"Silakan duduk!" ujar wanita itu. Nada bicaranya terkesan tegas. Jelas sekali dia berasal dari kalangan atas. Gayanya yang elegan dengan aksesoris serta perhiasan mahal menempel di tubuhnya. Aku duduk dengan tubuh masih gemetar. Jantungku terus berpacu kencang. "Siapa Anda sebenarnya? Mana anakku?" Aku tak tahan lagi hingga langsung menanyakan keberadaan Raihan. "Pelankan suaramu!" ketusnya pelan.. "Jelaskan apa maumu!" desisku seraya berusaha menatap mata dari balik kacamata hitam itu. "Bagus jika kamu tau diri. Ikuti perintahku ini, anakmu akan selamat! " "Cepat katakan!" Aku berdiri dan mulai gusar. "Tinggalkan Yuda! Pergi jauh dari kehidupannya. Anakmu akan aku kembalikan!" Kembali aku terduduk lemas. Mataku memanas. Dugaan kami benar. Banyak yang tidak suka kedekatanku dengan Yuda. Setelah lama terdiam, Aku menghela napas dalam. "Baiklah. Aku ikuti keinginanmu. Cepat kembalikan anakku!" "Tidak semudah itu. Aku ingin kalian membatalkan pernikahan dan kamu segera perg
Tiba-tiba pintu ruangan ini terbuka. Mataku membelalak melihat dua orang yang aku kenal masuk dalam keadaan tangan terikat.Kenapa laki-laki itu ada di sini? Sedangkan wanita itu ... Lalu di mana Raihan? Tak lama kemudian masuklah seorang wanita muda berpakaian babysister menggendong seorang anak. Lantas aku berdiri. Apakah itu Raihan? Perlahan aku melangkah mendekati anak yang sedang tertidur itu. Sementara beberapa anak buah Rein berjaga di dalam ruangan ini dan di depan pintu. Aku terlonjak bahagia ketika mendapatkan Raihan yang tiba-tiba terjaga ketika aku sentuh. Sontak aku meraihnya dan memeluknya erat. Wajah chuby itu aku cium berkali-kali. Pandanganku kembali jatuh pada dua orang tadi. "Kenapa Abang begitu tega pada Raihan? Bukankah Abang juga punya anak?" "M-maafin Abang Salma. Abang terpaksa melakukan ini. Kami butuh rumah untuk tempat tinggal." Banga Marwan, suami Kak Lina itu menangis. Apa maksudnya dengan terpaksa? Apa ada yang menyuruhnya? "Siapa yang menyuruh
Setelah mendapat beberapa pengarahan dari dokter Sari, kami pun pamit. Raihan berada dalam gendongan Mas Yuda. Mereka seperti tak ingin terpisahkan. Bocah itu sangat manja pada calon Ayahnya. Sesekali Raihan mencium Mas Yuda. Saat makan Roti pun, dia minta disuapi oleh Mas Yuda. Sungguh aku terharu melihat kedekatan mereka. Setelah istirahat sejenak di cafetaria, aku minta mampir dulu di minimarket rumah sakit membeli beberapa perlengkapan untuk Raihan. Karena aku tidak membawa satupun keperluannya. Rumah sakit yang tergolong elite ini memang sangat lengkap. Mulai dari Cafetaria, minimarket, Restorant, Toko Roti, Toko bunga, Toko Buah, semua ada. Kami berjalan melewati lorong panjang yang cukup sepi. Aku terperanjat saat melihat para iparku berjalan dari arah yang berlawanan. Aku baru teringat bahwa ibu mertuaku di rawat di sini. Aku semakin geram ketika mereka mendekat. Ada Bang Adam juga. Perlahan kugenggam lengan Mas Yuda. Aku sangat paham bahwa dia pun sedang menahan emosi.
