"Permisi .., Selamat pagi ..!" Kami dikejutkan oleh tiga orang tamu yang baru saja datang. Mataku membeliak melihat Tante Dian, Tania dan seorang pria setengah tua masuk ke ruangan ini. Mungkin itu suami Tante Dian, Ayah Tania. "Tania?" gumam Mas Yuda heran. "Wanita yang bersama Tania itu adalah tante Dian, tanteku," bisikku padanya. MC mulai bersuara memandu jalannya acara. Sementara Tania dan Tante Dian tampak terheran dan bingung dengan semua yang dia lihat. Dengan gaya angkuhnya mereka melangkah masuk. Tante Dian dan Tania menyisir pandangan ke sekitar ruangan ini. "Loh, Yuda ...?" Tania ternganga ketika matanya tertuju pada Mas Yuda yang sedang bersanding denganku. Namun Mas Yuda tampak acuh tak peduli.. "Yuda ..! Apa-apaan ini? Kamu nggak boleh nikahin perempuan gembel ini! Kamu itu milik Aku!" Tania berteriak hingga MC menghentikan suaranya dan semua mata tertuju pada anak tiri Tante Dian itu. Wanita berpakaian dress panjang dengan belahan hingga ke paha itu sontak me
"Pak Yuda, sekali lagi saya minta maaf. Saya akan ajarkan Tania agar bisa bersikap lebih baik lagi." Om Bram memohon dengan wajah menunduk. "Baiklah. Saya maafkan. Tapi lain kali saya tidak akan pernah memaafkan orang yang mengganggu keluarga saya." "B-baik, Pak Yuda," sahut Om Bram dengan gemetar. "Assalamualaikum ..., Salma." Aku dan Mas Yuda yang ingin beranjak ke dalam, tiba-tiba dikejutkan oleh suara seorang wanita yang tidak asing olehku. Sontak Aku membalikkan badan kembali. "Kak Lina dan Kak Norma? Untuk apa Kalian ke sini? Tau dari mana kalian alamat rumah kami?" tanyaku kesal. "Salma ...., tolong maafkan Bang Marwan.Dia terpaksa melakukannya. Sebenarnya Dia tidak tau kalau anak yang disuruh culik adalah Raihan." "Sudahlah, Kak. Kami sudah menyerahkan urusannya pada polisi," sahutku malas. "T-tolong ..., tolong Salma! Bang Marwan jangan dimasukkan ke penjara. Hu ... hu ... hu ...!" Kak Lina menangis meraung-raung, lalu menjatuhkan badannya dan bersimpuh di depan ka
Aku terjaga tepat saat azan subuh berkumandang. Sepertinya kami belum lama tertidur. Perlahan berusaha melepaskan diri dari pelukan Mas Yuda. Suamiku ini nampak sangat lelah. Betapa perkasanya dia semalam. Entah berapa kali kami melakukannya. "Maas, subuh dulu, yuk!" bisikku. Perlahan matanya terbuka. "Mau ke mana?" "Mandi. Sudah subuh, Mas." "Tapi aku masih mau sama kamuu ....," Astaga! Suamiku merengek persis anak balita. Aku terkikik geli. "Iyaaa. Tapi kita mandi dulu, trus salat, ya!" "Janji, ya!" Aku mengangguk. Malu. Beruntung aku sudah menyiapkan stok ASI yang lumayan banyak untuk Raihan. Sepertinya hari ini anak itu harus mengalah dulu dari Ayahnya. Ada-ada saja suamiku ini. Gegas aku masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri. Aku tersentak, ternyata Mas Yuda menyusulku. Kamipun segera membersihkan diri agar tidak kehabisan subuh. "Mas, Aku turun sebentar mau cari makanan. Laper. Sekalian mau cek Raihan," ujarku seraya melipat mukena setelah salat tadi. "Jangan
"Selvi mau ke sini, Mas?" "Iya. Ada berkas yang harus aku tanda tangani." "Sekretarismu itu kenapa selalu berpakaian terbuka, sih?" "Yaaa, itu hak dia," sahutnya santai dengan mata masih menonton televisi. "Tapi nggak bagus, loh, Mas. Terlalu terbuka. Sebaiknya Mas tegur saja!" kataku dengan hati-hati. "Di kantor memang rata-rata pakaian mereka seperti itu. Nggak fair dong, kalau cuma menegur satu orang." "Kenapa tidak Mas kasih pengumuman saja agar mereka berpakaian lebih sopan dan tertutup. Misalnya pakai celana panjang atau rok yang lebih panjang. Kancing ataspun di larang terbuka." Entah kenapa aku lancar sekali membicarakan ini padanya. Mungkin karena telah lama mengganjal dihati. Spontan Mas Yuda menoleh padaku dan menatapku dengan penuh tanda tanya. "M-maaf ya, Mas Aku hanya sekedar usul. Bagaimanapun juga pakaian seorang wanita itu adalah kesan pertama bagi orang lain yang menilainya." Suamiku itu hanya mengangguk. Sepertinya dia tak terlalu menghiraukanku. Biarlah.
