Tap tap tap
Langkah lebar Tanu, langsung menuju ke ruang kantor Julian yang sudah sangat dikenalnya. Bahkan para staf dan sekretaris Julian, tidak perlu bertanya kepada Tanu tentang kepentingannya datang mencari Julian di kantor ini.Clek!"Apa tidak bisa mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk, tidak ada attitude sana sekali!" bentak Julian, yang belum sadar jika yang datang adalah Tanu - bukan sekretaris atau stafnya."Hm," gumam Tanu tidak jelas."Eh kau, Tanu. Aku sedang sibuk, maaf. Aku tidak tahu jika yang datang itu kamu," ujar Julian yang sedikit terkejut saat melihat siapa yang datang.Tapi Julian tidak langsung mempersilahkan tamunya itu untuk masuk, apalagi duduk. Sedangkan Tanu masih berdiri dengan pintu ruangan yang terbuka - sama seperti saat dia membukanya tadi.Kakak iparnya Ryan itu ingin tahu, apakah Julian masih ada keinginan untuk mengajaknya bicara atau sekedar basa-basi membicarakan tentang perDi dalam ruang kantor Julian, ketegangan semakin memuncak. Setelah menerima pukulan dari Tanu, Julian merasa terhina dan marah. Dia bangkit, menatap Tanu dengan mata berapi-api.“Jangan pikir aku akan menyerah begitu saja!” teriak Julian, sambil melayangkan tinjunya ke arah Tanu. Keduanya kembali terlibat dalam perkelahian, saling menangkis dan membalas serangan. Suara gaduh dari pertarungan mereka mengganggu staf yang bekerja di luar ruangan Julian, beberapa di antaranya berusaha melihat dari balik pintu.“Ini semua salahmu! Kau mengkhianatiku!” bentak Tanu sambil mendorong Julian ke dinding.“Salahku? Kau yang tidak bisa mengelola perusahaannya dengan baik!” balas Julian, meski napasnya mulai memburu.Setiap pukulan dan tendangan terasa semakin melelahkan, tetapi keduanya tidak mau menyerah. Tanu mengingat semua pengorbanan yang ia lakukan untuk Julian, sementara Julian merasa bahwa dia sudah melakukan yang terbaik untuk perusahaan mereka - juga
Tuan Lee, mencoba tetap tenang lalu berkata, “Kita semua berada dalam situasi sulit. Perusahaan bangkrut dan kita harus menemukan jalan keluar bersama. Mari kita lihat apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaikinya.”Ryan masih berdiri di sudut ruangan, merasakan gelombang emosi antara Tanu dan Julian. Ketegangan semakin memuncak, dan dia tahu bahwa ini adalah momen krusial. Tuan Lee berusaha menenangkan situasi, tetapi suara Tanu yang meninggi menandakan bahwa keadaan semakin sulit.“Berapa kau menjualnya, Julian?” Tanu menekankan setiap kata, matanya tajam menatap Julian.“Aku sudah mentransfernya ke rekening kamu, Tanu. 3,2 miliar, bukan?” jawab Julian, mencoba bersikap tenang meski ketakutan jelas terlihat di wajahnya.“Sialan, kau! Orang itu membelinya dengan harga 5,5 miliar! Lalu di mana uang sisanya?” Tanu berteriak, suaranya penuh amarah dan kekecewaan.Ryan merasakan aura panas ini. Tanu berhak tahu kebenarannya. Namun, dia tetap diam, menyadari bahwa mengungkapkan perannya
Julian segera mengambil langkah untuk membalikkan situasi. Dengan nada tenang dan tidak menunjukkan kepanikan, ia mengangkat kedua tangannya.“Tunggu! Ini bukan seperti yang kalian pikirkan. Aku tidak berniat menipu siapa pun,” katanya, mencoba untuk tidak menunjukkan wajahnya yang ketakutan.Ryan dan Tuan Lee saling bertukar pandang, merasakan taktik Julian yang sudah pasti manipulatif. Tapi keduanya diam menunggu kelanjutan dari apa yang ingin dikatakan "Pecundang" tersebut, namun Tanu menyahut terlebih dahulu.“Kau bisa mengatakan apapun, Julian, tetapi fakta tetaplah fakta. Dasar penipu!” Tanu menjawab tegas, tidak mau tertipu lagi. “Kau seharusnya memberi tahu aku jika ada perjanjian lain.”“Perjanjian? Apa kau pikir aku yang mengontrol semuanya?” Julian menambahkan dengan nada victim, memutar balikan fakta bahwa dialah yang seakan-akan telah tertipu.“Aku hanya menjalankan tugas sebagai penanggung jawab, bukan? Sisa uang itu sudah digunakan untuk membayar orang-orang yang memban
