Ian mencondongkan badannya, membentuk sudut sempurna seakan ia adalah pemanah yang siap melepaskan anak panahnya. Dengan tekad yang membara, ia meluncur, menantang gravitasi dan raksasa berzirah yang menjulang tinggi di hadapannya. Kilat menyambar, dan dalam sekejap, Ian berubah menjadi kilatan cahaya yang menembus kegelapan.
Kenzaki Kuro, yang telah terperangkap dalam kegilaan, mengayunkan tinjunya yang seberat gunung. Namun, Ian, dengan gerakan yang sehalus sutra, meliuk dan melompat, menari di atas angin. Ia berlari di atas lengan raksasa itu, secepat burung rajawali yang menyusur langit. Kilat biru kehijauan berkelip-kelip, menari-nari, mendekati kepala Kenzaki Kuro yang tak lagi waras.Dari setiap pori-pori Kenzaki Kuro, uap panas berkepul-kepul, seolah-olah ia adalah gunung berapi yang siap meletus. Namun, Ian, bagai pahlawan dalam legenda, tak gentar. Ia mengabaikan luka bakar yang merajalela di kulitnya, seolah-olah itu hanyalah gigitan nyamuk yang tak beraIan mendesah dalam kekesalan, “Pantas saja misi sampingan kali ini memberiku keringanan. Ternyata semua Kemampuan kunci milikku telah disegel!” gumam Ian. matanya yang tajam menangkap setiap gerakan Kenzaki Kuro yang bersiap untuk menerjangnya lagi."Rooaaar—!" Kenzaki Kuro mengaum, suara yang keluar dari rongga dadanya bukan lagi suara makhluk berakal, melainkan raungan murni insting pembunuh. Ia berlari, setiap langkahnya mengguncang tanah, seolah-olah ia adalah gempa berjalan yang siap menelan segalanya. Kakinya terayun, menargetkan Ian dengan tendangan yang bisa membelah batu.Namun, Ian, yang kini telah pulih, bergerak cepat bagai bayangan. Ia melompat ke samping, menghindar dengan lincah, menjaga jarak dari Kenzaki Kuro yang seperti binatang buas. Sekarang, tanpa Healing Factor, setiap aksi yang dilakukan Ian harus diperhitungkan dengan hati-hati. Uap panas yang terus menerus keluar dari tubuh Kenzaki Kuro mempersulit Ian dalam melancarkan serangan, membuatnya seperti berdiri di
Ian menghitung setiap gerakan dengan napas yang teratur, "97... 98 ... 99 ... 100!" Setiap angka adalah puncak dari perjuangan dan ketekunan. Setelah squat ke seratus, ia menghela napas dalam-dalam, merasakan setiap otot di kakinya berdenyut dengan kepuasan. Ia menatap ke dalam layar hologram yang melayang di depannya. Di sana, ada detail perkembangan atas misi harian "Sehat Itu Penting".__________________________________Misi Harian: Sehat Itu PentingTingkat Kesulitan: CDetail Misi:Sebagai orang kaya, kesehatan seringkali terabaikan. Sebelum penyakit menyerang tubuh Anda, Host harus berolahraga dengan giat setiap harinya. Selesaikan rutinitas olahraga yang sistem berikan.Push-Up: 0/100Sit-Up: 100/100Squat: 100/100Lari: 10/10 kilometerJumlah hari: 99/100 hari (Sedang Berjalan)Hadiah: Kemampuan Tubuh OverlordHukuman: Tidak AdaCatatan: Misi ini bisa diambil kapan saja__________________________________"Hanya seratus push-up lagi, dan Tubuh Overlord akan menjadi milikku," bi
Melihat bala bantuan yang telah tiba, Ian menyelipkan Aqua Frost Dagger kembali ke dalam Cincin Ruang, menghindari bahaya hipotermia yang mengintai. Jika tidak, Ian bisa mati kedinginan. bahaya hipotermia yang mengintai. Energi Qi mengalir melalui tubuhnya, menghangatkan kulit pucat yang hampir membeku. Ia merasa seperti es yang perlahan mencair, kembali hidup.Namun, perhatiannya beralih pada pria berkumis di sebelahnya. "Mmm, apakah Anda adalah Ayah Alicia?" tanyanya, mencoba menghubungkan benang-benang takdir yang terjalin di antara mereka.Pria berumur sekitar enam puluh tahun itu menoleh, wajahnya yang berkerut tersenyum. "Kamu pasti Ian," katanya sambil menepuk punggung Ian dengan keras. "Aku William Ethan, seorang pengusaha kaya dan juga Ayah dari putriku yang imut—Alicia Ethan."Ian memandang William dengan curiga. Pengusaha kaya? Ia melihat pria itu dari atas ke bawah, mengamati jas hitam yang hanya dikenakan di bahu, kumis tebal yang menghiasi bibirnya, dan cerutu yang terba
Dentuman menggelegar memecah kesunyian malam, seolah-olah langit dan bumi bersatu dalam simfoni kehancuran. Kenzaki Kuro, yang biasanya tenang bagai samudra, kini berubah menjadi badai yang ganas, bertukar pukulan dengan William yang gagah berani. Bayangkan, sebuah raksasa menjulang 15 meter, berhadapan dengan manusia yang hanya sepertiga tingginya—pertarungan antara David dan Goliath di bawah rembulan yang menyaksikan.Di tengah gempuran yang mengguncang bumi, Ian, dengan ketenangan dan keseriusan yang tak tergoyahkan, menekan tubuhnya naik turun di atas pasir pantai. Setiap push-upnya adalah tantangan terhadap gravitasi, setiap hitungan adalah nyanyian kemenangan atas rasa lelah. “65 … 66 …” suaranya terdengar stabil, tak terganggu oleh kekacauan yang terjadi hanya beberapa langkah darinya.William, yang terkejut, terhenti di udara, matanya membulat tak percaya. ‘Apa yang dilakukan orang ini? Apakah dia kehilangan akal? Berlatih di tengah badai pertempuran?’ pikirnya, terpana. Namun
