Ya Allah, Aku telah berprasangka buruk padanya. Gegas aku berlari mengejar laki-laki terbaikku itu. Semoga dia mau memaafkanku. Aku mencari keberadaan Mas Yuda dan Raihan. Ternyata mereka sudah berada di dalam mobil yang berada di depan puskesmas. Perlahan aku membuka pintu mobil. "Mas ... Aku ..." Mas Yuda sama sekali tidak menoleh padaku. Sepertinya dia tahu aku sempat kecewa padanya tadi. Aku harus minta maaf padanya. Apapun akan aku lakukan demi mendapatkan maaf darinya. Pria sebaik dia memang pantas untuk aku perjuangkan. Hanya saja kadang aku yang tidak percaya diri berdampingan dengannya. Mas Yuda masih asik bercengkrama dengan Raihan. Sementara aku masih bingung mau bicara apa. "Mas ..." "Ya !" sahutnya dingin tanpa menoleh sedikitpun padaku. "Aku ... minta maaf." "Ya !" "Aku pikir tadi Mas Yuda ... " "Sudahlah, tidak usah dibahas!" Wajahnya masih dingin. "Raihan sama bunda dulu, ya! Ayah mau nyetir!" Dia memindahkan Raihan ke pangkuanku. Sepanjang jalan kami be
Suasana malam semakin romantis. Mas Yuda mendekatkan tubuhnya padaku. Wangi maskulinnya tercium saat dia berada tepat disampingku. Jantungku berdegup kencang. Baru kali ini kami duduk sangat berdekatan di saat Raihan tertidur. Suasana terasa canggung karena gugup. Mungkin hanya aku yang gugup. Perlahan Mas Yuda meraih jemariku. Hangat kurasakan ketika jemari ini diremasnya. Kemudian laki-laki itu mencium kedua tanganku. Sukses membuat jantungku nyaris berhenti.Lalu kami saling menatap lama. Entah apa sedang dia pikirkan tentangku. "Salma, Apa benar tidak ada keluargamu satupun yang bisa hadir saat pernikahan kita nanti?" "S-sebenarnya ada ... tapi aku yakin dia juga tidak akan mau datang, Mas." "Kenapa?" "Tanteku. Dia satu-satunya keluargaku yang aku punya. Tapi sedikitpun dia tak pernah peduli padaku. Sejak remaja aku hidup sendiri." "Tetap kita harus undang beliau. Karena aku akan dianggap lancang jika tak mengabarkan mereka. Di mana rumahnya?" "Masih di kota ini juga. Aku
Aku terperanjat melihat Mak isah menangis meraung-raung sambil menyebut-nyebut nama Raihan. Ya Allah, ada apa dengan anakku? "Raihaaan .... Ya Allah Raihaan ...tolong ...!" teriak Mak Isah dengan berlinang air mata. "Maaak! Raihan kenapa? Raihan manaaa?" jeritku seraya memutar badan mencari keberadaan anakku. Mata Mas Yuda juga menyisir ke segala arah. Wajahnya nampak sangat panik. "Maaak, jawab! Mana anakku?" Aku berteriak gemas pada Mak Isah yang tak kunjung menjawab. Wanita itu malah nampak ketakutan. Mas Yuda mengusap punggungku, berusaha menenangkan. Kemudian berjongkok mensejajarkan dirinya pada Mak Isah yang sudah terduduk di pinggir jalan. "Mak yang tenang! Tolong jawab saya! Raihan kenapa?" Mas Wahyu berusaha bertanya dengan pelan. "Mak nggak tau. Tadi Raihan tidur. Emak tinggal ke kamar mandi. Tau ... tau udah nggak adaa ..." "Ya Allah ... Raihaaaaan. Maaaas, cari Raihan maaaas ...!" Aku tak kuasa menahan tubuh ini. Seolah tungkaiku tak kuat menopang. Hingga luruh
"Baaang, Bang Adam!" Kak Lina tergopoh-gopoh menghampiri. "Kemana aja, Bang? Sejak Ibu kritis, Abang nggak pulang," tegur Kak Lina."Apaaa? Ibu kritiis? Sekarang Ibu dimana?" tanyanya. "Ibu dirawat di rumah sakit sentosa, Bang," sahut Kak Lina. "Apaa? Itu rumah sakit mahal. Kenapa kalian bawa ibu ke sana? Nanti aku juga yang bayar. Menyusahkan saja!" hardiknya. Astaga Bang Adam! "Bu ... bukan itu ...." Kak Lina tampak gemetar karena terkejut. Baru kali ini Bang Adam membentaknya. "Halaah! Sudah, sudah ...!" Masih dengan emosi, kakak iparku itu pergi meninggalkan kami. "Salma .., bagaimana Raihan? Kami ikut prihatin." Kak Lina menghampiri dan memelukku. Ah, rasanya rindu saat-saat seperti dulu. Saat Bang Irsan masih hidup, hubunganku dengan Kak Lina cukup baik. "Raihan sepertinya ada yg culik, Kak. Mohon doanya ya, Kak. Agar anakku cepat ketemu." Aku kembali terisak. 'Aku akan bantu share foto-foto Raihan. Media sosial sangat membantu," ujar Kak Lina lagi. "Makasih Kak Lin