Sebelum ke kantor Julian, Tuan Lee ada bersama Ryan di kantor yang ada di pom bensin. Tuan Lee sedang duduk dengan wajahnya penuh ketegangan, ingin membahas sesuatu yang serius dengan menantu laki-lakinya tersebut.Sayangnya, baru beberapa menit mereka bicara ponselnya mendapatkan panggilan dan memberitahukan sesuatu yang terjadi terhadap putranya di kantor Julian. Dengan sigap, Tuan Lee mengambil langkah untuk menghubungi nomor pemilik perusahaan tempat Julian bekerja. Dengan napas tertahan, ia menghubungi seseorang yang pernah menjadi rekan bisnisnya itu untuk meminta bantuan. Setelah beberapa detik, suara khas dan penuh wibawa dari pemilik perusahaan terdengar di ujung telepon.“Selamat siang, Tuan Lee. Ana yang bisa saya bantu?” suara itu ramah, tetapi Tuan Lee bisa merasakan sesuatu yang berbeda.“Tuan Haris, saya perlu berbicara dengan Anda tentang sesuatu yang terjadi di ruangan Julian. Masalah ini cukup serius dan sepertinya perlu kita diskusikan secara pribadi,” Tuan Lee menj
Suasana di ruang kerja Julian terasa semakin tegang setelah perdebatan sengit di antara Tanu dan Julian. Tuan Haris, yang sebelumnya mendengarkan dengan seksama, kini mengamati interaksi di depan matanya dengan perhatian mendalam. Ia menyadari bahwa ada lebih banyak yang terlibat dalam masalah ini daripada sekadar bisnis yang gagal.Ketika Julian mundur ke sudut ruangan, wajahnya tampak ketakutan dan bingung. Tuan Haris menatap Ryan, yang berdiri di dekat pintu, merasakan ketidaknyamanan yang menggelayuti atmosfer. Ia bisa merasakan bahwa Ryan, meskipun bukan pihak langsung dalam permasalahan ini, terjebak di tengah konflik antara Julian dan Tanu.“Tuan Lee,” Tuan Haris memecah kebisuan, “apakah Anda yakin permasalahan ini hanya melibatkan Julian? Sepertinya ada banyak faktor yang mempengaruhi situasi ini.” Suaranya datar, tetapi ada nada keingintahuan yang tersirat.Ryan, yang mendengar pertanyaan itu, segera menjawab, “Saya di sini untuk mendukung Tanu. Dia sudah cukup tertekan deng
Julian merasa terjebak dalam situasi yang semakin menyesakkan. Meskipun niatnya untuk memperbaiki kesalahan ada, ketakutannya terhadap konsekuensi yang mungkin akan dihadapi membuatnya berpikir untuk melarikan diri dari tanggung jawab ini. Dengan pikiran yang berputar, ia mengamati Tanu, Tuan Lee, dan Tuan Haris. Ketiga orang ini menatapnya dengan harapan sekaligus kekecewaan, dan itu membuatnya semakin tertekan.Dalam hatinya, Julian mulai berpikir bahwa mungkin ada cara untuk menghindari semua masalah ini.'Jika aku bisa menghilang sejenak, mungkin aku bisa mencari solusi tanpa harus bertanggung jawab secara langsung.'Pikiran ini datang dengan cepat, dan meskipun ia tahu itu bukan tindakan yang bijaksana, rasa panik membuatnya tidak mampu berpikir jernih.“Baiklah, saya akan mencari dokumen itu. Namun, saya butuh sedikit waktu untuk memastikan semuanya benar-benar beres,” ucap Julian, berusaha menyembunyikan kebingungan yang dirasakannya.
