Kilau ungu kemerahan Orchid Altaalaite yang melayang di atas api abadi menciptakan pantulan cahaya indah di permukaan danau hitam. Untuk sesaat, kelompok Kiran terpana oleh keindahan permata legendaris itu—kristal yang konon merupakan "Air Mata Bumi" dalam legenda Elf."Indah sekali," bisik Emma, matanya tidak lepas dari permata yang berkilauan. "Aku belum pernah melihat permata seindah itu."Kiran mengangguk pelan. "Dengan permata itu, Pedang Bintang akan menjadi senjata yang mampu melawan Warlock Kaisar Oberon."Namun kekaguman mereka tidak berlangsung lama. Permukaan danau yang tadinya tenang tiba-tiba beriak. Dari dalam air hitam pekat, muncul tiga sosok tinggi besar dengan kulit merah tua dan tanduk melengkung di kepala mereka. Mata mereka bercahaya keemasan, dan tubuh mereka diselimuti aura api yang berkobar."Afrit," bisik Pigenor, menarik busurnya dengan waspada.Belum hilang keterkejutan mereka, dua sosok lain muncul dari balik pulau. Tubuh mereka lebih besar dari Afrit, den
Kabut tebal menyelimuti permukaan danau hitam, memberikan perlindungan bagi Kiran yang bergantung pada tali yang dipegang Burs dan Kon. Kedua Imp itu mengepakkan sayap sekuat tenaga, napas mereka terengah-engah karena beban berat yang mereka bawa."Sedikit lagi," bisik Kiran, melihat pulau kecil di tengah danau semakin dekat. Cahaya ungu kemerahan dari Orchid Altaalaite berpendar lebih terang, seolah memanggil-manggil namanya.Namun ketika mereka hanya berjarak beberapa meter dari tepi pulau, permukaan danau tiba-tiba bergolak hebat. Air hitam pekat itu berputar, membentuk pusaran besar di depan mereka."Apa itu?!" teriak Kon panik, sayapnya mengepak lebih cepat.Dari dalam pusaran air, muncul sesuatu yang membuat darah Kiran seketika membeku. Seekor ular raksasa terbuat dari api biru keputihan—sama seperti api abadi yang menjaga Orchid Altaalaite—menjulang tinggi di hadapan mereka. Tubuhnya berpilin-pilin di udara, dengan mata merah menyala dan lidah api yang menjulur-julur."Penjaga
Pertarungan di tepi danau semakin memanas. Emma, dengan sarung tangan Tidal Force berpendar kebiruan, mengerahkan seluruh kekuatannya. Keringat membasahi dahinya sementara ia terus menghindari serangan es dari Marid."Kita tidak bisa terus bertahan!" teriak Emma, napasnya terengah-engah. "Kita harus menyerang bersama-sama!"Chen mengangguk, mempertahankan perisai pelindung yang semakin retak. "Pada hitungan ketiga, aku akan menurunkan perisai. Kita serang bersamaan!"Jasper, dengan sarung tangan Crimson Ember menyala terang, mempersiapkan mantranya. Pigenor menarik busurnya, anak panah cahaya sudah siap diluncurkan."Satu... dua... TIGA!" teriak Chen, menurunkan perisainya.Dalam sekejap, empat serangan berbeda melesat ke arah para penjaga. Emma mengarahkan kedua tangannya ke depan, matanya berkilat penuh tekad."Aqua Gladius Multiplicare!" teriaknya. Puluhan pedang air tercipta dari kelembaban udara, berkilauan dalam cahaya redup gua, melesat dengan kecepatan tinggi menuju dua Marid
