"Salma ..., Bagaimana kabarmu?" Ayah Surya baru saja pulang. Pria tua itu tampak semakin sehat. "Baik, Ayah." balasku seraya mencium tangannya. "Ayah tampak lebih sehat," lanjutku di balas senyuman olehnya. "Ssstt ..., bagaimana, kamu jadikan tinggal di sini dengan kami?" bisiknya. Aku jadi tertawa. Kenapa harus berbisik segala. "Nanti, Yah. Masih Aku pikirkan." "Baiklah, jangan terlalu lama. Nanti Ayah keburu di panggil sama Allah." "Ayah kok ngomong gitu?" Aku tersentak mendengar ucapan Ayah Surya barusan. Tampak sedih pada raut wajah pria tua itu . Aku jadi kasian. Ayah Surya memang sudah tua. Dan sepertinya hanya Mas Yuda anak satu-satunya. Ia ingin merasakan bahagia di akhir hidupnya. Yaitu melihat anaknya menikah. Kami berbincang berbagai hal. Sementara Mas Yuda sepertinya tertidur di samping Raihan. Karena sejak Ayah Surya pulang tadi. Laki-laki itu tidak keluar dari kamar tamu. Samar-samar Aku seperti mendengar suara Raihan terbangun. Tapi mereka tak kunjung keluar
"Liat nanti lah, Kak. Lagian bukannya kalian mau pindah ya? Rumah itu sebenarnya sudah harus kosong, bukan?" sanggahku. "Halah kamu nggak usah ikut campur masalah rumah itu. Aku yakin kemarin itu cuma akal-akalan kamu aja sama Bos proyek itu kan? Mana mungkin dia mau sama kamu. Buktinya sampai sekarang kamu belum menikah dengannya. Orang ganteng dan tajir gitu kok mau sama janda miskin kayak kamu," cibir Kak Norma membuatku gemas. " Lagian kalau nanti kita diusir, kita bisa tinggal dulu di rumah Bang Adam," lanjutnya lagi. Syukurlah Bang Adam sudah membeli rumah. Beruntung dia tidak ikutan adik-adiknya. "Jadwal kamu sore ya, sehabis ashar!" pinta Bang Safwan. "Aku nggak janji, Bang. Aku kan dagang. sehabis dagang aku beres-beres. Malamnya belanja dan meracik bumbu." "Jangan cari-cari alasan! Kamu lupa kebaikan ibu dan kami sejak kamu menikah dengan Irsan? Siapa yang kasih kamu makan sejak Irsan meninggal?" Bang Safwan mulai emosi. "Nggak lupa, Bang. Inget banget, kok. Apalagi w
Aku menaiki mobil mercy Mas Yuda menuju rumah Ibu Mertua yang sudah di beli lunas oleh pria itu. Raihan selalu terlihat senang jika sudah diajak jalan-jalan begini. Di dalam mobil aku kewalahan dengan tingkahya yang aktif. Apapun ingin disentuh. Mas Yuda justru senang melihat Raihan aktif. Selama perjalanan mereka berdua terus bercanda dan tertawa. Sementara seperti biasa, satu mobil anak buah Mas Yuda mengikuti kami dari belakang. Akhirnya kami tiba di depan rumah yang mulai keihatan tak terurus itu. Sampah banyak berserakan di teras. Anak-anak Kak Norma dan Kak Lina memang masih duduk di sekolah dasar. Bahkan ada yang masih balita. Mungkin mereka kerepotan karena ditambah mengurus ibu yang sakit. Mas Yuda membukakan pintu untukku. Kemudian Laki-laki itu meraih Raihan dan menggendongnya. Lalu kami berjalan bersisian. Satu tangan Mas Yuda menggendong Raihan, satu tangan lagi menggandengku. Sedangkan para anak buah Mas Yuda berjalan di belakang kami. "Loh , Salma kok datangnya d