:Apa mungkin ada teman bisnismu yang tidak suka dengan kedekatan kita?"Mas Yuda terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu."Astaga ...! Jangan-jangan dia ...""Apa maksudmu, Mas? Dia siapa?" tanyaku penasaran."Entahlah! Aku seperti mencurigai seseorang. Tapi belum terbukti.""Apa seseorang itu tidak menyukai kedekatan kita? Apakah orang itu adalah wanita yang pernah bertemu dengan kita di mall? Mas Yuda menarik napas panjang. Kemudian mengangguk."Tapi ini baru dugaanku. Sudahlah, sekarang kamu aku antar pulang. Istirahatlah dulu. Akan ada beberapa anak buahku yang berjaga di sekiitar rumahmu."Selama perjalanan Kami banyak diam, larut dalam pikiran masing-masing.Tak terasa kami sudah sampai kembali di depan gangku. "Ayo Aku antar!" Mas Yuda hendak membuka pintu mobilnya. "Tidak usah diantar, Mas langsung pulang saja!" pintaku seraya ingin keluar dari mobil lebih dulu. Namun laki-laki itu menarik lenganku hingga aku berbalik badan dan kembali kami saling berhadapan. "Salma, Aku
"Silakan duduk!" ujar wanita itu. Nada bicaranya terkesan tegas. Jelas sekali dia berasal dari kalangan atas. Gayanya yang elegan dengan aksesoris serta perhiasan mahal menempel di tubuhnya. Aku duduk dengan tubuh masih gemetar. Jantungku terus berpacu kencang. "Siapa Anda sebenarnya? Mana anakku?" Aku tak tahan lagi hingga langsung menanyakan keberadaan Raihan. "Pelankan suaramu!" ketusnya pelan.. "Jelaskan apa maumu!" desisku seraya berusaha menatap mata dari balik kacamata hitam itu. "Bagus jika kamu tau diri. Ikuti perintahku ini, anakmu akan selamat! " "Cepat katakan!" Aku berdiri dan mulai gusar. "Tinggalkan Yuda! Pergi jauh dari kehidupannya. Anakmu akan aku kembalikan!" Kembali aku terduduk lemas. Mataku memanas. Dugaan kami benar. Banyak yang tidak suka kedekatanku dengan Yuda. Setelah lama terdiam, Aku menghela napas dalam. "Baiklah. Aku ikuti keinginanmu. Cepat kembalikan anakku!" "Tidak semudah itu. Aku ingin kalian membatalkan pernikahan dan kamu segera perg
Tiba-tiba pintu ruangan ini terbuka. Mataku membelalak melihat dua orang yang aku kenal masuk dalam keadaan tangan terikat.Kenapa laki-laki itu ada di sini? Sedangkan wanita itu ... Lalu di mana Raihan? Tak lama kemudian masuklah seorang wanita muda berpakaian babysister menggendong seorang anak. Lantas aku berdiri. Apakah itu Raihan? Perlahan aku melangkah mendekati anak yang sedang tertidur itu. Sementara beberapa anak buah Rein berjaga di dalam ruangan ini dan di depan pintu. Aku terlonjak bahagia ketika mendapatkan Raihan yang tiba-tiba terjaga ketika aku sentuh. Sontak aku meraihnya dan memeluknya erat. Wajah chuby itu aku cium berkali-kali. Pandanganku kembali jatuh pada dua orang tadi. "Kenapa Abang begitu tega pada Raihan? Bukankah Abang juga punya anak?" "M-maafin Abang Salma. Abang terpaksa melakukan ini. Kami butuh rumah untuk tempat tinggal." Banga Marwan, suami Kak Lina itu menangis. Apa maksudnya dengan terpaksa? Apa ada yang menyuruhnya? "Siapa yang menyuruh
Setelah mendapat beberapa pengarahan dari dokter Sari, kami pun pamit. Raihan berada dalam gendongan Mas Yuda. Mereka seperti tak ingin terpisahkan. Bocah itu sangat manja pada calon Ayahnya. Sesekali Raihan mencium Mas Yuda. Saat makan Roti pun, dia minta disuapi oleh Mas Yuda. Sungguh aku terharu melihat kedekatan mereka. Setelah istirahat sejenak di cafetaria, aku minta mampir dulu di minimarket rumah sakit membeli beberapa perlengkapan untuk Raihan. Karena aku tidak membawa satupun keperluannya. Rumah sakit yang tergolong elite ini memang sangat lengkap. Mulai dari Cafetaria, minimarket, Restorant, Toko Roti, Toko bunga, Toko Buah, semua ada. Kami berjalan melewati lorong panjang yang cukup sepi. Aku terperanjat saat melihat para iparku berjalan dari arah yang berlawanan. Aku baru teringat bahwa ibu mertuaku di rawat di sini. Aku semakin geram ketika mereka mendekat. Ada Bang Adam juga. Perlahan kugenggam lengan Mas Yuda. Aku sangat paham bahwa dia pun sedang menahan emosi.