Ryan baru saja keluar dari ruangan ketika dia menerima pesan dari Erika, namun suasana di kepalanya sudah penuh dengan ketegangan. Saat dia berusaha mencerna situasi yang baru saja terjadi, langkahnya terhenti ketika Tanu menyusulnya dengan tatapan penuh amarah.“Ryan, ini semua salahmu!” Tanu tiba-tiba meluapkan emosinya. “Jika kamu tidak mengikutsertakan dirimu dalam masalah ini, mungkin Julian tidak akan melarikan diri. Kau seharusnya mendukungku, bukan membiarkan dia pergi begitu saja!”“Tanu, tunggu sebentar! Aku hanya ingin membantu, bukan menyalahkan siapa pun. Kita semua tahu Julian yang seharusnya bertanggung jawab atas tindakannya. Dia yang membuat keputusan untuk pergi!” Ryan terkejut mendengar tuduhan kakak iparnya barusan.“Benar, tapi kamu seharusnya bisa melihat bahwa kehadiranmu justru membuat situasi ini semakin buruk!” Tanu menegaskan, dengan suaranya tinggi.“Kau memberinya alasan untuk melarikan diri. Jika tidak ada campur tanganmu, dia mungkin akan menghadapi masa
Di tempatnya berada, Ryan justru mendapatkan hinaan dari Julian. Mantan atasannya Ryan itu tetap tidak mempercayai jika Ryan sesukses itu, berpikir bahwa semuanya hanya rekayasa Ryan supaya bisa mengambil hati Tuan Lee dan bisa menikahi Erika.Sementara Ryan merasakan sakit di wajahnya setelah pukulan dari Julian, dan sudut bibirnya tampak mengalir darah. Kejadian itu membuatnya tertegun sejenak, bingung dengan reaksi laki-laki itu yang seharusnya bisa dia ajak berbicara.“Pak Julian, apa yang kamu lakukan?” Ryan berusaha menahan rasa sakit dan amarah karena terkejut.“Ini semua karena kamu! Jika kamu tidak ada di sini, aku tidak akan merasa tertekan dan terpaksa melarikan diri!” Julian berteriak, suaranya dipenuhi emosi yang sulit ditangkap oleh Ryan.“Bukan aku yang membuat keputusan itu, pak Julian. Kamu sendiri yang memilih untuk kabur! Kita semua ingin kamu bertanggung jawab,” sahut Ryan berusaha tetap tenang meski rasa sakit di wajahnya mulai berdenyut.Julian mendesah, tatapan
Ceklek!"Tanu!" panggil seseorang yang baru saja masuk ke ruangannya - dengan nada tinggi."Kau..." Tanu tidak sanggup menyebutkan sebuah nama, yang baru saja masuk ke dalam ruangannya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.Tanu mematung di tempatnya, matanya terpaku pada sosok yang berdiri di ambang pintu. Wajah itu tidak asing baginya—begitu akrab hingga membawa kenangan yang sempat ia kubur dalam-dalam."Mei..." gumam Tanu, suaranya serak.Wanita itu melangkah masuk dengan tatapan penuh emosi. Dia tampak berbeda dari terakhir kali mereka bertemu. Raut wajahnya tidak hanya memancarkan kemarahan, tetapi juga keteguhan, seolah dia datang dengan tujuan yang jelas."Tanu, kita harus bicara," kata Mei tegas, tanpa basa-basi."Kalau ini soal masa lalu, Maya, aku sudah selesai dengan semua itu. Aku sudah minta maaf..." Tanu menghela napas panjang, lalu kembali duduk di kursinya.Maya mendengus tak suka dengan jawaban Tanu, sebab dia ingin bicara sesuatu yang lebih besar daripada masalah yan
Perusahaan keluarga Lee.Di ruangannya, Tanu duduk termenung di balik meja kerjanya. Laporan keuangan yang sebelumnya memenuhi pikirannya kini hanya seperti bayangan kabur. Kata-kata mamanya, "Keluarga Lee membutuhkan penerus," terus terngiang di kepalanya. Meski ia tahu maksud mamanya baik, tapi rasanya terlalu banyak beban yang harus ia pikul.Bukannya Tanu tidak tertarik dengan Clara. Gadis itu anggun dan terlihat cerdas. Namun, pikirannya terlalu penuh dengan masalah perusahaan. Di balik pintu tertutup ruangannya, Tanu merasa sendirian, memikul harapan keluarganya yang begitu besar."Hm..."Dia menatap ponselnya yang tergeletak di meja, ada panggilan tak terjawab dari papanya - Tuan Lee. Mungkin sang papa ingin membahas situasi perusahaan, atau lebih buruk lagi, tentang rencana perjodohan ini.Bisa jadi, kan? Nyonya Lee tentu meminta dukungan dari suaminya, dengan alasan jika sudah waktunya Tanu menikah dan memiliki keluarga agar punya anak juga. Dan Nyonya Lee pastinya mengompor-