Ya Tuhan. Aku nggak nyangka Mas Yuda bisa berbicara seperti ini. Selama ini aku pikir dia hanya memahami tentang bisnis proyek saja. Semua Kakak Iparku terdiam. Namun nampak raut kesal dari wajah mereka. "Oke. Saya tunggu sampai besok pagi. Jika besok barang-barang di rumah ini masih ada, akan turut di robohkan." Aku mengikuti Maa Yuda berdiri. Lalu berjalan menuju pintu keluar. Aku rasakan, mata para ipar terus mengikutiku. Aku semakin menegakkan tubuh dan. kepalaku saat jalan berdampingan dengan MasYuda.Entah mengapa Aku semakin mengagumi laki-laki itu. Menjadi bangga berada di dekatnya seperti saat ini. Aku merasa dia adalah pahlawanku. Lihatlah! Betapa kerennya dia. Hampir semua mata memandang takjub padanya. Para tetangga juga memandangku tak percaya, saat Mas Yuda menggendong Raihan sekaligus menggandengku. Mas Yuda membukakan pintu mobil untukku. Setelah masuk ke dalam mobil, Mas Yuda mulai melajukan mobilnya. "Menurutmu bangunan seperti apa sebaiknya aku bangun di san
POV Adam Sial! Aku kesiangan lagi hari ini. Gara-gara memikirkan perempuan itu, hampir setiap malam aku sulit tidur hingga menjelang pagi. Hari ini aku terlambat lagi. Pasti Nona Angel memarahiku lagi. Ah, benar-benar sial! Semoga saja aku tidak dipecat. "Terlambat lagi, Adam? Kamu tahu hari ini saya ada meeting penting?" Majikanku yang luar biasa cantik itu ternyata sudah menungguku di teras rumahnya yang mewah. Setelah memarkirkan motorku di halaman samping, gegas kunyalakan mesin mobil alphard keluaran terbaru milik Nona Angel. "M-maaf Non. Akhir-akhir ini saya kesulitan tidur malam," sahutku setelah kami sudah berada di dalam mobil. "Kamu harus profesional, dong. Gara-gara masalah pribadi, kerjaan kamu jadi korban, apalagi sampai waktu meeting saya terganggu," ketus majikanku yang cantik ini. Sayangnya aku hanya seorang supir. Seandainya aku adalah pengusaha sukses setara konglomerat, pasti sudah aku lamar dia. "Baik, Nona. Sekali lagi saya minta maaf!" "Hmm ..." Mobil m
Pov AdamSegera aku mengganti kacamataku dengan kacamata hitam agar laki-laki itu tidak mengenaliku. Nona Angel terlihat sangat emosi dan menangis. Perlahan mobil aku dekatkan dengannya. Aku tak berani memandang ke arah depan. Laki-laki bernama Yuda itu sekilas memandang curiga padaku. Buru-buru aku membuang pandangan ke arah lain. Nona Angel membuka pintu mobil, kemudian langsung masuk dan duduk dibelakangku dengan wajah penuh emosi. "Yuda sial*n! Dia anggap apa aku selama ini ?" umpatnya. "Maaf, apa Nona baik-baik saja?" tanyaku khawatir. Terdengar majikanku itu menghela napas panjang. "Saya tidak apa-apa, langsung ke kantor!" ujarnya "Baik Nona." Sepertinya Nona Angel punya hubungan khusus dengan si Yuda itu. Aku mulai menjalankan mobil menuju kantor. Sepanjang jalan majikanku itu tampak frustasi. Wajahnya acak-acakan. Aimatanya terus mengalir. Apakah dia juga merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan saat ini? "Adam, kenapa kamu belum menikah sampai sekarang?" A
Sejak aku menerima lamaran Mas Yuda. Laki-laki itu hampir tiap hari datang. Walau hanya sekedar bermain dengan Raihan. Mas Yuda juga memintaku untuk berhenti berjualan. Katanya aku jangan terlalu lelah. Warung nasi dan pesanan aku serahkan semua pada Mak Isah. Biar beliau yang meneruskan. Alhamdulilah Mak Isah sudah aku ajarkan semua. Sesekali Mas Yuda mengajakku ke rumah yang dia beli dari ibu mertuaku. Rumah itu saat ini sedang di bangun rumah kost tiga lantai dengan lima puluh kamar. Hampir mirip rumah susun. Di belakangnya Mas Yuda membuat satu rumah dua lantai dengan gaya minimalis untukku. Walau nanti aku akan tetap tinggal di rumah Ayah Surya. Tiba-tiba aku mendengar suara pintu kontrakanku diketuk. Perlahan aku membuka pintu. "Salma ..., kamu lagi ngapain?" Aku terperanjat melihat kak Lina dan Kak Norma sudah berada di depan pintuku. "Silakan masuk, Kak!" "Tidak usah," sahut mereka seraya matanya menyisir kamar kontrakanku yang sempit ini dengan pandangan aneh. "Kamu