Ayah Surya menyambut kami dengan senang hati. Yuda berpesan agar tidak menceritakan kejadian kemarin padanya. Aku setuju. Khawatir akan membebani pikiran beliau nanti. "Salma, kamu tidur di kamar atas saja. Tepatnya di sebelah kamarku. Jika ada apa-apa kamu bisa langsung menemuiku." "Baiklah!" "Sebentar lagi ada babysitter baru untuk Raihan. Aku sudah cek, aman." Aku mengangguk. Tak kusangka Mas Yuda sudah mempersiapkan semuanya. "Selamat siang Tuan Yuda!" Tiba-tiba seorang wanita cantik berpakaian kantoran masuk ke ruang tengah ini. Sepertinya wanita ini sudah terbiasa di sini. "Oh, ya. Salma, kenalkan ini Silvi, sekretarisku!" "Saya Silvi, Bu." Aku menerima uluran tangan wanita bernama Silvi itu. Aku agak terganggu dengan roknya yang sangat pendek serta kancing atasnya yang sengaja terbuka. Apa seperti ini pakaiannya jika dikantor? "Saya Salma." "Silvi yang akan mempersiapkan acara untuk pernikahan kita lusa. Kamu tinggal bilang sama dia maunya seperti apa. Nanti Silvi y
"Saya tinggal, Non. Bu Ratri bisa langsung bantu Non Salma ya!" Babysitter itu mengangguk. "Terima kasih Mariam," ucapku. Mariam beranjak meninggalkan kami. Sementara Bu Ratri masuk dan mulai mendekati Raihan. Nampak sekali beliau sangat berpengalaman mengasuh anak. Setelah membersihkan diri, aku turun. Sementara Raihan yang sudah tidur aku titipkan dengan Bu Ratri. Mas Yuda sepertinya belum naik ke kamarnya sejak tadi. Apa pekerjaannya masih banyak di ruang kerja? Perlahan aku mendekati ruang kerjanya yang terbuka. Sepertinya sekretaris itu masih ada. Mereka masih berbincang-bincang untuk acara lusa. Sesekali mereka tertawa. "Mas ..." Aku lega melihat mereka duduk berjauhan. Astaga! Apa yang aku pikirkan? "Hei ..., Sayang kemarilah! Coba kamu lihat konsep untuk acara kita nanti. Bagaimana menurutmu?" Aku mendekat, kemudian membaca konsep yang sudah ada pada laptop. "Bagus, Mas. Aku nurut aja." "Baiklah. Karena sudah selesai, saya permisi pulang, Pak, Bu," ujar Selvi seraya
"Hey, tukang nasi miskin! Ngapain kamu ada di rumahku?" Astaga! Kenapa wanita ini ada di sini? Bukankah ini wanita yang mengusirku dari proyek Mas Yuda waktu itu? Apa hubungannya dia dengan Tante Dian? "Hey! Malah bengong!. Nggak pernah lihat cewek cantik, ya? Apa kaget liat rumah gue yang bagus ini ?" bentaknya seraya melotot padaku. "Tania ..., siapa yang datang?" Terdengar suara seseorang dari dalam Suara itu seperti tidak asing di telingaku. Walau cukup lama kami tak bertemu, aku masih sangat hapal dengan suara Tante Dian. "Ini loh, Ma. Ada gembel masuk-masuk rumah kita." Kalau tidak ingat ini di rumah orang, sudah aku remas mulut perempuan di hadapanku ini. "Saya ke sini mau ketemu Tante saya." "Gembel? Mana gembelnya Tania ....? Astaga! Salma ? Mau ngapain kamu ke sini?" Tuh kan bener. Tante Dian tidak akan suka bertemu denganku. "Maaf Tante, Saya hanya mau mengundang Tante dan keluarga di acara pernikahan saya besok. " "Ngundang doang kaaan? Nggak minta uang kaan?
