Senja menjelang di Kota Falice. Suasana Kota terasa redup dan tenang.Meski berada jauh di bawah permukaan tanah, kota ini memiliki siklus siang dan malam sendiri berkat ribuan kristal sihir yang tertanam di langit-langit gua raksasa. Kini, kristal-kristal itu memancarkan cahaya keemasan kemerahan, menciptakan ilusi matahari terbenam yang begitu indah.Cahaya senja palsu ini memantul pada permukaan bangunan-bangunan batu, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang menari di jalan-jalan kota. Meski buatan, senja di Kota Falice memiliki keindahan misteriusnya sendiri—perpaduan antara teknologi kuno dan sihir yang telah bertahan selama berabad-abad.Di tengah kota, Paradox Colosseum berdiri megah. Bangunan berbentuk lingkaran raksasa itu tampak lebih hidup dari biasanya. Obor-obor besar menyala di sepanjang dindingnya, dan bendera-bendera warna-warni berkibar tertiup angin buatan. Orang-orang dari berbagai penjuru berduyun-duyun memasuki arena, menciptakan lautan manusia yang bergerak
Tongkat itu terbuat dari kayu oak yang diukir dengan simbol-simbol kuno, dengan kristal biru cerah di ujungnya. Kiran menerimanya dengan rasa terima kasih."Berhati-hatilah di sana," kata Emma dengan senyum."Kami akan mendukungmu," tambah Chen."Dan ingat," kata Pigenor dengan suara rendah, "percayalah pada instingmu."Setelah teman-temannya pergi ke tribun, Kiran menunggu di ruang persiapan. Ia bisa mendengar suara riuh rendah dari arena di atas, tanda bahwa pertunjukan akan segera dimulai."Peacock?" seorang petugas memanggil. "Sudah waktunya."Kiran mengangguk, menggenggam erat tongkat sihir Chen. Ia mengikuti petugas menaiki tangga batu yang mengarah ke pintu masuk arena. Jantungnya berdegup kencang, tapi bukan karena takut. Ada sesuatu yang aneh tentang pertarungan ini, sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.Di atas, suara Itzam kembali terdengar. "Dan sekarang, mari kita sambut penantang kita malam ini! Seorang penyihir muda yang berani menantang sang juara! Inilah dia... Peacock
Gong besar berbunyi, menandakan dimulainya pertarungan. Yuta tidak membuang waktu. Ia langsung merapal mantra, tangannya bergerak cepat membentuk simbol-simbol rumit di udara."Ignis Infernum, Flamma Mortis, Exaudi Vocem Meam!" teriaknya, suaranya dalam dan bergema.Lingkaran sihir merah menyala terbentuk di bawah kakinya, memanaskan udara di sekitarnya. Dari lingkaran itu, muncul tiga pilar api yang membentuk wujud naga api, siap menyerang Kiran.Penonton bersorak antusias. Banyak yang sudah yakin pertarungan akan berakhir cepat, dengan Peacock menjadi santapan naga api Yuta dalam sekejap.Namun, Kiran tetap tenang. Ia mengangkat tongkat sihirnya, bersiap menghadapi serangan pertama Yuta.Naga api itu melesat ke arah Kiran dengan kecepatan luar biasa. Panasnya membakar udara, menciptakan gelombang panas yang terasa hingga ke tribun penonton."Veritum Shieldra," bisik Kiran tepat sebelum naga api itu menghantamnya.Kubah pelindung transparan terbentuk di sekeliling Kiran. Naga api men
"Hentikan!" teriak Yuta, suaranya melemah. "Kau akan membunuhku!"Seluruh arena terdiam, menyaksikan dengan takjub dan ngeri saat Yuta Si Tiada Tanding, juara bertahan yang belum pernah kalah, kini berlutut di tanah, energinya tersedot habis oleh pusaran hitam misterius."Peacock, kumohon!" suara Yuta terdengar putus asa, tangannya berusaha meraih udara, mencoba melawan tarikan pusaran hitam yang semakin kuat. "Hentikan sihir ini!"Kiran tetap diam, tongkat sihirnya masih terarah pada pusaran hitam yang mengelilingi Yuta. Wajahnya tersembunyi di balik topeng jade, tidak menunjukkan emosi apapun.Yuta, dengan tangan gemetar, perlahan meraih topeng besi yang menutupi wajahnya. Dengan satu gerakan lemah, ia melepaskan topeng itu, membiarkannya jatuh ke pasir arena.Napas Kiran tercekat. Dunia di sekelilingnya seolah berhenti berputar.Di hadapannya, berlutut dengan wajah pucat dan keringat bercucuran, adalah Jasper—pemuda yang pernah ia kenal di Institut Sihir Magentum, di Kota Shanggu.