"Kalian tidak perlu khawatir. Adik ipar yang kalian terlantarkan ini sebentar lagi akan jadi tuan putri yang paling bahagia di dunia ini. Aku akan memberikan pesta pernikahan yang ternewah yang pernah kalian tahu." Tak lama kemudian Mas Yuda mengeluarkan sesuatu dari balik jasnya. Lagi-lagi dua kakak iparku itu ternganga saat Mas yuda memberikan sebuah undangan pernikahan yang sangat cantik. "Bawalah semua keluarga kalian ke acara ini!" Gegas keduanya berebut ingin membukanya. Kak Norma nyaris menjerit ketika membaca acara pernikahan itu akan dilangsungkan di salah satu hotel bintang lima ternama di kota ini. Tiba-tiba seseorang berlari-lari memanggil kedua kakak iparku itu. "Norma, Lina! Ternyata kalian berdua ada di sini. Ibu kritis!" Bang Safwan berteriak. Kemudian ketiganya berhamburan lari ke puskesmas. Aku yang mendengar itu lantas segera mengunci pintu. "Mas, apa boleh aku melihat Ibu?' tanyaku dengan wajah penuh harap dan khawatir. "Tentu saja. Pergilah dulu! nanti
"Mas, sepertinya lagi banyak tamu." Langkah Seruni terhenti ketika hendak masuk ke dalam rumah bersama Elkan. "Mereka semua kakak-kakakku. Ayo kita masuk!" Seruni merasa ciut ketika melihat penampilan kakak-kakak Elkan dan keponakannya yang glamour dan elegan. Sangat jauh berbeda dengan dirinya yang sangat sederhana. "Kenapa? Takut? Atau malu?" bisik Elkan saat Seruni menolak untuk masuk ke dalam. Seruni menggeleng dengan wajah pucat. Ia takut tidak diterima oleh keluarga besar suaminya. "Ayo Sayang ...!" Seruni menunduk menatap pakaiannya. Untunglah di mall tadi dia sudah berganti pakaian dengan yang baru. Kemeja dan kulot berbahan silk import yang sempat membuat Seruni ternganga melihat harganya. Setelah menarik napas panjang, Seruni menggandeng tangan Elkan untuk masuk ke dalam. "Selamat malam semua ...!" sapa Elkan pada keluarga besarnya yang sedang berbincang di ruang tamu. "Malam ..., nah ini dia yang ditunggu-tunggu2 sudah datang." Semua menoleh ke arah pintu. Seruni m
"Kami akan mengundang kalian di acara resepsi kami minggu depan." Elkan menyerahkan sebuah undangan berwarna perak. "Resepsi?" Salma masih memandang heran dengan keduanya. "Syukurlah. Akhirnya kamu menikah juga. Aku pikir kamu akan seperti Rein." Yuda tertawa lega. Elkan tersenyum namun sesekali masih mencuri-curi memandang Salma dengan lekat. Hal ini pun tidak luput dari penglihatan Seruni dan Yuda. Mereka berbincang hangat. Seruni sesekali ikut tertawa, menjawab secukupnya jika ada yang bertanya. Kesan pertama Seruni pada Salma adalah seorang wanita yang lembut dan ramah. Sungguh Seruni sangat kagum pada sahabat suaminya itu. Seruni pun merasa ada sesuatu antara suaminya dengan Salma. Namun entahlah, dia belum bisa menerka-nerka. Seruni melihat tatapan yang berbeda dari suaminya saat memandang Salma. Raihan dan Maina pun sangat akrab dengan Elkan. Seruni juga melihat suaminya itu sudah sangat familiar dengan lingkungan di rumah itu. Termasuk para pelayannya. Namun Seruni melih
