Kiran masih terpaku menatap poster Yuta Si Tiada Tanding, mencoba mengingat-ingat di mana ia pernah melihat sosok itu sebelumnya."Tuan Kiran?" Burs mengguncang lengan Kiran pelan, menyadarkannya dari lamunan. "Apa kita akan mendaftar sekarang?"Kiran mengerjapkan mata, kembali ke realitas. "Ya, tentu. Mari kita masuk."Mereka melangkah melewati pintu masuk Paradox Colosseum yang megah. Interior arena itu bahkan lebih mengesankan—langit-langit tinggi dengan kubah kristal yang memantulkan cahaya, koridor-koridor luas dengan patung-patung petarung legendaris, dan suara gemuruh penonton yang terdengar dari arena utama."Pendaftaran di mana?" tanya Kon, matanya bergerak liar mengagumi setiap detail arsitektur."Di sana," Kiran menunjuk ke meja panjang di ujung koridor, di mana beberapa orang sedang mengantri.Mereka berjalan mendekat dan bergabung dengan antrian pendek. Tidak butuh waktu lama hingga giliran mereka tiba. Di balik meja, duduk seorang gadis muda berambut merah yang dikepan
Di penginapan..."Aku tidak percaya kau membuat kami diam seperti itu!" protes Burs begitu mereka kembali ke Cyan Lady, dan Kiran melepaskan mantra penutup mulut. "Mereka menghinamu, Tuan Kiran! Kami seharusnya membela kehormatanmu!""Dan membongkar penyamaran kalian?" tanya Kiran. "Itu akan lebih berbahaya.""Tapi mereka sangat menyebalkan!" tambah Kon, wajahnya masih merah karena marah. "Terutama pria bernama Tanner itu! Aku ingin menyihirnya menjadi kodok!"Emma, Chen, dan Pigenor, yang sudah kembali dari ekspedisi belanja mereka, mendengarkan dengan geli."Jadi mereka meremehkanmu?" tanya Emma, tersenyum kecil. "Mereka tidak tahu apa yang akan mereka hadapi.""Orang-orang bodoh," kata Chen, menggelengkan kepala. "Menilai kekuatan seseorang dari penampilan fisiknya saja.""Itu hal yang umum," kata Pigenor bijak. "Manusia selalu terlalu cepat menilai. Tapi itu bisa menjadi keuntungan. Musuh yang meremehkanmu adalah musuh yang lengah.""Tepat sekali," kata Kiran. "Lagipula, aku suda
Fajar menyingsing di Kota Falice, meskipun tidak ada matahari yang benar-benar terbit di kota bawah tanah ini. Kristal-kristal di langit-langit gua raksasa mulai bersinar lebih terang, menandakan pergantian hari. Kiran sudah bangun sejak tadi, bersiap untuk hari penting yang akan dihadapinya."Pertarungan masih sore nanti," gumamnya sambil mengenakan jubah perjalanannya. "Masih ada waktu untuk berbelanja pot mana."Kiran meninggalkan penginapan Cyan Lady dengan langkah ringan. Emma, Chen, dan Pigenor masih tertidur, kelelahan setelah petualangan mereka kemarin. Burs dan Kon, yang tidur dalam wujud Imp di sudut kamar, juga masih mendengkur pelan.Jalanan Kota Falice sudah mulai ramai meski hari masih pagi. Para pedagang membuka kios mereka, pengunjung baru berdatangan dari pintu masuk tambang, dan aroma makanan menguar dari kedai-kedai yang baru buka.Kiran menuju ke distrik toko alkimia, tempat toko-toko sihir berjajar rapi. Ia memilih untuk mengunjungi Fantastic Store, toko yang men
Senja menjelang di Kota Falice. Suasana Kota terasa redup dan tenang.Meski berada jauh di bawah permukaan tanah, kota ini memiliki siklus siang dan malam sendiri berkat ribuan kristal sihir yang tertanam di langit-langit gua raksasa. Kini, kristal-kristal itu memancarkan cahaya keemasan kemerahan, menciptakan ilusi matahari terbenam yang begitu indah.Cahaya senja palsu ini memantul pada permukaan bangunan-bangunan batu, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang menari di jalan-jalan kota. Meski buatan, senja di Kota Falice memiliki keindahan misteriusnya sendiri—perpaduan antara teknologi kuno dan sihir yang telah bertahan selama berabad-abad.Di tengah kota, Paradox Colosseum berdiri megah. Bangunan berbentuk lingkaran raksasa itu tampak lebih hidup dari biasanya. Obor-obor besar menyala di sepanjang dindingnya, dan bendera-bendera warna-warni berkibar tertiup angin buatan. Orang-orang dari berbagai penjuru berduyun-duyun memasuki arena, menciptakan lautan manusia yang bergerak
