"Beruntung?" Zephyrus tertawa. "Tidak, anak muda. Itu bukan keberuntungan. Itu adalah keterampilan dan strategi. Kau membiarkan Yuta menghabiskan energinya dengan serangan-serangan beruntun, sementara kau menghemat energimu sendiri. Sangat cerdik."Kiran tersenyum, sedikit malu dengan pujian itu. "Aku datang untuk mengambil hadiahku, Tuan Zephyrus.""Tentu, tentu," kata Zephyrus, kembali ke balik meja kasir. Ia membungkuk, mengambil sesuatu dari laci tersembunyi. "Ini Pedang Bintangmu, dan tentu saja, informasi yang kau cari."Zephyrus meletakkan Pedang Bintang di atas meja, bilahnya berkilau keperakan di bawah cahaya obor. Di samping pedang, ia meletakkan sebuah gulungan perkamen tua yang menguning dimakan usia, diikat dengan tali kulit yang sudah rapuh."Peta menuju Orchid Altaalaite," kata Zephyrus dengan suara rendah, nyaris berbisik. "Sangat langka dan sangat berharga."Kiran mengambil gulungan itu dengan hati-hati, membukanya perlahan. Peta itu menunjukkan jaringan lorong bawah
Malam telah larut ketika Kiran kembali ke penginapan Cyan Lady. Kristal-kristal di langit-langit Kota Falice kini berwarna biru gelap, menciptakan ilusi malam yang sempurna meski berada jauh di bawah permukaan tanah.Suara-suara dari tavern dan kasino masih terdengar samar, namun sebagian besar kota mulai terlelap.Kiran membuka pintu kamar penginapan dan menemukan teman-temannya berkumpul di ruangan yang diterangi cahaya lilin. Emma dan Chen duduk di tepi tempat tidur, sementara Pigenor berdiri dekat jendela, menatap keluar ke arah kota. Burs dan Kon, dalam wujud Imp mereka, terbang rendah di sekitar ruangan, tampak bosan.Yang mengejutkan Kiran adalah kehadiran Jasper, duduk di kursi dekat perapian. Wajahnya masih pucat, namun jauh lebih baik dari terakhir kali Kiran melihatnya. Ia mengenakan pakaian baru—kemeja putih longgar dan celana hitam—yang jelas bukan miliknya."Jasper?" Kiran mengangkat alis, terkejut. "Bukankah kau seharusnya masih di ruang perawatan?"Jasper tersenyum t
Fajar belum sepenuhnya menyingsing di Kota Falice. Kristal-kristal di langit-langit gua raksasa baru memancarkan cahaya redup kebiruan, menciptakan suasana temaram yang menenangkan. Namun di penginapan Cyan Lady, kelompok Kiran sudah bersiap untuk memulai hari."Bangun, semuanya!" Kiran mengetuk pintu kamar satu per satu. "Kita harus segera ke pasar!"Emma membuka pintu kamarnya dengan mata masih setengah terpejam. "Demi Merlin, Kiran. Matahari bahkan belum terbit.""Di bawah tanah tidak ada matahari, Emma," Kiran tersenyum tipis. "Dan kita butuh waktu untuk mencari armor terbaik."Di ruang makan penginapan, Elvira, sang pemilik, menyajikan sarapan hangat berupa roti gandum dan sup jamur bercahaya—makanan khas Kota Falice. Jasper, yang masih terlihat lelah dari pertarungan kemarin, duduk sambil sesekali meregangkan bahunya yang kaku."Kenapa harus sepagi ini?" tanya Jasper, mengambil sepotong roti.Chen, yang sudah rapi dengan jubah birunya, menjawab, "Makin pagi, makin baik kualita