"Selvi!' bentak Mas Yuda. Wanita itu sontak berbalik badan dan terlonjak melihat kami sudah berada dibelakangnya. Selvi nampak memucat. Tubuhnya gemetar. "P-Pak Yuda?" "Mana berkasnya?" "I-ini ...,Pak." Dengan tangan gemetar, Selvi menyerahkan beberapa dokumen pada suamiku. Mas Yuda memberi kode dengan matanya agar aku yang meraih dokumen itu. Setelah dokumen berada ditanganku, Kami beranjak kembali masuk ke dalam. Selvi mengikuti kami dari belakang. "Mau ngapain kamu?" tiba-tiba Mas Yuda berhenti dan menoleh ke belakang. "M-mau ikut ke dalam, Pak." "Kamu kembali ke kantor!" tegas suamiku. "Dokumennya, Pak?" "Nanti saya sendiri yang bawa ke kantor." "Tapi, Pak ...." "Sudah, kamu balik aja ke kantor!" ujarku.pada wanita seksi yang kini nampak sangat bingung. Sementara Mas Yuda terus melangkah tanpa menghiraukan sekretarisnya itu. Setelah Selvi pergi, aku menyusul Mas Yuda ke ruang kerjanya. "Ini dokumennya, Mas." "Taruh saja di meja!" sahutnya tanpa menoleh. Mata
"Wah ...wah, makin cantik aja adik iparku ini." Kak Rio tersenyum seraya berdecak kagum melihatku. "Nah begini, dong. Nyonya Yuda ..." Ayah Surya menimpali seraya tertawa. "Kak Rio sama Ayah, bisa aja," pungkasku malu. "Ehm! Sudah siap? Ayo berangkat!" Tiba-tiba Mas Yuda muncul dari ruang kerjannya dan menghampiriku. "Sudah, Mas!" Sempat kulihat Mas Yuda memandang tak suka pada Kak Rio. Entah kenapa dia terlihat sangat benci pada kakaknya itu. Kami melangkah menuju teras. Ternyata pak supir telah menunggu sejak tadi. Sepanjang jalan kami hanya berbincang ringan. Mas Yuda sangat antusias ketika aku katakan bahwa Raihan sudah mulai bisa berjalan. Tentu aku tidak katakan bahwa Kak Rio yang sering mengajarkan anakku itu. "Sejak kemarin aku tidak bertemu Raihan. Nanti malam aku akan menemaninya tidur." Aku tersenyum mendengar ucapannya itu. Akhirnya kami tiba di depan lobby kantor Yudatara. Pak Supir membukakan pintu mobil. Mas Yuda menggandengku melangkah masuk. Setiap orang me
"Jika ada di antara kalian yang tidak menyukai istri saya, berarti tidak menyukai saya juga. Untuk itu silakan mengundurkan diri dari perusahaan saya." Aku tersentak mendengar ucapan Mas Yuda. Begitu juga para karyawan lainnya. Sementara Selvi dan beberapa temannya yang duduk berdekatan, saling berpandangan dengan wajah ketakutan. "Mas ...kok gitu ngomongnya?" bisikku. Namun suamiku itu hanya tersenyum sambil menepuk-nepuk lembut lenganku. "Baiklah. Hanya itu yang saya sampaikan. Pengumuman berikutnya akan di sampaikan nanti oleh kepala HRD. Akan ada rolling jabatan di beberapa divisi. Jika tidak berkenan, sekali lagi silakan mengundurkan diri." Aku kembali terrsentak mendengar pengumuman dari Mas Yuda. "Pak Hadi, setelah ini tolong ke ruangan saya!" lanjutnya lagi, sebelum mengajakku meninggalkan ruang meeting. "Maaas, apa kamu nggak terlalu keras sama karyawanmu tadi? Khawatir nanti mereka tidak nyaman dalam bekerja," tanyaku ketika kami sudah kembali ke ruangan CEO. "Ya biar