Tongkat itu terbuat dari kayu oak yang diukir dengan simbol-simbol kuno, dengan kristal biru cerah di ujungnya. Kiran menerimanya dengan rasa terima kasih."Berhati-hatilah di sana," kata Emma dengan senyum."Kami akan mendukungmu," tambah Chen."Dan ingat," kata Pigenor dengan suara rendah, "percayalah pada instingmu."Setelah teman-temannya pergi ke tribun, Kiran menunggu di ruang persiapan. Ia bisa mendengar suara riuh rendah dari arena di atas, tanda bahwa pertunjukan akan segera dimulai."Peacock?" seorang petugas memanggil. "Sudah waktunya."Kiran mengangguk, menggenggam erat tongkat sihir Chen. Ia mengikuti petugas menaiki tangga batu yang mengarah ke pintu masuk arena. Jantungnya berdegup kencang, tapi bukan karena takut. Ada sesuatu yang aneh tentang pertarungan ini, sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.Di atas, suara Itzam kembali terdengar. "Dan sekarang, mari kita sambut penantang kita malam ini! Seorang penyihir muda yang berani menantang sang juara! Inilah dia... Peacock
Gong besar berbunyi, menandakan dimulainya pertarungan. Yuta tidak membuang waktu. Ia langsung merapal mantra, tangannya bergerak cepat membentuk simbol-simbol rumit di udara."Ignis Infernum, Flamma Mortis, Exaudi Vocem Meam!" teriaknya, suaranya dalam dan bergema.Lingkaran sihir merah menyala terbentuk di bawah kakinya, memanaskan udara di sekitarnya. Dari lingkaran itu, muncul tiga pilar api yang membentuk wujud naga api, siap menyerang Kiran.Penonton bersorak antusias. Banyak yang sudah yakin pertarungan akan berakhir cepat, dengan Peacock menjadi santapan naga api Yuta dalam sekejap.Namun, Kiran tetap tenang. Ia mengangkat tongkat sihirnya, bersiap menghadapi serangan pertama Yuta.Naga api itu melesat ke arah Kiran dengan kecepatan luar biasa. Panasnya membakar udara, menciptakan gelombang panas yang terasa hingga ke tribun penonton."Veritum Shieldra," bisik Kiran tepat sebelum naga api itu menghantamnya.Kubah pelindung transparan terbentuk di sekeliling Kiran. Naga api men
"Hentikan!" teriak Yuta, suaranya melemah. "Kau akan membunuhku!"Seluruh arena terdiam, menyaksikan dengan takjub dan ngeri saat Yuta Si Tiada Tanding, juara bertahan yang belum pernah kalah, kini berlutut di tanah, energinya tersedot habis oleh pusaran hitam misterius."Peacock, kumohon!" suara Yuta terdengar putus asa, tangannya berusaha meraih udara, mencoba melawan tarikan pusaran hitam yang semakin kuat. "Hentikan sihir ini!"Kiran tetap diam, tongkat sihirnya masih terarah pada pusaran hitam yang mengelilingi Yuta. Wajahnya tersembunyi di balik topeng jade, tidak menunjukkan emosi apapun.Yuta, dengan tangan gemetar, perlahan meraih topeng besi yang menutupi wajahnya. Dengan satu gerakan lemah, ia melepaskan topeng itu, membiarkannya jatuh ke pasir arena.Napas Kiran tercekat. Dunia di sekelilingnya seolah berhenti berputar.Di hadapannya, berlutut dengan wajah pucat dan keringat bercucuran, adalah Jasper—pemuda yang pernah ia kenal di Institut Sihir Magentum, di Kota Shanggu.