Rumah Sakit.Di kamar rawat inap Elsa, suasana terasa tenang meski udara dingin dari AC sedikit menusuk kulit. Elsa masih terbaring dengan selimut menutupi tubuhnya. Wajahnya tampak lelah, tetapi sorot matanya tetap menunjukkan tekadnya yang kuat. Di kursi sebelah tempat tidurnya, Dedi duduk dengan serius, tangannya memegang laptop kecil yang terhubung dengan ponsel Elsa.“Mas Dedi,” panggil Elsa, suaranya pelan namun tetap terdengar pasti.“Ya, El?” Dedi langsung menoleh, mengalihkan perhatiannya dari layar laptop.“Aku butuh bantuanmu untuk menyelidiki seseorang,” ujar Elsa tanpa basa-basi. Ia berusaha duduk, tetapi Dedi segera membantunya agar tidak terlalu memaksakan diri - karena Elsa masih belum cukup kuat.“Siapa yang harus aku selidiki, El?” tanya Dedi, wajahnya menunjukkan kesiapan penuh.“Diana,” jawab Elsa sambil menarik napas dalam. “Dia staf keuangan di perusahaan, mas. Beberapa waktu lalu, aku menemukan bukti kalau dia melakukan penyelewengan dana. Tapi sebelum aku bisa
Di tengah kesibukannya di kantor keluarga Lee, Tanu sibuk memeriksa tumpukan laporan keuangan yang harus ia teliti. Ia mengerjakan setiap angka dengan teliti, memastikan tidak ada kesalahan yang terlewatkan. Fokusnya penuh, meski kelelahan mulai terasa. Namun, keseriusannya tiba-tiba terhenti ketika pintu ruangannya diketuk keras, dan masuklah mamanya, Nyonya Lee, bersama seorang gadis muda yang cantik dan anggun.“Mama?” Tanu menatap mamanya dengan sedikit bingung, apalagi melihat kehadiran tamu tak diundang itu.Nyonya Lee tersenyum, tampak sangat senang dengan apa yang dilakukannya. "Tanu, sayang, Mama ingin mengenalkan seseorang padamu." Ia memandang gadis di sebelahnya dengan bangga."Ini Clara, anak temannya Mama. Kalian harus saling mengenal lebih baik, ya!" Nyonya Lee memperkenalkan gadis yang berada di sampingnya.Tanu menghela napas dalam-dalam. Ia bisa menebak ke mana arah percakapan ini akan menuju. Ya, sama seperti beberapa waktu lalu sebelum adiknya - Erika, resmi menika
Dia hari berlalu, suasana yang menegangkan perlahan-lahan mulai tenang. Erika, yang sebelumnya diteror dengan ancaman dan rasa takut, kini bisa sedikit bernapas lega. Tidak ada lagi pesan-pesan menakutkan atau kejadian aneh yang mengancam keselamatan keluarganya. Meski begitu, Ryan tidak mau lengah. Dia tetap waspada dengan keselamatan istrinya. Dia tahu bahwa meskipun keadaan terlihat tenang, ancaman bisa datang kapan saja.Ryan mengambil keputusan untuk meningkatkan pengamanan bagi Erika. Ia mempekerjakan tim keamanan pribadi - yang memang dimiliki dan dipimpin Tomi untuk menjaga rumah mereka, memastikan Erika selalu ditemani oleh pengawal setiap kali ia keluar rumah. Meskipun Erika sempat merasa tidak nyaman dengan langkah ini, Ryan bersikeras bahwa ini adalah langkah pencegahan yang memang diperlukan."Aku tidak ingin mengambil risiko, Erika. Kita belum tahu siapa yang benar-benar ada di balik semua ini," terang Ryan saat istrinya protes.Erika masih mencoba meyakinkan Ryan bahwa