Di bagian lain pasar, Emma berhenti di depan kios dengan simbol air di papan namanya. Sebagai pemanggil air, ia membutuhkan sarung tangan yang bisa memaksimalkan kekuatan serangnya."Selamat pagi, Nona," sapa seorang wanita paruh baya dengan rambut biru keperakan. "Mencari sarung tangan untuk sihir air?"Emma tersenyum. "Bagaimana Anda tahu?""Aura sihirmu," wanita itu menunjuk ke udara di sekitar Emma. "Bergelombang seperti air. Aku punya beberapa pilihan untukmu."Wanita itu mengeluarkan tiga pasang sarung tangan berbeda. "Yang hijau ini untuk pemula, yang biru untuk penyihir berpengalaman, dan yang ungu—" ia menunjuk sarung tangan dengan ukiran seperti gelombang air, "—untuk mereka yang benar-benar menguasai sihir air."Emma mengambil sarung tangan biru, merasakan sensasi dingin yang menyegarkan. "Apa keistimewaannya?""Sarung tangan Tidal Force ini meningkatkan ATK sihir airmu hingga 30%," jelas wanita itu. "Saat kau merapal mantra air, sarung tangan ini akan menarik kelembaban da
Senja mulai turun di Kota Falice. Kristal-kristal di langit-langit gua perlahan berubah warna menjadi kemerahan, menciptakan ilusi matahari terbenam yang indah. Pasar masih ramai, tetapi kini dipenuhi oleh mereka yang mencari makan malam atau hiburan malam.Di sebuah kafe kecil bernama "Crystalline Brew" yang terletak di sudut pasar, kelompok Kiran berkumpul kembali. Aroma kopi dan roti hangat menguar dari dapur, bercampur dengan suara percakapan pengunjung lain dan dentingan gelas."Jadi, bagaimana hasilnya?" tanya Kiran, menyesap minuman hangat berwarna keemasan dari cangkirnya.Jasper tersenyum puas, mengeluarkan sarung tangan ungu dan armor senada dari tasnya. "Sukses besar. Sarung tangan Crimson Ember dan armor Dragon Scale, keduanya kelas ungu—rare." Ia meletakkan keduanya di meja dengan hati-hati. "Keuntungan menjadi petarung arena selama bertahun-tahun.""Berapa harganya?" tanya Emma penasaran."1.500 koin emas untuk keduanya," jawab Jasper santai. "Tapi pedagangnya memberikan
Fajar belum menyingsing di Kota Falice ketika kelompok Kiran berkumpul di depan pintu masuk Tambang Tartaf. Kristal-kristal di langit-langit gua masih redup, menciptakan suasana temaram yang misterius. Udara terasa lebih dingin dan lembab, membuat napas mereka menguap seperti kabut tipis."Semua sudah siap?" tanya Kiran, mengeratkan tali tas ranselnya.Emma mengangguk, mengecek kembali kantong ramuan di pinggangnya. "Sepuluh pot mana, lima ramuan penyembuh, dan tiga ramuan penangkal racun.""Aku juga siap," Chen menambahkan, menunjukkan tongkat sihirnya yang kini dilapisi dengan ukiran pelindung.Jasper mengenakan sarung tangan Crimson Ember barunya, merasakan kehangatan yang mengalir ke jemarinya. "Peta sudah kau periksa, Kiran?"Kiran mengeluarkan peta pemberian Zephyrus, membentangkannya di bawah cahaya obor. "Menurut peta, kita harus menemukan pintu tersembunyi di balik tumpukan batu di sebelah timur tambang."Pigenor, dengan kejelian matanya, menelusuri dinding tambang. "Di sana,
Lorong setelah relung para Imp semakin menurun tajam. Dinding batunya berubah warna menjadi hitam kebiruan dengan urat-urat kristal yang sesekali berpendar ketika terkena cahaya api dari tangan Jasper. Suara tetesan air bergema di sepanjang lorong, menciptakan melodi alam yang misterius."Apa yang sebenarnya kita hadapi di bawah sana?" tanya Emma, suaranya sedikit bergetar. "Imp-imp itu menyebut tentang Penjaga Api Abadi."Kiran menggeleng. "Aku tidak tahu pasti. Zephyrus hanya memperingatkan bahwa kita membutuhkan kekuatan api sejati untuk melewatinya.""Untung kita punya dua pemanggil api," Chen melirik ke arah Kiran dan Jasper.Pigenor, yang berjalan dengan langkah ringan khas Elf, tiba-tiba berhenti. "Ada sesuatu di depan," bisiknya. "Aku bisa merasakan getarannya melalui batu."Mereka melanjutkan dengan lebih waspada. Setelah beberapa belokan, lorong tiba-tiba berakhir pada sebuah jurang lebar. Melintasi jurang itu, terbentang sebuah jembatan batu alami yang sangat sempit—hanya