Cahaya putih menyilaukan menyambut Jasper saat ia membuka mata. Langit-langit berwarna putih bersih dengan kristal penerangan yang berpendar lembut menjadi pemandangan pertama yang ia lihat. Aroma ramuan herbal dan minyak penyembuh memenuhi udara, memberikan sensasi menenangkan sekaligus familiar.Ia berada di sebuah ruangan serba putih. Tempat tidur dengan seprai putih bersih, dinding putih tanpa hiasan, dan perabotan sederhana dari kayu terang. Beberapa botol ramuan tersusun rapi di meja samping tempat tidurnya, bersama dengan kompres dan perban bersih.Ruang pengobatan, Jasper menyadari. Ia pernah beberapa kali berada di tempat seperti ini setelah pertarungan-pertarungannya yang berat di arena.Saat kesadarannya semakin pulih, ia menyadari kehadiran dua sosok di dekatnya. Seorang pemuda berdiri di samping tempat tidurnya, menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca—campuran kelegaan, keheranan, dan sesuatu yang lain. Jasper mengenalinya sebagai Kiran, lawan yang mengalahkannya d
Ruangan pengobatan itu hening sejenak setelah Kiran mengutarakan tawarannya. Cahaya dari kristal penerangan di langit-langit memantulkan bayangan lembut di wajah Jasper yang masih pucat. Di luar jendela, suara samar aktivitas Kota Falice terdengar sayup-sayup, kontras dengan keheningan yang menyelimuti ruangan."Jadi," Kiran memecah keheningan, "bagaimana? Apa kau bersedia bergabung dengan kami?"Jasper menatap selimut putih yang menutupi tubuhnya, jemarinya memainkan ujung kain dengan gelisah. Ia kemudian mengangkat wajahnya, matanya yang keemasan khas manusia serigala bertemu dengan mata Kiran."Ya," jawabnya tanpa ragu. "Aku bersedia bergabung.""Kau yakin?" tanya Chen, sedikit terkejut dengan jawaban cepat Jasper.Jasper tersenyum tipis, ada kesedihan di matanya. "Aku tidak punya pilihan lain, bukan? Aku sudah kalah di arena. Colton tidak akan menyukai itu. Dia hanya menyukai pemenang." Ia menarik napas dalam-dalam. "Lagipula, aku sudah lelah hidup sebagai buronan. Mungkin... mu
"Beruntung?" Zephyrus tertawa. "Tidak, anak muda. Itu bukan keberuntungan. Itu adalah keterampilan dan strategi. Kau membiarkan Yuta menghabiskan energinya dengan serangan-serangan beruntun, sementara kau menghemat energimu sendiri. Sangat cerdik."Kiran tersenyum, sedikit malu dengan pujian itu. "Aku datang untuk mengambil hadiahku, Tuan Zephyrus.""Tentu, tentu," kata Zephyrus, kembali ke balik meja kasir. Ia membungkuk, mengambil sesuatu dari laci tersembunyi. "Ini Pedang Bintangmu, dan tentu saja, informasi yang kau cari."Zephyrus meletakkan Pedang Bintang di atas meja, bilahnya berkilau keperakan di bawah cahaya obor. Di samping pedang, ia meletakkan sebuah gulungan perkamen tua yang menguning dimakan usia, diikat dengan tali kulit yang sudah rapuh."Peta menuju Orchid Altaalaite," kata Zephyrus dengan suara rendah, nyaris berbisik. "Sangat langka dan sangat berharga."Kiran mengambil gulungan itu dengan hati-hati, membukanya perlahan. Peta itu menunjukkan jaringan lorong bawah