Raihan tampak sudah nyaman dengan Bu Ratri. Babysitter itu sangat telaten namun cekatan dalam mengurus Raihan. Hingga tengah malam Mas Yuda belum juga pulang. Padahal besok adalah hari penting kita. Sekalipun juga dia tak menghubungiku lewat ponsel. Apakah dia sangat sibuk? Aku juga ingin menceritakan pertemuanku dengan Tania dan Tante Dian siang tadi. Beberapa hari kemarin, Mas Yuda memang tidak ke kantor. Dia menemaniku dan mencari Raihan. Mungkin karena itu banyak pekerjaannya yang terbengkalai.... "Non .., Non Salma!" Astaga! Aku kesiangan. Gegas aku melompat dari tempat tidur dan membuka pintu. Entah pukul berapa semalam aku tertidur. "Mariam, ada apa?" "Non Salma diminta siap-siap. Tiga puluh menit lagi ada perias pengantin akan datang." Aku mengangguk kemudian kembali menutup pintu. Raihan masih tertidur. Sebaiknya aku mandi saja. Kemudian Raihan diambil alih Bu Ratri ke kamarnya. Setelah selesai mandi, seorang pelayan mengantarkan sarapan pagi. Katanya aku diminta sa
"Permisi .., Selamat pagi ..!" Kami dikejutkan oleh tiga orang tamu yang baru saja datang. Mataku membeliak melihat Tante Dian, Tania dan seorang pria setengah tua masuk ke ruangan ini. Mungkin itu suami Tante Dian, Ayah Tania. "Tania?" gumam Mas Yuda heran. "Wanita yang bersama Tania itu adalah tante Dian, tanteku," bisikku padanya. MC mulai bersuara memandu jalannya acara. Sementara Tania dan Tante Dian tampak terheran dan bingung dengan semua yang dia lihat. Dengan gaya angkuhnya mereka melangkah masuk. Tante Dian dan Tania menyisir pandangan ke sekitar ruangan ini. "Loh, Yuda ...?" Tania ternganga ketika matanya tertuju pada Mas Yuda yang sedang bersanding denganku. Namun Mas Yuda tampak acuh tak peduli.. "Yuda ..! Apa-apaan ini? Kamu nggak boleh nikahin perempuan gembel ini! Kamu itu milik Aku!" Tania berteriak hingga MC menghentikan suaranya dan semua mata tertuju pada anak tiri Tante Dian itu. Wanita berpakaian dress panjang dengan belahan hingga ke paha itu sontak me
"Mas, sepertinya lagi banyak tamu." Langkah Seruni terhenti ketika hendak masuk ke dalam rumah bersama Elkan. "Mereka semua kakak-kakakku. Ayo kita masuk!" Seruni merasa ciut ketika melihat penampilan kakak-kakak Elkan dan keponakannya yang glamour dan elegan. Sangat jauh berbeda dengan dirinya yang sangat sederhana. "Kenapa? Takut? Atau malu?" bisik Elkan saat Seruni menolak untuk masuk ke dalam. Seruni menggeleng dengan wajah pucat. Ia takut tidak diterima oleh keluarga besar suaminya. "Ayo Sayang ...!" Seruni menunduk menatap pakaiannya. Untunglah di mall tadi dia sudah berganti pakaian dengan yang baru. Kemeja dan kulot berbahan silk import yang sempat membuat Seruni ternganga melihat harganya. Setelah menarik napas panjang, Seruni menggandeng tangan Elkan untuk masuk ke dalam. "Selamat malam semua ...!" sapa Elkan pada keluarga besarnya yang sedang berbincang di ruang tamu. "Malam ..., nah ini dia yang ditunggu-tunggu2 sudah datang." Semua menoleh ke arah pintu. Seruni m
"Kami akan mengundang kalian di acara resepsi kami minggu depan." Elkan menyerahkan sebuah undangan berwarna perak. "Resepsi?" Salma masih memandang heran dengan keduanya. "Syukurlah. Akhirnya kamu menikah juga. Aku pikir kamu akan seperti Rein." Yuda tertawa lega. Elkan tersenyum namun sesekali masih mencuri-curi memandang Salma dengan lekat. Hal ini pun tidak luput dari penglihatan Seruni dan Yuda. Mereka berbincang hangat. Seruni sesekali ikut tertawa, menjawab secukupnya jika ada yang bertanya. Kesan pertama Seruni pada Salma adalah seorang wanita yang lembut dan ramah. Sungguh Seruni sangat kagum pada sahabat suaminya itu. Seruni pun merasa ada sesuatu antara suaminya dengan Salma. Namun entahlah, dia belum bisa menerka-nerka. Seruni melihat tatapan yang berbeda dari suaminya saat memandang Salma. Raihan dan Maina pun sangat akrab dengan Elkan. Seruni juga melihat suaminya itu sudah sangat familiar dengan lingkungan di rumah itu. Termasuk para pelayannya. Namun Seruni melih