Kilau ungu kemerahan Orchid Altaalaite yang melayang di atas api abadi menciptakan pantulan cahaya indah di permukaan danau hitam. Untuk sesaat, kelompok Kiran terpana oleh keindahan permata legendaris itu—kristal yang konon merupakan "Air Mata Bumi" dalam legenda Elf."Indah sekali," bisik Emma, matanya tidak lepas dari permata yang berkilauan. "Aku belum pernah melihat permata seindah itu."Kiran mengangguk pelan. "Dengan permata itu, Pedang Bintang akan menjadi senjata yang mampu melawan Warlock Kaisar Oberon."Namun kekaguman mereka tidak berlangsung lama. Permukaan danau yang tadinya tenang tiba-tiba beriak. Dari dalam air hitam pekat, muncul tiga sosok tinggi besar dengan kulit merah tua dan tanduk melengkung di kepala mereka. Mata mereka bercahaya keemasan, dan tubuh mereka diselimuti aura api yang berkobar."Afrit," bisik Pigenor, menarik busurnya dengan waspada.Belum hilang keterkejutan mereka, dua sosok lain muncul dari balik pulau. Tubuh mereka lebih besar dari Afrit, den
Kapten Bao terdiam, ia seperti sedang mencerna informasi itu. "Pedang seperti apa yang memiliki kekuatan sebesar itu?"Ekspresi Kapten Bao setengah mengejek.Wajar jika Kapten Bao meremehkan. Dia bukan penyihir. Namun kalimat dan ekspresinya membuat ekspresi Lyra berubah."Saya tidak tahu, Kapten," jawab Lyra berusaha sopan."Dalam seluruh pengetahuan saya tentang senjata sihir, saya belum pernah mendengar pedang dengan kemampuan seperti ini. Kecuali..." Lyra sengaja menghentikan kata-katanya, mencoba melihat perubahan di wajah Kapten Bao."Kecuali?" Ujar Kapten Bao masih dengan wajah tawar."Kecuali legenda tentang Pedang Crimson yang dimiliki oleh Sage Alaric," kata Lyra antara ragu-ragu, juga senang melihat perubahan di wajah Kapten Bao.. "Tapi itu hanya legenda. Pedang itu konon hilang setelah kematian Sage Alaric seratus tahun lalu," sambungnya.Mata Kapten Bao berkilat berbahaya. "Sage Alaric... dan Phoenix Api - The Flame?" Ia berbalik dengan gerakan cepat, jubahnya berkibar d
Matahari telah menyingsing di ufuk timur. Semburatnya mewarnai langit Kota Zahranar dengan SINAR keemasan yang perlahan mengusir kegelapan malam. Alun-alun kota, yang semalam dipenuhi dengan kegembiraan festival dan pertunjukan sirkus, kini menjadi pusat kekacauan yang tidak terduga.Tenda-tenda berwarna-warni Sirkus Arvandil yang biasanya berdiri megah kini tampak berantakan, beberapa bahkan robek di beberapa bagian. Para pekerja sirkus berlarian dengan panik, sementara kerumunan penonton yang penasaran mulai berkumpul di pinggiran alun-alun, berbisik-bisik tentang apa yang telah terjadi."Pencuri! Seseorang mencuri aset berharga Sirkus Arvandi!""Jadi Rubah ekor sembilan itu menghilang?""Astagaa... Aku tau dia dibeli dengan harga yang sangat mahal..."Itulah percakapan yang terjadi diantara para anggota sirkus, maupun masyarakat Kota Zahranar yang pagi-pagi benar sudah datang menyaksikan kehebohan.Di tengah kekacauan itu, sekelompok prajurit berbaju zirah biru tua dengan simbol