Malam telah larut ketika Kiran kembali ke penginapan Cyan Lady. Kristal-kristal di langit-langit Kota Falice kini berwarna biru gelap, menciptakan ilusi malam yang sempurna meski berada jauh di bawah permukaan tanah.Suara-suara dari tavern dan kasino masih terdengar samar, namun sebagian besar kota mulai terlelap.Kiran membuka pintu kamar penginapan dan menemukan teman-temannya berkumpul di ruangan yang diterangi cahaya lilin. Emma dan Chen duduk di tepi tempat tidur, sementara Pigenor berdiri dekat jendela, menatap keluar ke arah kota. Burs dan Kon, dalam wujud Imp mereka, terbang rendah di sekitar ruangan, tampak bosan.Yang mengejutkan Kiran adalah kehadiran Jasper, duduk di kursi dekat perapian. Wajahnya masih pucat, namun jauh lebih baik dari terakhir kali Kiran melihatnya. Ia mengenakan pakaian baru—kemeja putih longgar dan celana hitam—yang jelas bukan miliknya."Jasper?" Kiran mengangkat alis, terkejut. "Bukankah kau seharusnya masih di ruang perawatan?"Jasper tersenyum t
Kapten Bao terdiam, ia seperti sedang mencerna informasi itu. "Pedang seperti apa yang memiliki kekuatan sebesar itu?"Ekspresi Kapten Bao setengah mengejek.Wajar jika Kapten Bao meremehkan. Dia bukan penyihir. Namun kalimat dan ekspresinya membuat ekspresi Lyra berubah."Saya tidak tahu, Kapten," jawab Lyra berusaha sopan."Dalam seluruh pengetahuan saya tentang senjata sihir, saya belum pernah mendengar pedang dengan kemampuan seperti ini. Kecuali..." Lyra sengaja menghentikan kata-katanya, mencoba melihat perubahan di wajah Kapten Bao."Kecuali?" Ujar Kapten Bao masih dengan wajah tawar."Kecuali legenda tentang Pedang Crimson yang dimiliki oleh Sage Alaric," kata Lyra antara ragu-ragu, juga senang melihat perubahan di wajah Kapten Bao.. "Tapi itu hanya legenda. Pedang itu konon hilang setelah kematian Sage Alaric seratus tahun lalu," sambungnya.Mata Kapten Bao berkilat berbahaya. "Sage Alaric... dan Phoenix Api - The Flame?" Ia berbalik dengan gerakan cepat, jubahnya berkibar d
Matahari telah menyingsing di ufuk timur. Semburatnya mewarnai langit Kota Zahranar dengan SINAR keemasan yang perlahan mengusir kegelapan malam. Alun-alun kota, yang semalam dipenuhi dengan kegembiraan festival dan pertunjukan sirkus, kini menjadi pusat kekacauan yang tidak terduga.Tenda-tenda berwarna-warni Sirkus Arvandil yang biasanya berdiri megah kini tampak berantakan, beberapa bahkan robek di beberapa bagian. Para pekerja sirkus berlarian dengan panik, sementara kerumunan penonton yang penasaran mulai berkumpul di pinggiran alun-alun, berbisik-bisik tentang apa yang telah terjadi."Pencuri! Seseorang mencuri aset berharga Sirkus Arvandi!""Jadi Rubah ekor sembilan itu menghilang?""Astagaa... Aku tau dia dibeli dengan harga yang sangat mahal..."Itulah percakapan yang terjadi diantara para anggota sirkus, maupun masyarakat Kota Zahranar yang pagi-pagi benar sudah datang menyaksikan kehebohan.Di tengah kekacauan itu, sekelompok prajurit berbaju zirah biru tua dengan simbol
"Belenggu ganda," gumam Kiran, alisnya bertaut dalam konsentrasi. "Kerangkeng ini dan kalung di lehermu sama-sama disihir untuk menahanmu. Satu sihir menguatkan yang lain." Ia menoleh pada Burs yang terus mengawasi sekeliling. "Ini akan membutuhkan waktu lebih lama dari yang kuperkirakan.""Bisakah Anda mematahkannya?" tanya Burs, suaranya tenang namun matanya terus bergerak waspada, menyapu area sekitar yang masih sunyi."Kita tidak punya banyak waktu," tambah Kon, melirik ke arah timur