Cahaya putih menyilaukan menyambut Jasper saat ia membuka mata. Langit-langit berwarna putih bersih dengan kristal penerangan yang berpendar lembut menjadi pemandangan pertama yang ia lihat. Aroma ramuan herbal dan minyak penyembuh memenuhi udara, memberikan sensasi menenangkan sekaligus familiar.Ia berada di sebuah ruangan serba putih. Tempat tidur dengan seprai putih bersih, dinding putih tanpa hiasan, dan perabotan sederhana dari kayu terang. Beberapa botol ramuan tersusun rapi di meja samping tempat tidurnya, bersama dengan kompres dan perban bersih.Ruang pengobatan, Jasper menyadari. Ia pernah beberapa kali berada di tempat seperti ini setelah pertarungan-pertarungannya yang berat di arena.Saat kesadarannya semakin pulih, ia menyadari kehadiran dua sosok di dekatnya. Seorang pemuda berdiri di samping tempat tidurnya, menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca—campuran kelegaan, keheranan, dan sesuatu yang lain. Jasper mengenalinya sebagai Kiran, lawan yang mengalahkannya d
Alis Magister Farouk terangkat, seketika memperlihatkan wajahnya yang culas dan jahat."Dua ratus pot? Itu jumlah yang sangat banyak untuk perjalanan biasa. Bahkan penyihir tingkat tinggi jarang membutuhkan lebih dari lima atau enam untuk perjalanan panjang."Kiran mencoba mencari alasan yang masuk akal, namun Roneko menyambar pertanyaan itu dengan percaya diri."Kami memiliki kebutuhan khusus," kata Roneko dengan suara lembut, memainkan perannya dengan baik. "Perjalanan kami melintasi daerah dengan energi spiritual yang rendah."Magister Farouk menatap mereka beberapa saat, kemudian mengangguk perlahan. Namun ada kilatan tersembunyi dimatanya. Namun semua ini tak lolos dari pengawasan Kiran, dan Roneko."Baiklah. Dua puluh pot mana kualitas terbaik. Itu akan menjadi dua ratus lima puluh dinar emas."Kiran mengeluarkan kantong koin dari balik jubahnya dan menghitung jumlah yang diminta.Sementara itu, Magister Farouk berjalan ke ruang belakang dan kembali dengan kotak kayu berukir. Ia
Awan kelabu menggantung rendah di atas Zahranar, seolah kota itu diselimuti selendang abu-abu yang meredam cahaya matahari.Jalanan yang biasanya ramai oleh pedagang dan pengunjung festival kini tampak lengang.Para penjaga berseragam biru tua Kekaisaran Zolia berdiri di setiap persimpangan, mata mereka waspada mengawasi setiap orang yang lewat.Di sudut-sudut kota, pengumuman tertulis ditempelkan pada dinding-dinding bangunan—peringatan tentang mata-mata berbahaya dari Qingchang yang sedang bersembunyi di kota.Wajah-wajah penduduk menyiratkan kecemasan, berbisik-bisik tentang pencurian Kyuubi berekor sembilan dan kemungkinan penyusupan musuh.Di kamar Penginapan Bulan Sabit, Kiran berdiri di dekat jendela, mengamati situasi di luar dengan seksama. Meskipun wajahnya tenang, matanya menyiratkan perhitungan dan kewaspadaan."Penjagaan semakin ketat," kata Kiran, berpaling pada tiga sosok yang menunggu instruksinya. "Mereka menempatkan penjaga di setiap sudut kota."Roneko, dalam wujud