Aku minta diturunkan di rumah kost yang sedang dibangun. Sementara Mas Yuda dan Pak Supir lanjut menuju proyek. "Hai Salma .... makin cantik aja kamu." "Wah, pangling! nggak nyangka ini kamu, Salma!" "Denger-denger kamu udah nikah sama Bos proyek itu, ya? Kok nggak ngundang-ngundang?" Para tetangga cukup heboh ketika melihatku turun dari mobil Mas Yuda. Mereka menyapaku dengan berbagai komentar. "Saat resepsi nanti pasti diundang, kok," sahutku seraya tersenyum sopan pada mereka. "Mantan mertua dan iparmu juga diundang, Salma?" tanya bu salamah, salah satu tetanggaku. "Bukan mantan, Bu. Mereka memang masih mertua dan ipar-iparku. InsyaAllah diundang." "Halaaah! Ngapain juga mereka diundang. Udah jelas-jelas kamu sering dijahatin. Apalagi sekarang mereka makin sombong setelah si Marwan itu bisa beli rumah diujung gang ini." Apaaa? Bang Marwan bebas dan bisa beli rumah? Bagaimana dia bisa bebas? Lalu Apakah itu rumah dari Angel? "Serius, Bu?" tanyaku heran. "Iyaaa, tuh ruma
"Mas, sepertinya lagi banyak tamu." Langkah Seruni terhenti ketika hendak masuk ke dalam rumah bersama Elkan. "Mereka semua kakak-kakakku. Ayo kita masuk!" Seruni merasa ciut ketika melihat penampilan kakak-kakak Elkan dan keponakannya yang glamour dan elegan. Sangat jauh berbeda dengan dirinya yang sangat sederhana. "Kenapa? Takut? Atau malu?" bisik Elkan saat Seruni menolak untuk masuk ke dalam. Seruni menggeleng dengan wajah pucat. Ia takut tidak diterima oleh keluarga besar suaminya. "Ayo Sayang ...!" Seruni menunduk menatap pakaiannya. Untunglah di mall tadi dia sudah berganti pakaian dengan yang baru. Kemeja dan kulot berbahan silk import yang sempat membuat Seruni ternganga melihat harganya. Setelah menarik napas panjang, Seruni menggandeng tangan Elkan untuk masuk ke dalam. "Selamat malam semua ...!" sapa Elkan pada keluarga besarnya yang sedang berbincang di ruang tamu. "Malam ..., nah ini dia yang ditunggu-tunggu2 sudah datang." Semua menoleh ke arah pintu. Seruni m
"Kami akan mengundang kalian di acara resepsi kami minggu depan." Elkan menyerahkan sebuah undangan berwarna perak. "Resepsi?" Salma masih memandang heran dengan keduanya. "Syukurlah. Akhirnya kamu menikah juga. Aku pikir kamu akan seperti Rein." Yuda tertawa lega. Elkan tersenyum namun sesekali masih mencuri-curi memandang Salma dengan lekat. Hal ini pun tidak luput dari penglihatan Seruni dan Yuda. Mereka berbincang hangat. Seruni sesekali ikut tertawa, menjawab secukupnya jika ada yang bertanya. Kesan pertama Seruni pada Salma adalah seorang wanita yang lembut dan ramah. Sungguh Seruni sangat kagum pada sahabat suaminya itu. Seruni pun merasa ada sesuatu antara suaminya dengan Salma. Namun entahlah, dia belum bisa menerka-nerka. Seruni melihat tatapan yang berbeda dari suaminya saat memandang Salma. Raihan dan Maina pun sangat akrab dengan Elkan. Seruni juga melihat suaminya itu sudah sangat familiar dengan lingkungan di rumah itu. Termasuk para pelayannya. Namun Seruni melih
"Elkan .. , akhirnya kamu datang," ucap Salma. Sungguh ia tak percaya dengan apa yang dia lihat saat ini. Elkan spontan berdiri, lalu menatap wanita yang hampir menjadi istrinya itu dengan lekat. Semua kenangan itu langsung terlintas begitu saja di benaknya. Banyak waktu yang telah mereka lalui bersama. Kenangan itu masih sangat segar di ingatannya. Salma pun demikian. Ia mampu melewati masa-masa sulitnya bersama Elkan. Pria yang mau menemaninya di saat dirinya tak punya siapa-siapa. Pria yang selalu menyemangatinya di saat dirnya lemah. Entah apa yang terjadi jika tak ada Elkan di dekatnya waktu itu. Elkan bahkan mau berkorban demi kebahagiaannya dan Yuda. Seruni merasakan ada sesuatu diantara suaminya dan wanita yang dipanggil Salma itu. Wanita berhijab yang sangat cantik dan anggun. Seruni sempat kagum pada kecantikan wajah Salma yang begitu menenangkan.. "Om Elkan, ayo kita masuk!" Yumaina menarik lengan kekar Elkan untuk masuk ke ruang tamu. "Astaghfirullah ... Sampai l