"Mas, sepertinya lagi banyak tamu." Langkah Seruni terhenti ketika hendak masuk ke dalam rumah bersama Elkan. "Mereka semua kakak-kakakku. Ayo kita masuk!" Seruni merasa ciut ketika melihat penampilan kakak-kakak Elkan dan keponakannya yang glamour dan elegan. Sangat jauh berbeda dengan dirinya yang sangat sederhana. "Kenapa? Takut? Atau malu?" bisik Elkan saat Seruni menolak untuk masuk ke dalam. Seruni menggeleng dengan wajah pucat. Ia takut tidak diterima oleh keluarga besar suaminya. "Ayo Sayang ...!" Seruni menunduk menatap pakaiannya. Untunglah di mall tadi dia sudah berganti pakaian dengan yang baru. Kemeja dan kulot berbahan silk import yang sempat membuat Seruni ternganga melihat harganya. Setelah menarik napas panjang, Seruni menggandeng tangan Elkan untuk masuk ke dalam. "Selamat malam semua ...!" sapa Elkan pada keluarga besarnya yang sedang berbincang di ruang tamu. "Malam ..., nah ini dia yang ditunggu-tunggu2 sudah datang." Semua menoleh ke arah pintu. Seruni m
"Kami akan mengundang kalian di acara resepsi kami minggu depan." Elkan menyerahkan sebuah undangan berwarna perak. "Resepsi?" Salma masih memandang heran dengan keduanya. "Syukurlah. Akhirnya kamu menikah juga. Aku pikir kamu akan seperti Rein." Yuda tertawa lega. Elkan tersenyum namun sesekali masih mencuri-curi memandang Salma dengan lekat. Hal ini pun tidak luput dari penglihatan Seruni dan Yuda. Mereka berbincang hangat. Seruni sesekali ikut tertawa, menjawab secukupnya jika ada yang bertanya. Kesan pertama Seruni pada Salma adalah seorang wanita yang lembut dan ramah. Sungguh Seruni sangat kagum pada sahabat suaminya itu. Seruni pun merasa ada sesuatu antara suaminya dengan Salma. Namun entahlah, dia belum bisa menerka-nerka. Seruni melihat tatapan yang berbeda dari suaminya saat memandang Salma. Raihan dan Maina pun sangat akrab dengan Elkan. Seruni juga melihat suaminya itu sudah sangat familiar dengan lingkungan di rumah itu. Termasuk para pelayannya. Namun Seruni melih
"Elkan .. , akhirnya kamu datang," ucap Salma. Sungguh ia tak percaya dengan apa yang dia lihat saat ini. Elkan spontan berdiri, lalu menatap wanita yang hampir menjadi istrinya itu dengan lekat. Semua kenangan itu langsung terlintas begitu saja di benaknya. Banyak waktu yang telah mereka lalui bersama. Kenangan itu masih sangat segar di ingatannya. Salma pun demikian. Ia mampu melewati masa-masa sulitnya bersama Elkan. Pria yang mau menemaninya di saat dirinya tak punya siapa-siapa. Pria yang selalu menyemangatinya di saat dirnya lemah. Entah apa yang terjadi jika tak ada Elkan di dekatnya waktu itu. Elkan bahkan mau berkorban demi kebahagiaannya dan Yuda. Seruni merasakan ada sesuatu diantara suaminya dan wanita yang dipanggil Salma itu. Wanita berhijab yang sangat cantik dan anggun. Seruni sempat kagum pada kecantikan wajah Salma yang begitu menenangkan.. "Om Elkan, ayo kita masuk!" Yumaina menarik lengan kekar Elkan untuk masuk ke ruang tamu. "Astaghfirullah ... Sampai l