Cahaya kemerahan dari kristal-kristal di langit-langit gua menyinari wajah-wajah lelah namun bahagia kelompok Kiran saat mereka keluar dari lorong-lorong gelap Tambang Tartaf. Orchid Altaalaite, tersimpan aman dalam kantong khusus yang terbuat dari kain sutra hitam, terasa hangat di sisi tubuh Kiran."Kita berhasil," ucap Emma, senyum lebar menghiasi wajahnya yang kotor oleh debu dan keringat. "Setelah semua yang kita lalui, akhirnya kita mendapatkannya."Jasper mengangguk, matanya menatap jauh ke arah kristal-kristal yang berpendar di langit-langit gua raksasa. "Perjalanan panjang dari Gunung Rotos, pertarungan di arena, hingga menghadapi para penjaga... semua perjuangan itu tidak sia-sia.""Nethon dan Malven pasti bangga," bisik Chen, suaranya sedikit bergetar saat menyebut nama teman-teman mereka yang telah tiada. "Kita satu langkah lebih dekat untuk membalaskan mereka."Pigenor, yang biasanya tenang, tersenyum tipis. "Dalam tradisi Elf, keberhasilan mendapatkan artefak legendaris
Di dalam kamar, Kiran tidak langsung tidur. Ia memeriksa jendela, memastikan kuncinya berfungsi dengan baik. Orchid Altaalaite diletakkan dengan hati-hati di dalam tas, di bawah bantal. Pedangnya ia letakkan di samping tempat tidur, siap diambil kapan saja.Dengan gerakan tangan yang terlatih, Kiran menciptakan ilusi dirinya yang tertidur di ranjang, lengkap dengan selimut yang naik turun seolah bernapas. Ilusi itu sempurna hingga ke detail terkecil—rambut yang sedikit berantakan, wajah yang rileks dalam tidur, bahkan dengkuran halus yang teratur.Kiran sendiri bersembunyi di sudut gelap kamar, di balik lemari besar, dengan sarung tangan Duality Grasp siap di kedua tangannya. Ia menunggu dalam diam, memusatkan indranya untuk mendeteksi kehadiran yang tidak diinginkan.Waktu berlalu lambat. Suara-suara dari bar di bawah perlahan memudar seiring kristal-kristal di langit-langit gua semakin meredup, menandakan "malam" di kota bawah tanah ini. Kota Falice memasuki masa istirahatnya, denga
Kristal-kristal di langit-langit gua Kota Falice masih redup ketika Kiran dan kelompoknya bergerak dalam keheningan, meninggalkan Cyan Lady. Lorong-lorong kota masih sepi, hanya sesekali terdengar langkah kaki penjaga malam atau tawa samar dari kasino yang masih buka. Udara terasa lembab dan dingin, khas pagi hari di kota bawah tanah."Semua sudah siap?" bisik Kiran, memeriksa sekali lagi kantong di pinggangnya tempat Orchid Altaalaite tersimpan aman.Emma mengangguk, mengeratkan jubah perjalanannya. "Bagaimana dengan... kau tahu," ia melirik ke arah kamar Kiran, mengisyaratkan tentang pembunuh bayaran yang tewas semalam."Sudah kuatasi," jawab Kiran singkat. Semalam, setelah memeriksa tubuh penyusup itu, ia mengeluarkan botol kecil berisi cairan bening dari tasnya—ramuan khusus yang dibelinya dari toko alkimia Light Orb. Dengan hati-hati, ia meneteskan cairan itu ke seluruh tubuh penyusup.Efeknya menakjubkan sekaligus mengerikan. Tubuh itu perlahan-lahan larut, berubah menjadi uap t
Angin dingin berhembus di antara pepohonan pinus Hutan White Parrot, membawa aroma getah dan tanah lembab. Daun-daun bergesekan menciptakan bisikan alam yang biasanya menenangkan, namun kini terasa seperti peringatan.Burung-burung white parrot yang biasanya bersiul riang telah terbang menjauh, seolah mengetahui bahaya yang akan datang.Kiran berdiri tegak, sarung tangan Duality Grasp berpendar di kedua tangannya—sisi kanan merah api, sisi kiri ungu kebiruan. Di belakangnya, Emma, Jasper, Chen, dan Pigenor membentuk formasi pertahanan, sementara Burs dan Kon bersembunyi di balik pepohonan, siap memberikan bantuan jika diperlukan.Pria bertopeng di pundak Troll mengangkat tangannya, memberi isyarat pada kesepuluh penyihir berpakaian hitam untuk berhenti. Dengan gerakan lambat, ia melepas penutup wajahnya, mengungkapkan wajah yang membuat Kiran tersentak kaget."Zephyrus?" Kiran tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Di hadapan mereka, duduk dengan angkuh di pundak Troll raksasa, ad
