya. Meski begitu, Ryan tidak mau lengah. Dia tetap waspada dengan keselamatan istrinya. Dia tahu bahwa meskipun keadaan terlihat tenang, ancaman bisa datang kapan saja.Ryan mengambil keputusan untuk meningkatkan pengamanan bagi Erika. Ia mempekerjakan tim keamanan pribadi - yang memang dimiliki dan dipimpin Tomi untuk menjaga rumah mereka, memastikan Erika selalu ditemani oleh pengawal setiap kali ia keluar rumah. Meskipun Erika sempat merasa tidak nyaman dengan langkah ini, Ryan bersikeras bahwa ini adalah langkah pencegahan yang memang diperlukan."Aku tidak ingin mengambil risiko, Erika. Kita belum tahu siapa yang benar-benar ada di balik semua ini," terang Ryan saat istrinya protes.Erika masih mencoba meyakinkan Ryan bahwa
Elsa terdiam sejenak, menggigit bibirnya sambil menatap Erika dan Nyonya Lee yang sedang menunggu jawabannya dengan penuh harap. Namun, sebelum dia sempat membuka mulut, pintu ruang rawat terbuka. Ryan masuk dengan langkah tergesa, diikuti oleh Fery yang tampak membawa beberapa dokumen.Wajah Ryan langsung mencari Elsa begitu dia masuk. Tapi dia tersenyum begitu melihat keberadaan isteri dan mertuanya, Nyonya Lee. Setelah menyapa dan memberikan kecupan di kening, Ryan beralih pada Elsa. Dia ingin mengajukan beberapa pertanyaan pada asistennya yang seorang ahli IT tersebut, meskipun saat ini Elsa masih berbaring di rumah sakit."Elsa, apa kabar?" tanyanya dengan nada kekhawatiran, tapi tetap tegas. Ia lalu menoleh sekilas ke arah Erika dan Nyonya Lee, memberi mereka senyum singkat sebelum akhirnya berjalan mendekat ke tempat tidur Elsa."Saya baik, Pak Ryan. Terima kasih sudah datang," jawab Elsa pelan, sedikit ragu dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia merapikan selimut di pan
Ryan tiba di kantor dengan suasana hati yang masih dipenuhi kekhawatiran tentang istrinya, Erika yang pergi ke rumah sakit untuk menemui Elsa. Meskipun ia berusaha fokus pada pekerjaan, pikirannya terus melayang pada Erika dan ancaman-ancaman yang mereka hadapi.Kantor pusat Ryan terletak di gedung perkantoran modern di pusat kota, lantai paling atas dengan pemandangan kota yang luas. Begitu ia masuk ke ruang kerjanya, dua asistennya, Dedi dan Fery, sudah menunggunya dengan tumpukan laporan yang perlu diselesaikan."Selamat pagi, Pak Ryan," sapa Dedi, sambil memberikan setumpuk dokumen yang sudah dirapikan. "Semua berkas sudah siap untuk presentasi pagi ini. Meeting dengan tim akan mulai lima belas menit lagi."Ryan mengangguk singkat, mengambil dokumen itu dan mulai membacanya sekilas. "Terima kasih, Dedi. Fery, pastikan kamu tetap standby selama meeting. Ada beberapa detail yang mungkin perlu kita diskusikan lebih lanjut setelah itu."Fery yang
Ryan tiba di kantor dengan suasana hati yang masih dipenuhi kekhawatiran tentang istrinya, Erika yang pergi ke rumah sakit untuk menemui Elsa. Meskipun ia berusaha fokus pada pekerjaan, pikirannya terus melayang pada Erika dan ancaman-ancaman yang mereka hadapi.Kantornya terletak di gedung perkantoran modern di pusat kota, lantai paling atas dengan pemandangan kota yang luas. Begitu ia masuk ke ruang kerjanya, dua asistennya, Dedi dan Fery, sudah menunggunya dengan tumpukan laporan yang perlu diselesaikan."Selamat pagi, Pak Ryan," sapa Dedi, sambil memberikan setumpuk dokumen yang sudah dirapikan. "Semua berkas sudah siap untuk presentasi pagi ini. Meeting dengan tim akan mulai lima belas menit lagi."Ryan mengangguk singkat, mengambil dokumen itu dan mulai membacanya sekilas. "Terima kasih, Dedi. Fery, pastikan kamu tetap standby selama meeting. Ada beberapa detail yang mungkin perlu kita diskusikan lebih lanjut setelah itu."Fery yang sedang menyiapkan laptop di meja rapat juga me
"Bu Erika?" Elsa panik begitu membaca pesan istri bosnya.Elsa cepat menghubungi Erika, tapi ternyata saat ini Erika sudah dalam keadaan baik-baik saja bersama Ryan. Elsa pun tenang dan meletakkan ponselnya kembali ke atas meja, tapi tak lama kemudian mengambilnya kembali karena ada sesuatu yang baru diingatnya.Beberapa saat kemudian, Elsa terdiam sejenak setelah meletakkan kembali ponselnya, menatap langit-langit kamar rumah sakit sambil berusaha mengabaikan rasa nyeri di kepalanya. Namun, tiba-tiba ada sesuatu yang mengganggunya, sebuah detail penting yang baru saja melintas di pikirannya. Ia langsung meraih ponsel kembali dengan tangan gemetar."Ada yang tidak beres," gumamnya pelan, mencoba mengingat sesuatu yang terlewat.Pikirannya kembali pada beberapa hari sebelum kecelakaan itu terjadi, saat dia sedang menyelidiki penyebab kecelakaan Erika, juga pesan-pesan ancaman yang diterima istri bos-nya itu. Ada satu alamat IP yang berhasil ia lacak, tetapi saat itu ia pikir tidak terl