"Belenggu ganda," gumam Kiran, alisnya bertaut dalam konsentrasi. "Kerangkeng ini dan kalung di lehermu sama-sama disihir untuk menahanmu. Satu sihir menguatkan yang lain." Ia menoleh pada Burs yang terus mengawasi sekeliling. "Ini akan membutuhkan waktu lebih lama dari yang kuperkirakan.""Bisakah Anda mematahkannya?" tanya Burs, suaranya tenang namun matanya terus bergerak waspada, menyapu area sekitar yang masih sunyi."Kita tidak punya banyak waktu," tambah Kon, melirik ke arah timur di mana langit mulai semakin terang. "Fajar semakin dekat."Kiran tidak langsung menjawab. Ia menutup matanya sejenak, merasakan struktur sihir yang mengikat kerangkeng dan kalung. Setiap sihir memiliki pola, seperti kunci yang membutuhkan gembok yang tepat. Dan setiap penyihir memiliki tanda tangannya sendiri—cara unik dalam menenun energi magis."Sihir ini..." gumamnya, "memiliki pola yang kukenal. Sihir Barat, ciri khas Zolia." Matanya terbuka, kini dipenuhi keyakinan. "Aku bisa mematahkannya,
Kiran dan kawan-kawannya berhenti di balik sebuah tenda besar saat seorang penjaga berjalan melewati jalur mereka. Ketiganya menahan napas, menyatu dengan bayangan hingga penjaga itu berlalu, terhuyung-huyung dalam langkahnya yang tidak stabil."Penjagaan mereka lebih lemah dari yang kuduga," bisik Burs, matanya mengawasi penjaga yang kini menjauh, sesekali tersandung kakinya sendiri."Kesombongan," balas Kiran pelan, suaranya nyaris tak terdengar. "Mereka merasa aman di ibukota, dilindungi oleh nama besar mereka dan hubungan dengan bangsawan tinggi." Ada jejak menghina disana."Ditambah lagi, mereka terlena oleh kesuksesan penampilan perdana dan pesta yang berlebihan."Kemudian... mereka melanjutkan perjalanan, bergerak dari bayangan ke bayangan dengan kecepatan dan ketepatan yang hanya bisa dicapai melalui latihan bertahun-tahun. Setiap kali ada suara, mereka berhenti, mendengarkan, kemudian melanjutkan ketika yakin aman.Akhirnya, mereka tiba di area kerangkeng hewan. Berbeda deng
Cahaya bulan menembus jendela kayu penginapan Bulan Sabit, menciptakan pola-pola keperakan pada lantai kamar yang sederhana. Kiran duduk bersila di tengah ruangan, tubuhnya tak bergerak bagaikan patung. Hanya dadanya yang naik turun dalam ritme teratur menandakan bahwa ia masih hidup. Aura keemasan tipis menyelimuti tubuhnya, berpendar lembut dalam kegelapan kamar seperti kunang-kunang yang menari perlahan.Kon bersandar di dinding dekat jendela, jari-jarinya mengetuk pelan pada bingkai kayu yang sudah tua. Matanya yang tajam tak pernah lepas dari jalanan kota yang semakin sepi seiring malam semakin larut. Sementara Burs duduk di kursi kayu dekat pintu, posturnya tegang meski wajahnya menampakkan kelelahan. Sesekali ia menguap, namun tatapannya tetap waspada, menyapu ruangan dan pintu secara bergantian."Sudah lima jam," gumam Burs, melirik Kiran yang masih bermeditasi dalam keheningan. Ia mengusap wajahnya seolah ia memiliki hiasan jenggot tipis. "Berapa lama lagi menurutmu?"Kon
"Ada apa, Tuan Rashid?" tanya Kiran dengan suara lemah. "Kami baru saja hendak beristirahat." Sorot mata Kiran terlihat seperti menegur, membuat Tuan Rashid merasa malu.Namun... Faridah, yang berdiri di belakang Rashid, melongokkan kepalanya ke dalam kamar. Matanya melebar melihat Kon dan Burs yang tampak seperti anak-anak biasa, tidak ada tanda-tanda dari sosok hantu mengerikan yang ia lihat sebelumnya."Itu dia! Anak itu!" teriak Faridah tiba-tiba muncul, lalu menunjuk ke arah Kon. "Dia berubah menjadi setan mengerikan! Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri!" Ekspresi ketakutan masih ada di mata Faridah, namun keangkuhannya kembali bangkit.Kon menatapnya dengan mata bulat yang polos. "Apa yang Bibi bicarakan?" tanyanya dengan suara kekanak-kanakan. "Aku hanya anak biasa."Rashid menatap Faridah dengan ekspresi yang semakin tidak sabar. Di belakangnya, beberapa tamu penginapan lain mulai berbisik-bisik, beberapa tertawa kecil melihat tingkah Faridah."Nyonya Faridah," kata