Jasper tidak kalah cepat. "Ignis Infernum, Flamma Mortis, Exaudi Vocem Meam!" Lingkaran sihir merah muncul di hadapannya, dan seekor naga api melesat keluar, menyerang dua penyihir yang mencoba mendekati Kiran dari belakang.Chen berdiri di tengah, tongkat sihirnya terangkat tinggi. "Veritum Shieldra Maxima!" Kubah pelindung besar tercipta, melindungi kelompok mereka dari serangan bola-bola energi hitam yang dilemparkan oleh penyihir-penyihir White Lotus.Pigenor, dengan ketenangan khas Elf, menarik busurnya. "Lumina Sagitta Multiplicare!" Anak panah cahaya melesat cepat, berubah menjadi puluhan yang menghujani para penyihir dari segala arah.Sementara itu, Kiran berhadapan langsung dengan Zephyrus dan Draknar. Troll raksasa itu mengayunkan tinjunya yang sebesar batang pohon, menghantam tanah tempat Kiran berdiri sedetik sebelumnya. Tanah retak dan bergetar, pohon-pohon di sekitar bergoyang hebat."Kau tidak akan bisa lari, Kiran!" teriak Zephyrus, tangannya bergerak dalam pola rumit.
Alis Magister Farouk terangkat, seketika memperlihatkan wajahnya yang culas dan jahat."Dua ratus pot? Itu jumlah yang sangat banyak untuk perjalanan biasa. Bahkan penyihir tingkat tinggi jarang membutuhkan lebih dari lima atau enam untuk perjalanan panjang."Kiran mencoba mencari alasan yang masuk akal, namun Roneko menyambar pertanyaan itu dengan percaya diri."Kami memiliki kebutuhan khusus," kata Roneko dengan suara lembut, memainkan perannya dengan baik. "Perjalanan kami melintasi daerah dengan energi spiritual yang rendah."Magister Farouk menatap mereka beberapa saat, kemudian mengangguk perlahan. Namun ada kilatan tersembunyi dimatanya. Namun semua ini tak lolos dari pengawasan Kiran, dan Roneko."Baiklah. Dua puluh pot mana kualitas terbaik. Itu akan menjadi dua ratus lima puluh dinar emas."Kiran mengeluarkan kantong koin dari balik jubahnya dan menghitung jumlah yang diminta.Sementara itu, Magister Farouk berjalan ke ruang belakang dan kembali dengan kotak kayu berukir. Ia
Awan kelabu menggantung rendah di atas Zahranar, seolah kota itu diselimuti selendang abu-abu yang meredam cahaya matahari.Jalanan yang biasanya ramai oleh pedagang dan pengunjung festival kini tampak lengang.Para penjaga berseragam biru tua Kekaisaran Zolia berdiri di setiap persimpangan, mata mereka waspada mengawasi setiap orang yang lewat.Di sudut-sudut kota, pengumuman tertulis ditempelkan pada dinding-dinding bangunan—peringatan tentang mata-mata berbahaya dari Qingchang yang sedang bersembunyi di kota.Wajah-wajah penduduk menyiratkan kecemasan, berbisik-bisik tentang pencurian Kyuubi berekor sembilan dan kemungkinan penyusupan musuh.Di kamar Penginapan Bulan Sabit, Kiran berdiri di dekat jendela, mengamati situasi di luar dengan seksama. Meskipun wajahnya tenang, matanya menyiratkan perhitungan dan kewaspadaan."Penjagaan semakin ketat," kata Kiran, berpaling pada tiga sosok yang menunggu instruksinya. "Mereka menempatkan penjaga di setiap sudut kota."Roneko, dalam wujud