"Elkan .. , akhirnya kamu datang," ucap Salma. Sungguh ia tak percaya dengan apa yang dia lihat saat ini. Elkan spontan berdiri, lalu menatap wanita yang hampir menjadi istrinya itu dengan lekat. Semua kenangan itu langsung terlintas begitu saja di benaknya. Banyak waktu yang telah mereka lalui bersama. Kenangan itu masih sangat segar di ingatannya. Salma pun demikian. Ia mampu melewati masa-masa sulitnya bersama Elkan. Pria yang mau menemaninya di saat dirinya tak punya siapa-siapa. Pria yang selalu menyemangatinya di saat dirnya lemah. Entah apa yang terjadi jika tak ada Elkan di dekatnya waktu itu. Elkan bahkan mau berkorban demi kebahagiaannya dan Yuda. Seruni merasakan ada sesuatu diantara suaminya dan wanita yang dipanggil Salma itu. Wanita berhijab yang sangat cantik dan anggun. Seruni sempat kagum pada kecantikan wajah Salma yang begitu menenangkan.. "Om Elkan, ayo kita masuk!" Yumaina menarik lengan kekar Elkan untuk masuk ke ruang tamu. "Astaghfirullah ... Sampai l
"Maaf, ya ...! Maaf ...! Saya permisi dulu. Istri saya sudah menunggu!" "Apaa? Istri?" "Mas Elkan becanda ya? "Memangnya Mas Elkan sudah punya istri?" Para wanita penggemar Elkan itu bukannya menjauh, malah semakin penasaran ketika Elkan mengatakan ditunggu istrinya. "Oke ... oke, Aku akan perkenalkan istriku pada kalian." Elkan berkata seraya tersenyum menatap istrinya yang sedang cemberut sejak tadi. Mata Seruni melebar mendengar ucapan Elkan. Wanita itu lantas memberi kode dengan tangannya agar suaminya itu tidak melakukannya. Dia belum siap jika Elkan memperkenalkan dirinya sebagai istrinya di depan umum. "Yang mana istrinya Mas Elkan?" "Ayo dong Mas kenalin sama kita-kita!" Para wanita itu penasaran sambil memandang sekeliling. Elkan tak menyia-nyiakan kesempatan itu, perlahan melangkah menuju meja Seruni. Para Wanita itu terus memperhatikan Elkan yang ternyata menghampiri seorang gadis remaja yang sangat cantik walau tanpa riasan wajah. Gadis dengan rambut panjangnya
"Mas, kita ke mall ini?" Seruni memandang takjub mall besar dan megah di hadapannya. "Iya. kita parkir mobil dulu." Mobil Elkan baru saja memasuki Mall besar di daerah cassablanca. Karena akhir pekan, mall itu tampak sangat ramai pengunjung. Bahkan untuk masuk mencari parkir saja harus sabar mengantri. "Mau nonton dulu, atau belanja?" "Nonton bioskop, Mas? Wah, pasti bioskopnya bagus banget di sini." Elkan terkekeh melihat kepolosan Seruni. Gadis yang unik, namun sangat menyenangkan.. "Aku belanja apa lagi sih, Mas?" "Kata Mama, pakaian kamu itu standar remaja banget modelnya. Nanti orang-orang pikir aku ini bukan suamimu. Tapi Bapakmu." Mereka terbahak-bahak. "Tapi aku enggak ngerti model, Mas." "Gampang. Nanti minta bantuin manager tokonya." Setelah memarkir mobil, Elkan membawa Seruni masuk ke dalam mall. Nampak banyak muda mudi yang berpasangan menghabiskan waktu berakhir pekan. Seruni bergelayut manja pada lengan Elkan. Sesekali berdecak kagum melihat kemegahan mall ya
"Loh, Seruni kamu ngapain di sini?" Bu Astrid menegur Seruni yang berada di dapur. "Selamat pagi, Ma. Aku lagi masak sarapan untuk Mas," sahut Seruni tenang. Ia tak menyadari kalau Bu Astrid sudah melotot pada beberapa pelayan di sana. "M-maaf nyonya. Kami tadi sudah melarang. Tapi Non Seruni tetap mau di sini," sahut salah seorang pelayan. "Nggak apa-apa, Ma. Runi sejak kemarin nggak ngapa-ngapain. Bingung, cuma makan dan tidur aja," jelas Seruni sambil mengupas udang di wastafel. Nyonya Astrid hanya menggeleng-geleng kepala, lalu berjalan meninggalkan dapur, kemudian menghampiri putranya yang sedang minum kopi di teras samping. "Elkan, istrimu itu sebaiknya kuliah saja. Sepertinya dia jenuh di rumah." "Apa? Kuliah? Bagaimana nanti jika ada pria seumurannya yang tertarik dengannya?" pikir Elkan dalam hati. Pasti akan banyak pria yang akan tertarik dengan istrinya yang cantik itu. "Elkan, kok malah ngelamun? Kamu setuju, kan?" "Ya nanti aku bicarakan dulu dengan Seruni, Ma."