Kon, yang berdiri di samping Kiran, merasakan kemarahan memuncak dalam dirinya. Wajahnya merah padam, dan tangannya terkepal erat. Ia membuka mulutnya, siap melontarkan kata-kata yang mungkin akan membuat situasi semakin buruk.Namun, sesuatu dalam dirinya berubah. Wajahnya berubah menjadi keji licik ciri khas Imp sesungguhnya. Namun perempuan gemuk yang sombong ini tidak mencium gelagat bahaya. Dia masih terus menampilkan sikap pongah, merasa superior dan diatas angin."Cukup sudah!" Batin Kon dengan amarah yang tak terkendali."Sepertinya kemarahan ini tidak lagi bisa ekspresikan dalam wujud manusianya!""Harus melakukan sesuatu yang dramatis, yang membuat perempuan gembrot ini kapok...!"Dengan gerakan cepat yang hampir tak terlihat, Kon mencopot ilusi manusia, sosok remaja berwajah polos, lugu yang mudah di tindasBOOM!.Sosoknya berubah drastis —tidak menjadi Imp kecil bersayap, melainkan sesuatu yang jauh lebih mengerikan. Tubuh Kon memanjang dan melayang, kulitnya berubah
Kamar itu memang sederhana—satu tempat tidur berukuran sedang, sebuah meja kecil dengan kursi, dan jendela yang menghadap ke jalan. Namun bagi Kiran yang hampir kehabisan tenaga, kamar itu tampak seperti istana."Beristirahatlah dengan nyaman," kata Rashid sebelum meninggalkan mereka. "Jika butuh sesuatu, saya ada di bawah."Setelah Rashid pergi, Kiran segera duduk bersila di atas tempat tidur, bersiap untuk bermeditasi. Kon mengunci pintu, sementara Burs menyalakan lilin kecil di meja."Aku akan bermeditasi untuk memulihkan energi spiritual," kata Kiran, matanya sudah setengah terpejam. "Jaga pintu dan jangan biarkan siapapun masuk.""Baik, Tuan," jawab Kon dan Burs bersamaan.Kiran menutup matanya sepenuhnya, mengatur napasnya dalam ritme tertentu. Ia mulai memasuki keadaan meditasi, merasakan aliran reiki di dalam tubuhnya yang lemah mulai bergerak perlahan. Ketenangan mulai menyelimuti pikirannya, menjauhkannya dari kekacauan dunia luar.Namun, baru beberapa menit berlalu, suara
Malam semakin larut di Zahranar. Lampu-lampu sihir berpendar di sepanjang jalan, menciptakan atmosfer magis yang kontras dengan kelelahan yang mendera tubuh Kiran. Setelah pertemuan tak terduga dengan Roneko, Kiran merasakan urgensi yang semakin besar untuk memulihkan kekuatannya, demi membebaskan Roneko di Kyuubi berekor sembilan."Tuan, kita harus segera menemukan tempat beristirahat," kata Burs, menopang tubuh Kiran yang semakin lemah. "Anda perlu bermeditasi untuk memulihkan energi spiritual."Kiran mengangguk lemah. "Aku tahu. Tapi semua penginapan penuh karena festival.""Kita belum mencoba semua," kata Kon dengan optimisme yang dipaksakan. "Lihat, ada satu lagi di ujung jalan itu," ujarnya memberi harapan.Lalu... mereka bertiga berjalan tertatih-tatih menuju sebuah bangunan dua lantai dengan papan nama "Penginapan Bulan Sabit" yang tergantung di depannya. Bangunan itu tidak terlalu mewah, namun tampak bersih dan terawat, dengan lampu-lampu kecil yang berpendar hangat di je