Kapten Bao terdiam, ia seperti sedang mencerna informasi itu. "Pedang seperti apa yang memiliki kekuatan sebesar itu?"Ekspresi Kapten Bao setengah mengejek.Wajar jika Kapten Bao meremehkan. Dia bukan penyihir. Namun kalimat dan ekspresinya membuat ekspresi Lyra berubah."Saya tidak tahu, Kapten," jawab Lyra berusaha sopan."Dalam seluruh pengetahuan saya tentang senjata sihir, saya belum pernah mendengar pedang dengan kemampuan seperti ini. Kecuali..." Lyra sengaja menghentikan kata-katanya, mencoba melihat perubahan di wajah Kapten Bao."Kecuali?" Ujar Kapten Bao masih dengan wajah tawar."Kecuali legenda tentang Pedang Crimson yang dimiliki oleh Sage Alaric," kata Lyra antara ragu-ragu, juga senang melihat perubahan di wajah Kapten Bao.. "Tapi itu hanya legenda. Pedang itu konon hilang setelah kematian Sage Alaric seratus tahun lalu," sambungnya.Mata Kapten Bao berkilat berbahaya. "Sage Alaric... dan Phoenix Api - The Flame?" Ia berbalik dengan gerakan cepat, jubahnya berkibar d
Matahari telah menyingsing di ufuk timur. Semburatnya mewarnai langit Kota Zahranar dengan SINAR keemasan yang perlahan mengusir kegelapan malam. Alun-alun kota, yang semalam dipenuhi dengan kegembiraan festival dan pertunjukan sirkus, kini menjadi pusat kekacauan yang tidak terduga.Tenda-tenda berwarna-warni Sirkus Arvandil yang biasanya berdiri megah kini tampak berantakan, beberapa bahkan robek di beberapa bagian. Para pekerja sirkus berlarian dengan panik, sementara kerumunan penonton yang penasaran mulai berkumpul di pinggiran alun-alun, berbisik-bisik tentang apa yang telah terjadi."Pencuri! Seseorang mencuri aset berharga Sirkus Arvandi!""Jadi Rubah ekor sembilan itu menghilang?""Astagaa... Aku tau dia dibeli dengan harga yang sangat mahal..."Itulah percakapan yang terjadi diantara para anggota sirkus, maupun masyarakat Kota Zahranar yang pagi-pagi benar sudah datang menyaksikan kehebohan.Di tengah kekacauan itu, sekelompok prajurit berbaju zirah biru tua dengan simbol
"Belenggu ganda," gumam Kiran, alisnya bertaut dalam konsentrasi. "Kerangkeng ini dan kalung di lehermu sama-sama disihir untuk menahanmu. Satu sihir menguatkan yang lain." Ia menoleh pada Burs yang terus mengawasi sekeliling. "Ini akan membutuhkan waktu lebih lama dari yang kuperkirakan.""Bisakah Anda mematahkannya?" tanya Burs, suaranya tenang namun matanya terus bergerak waspada, menyapu area sekitar yang masih sunyi."Kita tidak punya banyak waktu," tambah Kon, melirik ke arah timur di mana langit mulai semakin terang. "Fajar semakin dekat."Kiran tidak langsung menjawab. Ia menutup matanya sejenak, merasakan struktur sihir yang mengikat kerangkeng dan kalung. Setiap sihir memiliki pola, seperti kunci yang membutuhkan gembok yang tepat. Dan setiap penyihir memiliki tanda tangannya sendiri—cara unik dalam menenun energi magis."Sihir ini..." gumamnya, "memiliki pola yang kukenal. Sihir Barat, ciri khas Zolia." Matanya terbuka, kini dipenuhi keyakinan. "Aku bisa mematahkannya,
Kiran dan kawan-kawannya berhenti di balik sebuah tenda besar saat seorang penjaga berjalan melewati jalur mereka. Ketiganya menahan napas, menyatu dengan bayangan hingga penjaga itu berlalu, terhuyung-huyung dalam langkahnya yang tidak stabil."Penjagaan mereka lebih lemah dari yang kuduga," bisik Burs, matanya mengawasi penjaga yang kini menjauh, sesekali tersandung kakinya sendiri."Kesombongan," balas Kiran pelan, suaranya nyaris tak terdengar. "Mereka merasa aman di ibukota, dilindungi oleh nama besar mereka dan hubungan dengan bangsawan tinggi." Ada jejak menghina disana."Ditambah lagi, mereka terlena oleh kesuksesan penampilan perdana dan pesta yang berlebihan."Kemudian... mereka melanjutkan perjalanan, bergerak dari bayangan ke bayangan dengan kecepatan dan ketepatan yang hanya bisa dicapai melalui latihan bertahun-tahun. Setiap kali ada suara, mereka berhenti, mendengarkan, kemudian melanjutkan ketika yakin aman.Akhirnya, mereka tiba di area kerangkeng hewan. Berbeda deng