Ian menatap Kenzaki Kuro, matanya menyala dengan tekad yang tak tergoyahkan. “Kalau begitu, mari kita uji seberapa jauh kemampuan regenerasimu bekerja, Kenzaki Kuro!” serunya, suaranya memotong angin malam, danmenggema di seluruh pulau Gili Iyang.Di saat yang bersamaan Ian mulai melayangkan pukulan-pukulan keras yang mengguncang pulai Gili Iyang. Angin kencang bertiup, membelah apapun yang ada di depannya. Pohon-pohon tumbang, pasir terangkat, dan ombak laut berkecamuk. Pulau ini seperti terguncang oleh kekuatan primordial, dan Ian adalah penguasa alam yang marah.Setiap kali pukulan Ian menghantam, tubuh Kenzaki Kuro bergetar, bagai gunung yang terguncang oleh gempa. Bagian-bagian tubuhnya hancur, tulang-tulang retak, dan darah mengalir. Namun, sebelum Ian bisa merayakan kemenangan, regenerasi Kenzaki Kuro bekerja dengan cepat. Daging dan tulang-tulang yang hancur berpadu kembali, mengisi kekosongan dengan kecepatan yang menakjubkan. Awalnya, regenasi berjalan tidak begitu cepat. N
Bintang-bintang yang biasa menari riang di langit malam desa kini tersembunyi di balik tabir kelabu, seolah-olah mereka pun menangis atas tragedi yang terhampar luas di depan mata Ian dan William. Keduanya berdiri, bagai patung, di jantung desa yang kini berubah menjadi panggung sandiwara maut. Gedung balai desa, yang biasanya menjadi simbol kebersamaan, kini menjadi saksi bisu atas tarian nyawa yang terenggut satu per satu, mayat-mayat bergelimpangan tak berdaya, memenuhi pandangan.William, dengan suara yang bergemuruh bagai petir, bertanya penuh amarah, "Teganya mereka melakukan semua ini!" Wajahnya yang biasanya tenang kini berubah menjadi lautan kemarahan dan kekecewaan, mencerminkan kekacauan yang terbentang di hadapannya. Hati yang tidak pernah ia duga bisa terluka, kini terasa remuk redam melihat nyawa-nyawa tak bersalah yang tewas secara mengenaskan.Di sisi lain, Ian berdiri dengan hati yang terasa beku, kehilangan kemarahan yang biasanya akan membara dalam dadanya. Ia yang
Dalam kekacauan yang membelah ruangan, Ian dan William bergerak seperti dua angin topan yang bertemu di tengah badai. Sebelum para prajurit yang terinfeksi Gemini menarik pelatuknya, Ian sudah memberi tanda pada William untuk melindungi Alicia. Jadi, ketika mereka mulai menembak, Willam langsung merangkul Alicia dan menariknya ke lantai, melindunginya dari hujan peluru yang mengganas. Selama cerutu di mulutnya belum habis, tubu fisik William masih setara Nascent Soul Puncak.Sementara itu, Ian bergerak dengan ketenangan seorang pembunuh yang telah menghadapi kematian berkali-kali. Dengan tenang Ian menarik Crystal Edge, sebuah pisau pemotong daging berbilah kristal dari dalam Cincin Ruangnya. Dalam bisikan yang hanya terdengar oleh angin, Ian berkata, "Flashing Seath: Eight Flower Mirror!"Seolah-olah dunia berputar lebih cepat, Ian mengayunkan pisau dengan kecepatan yang tak terbayangkan. Gelombang tebasan muncul, memotong semua peluru yang datang dari segala arah—360 derajat tanpa a
Kabut merah membentuk lorong muncul di hadapan Ian. Sebagain kabut merah tersebut menyelimuti Ian, menyusup ke dalam pori-pori kulitnya dengan dingin yang menusuk. Di tengah kobaran api dan kehancuran di luar pintu merah yang diakibatkan Theo, dunia di baliknya terasa berbeda—seolah-olah ia telah melangkah ke dalam lukisan kuno yang hidup.“Bukankah ini sama dengan yang di Nganjuk?” gumam Ian, mengingat kembali apa yang dilaluinya saat misi penyelamatan Regu Kancil. Saat itu, Ian juga berjalan melalui kabut merah, dan tiba di sebuah hutan aneh, tempat di mana pohon-pohon memiliki warna merah dan akar berdenyut seperti jantung yang mengalirkan darah ke seluruh tubuhnya.Namun, kali ini, di ujung lorong kabut merah, Ian tidak menemukan hutan. Ia kini berdiri di sebuah ruangan di dalam gedung balai desa yang masih utuh. Sangat berbeda dengan gedung balai desa di luar pintu merah yang sedang terbakar, ini benar-benar bukanlah gedung yang ia kenal. Temboknya dipenuhi ur