di mana langit mulai semakin terang. "Fajar semakin dekat."Kiran tidak langsung menjawab. Ia menutup matanya sejenak, merasakan struktur sihir yang mengikat kerangkeng dan kalung. Setiap sihir memiliki pola, seperti kunci yang membutuhkan gembok yang tepat. Dan setiap penyihir memiliki tanda tangannya sendiri—cara unik dalam menenun energi magis."Sihir ini..." gumamnya, "memiliki pola yang kukenal. Sihir Barat, ciri khas Zolia." Matanya terbuka, kini dipenuhi keyakinan. "Aku bisa mematahkannya,
Kiran dan kawan-kawannya berhenti di balik sebuah tenda besar saat seorang penjaga berjalan melewati jalur mereka. Ketiganya menahan napas, menyatu dengan bayangan hingga penjaga itu berlalu, terhuyung-huyung dalam langkahnya yang tidak stabil."Penjagaan mereka lebih lemah dari yang kuduga," bisik Burs, matanya mengawasi penjaga yang kini menjauh, sesekali tersandung kakinya sendiri."Kesombongan," balas Kiran pelan, suaranya nyaris tak terdengar. "Mereka merasa aman di ibukota, dilindungi oleh nama besar mereka dan hubungan dengan bangsawan tinggi." Ada jejak menghina disana."Ditambah lagi, mereka terlena oleh kesuksesan penampilan perdana dan pesta yang berlebihan."Kemudian... mereka melanjutkan perjalanan, bergerak dari bayangan ke bayangan dengan kecepatan dan ketepatan yang hanya bisa dicapai melalui latihan bertahun-tahun. Setiap kali ada suara, mereka berhenti, mendengarkan, kemudian melanjutkan ketika yakin aman.Akhirnya, mereka tiba di area kerangkeng hewan. Berbeda deng
Cahaya bulan menembus jendela kayu penginapan Bulan Sabit, menciptakan pola-pola keperakan pada lantai kamar yang sederhana. Kiran duduk bersila di tengah ruangan, tubuhnya tak bergerak bagaikan patung. Hanya dadanya yang naik turun dalam ritme teratur menandakan bahwa ia masih hidup. Aura keemasan tipis menyelimuti tubuhnya, berpendar lembut dalam kegelapan kamar seperti kunang-kunang yang menari perlahan.Kon bersandar di dinding dekat jendela, jari-jarinya mengetuk pelan pada bingkai kayu yang sudah tua. Matanya yang tajam tak pernah lepas dari jalanan kota yang semakin sepi seiring malam semakin larut. Sementara Burs duduk di kursi kayu dekat pintu, posturnya tegang meski wajahnya menampakkan kelelahan. Sesekali ia menguap, namun tatapannya tetap waspada, menyapu ruangan dan pintu secara bergantian."Sudah lima jam," gumam Burs, melirik Kiran yang masih bermeditasi dalam keheningan. Ia mengusap wajahnya seolah ia memiliki hiasan jenggot tipis. "Berapa lama lagi menurutmu?"Kon
"Ada apa, Tuan Rashid?" tanya Kiran dengan suara lemah. "Kami baru saja hendak beristirahat." Sorot mata Kiran terlihat seperti menegur, membuat Tuan Rashid merasa malu.Namun... Faridah, yang berdiri di belakang Rashid, melongokkan kepalanya ke dalam kamar. Matanya melebar melihat Kon dan Burs yang tampak seperti anak-anak biasa, tidak ada tanda-tanda dari sosok hantu mengerikan yang ia lihat sebelumnya."Itu dia! Anak itu!" teriak Faridah tiba-tiba muncul, lalu menunjuk ke arah Kon. "Dia berubah menjadi setan mengerikan! Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri!" Ekspresi ketakutan masih ada di mata Faridah, namun keangkuhannya kembali bangkit.Kon menatapnya dengan mata bulat yang polos. "Apa yang Bibi bicarakan?" tanyanya dengan suara kekanak-kanakan. "Aku hanya anak biasa."Rashid menatap Faridah dengan ekspresi yang semakin tidak sabar. Di belakangnya, beberapa tamu penginapan lain mulai berbisik-bisik, beberapa tertawa kecil melihat tingkah Faridah."Nyonya Faridah," kata