Kapten Bao terdiam, ia seperti sedang mencerna informasi itu. "Pedang seperti apa yang memiliki kekuatan sebesar itu?"Ekspresi Kapten Bao setengah mengejek.Wajar jika Kapten Bao meremehkan. Dia bukan penyihir. Namun kalimat dan ekspresinya membuat ekspresi Lyra berubah."Saya tidak tahu, Kapten," jawab Lyra berusaha sopan."Dalam seluruh pengetahuan saya tentang senjata sihir, saya belum pernah mendengar pedang dengan kemampuan seperti ini. Kecuali..." Lyra sengaja menghentikan kata-katanya, mencoba melihat perubahan di wajah Kapten Bao."Kecuali?" Ujar Kapten Bao masih dengan wajah tawar."Kecuali legenda tentang Pedang Crimson yang dimiliki oleh Sage Alaric," kata Lyra antara ragu-ragu, juga senang melihat perubahan di wajah Kapten Bao.. "Tapi itu hanya legenda. Pedang itu konon hilang setelah kematian Sage Alaric seratus tahun lalu," sambungnya.Mata Kapten Bao berkilat berbahaya. "Sage Alaric... dan Phoenix Api - The Flame?" Ia berbalik dengan gerakan cepat, jubahnya berkibar d
Matahari telah menyingsing di ufuk timur. Semburatnya mewarnai langit Kota Zahranar dengan SINAR keemasan yang perlahan mengusir kegelapan malam. Alun-alun kota, yang semalam dipenuhi dengan kegembiraan festival dan pertunjukan sirkus, kini menjadi pusat kekacauan yang tidak terduga.Tenda-tenda berwarna-warni Sirkus Arvandil yang biasanya berdiri megah kini tampak berantakan, beberapa bahkan robek di beberapa bagian. Para pekerja sirkus berlarian dengan panik, sementara kerumunan penonton yang penasaran mulai berkumpul di pinggiran alun-alun, berbisik-bisik tentang apa yang telah terjadi."Pencuri! Seseorang mencuri aset berharga Sirkus Arvandi!""Jadi Rubah ekor sembilan itu menghilang?""Astagaa... Aku tau dia dibeli dengan harga yang sangat mahal..."Itulah percakapan yang terjadi diantara para anggota sirkus, maupun masyarakat Kota Zahranar yang pagi-pagi benar sudah datang menyaksikan kehebohan.Di tengah kekacauan itu, sekelompok prajurit berbaju zirah biru tua dengan simbol
"Belenggu ganda," gumam Kiran, alisnya bertaut dalam konsentrasi. "Kerangkeng ini dan kalung di lehermu sama-sama disihir untuk menahanmu. Satu sihir menguatkan yang lain." Ia menoleh pada Burs yang terus mengawasi sekeliling. "Ini akan membutuhkan waktu lebih lama dari yang kuperkirakan.""Bisakah Anda mematahkannya?" tanya Burs, suaranya tenang namun matanya terus bergerak waspada, menyapu area sekitar yang masih sunyi."Kita tidak punya banyak waktu," tambah Kon, melirik ke arah timur di mana langit mulai semakin terang. "Fajar semakin dekat."Kiran tidak langsung menjawab. Ia menutup matanya sejenak, merasakan struktur sihir yang mengikat kerangkeng dan kalung. Setiap sihir memiliki pola, seperti kunci yang membutuhkan gembok yang tepat. Dan setiap penyihir memiliki tanda tangannya sendiri—cara unik dalam menenun energi magis."Sihir ini..." gumamnya, "memiliki pola yang kukenal. Sihir Barat, ciri khas Zolia." Matanya terbuka, kini dipenuhi keyakinan. "Aku bisa mematahkannya,
Kiran dan kawan-kawannya berhenti di balik sebuah tenda besar saat seorang penjaga berjalan melewati jalur mereka. Ketiganya menahan napas, menyatu dengan bayangan hingga penjaga itu berlalu, terhuyung-huyung dalam langkahnya yang tidak stabil."Penjagaan mereka lebih lemah dari yang kuduga," bisik Burs, matanya mengawasi penjaga yang kini menjauh, sesekali tersandung kakinya sendiri."Kesombongan," balas Kiran pelan, suaranya nyaris tak terdengar. "Mereka merasa aman di ibukota, dilindungi oleh nama besar mereka dan hubungan dengan bangsawan tinggi." Ada jejak menghina disana."Ditambah lagi, mereka terlena oleh kesuksesan penampilan perdana dan pesta yang berlebihan."Kemudian... mereka melanjutkan perjalanan, bergerak dari bayangan ke bayangan dengan kecepatan dan ketepatan yang hanya bisa dicapai melalui latihan bertahun-tahun. Setiap kali ada suara, mereka berhenti, mendengarkan, kemudian melanjutkan ketika yakin aman.Akhirnya, mereka tiba di area kerangkeng hewan. Berbeda deng