Cahaya bulan menembus jendela kayu penginapan Bulan Sabit, menciptakan pola-pola keperakan pada lantai kamar yang sederhana. Kiran duduk bersila di tengah ruangan, tubuhnya tak bergerak bagaikan patung. Hanya dadanya yang naik turun dalam ritme teratur menandakan bahwa ia masih hidup. Aura keemasan tipis menyelimuti tubuhnya, berpendar lembut dalam kegelapan kamar seperti kunang-kunang yang menari perlahan.Kon bersandar di dinding dekat jendela, jari-jarinya mengetuk pelan pada bingkai kayu yang sudah tua. Matanya yang tajam tak pernah lepas dari jalanan kota yang semakin sepi seiring malam semakin larut. Sementara Burs duduk di kursi kayu dekat pintu, posturnya tegang meski wajahnya menampakkan kelelahan. Sesekali ia menguap, namun tatapannya tetap waspada, menyapu ruangan dan pintu secara bergantian."Sudah lima jam," gumam Burs, melirik Kiran yang masih bermeditasi dalam keheningan. Ia mengusap wajahnya seolah ia memiliki hiasan jenggot tipis. "Berapa lama lagi menurutmu?"Kon
"Ada apa, Tuan Rashid?" tanya Kiran dengan suara lemah. "Kami baru saja hendak beristirahat." Sorot mata Kiran terlihat seperti menegur, membuat Tuan Rashid merasa malu.Namun... Faridah, yang berdiri di belakang Rashid, melongokkan kepalanya ke dalam kamar. Matanya melebar melihat Kon dan Burs yang tampak seperti anak-anak biasa, tidak ada tanda-tanda dari sosok hantu mengerikan yang ia lihat sebelumnya."Itu dia! Anak itu!" teriak Faridah tiba-tiba muncul, lalu menunjuk ke arah Kon. "Dia berubah menjadi setan mengerikan! Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri!" Ekspresi ketakutan masih ada di mata Faridah, namun keangkuhannya kembali bangkit.Kon menatapnya dengan mata bulat yang polos. "Apa yang Bibi bicarakan?" tanyanya dengan suara kekanak-kanakan. "Aku hanya anak biasa."Rashid menatap Faridah dengan ekspresi yang semakin tidak sabar. Di belakangnya, beberapa tamu penginapan lain mulai berbisik-bisik, beberapa tertawa kecil melihat tingkah Faridah."Nyonya Faridah," kata
Kon, yang berdiri di samping Kiran, merasakan kemarahan memuncak dalam dirinya. Wajahnya merah padam, dan tangannya terkepal erat. Ia membuka mulutnya, siap melontarkan kata-kata yang mungkin akan membuat situasi semakin buruk.Namun, sesuatu dalam dirinya berubah. Wajahnya berubah menjadi keji licik ciri khas Imp sesungguhnya. Namun perempuan gemuk yang sombong ini tidak mencium gelagat bahaya. Dia masih terus menampilkan sikap pongah, merasa superior dan diatas angin."Cukup sudah!" Batin Kon dengan amarah yang tak terkendali."Sepertinya kemarahan ini tidak lagi bisa ekspresikan dalam wujud manusianya!""Harus melakukan sesuatu yang dramatis, yang membuat perempuan gembrot ini kapok...!"Dengan gerakan cepat yang hampir tak terlihat, Kon mencopot ilusi manusia, sosok remaja berwajah polos, lugu yang mudah di tindasBOOM!.Sosoknya berubah drastis —tidak menjadi Imp kecil bersayap, melainkan sesuatu yang jauh lebih mengerikan. Tubuh Kon memanjang dan melayang, kulitnya berubah