"Elkan .. , akhirnya kamu datang," ucap Salma. Sungguh ia tak percaya dengan apa yang dia lihat saat ini. Elkan spontan berdiri, lalu menatap wanita yang hampir menjadi istrinya itu dengan lekat. Semua kenangan itu langsung terlintas begitu saja di benaknya. Banyak waktu yang telah mereka lalui bersama. Kenangan itu masih sangat segar di ingatannya. Salma pun demikian. Ia mampu melewati masa-masa sulitnya bersama Elkan. Pria yang mau menemaninya di saat dirinya tak punya siapa-siapa. Pria yang selalu menyemangatinya di saat dirnya lemah. Entah apa yang terjadi jika tak ada Elkan di dekatnya waktu itu. Elkan bahkan mau berkorban demi kebahagiaannya dan Yuda. Seruni merasakan ada sesuatu diantara suaminya dan wanita yang dipanggil Salma itu. Wanita berhijab yang sangat cantik dan anggun. Seruni sempat kagum pada kecantikan wajah Salma yang begitu menenangkan.. "Om Elkan, ayo kita masuk!" Yumaina menarik lengan kekar Elkan untuk masuk ke ruang tamu. "Astaghfirullah ... Sampai l
"Maaf, ya ...! Maaf ...! Saya permisi dulu. Istri saya sudah menunggu!" "Apaa? Istri?" "Mas Elkan becanda ya? "Memangnya Mas Elkan sudah punya istri?" Para wanita penggemar Elkan itu bukannya menjauh, malah semakin penasaran ketika Elkan mengatakan ditunggu istrinya. "Oke ... oke, Aku akan perkenalkan istriku pada kalian." Elkan berkata seraya tersenyum menatap istrinya yang sedang cemberut sejak tadi. Mata Seruni melebar mendengar ucapan Elkan. Wanita itu lantas memberi kode dengan tangannya agar suaminya itu tidak melakukannya. Dia belum siap jika Elkan memperkenalkan dirinya sebagai istrinya di depan umum. "Yang mana istrinya Mas Elkan?" "Ayo dong Mas kenalin sama kita-kita!" Para wanita itu penasaran sambil memandang sekeliling. Elkan tak menyia-nyiakan kesempatan itu, perlahan melangkah menuju meja Seruni. Para Wanita itu terus memperhatikan Elkan yang ternyata menghampiri seorang gadis remaja yang sangat cantik walau tanpa riasan wajah. Gadis dengan rambut panjangnya
"Mas, kita ke mall ini?" Seruni memandang takjub mall besar dan megah di hadapannya. "Iya. kita parkir mobil dulu." Mobil Elkan baru saja memasuki Mall besar di daerah cassablanca. Karena akhir pekan, mall itu tampak sangat ramai pengunjung. Bahkan untuk masuk mencari parkir saja harus sabar mengantri. "Mau nonton dulu, atau belanja?" "Nonton bioskop, Mas? Wah, pasti bioskopnya bagus banget di sini." Elkan terkekeh melihat kepolosan Seruni. Gadis yang unik, namun sangat menyenangkan.. "Aku belanja apa lagi sih, Mas?" "Kata Mama, pakaian kamu itu standar remaja banget modelnya. Nanti orang-orang pikir aku ini bukan suamimu. Tapi Bapakmu." Mereka terbahak-bahak. "Tapi aku enggak ngerti model, Mas." "Gampang. Nanti minta bantuin manager tokonya." Setelah memarkir mobil, Elkan membawa Seruni masuk ke dalam mall. Nampak banyak muda mudi yang berpasangan menghabiskan waktu berakhir pekan. Seruni bergelayut manja pada lengan Elkan. Sesekali berdecak kagum melihat kemegahan mall ya
"Loh, Seruni kamu ngapain di sini?" Bu Astrid menegur Seruni yang berada di dapur. "Selamat pagi, Ma. Aku lagi masak sarapan untuk Mas," sahut Seruni tenang. Ia tak menyadari kalau Bu Astrid sudah melotot pada beberapa pelayan di sana. "M-maaf nyonya. Kami tadi sudah melarang. Tapi Non Seruni tetap mau di sini," sahut salah seorang pelayan. "Nggak apa-apa, Ma. Runi sejak kemarin nggak ngapa-ngapain. Bingung, cuma makan dan tidur aja," jelas Seruni sambil mengupas udang di wastafel. Nyonya Astrid hanya menggeleng-geleng kepala, lalu berjalan meninggalkan dapur, kemudian menghampiri putranya yang sedang minum kopi di teras samping. "Elkan, istrimu itu sebaiknya kuliah saja. Sepertinya dia jenuh di rumah." "Apa? Kuliah? Bagaimana nanti jika ada pria seumurannya yang tertarik dengannya?" pikir Elkan dalam hati. Pasti akan banyak pria yang akan tertarik dengan istrinya yang cantik itu. "Elkan, kok malah ngelamun? Kamu setuju, kan?" "Ya nanti aku bicarakan dulu dengan Seruni, Ma."