Cahaya bulan menembus jendela kayu penginapan Bulan Sabit, menciptakan pola-pola keperakan pada lantai kamar yang sederhana. Kiran duduk bersila di tengah ruangan, tubuhnya tak bergerak bagaikan patung. Hanya dadanya yang naik turun dalam ritme teratur menandakan bahwa ia masih hidup. Aura keemasan tipis menyelimuti tubuhnya, berpendar lembut dalam kegelapan kamar seperti kunang-kunang yang menari perlahan.Kon bersandar di dinding dekat jendela, jari-jarinya mengetuk pelan pada bingkai kayu yang sudah tua. Matanya yang tajam tak pernah lepas dari jalanan kota yang semakin sepi seiring malam semakin larut. Sementara Burs duduk di kursi kayu dekat pintu, posturnya tegang meski wajahnya menampakkan kelelahan. Sesekali ia menguap, namun tatapannya tetap waspada, menyapu ruangan dan pintu secara bergantian."Sudah lima jam," gumam Burs, melirik Kiran yang masih bermeditasi dalam keheningan. Ia mengusap wajahnya seolah ia memiliki hiasan jenggot tipis. "Berapa lama lagi menurutmu?"Kon
"Ada apa, Tuan Rashid?" tanya Kiran dengan suara lemah. "Kami baru saja hendak beristirahat." Sorot mata Kiran terlihat seperti menegur, membuat Tuan Rashid merasa malu.Namun... Faridah, yang berdiri di belakang Rashid, melongokkan kepalanya ke dalam kamar. Matanya melebar melihat Kon dan Burs yang tampak seperti anak-anak biasa, tidak ada tanda-tanda dari sosok hantu mengerikan yang ia lihat sebelumnya."Itu dia! Anak itu!" teriak Faridah tiba-tiba muncul, lalu menunjuk ke arah Kon. "Dia berubah menjadi setan mengerikan! Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri!" Ekspresi ketakutan masih ada di mata Faridah, namun keangkuhannya kembali bangkit.Kon menatapnya dengan mata bulat yang polos. "Apa yang Bibi bicarakan?" tanyanya dengan suara kekanak-kanakan. "Aku hanya anak biasa."Rashid menatap Faridah dengan ekspresi yang semakin tidak sabar. Di belakangnya, beberapa tamu penginapan lain mulai berbisik-bisik, beberapa tertawa kecil melihat tingkah Faridah."Nyonya Faridah," kata
Kon, yang berdiri di samping Kiran, merasakan kemarahan memuncak dalam dirinya. Wajahnya merah padam, dan tangannya terkepal erat. Ia membuka mulutnya, siap melontarkan kata-kata yang mungkin akan membuat situasi semakin buruk.Namun, sesuatu dalam dirinya berubah. Wajahnya berubah menjadi keji licik ciri khas Imp sesungguhnya. Namun perempuan gemuk yang sombong ini tidak mencium gelagat bahaya. Dia masih terus menampilkan sikap pongah, merasa superior dan diatas angin."Cukup sudah!" Batin Kon dengan amarah yang tak terkendali."Sepertinya kemarahan ini tidak lagi bisa ekspresikan dalam wujud manusianya!""Harus melakukan sesuatu yang dramatis, yang membuat perempuan gembrot ini kapok...!"Dengan gerakan cepat yang hampir tak terlihat, Kon mencopot ilusi manusia, sosok remaja berwajah polos, lugu yang mudah di tindasBOOM!.Sosoknya berubah drastis —tidak menjadi Imp kecil bersayap, melainkan sesuatu yang jauh lebih mengerikan. Tubuh Kon memanjang dan melayang, kulitnya berubah