"Maaf, ya ...! Maaf ...! Saya permisi dulu. Istri saya sudah menunggu!" "Apaa? Istri?" "Mas Elkan becanda ya? "Memangnya Mas Elkan sudah punya istri?" Para wanita penggemar Elkan itu bukannya menjauh, malah semakin penasaran ketika Elkan mengatakan ditunggu istrinya. "Oke ... oke, Aku akan perkenalkan istriku pada kalian." Elkan berkata seraya tersenyum menatap istrinya yang sedang cemberut sejak tadi. Mata Seruni melebar mendengar ucapan Elkan. Wanita itu lantas memberi kode dengan tangannya agar suaminya itu tidak melakukannya. Dia belum siap jika Elkan memperkenalkan dirinya sebagai istrinya di depan umum. "Yang mana istrinya Mas Elkan?" "Ayo dong Mas kenalin sama kita-kita!" Para wanita itu penasaran sambil memandang sekeliling. Elkan tak menyia-nyiakan kesempatan itu, perlahan melangkah menuju meja Seruni. Para Wanita itu terus memperhatikan Elkan yang ternyata menghampiri seorang gadis remaja yang sangat cantik walau tanpa riasan wajah. Gadis dengan rambut panjangnya
"Mas, kita ke mall ini?" Seruni memandang takjub mall besar dan megah di hadapannya. "Iya. kita parkir mobil dulu." Mobil Elkan baru saja memasuki Mall besar di daerah cassablanca. Karena akhir pekan, mall itu tampak sangat ramai pengunjung. Bahkan untuk masuk mencari parkir saja harus sabar mengantri. "Mau nonton dulu, atau belanja?" "Nonton bioskop, Mas? Wah, pasti bioskopnya bagus banget di sini." Elkan terkekeh melihat kepolosan Seruni. Gadis yang unik, namun sangat menyenangkan.. "Aku belanja apa lagi sih, Mas?" "Kata Mama, pakaian kamu itu standar remaja banget modelnya. Nanti orang-orang pikir aku ini bukan suamimu. Tapi Bapakmu." Mereka terbahak-bahak. "Tapi aku enggak ngerti model, Mas." "Gampang. Nanti minta bantuin manager tokonya." Setelah memarkir mobil, Elkan membawa Seruni masuk ke dalam mall. Nampak banyak muda mudi yang berpasangan menghabiskan waktu berakhir pekan. Seruni bergelayut manja pada lengan Elkan. Sesekali berdecak kagum melihat kemegahan mall ya
"Loh, Seruni kamu ngapain di sini?" Bu Astrid menegur Seruni yang berada di dapur. "Selamat pagi, Ma. Aku lagi masak sarapan untuk Mas," sahut Seruni tenang. Ia tak menyadari kalau Bu Astrid sudah melotot pada beberapa pelayan di sana. "M-maaf nyonya. Kami tadi sudah melarang. Tapi Non Seruni tetap mau di sini," sahut salah seorang pelayan. "Nggak apa-apa, Ma. Runi sejak kemarin nggak ngapa-ngapain. Bingung, cuma makan dan tidur aja," jelas Seruni sambil mengupas udang di wastafel. Nyonya Astrid hanya menggeleng-geleng kepala, lalu berjalan meninggalkan dapur, kemudian menghampiri putranya yang sedang minum kopi di teras samping. "Elkan, istrimu itu sebaiknya kuliah saja. Sepertinya dia jenuh di rumah." "Apa? Kuliah? Bagaimana nanti jika ada pria seumurannya yang tertarik dengannya?" pikir Elkan dalam hati. Pasti akan banyak pria yang akan tertarik dengan istrinya yang cantik itu. "Elkan, kok malah ngelamun? Kamu setuju, kan?" "Ya nanti aku bicarakan dulu dengan Seruni, Ma."