Elsa terdiam sejenak, menggigit bibirnya sambil menatap Erika dan Nyonya Lee yang sedang menunggu jawabannya dengan penuh harap. Namun, sebelum dia sempat membuka mulut, pintu ruang rawat terbuka. Ryan masuk dengan langkah tergesa, diikuti oleh Fery yang tampak membawa beberapa dokumen.Wajah Ryan langsung mencari Elsa begitu dia masuk. Tapi dia tersenyum begitu melihat keberadaan isteri dan mertuanya, Nyonya Lee. Setelah menyapa dan memberikan kecupan di kening, Ryan beralih pada Elsa. Dia ingin mengajukan beberapa pertanyaan pada asistennya yang seorang ahli IT tersebut, meskipun saat ini Elsa masih berbaring di rumah sakit."Elsa, apa kabar?" tanyanya dengan nada kekhawatiran, tapi tetap tegas. Ia lalu menoleh sekilas ke arah Erika dan Nyonya Lee, memberi mereka senyum singkat sebelum akhirnya berjalan mendekat ke tempat tidur Elsa."Saya baik, Pak Ryan. Terima kasih sudah datang," jawab Elsa pelan, sedikit ragu dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia merapikan selimut di pan
Ryan tiba di kantor dengan suasana hati yang masih dipenuhi kekhawatiran tentang istrinya, Erika yang pergi ke rumah sakit untuk menemui Elsa. Meskipun ia berusaha fokus pada pekerjaan, pikirannya terus melayang pada Erika dan ancaman-ancaman yang mereka hadapi.Kantor pusat Ryan terletak di gedung perkantoran modern di pusat kota, lantai paling atas dengan pemandangan kota yang luas. Begitu ia masuk ke ruang kerjanya, dua asistennya, Dedi dan Fery, sudah menunggunya dengan tumpukan laporan yang perlu diselesaikan."Selamat pagi, Pak Ryan," sapa Dedi, sambil memberikan setumpuk dokumen yang sudah dirapikan. "Semua berkas sudah siap untuk presentasi pagi ini. Meeting dengan tim akan mulai lima belas menit lagi."Ryan mengangguk singkat, mengambil dokumen itu dan mulai membacanya sekilas. "Terima kasih, Dedi. Fery, pastikan kamu tetap standby selama meeting. Ada beberapa detail yang mungkin perlu kita diskusikan lebih lanjut setelah itu."Fery yang
Ryan tiba di kantor dengan suasana hati yang masih dipenuhi kekhawatiran tentang istrinya, Erika yang pergi ke rumah sakit untuk menemui Elsa. Meskipun ia berusaha fokus pada pekerjaan, pikirannya terus melayang pada Erika dan ancaman-ancaman yang mereka hadapi.Kantornya terletak di gedung perkantoran modern di pusat kota, lantai paling atas dengan pemandangan kota yang luas. Begitu ia masuk ke ruang kerjanya, dua asistennya, Dedi dan Fery, sudah menunggunya dengan tumpukan laporan yang perlu diselesaikan."Selamat pagi, Pak Ryan," sapa Dedi, sambil memberikan setumpuk dokumen yang sudah dirapikan. "Semua berkas sudah siap untuk presentasi pagi ini. Meeting dengan tim akan mulai lima belas menit lagi."Ryan mengangguk singkat, mengambil dokumen itu dan mulai membacanya sekilas. "Terima kasih, Dedi. Fery, pastikan kamu tetap standby selama meeting. Ada beberapa detail yang mungkin perlu kita diskusikan lebih lanjut setelah itu."Fery yang sedang menyiapkan laptop di meja rapat juga me
"Bu Erika?" Elsa panik begitu membaca pesan istri bosnya.Elsa cepat menghubungi Erika, tapi ternyata saat ini Erika sudah dalam keadaan baik-baik saja bersama Ryan. Elsa pun tenang dan meletakkan ponselnya kembali ke atas meja, tapi tak lama kemudian mengambilnya kembali karena ada sesuatu yang baru diingatnya.Beberapa saat kemudian, Elsa terdiam sejenak setelah meletakkan kembali ponselnya, menatap langit-langit kamar rumah sakit sambil berusaha mengabaikan rasa nyeri di kepalanya. Namun, tiba-tiba ada sesuatu yang mengganggunya, sebuah detail penting yang baru saja melintas di pikirannya. Ia langsung meraih ponsel kembali dengan tangan gemetar."Ada yang tidak beres," gumamnya pelan, mencoba mengingat sesuatu yang terlewat.Pikirannya kembali pada beberapa hari sebelum kecelakaan itu terjadi, saat dia sedang menyelidiki penyebab kecelakaan Erika, juga pesan-pesan ancaman yang diterima istri bos-nya itu. Ada satu alamat IP yang berhasil ia lacak, tetapi saat itu ia pikir tidak terl