"M-massshh ...!" Lagi-lagi Seruni mengigau menyebut kata 'mas'. Suara Seruni hampir mirip seperti desahan di telinga Elkan. Hingga membuat miliknya memberontak di bawah sana. Elkan tak mungkin melakukannya disaat istrinya tertidur. Dia tak bisa membayangkan gadis itu akan terkejut bahkan mungkin berteriak di saat terjaga nanti. Elkan geleng-geleng kepala. Saat ini dia hanya bisa menikmati pelukan Seruni yang cukup erat. Hembusan napas gadis itu menyapu hangat wajahnya. Kini mereka saling berhadapan dan sangat dekat. Elkan mulai bergerak gelisah. Rasa lapar yang tadi menyerangnya kini berubah menjadi rasa yang berbeda. Perlahan didekatkan wajahnya pada Seruni hingga mereka nyaris tak berjarak. Elkan memberanikan diri mengecup singkat bibir ranum milik istrinya. Cukup singkat, namun berkali-kali. Setelah menarik napas panjang, Elkan mencoba untuk mengecupnya lebih lama. Mungkin sedikit melumatnya dengan lembut tidak akan membuat istrinya itu terjaga. Bagai kecanduan, Elkan tak ma
"Ini kamar Mas?" Seruni memandang takjub kamar yang begitu besar, bahkan lebih besar dari rumah mereka di desa. Kamar yang menyatu dengan ruang kerja Elkan itu dilengkapi dengan berbagai elektronik dan perabot mewah. "Iya. Ini rumah orang tua Mas. Semua fasilitas di rumah ini milik Mama dan Papa. Kalau rumah Mas tidak sebesar ini." Elkan duduk di tepi ranjang. Memandang Seruni yang masih terkagum-kagum dengan kamar mewah mirip hotel kelas bintang lima itu. Elkan tersenyum melihat wajah Seruni yang sedang terpesona. "Aku berasa mimpi bisa tidur di kamar ini, Mas." . Elkan langsung teringat sesuatu setelah mendengar ucapan Seruni. Tidur di kamar ini berdua dengan Seruni tentu sangat indah. Ini pasti akan menjadi malam pertamanya yang luar biasa. Pikiran liar pria tampan itu langsung travelling ke mana-mana. Mungkin setelah ini ia akan mengajak Seruni membeli beberapa pakaian, termasuk beberapa pakaian tidur yang sexy dan transparan. Elkan meneguk salivanya saat membayangkan Seruni
Elkan menggandeng Seruni yang nampak sangat gugup. Ia melihat Seruni tidak percaya diri dengan penampilannya yang sangat sederhana. "Selamat datang Tuan muda!" seorang wanita paruh baya membuka pintu dan mempersilakan Elkan dan Seruni masuk. "Mama Papa di mana, Mbok?" "Ada di ruang keluarga, Tuan." Mbok Asih, salah satu asisten rumah tangga mereka memandang Seruni dengan penuh tanda tanya. Selama bertahun-tahun bekerja di rumah orang tua Elkan, baru kali ini anak majikannya itu membawa wanita ke rumah. "Ini Seruni, Mbok. Istriku." Seruni mengangguk seraya tersenyum pada Mbok Asih." "Oalaaah, nikahannya jadi, toh waktu itu? Mbok kirain nggak jadi gara-gara nyonya dan tuan nggak bisa hadir. ya sudah sana cepat dikenali istrinya!" "Iya, Mbok. Seruni memandang Elkan penuh tanda tanya. ia tak mengerti apa yang dibicarakan Mbok Asih. Elkan pun blm sempat membicarakannya. "Yuk kita ke atas. Mama dan Papaku di sana." Seruni memandang setiap foto yang ia jumpai. Ada beberapa fot