Kon, yang berdiri di samping Kiran, merasakan kemarahan memuncak dalam dirinya. Wajahnya merah padam, dan tangannya terkepal erat. Ia membuka mulutnya, siap melontarkan kata-kata yang mungkin akan membuat situasi semakin buruk.Namun, sesuatu dalam dirinya berubah. Wajahnya berubah menjadi keji licik ciri khas Imp sesungguhnya. Namun perempuan gemuk yang sombong ini tidak mencium gelagat bahaya. Dia masih terus menampilkan sikap pongah, merasa superior dan diatas angin."Cukup sudah!" Batin Kon dengan amarah yang tak terkendali."Sepertinya kemarahan ini tidak lagi bisa ekspresikan dalam wujud manusianya!""Harus melakukan sesuatu yang dramatis, yang membuat perempuan gembrot ini kapok...!"Dengan gerakan cepat yang hampir tak terlihat, Kon mencopot ilusi manusia, sosok remaja berwajah polos, lugu yang mudah di tindasBOOM!.Sosoknya berubah drastis —tidak menjadi Imp kecil bersayap, melainkan sesuatu yang jauh lebih mengerikan. Tubuh Kon memanjang dan melayang, kulitnya berubah
Kamar itu memang sederhana—satu tempat tidur berukuran sedang, sebuah meja kecil dengan kursi, dan jendela yang menghadap ke jalan. Namun bagi Kiran yang hampir kehabisan tenaga, kamar itu tampak seperti istana."Beristirahatlah dengan nyaman," kata Rashid sebelum meninggalkan mereka. "Jika butuh sesuatu, saya ada di bawah."Setelah Rashid pergi, Kiran segera duduk bersila di atas tempat tidur, bersiap untuk bermeditasi. Kon mengunci pintu, sementara Burs menyalakan lilin kecil di meja."Aku akan bermeditasi untuk memulihkan energi spiritual," kata Kiran, matanya sudah setengah terpejam. "Jaga pintu dan jangan biarkan siapapun masuk.""Baik, Tuan," jawab Kon dan Burs bersamaan.Kiran menutup matanya sepenuhnya, mengatur napasnya dalam ritme tertentu. Ia mulai memasuki keadaan meditasi, merasakan aliran reiki di dalam tubuhnya yang lemah mulai bergerak perlahan. Ketenangan mulai menyelimuti pikirannya, menjauhkannya dari kekacauan dunia luar.Namun, baru beberapa menit berlalu, suara
Malam semakin larut di Zahranar. Lampu-lampu sihir berpendar di sepanjang jalan, menciptakan atmosfer magis yang kontras dengan kelelahan yang mendera tubuh Kiran. Setelah pertemuan tak terduga dengan Roneko, Kiran merasakan urgensi yang semakin besar untuk memulihkan kekuatannya, demi membebaskan Roneko di Kyuubi berekor sembilan."Tuan, kita harus segera menemukan tempat beristirahat," kata Burs, menopang tubuh Kiran yang semakin lemah. "Anda perlu bermeditasi untuk memulihkan energi spiritual."Kiran mengangguk lemah. "Aku tahu. Tapi semua penginapan penuh karena festival.""Kita belum mencoba semua," kata Kon dengan optimisme yang dipaksakan. "Lihat, ada satu lagi di ujung jalan itu," ujarnya memberi harapan.Lalu... mereka bertiga berjalan tertatih-tatih menuju sebuah bangunan dua lantai dengan papan nama "Penginapan Bulan Sabit" yang tergantung di depannya. Bangunan itu tidak terlalu mewah, namun tampak bersih dan terawat, dengan lampu-lampu kecil yang berpendar hangat di je