"M-massshh ...!" Lagi-lagi Seruni mengigau menyebut kata 'mas'. Suara Seruni hampir mirip seperti desahan di telinga Elkan. Hingga membuat miliknya memberontak di bawah sana. Elkan tak mungkin melakukannya disaat istrinya tertidur. Dia tak bisa membayangkan gadis itu akan terkejut bahkan mungkin berteriak di saat terjaga nanti. Elkan geleng-geleng kepala. Saat ini dia hanya bisa menikmati pelukan Seruni yang cukup erat. Hembusan napas gadis itu menyapu hangat wajahnya. Kini mereka saling berhadapan dan sangat dekat. Elkan mulai bergerak gelisah. Rasa lapar yang tadi menyerangnya kini berubah menjadi rasa yang berbeda. Perlahan didekatkan wajahnya pada Seruni hingga mereka nyaris tak berjarak. Elkan memberanikan diri mengecup singkat bibir ranum milik istrinya. Cukup singkat, namun berkali-kali. Setelah menarik napas panjang, Elkan mencoba untuk mengecupnya lebih lama. Mungkin sedikit melumatnya dengan lembut tidak akan membuat istrinya itu terjaga. Bagai kecanduan, Elkan tak ma
"Ini kamar Mas?" Seruni memandang takjub kamar yang begitu besar, bahkan lebih besar dari rumah mereka di desa. Kamar yang menyatu dengan ruang kerja Elkan itu dilengkapi dengan berbagai elektronik dan perabot mewah. "Iya. Ini rumah orang tua Mas. Semua fasilitas di rumah ini milik Mama dan Papa. Kalau rumah Mas tidak sebesar ini." Elkan duduk di tepi ranjang. Memandang Seruni yang masih terkagum-kagum dengan kamar mewah mirip hotel kelas bintang lima itu. Elkan tersenyum melihat wajah Seruni yang sedang terpesona. "Aku berasa mimpi bisa tidur di kamar ini, Mas." . Elkan langsung teringat sesuatu setelah mendengar ucapan Seruni. Tidur di kamar ini berdua dengan Seruni tentu sangat indah. Ini pasti akan menjadi malam pertamanya yang luar biasa. Pikiran liar pria tampan itu langsung travelling ke mana-mana. Mungkin setelah ini ia akan mengajak Seruni membeli beberapa pakaian, termasuk beberapa pakaian tidur yang sexy dan transparan. Elkan meneguk salivanya saat membayangkan Seruni
Elkan menggandeng Seruni yang nampak sangat gugup. Ia melihat Seruni tidak percaya diri dengan penampilannya yang sangat sederhana. "Selamat datang Tuan muda!" seorang wanita paruh baya membuka pintu dan mempersilakan Elkan dan Seruni masuk. "Mama Papa di mana, Mbok?" "Ada di ruang keluarga, Tuan." Mbok Asih, salah satu asisten rumah tangga mereka memandang Seruni dengan penuh tanda tanya. Selama bertahun-tahun bekerja di rumah orang tua Elkan, baru kali ini anak majikannya itu membawa wanita ke rumah. "Ini Seruni, Mbok. Istriku." Seruni mengangguk seraya tersenyum pada Mbok Asih." "Oalaaah, nikahannya jadi, toh waktu itu? Mbok kirain nggak jadi gara-gara nyonya dan tuan nggak bisa hadir. ya sudah sana cepat dikenali istrinya!" "Iya, Mbok. Seruni memandang Elkan penuh tanda tanya. ia tak mengerti apa yang dibicarakan Mbok Asih. Elkan pun blm sempat membicarakannya. "Yuk kita ke atas. Mama dan Papaku di sana." Seruni memandang setiap foto yang ia jumpai. Ada beberapa fot