"M-massshh ...!" Lagi-lagi Seruni mengigau menyebut kata 'mas'. Suara Seruni hampir mirip seperti desahan di telinga Elkan. Hingga membuat miliknya memberontak di bawah sana. Elkan tak mungkin melakukannya disaat istrinya tertidur. Dia tak bisa membayangkan gadis itu akan terkejut bahkan mungkin berteriak di saat terjaga nanti. Elkan geleng-geleng kepala. Saat ini dia hanya bisa menikmati pelukan Seruni yang cukup erat. Hembusan napas gadis itu menyapu hangat wajahnya. Kini mereka saling berhadapan dan sangat dekat. Elkan mulai bergerak gelisah. Rasa lapar yang tadi menyerangnya kini berubah menjadi rasa yang berbeda. Perlahan didekatkan wajahnya pada Seruni hingga mereka nyaris tak berjarak. Elkan memberanikan diri mengecup singkat bibir ranum milik istrinya. Cukup singkat, namun berkali-kali. Setelah menarik napas panjang, Elkan mencoba untuk mengecupnya lebih lama. Mungkin sedikit melumatnya dengan lembut tidak akan membuat istrinya itu terjaga. Bagai kecanduan, Elkan tak ma
"Ini kamar Mas?" Seruni memandang takjub kamar yang begitu besar, bahkan lebih besar dari rumah mereka di desa. Kamar yang menyatu dengan ruang kerja Elkan itu dilengkapi dengan berbagai elektronik dan perabot mewah. "Iya. Ini rumah orang tua Mas. Semua fasilitas di rumah ini milik Mama dan Papa. Kalau rumah Mas tidak sebesar ini." Elkan duduk di tepi ranjang. Memandang Seruni yang masih terkagum-kagum dengan kamar mewah mirip hotel kelas bintang lima itu. Elkan tersenyum melihat wajah Seruni yang sedang terpesona. "Aku berasa mimpi bisa tidur di kamar ini, Mas." . Elkan langsung teringat sesuatu setelah mendengar ucapan Seruni. Tidur di kamar ini berdua dengan Seruni tentu sangat indah. Ini pasti akan menjadi malam pertamanya yang luar biasa. Pikiran liar pria tampan itu langsung travelling ke mana-mana. Mungkin setelah ini ia akan mengajak Seruni membeli beberapa pakaian, termasuk beberapa pakaian tidur yang sexy dan transparan. Elkan meneguk salivanya saat membayangkan Seruni
Elkan menggandeng Seruni yang nampak sangat gugup. Ia melihat Seruni tidak percaya diri dengan penampilannya yang sangat sederhana. "Selamat datang Tuan muda!" seorang wanita paruh baya membuka pintu dan mempersilakan Elkan dan Seruni masuk. "Mama Papa di mana, Mbok?" "Ada di ruang keluarga, Tuan." Mbok Asih, salah satu asisten rumah tangga mereka memandang Seruni dengan penuh tanda tanya. Selama bertahun-tahun bekerja di rumah orang tua Elkan, baru kali ini anak majikannya itu membawa wanita ke rumah. "Ini Seruni, Mbok. Istriku." Seruni mengangguk seraya tersenyum pada Mbok Asih." "Oalaaah, nikahannya jadi, toh waktu itu? Mbok kirain nggak jadi gara-gara nyonya dan tuan nggak bisa hadir. ya sudah sana cepat dikenali istrinya!" "Iya, Mbok. Seruni memandang Elkan penuh tanda tanya. ia tak mengerti apa yang dibicarakan Mbok Asih. Elkan pun blm sempat membicarakannya. "Yuk kita ke atas. Mama dan Papaku di sana." Seruni memandang setiap foto yang ia jumpai. Ada beberapa fot