"Maaf, ya ...! Maaf ...! Saya permisi dulu. Istri saya sudah menunggu!" "Apaa? Istri?" "Mas Elkan becanda ya? "Memangnya Mas Elkan sudah punya istri?" Para wanita penggemar Elkan itu bukannya menjauh, malah semakin penasaran ketika Elkan mengatakan ditunggu istrinya. "Oke ... oke, Aku akan perkenalkan istriku pada kalian." Elkan berkata seraya tersenyum menatap istrinya yang sedang cemberut sejak tadi. Mata Seruni melebar mendengar ucapan Elkan. Wanita itu lantas memberi kode dengan tangannya agar suaminya itu tidak melakukannya. Dia belum siap jika Elkan memperkenalkan dirinya sebagai istrinya di depan umum. "Yang mana istrinya Mas Elkan?" "Ayo dong Mas kenalin sama kita-kita!" Para wanita itu penasaran sambil memandang sekeliling. Elkan tak menyia-nyiakan kesempatan itu, perlahan melangkah menuju meja Seruni. Para Wanita itu terus memperhatikan Elkan yang ternyata menghampiri seorang gadis remaja yang sangat cantik walau tanpa riasan wajah. Gadis dengan rambut panjangnya
"Mas, kita ke mall ini?" Seruni memandang takjub mall besar dan megah di hadapannya. "Iya. kita parkir mobil dulu." Mobil Elkan baru saja memasuki Mall besar di daerah cassablanca. Karena akhir pekan, mall itu tampak sangat ramai pengunjung. Bahkan untuk masuk mencari parkir saja harus sabar mengantri. "Mau nonton dulu, atau belanja?" "Nonton bioskop, Mas? Wah, pasti bioskopnya bagus banget di sini." Elkan terkekeh melihat kepolosan Seruni. Gadis yang unik, namun sangat menyenangkan.. "Aku belanja apa lagi sih, Mas?" "Kata Mama, pakaian kamu itu standar remaja banget modelnya. Nanti orang-orang pikir aku ini bukan suamimu. Tapi Bapakmu." Mereka terbahak-bahak. "Tapi aku enggak ngerti model, Mas." "Gampang. Nanti minta bantuin manager tokonya." Setelah memarkir mobil, Elkan membawa Seruni masuk ke dalam mall. Nampak banyak muda mudi yang berpasangan menghabiskan waktu berakhir pekan. Seruni bergelayut manja pada lengan Elkan. Sesekali berdecak kagum melihat kemegahan mall ya
"Loh, Seruni kamu ngapain di sini?" Bu Astrid menegur Seruni yang berada di dapur. "Selamat pagi, Ma. Aku lagi masak sarapan untuk Mas," sahut Seruni tenang. Ia tak menyadari kalau Bu Astrid sudah melotot pada beberapa pelayan di sana. "M-maaf nyonya. Kami tadi sudah melarang. Tapi Non Seruni tetap mau di sini," sahut salah seorang pelayan. "Nggak apa-apa, Ma. Runi sejak kemarin nggak ngapa-ngapain. Bingung, cuma makan dan tidur aja," jelas Seruni sambil mengupas udang di wastafel. Nyonya Astrid hanya menggeleng-geleng kepala, lalu berjalan meninggalkan dapur, kemudian menghampiri putranya yang sedang minum kopi di teras samping. "Elkan, istrimu itu sebaiknya kuliah saja. Sepertinya dia jenuh di rumah." "Apa? Kuliah? Bagaimana nanti jika ada pria seumurannya yang tertarik dengannya?" pikir Elkan dalam hati. Pasti akan banyak pria yang akan tertarik dengan istrinya yang cantik itu. "Elkan, kok malah ngelamun? Kamu setuju, kan?" "Ya nanti aku bicarakan dulu dengan Seruni, Ma."
"M-massshh ...!" Lagi-lagi Seruni mengigau menyebut kata 'mas'. Suara Seruni hampir mirip seperti desahan di telinga Elkan. Hingga membuat miliknya memberontak di bawah sana. Elkan tak mungkin melakukannya disaat istrinya tertidur. Dia tak bisa membayangkan gadis itu akan terkejut bahkan mungkin berteriak di saat terjaga nanti. Elkan geleng-geleng kepala. Saat ini dia hanya bisa menikmati pelukan Seruni yang cukup erat. Hembusan napas gadis itu menyapu hangat wajahnya. Kini mereka saling berhadapan dan sangat dekat. Elkan mulai bergerak gelisah. Rasa lapar yang tadi menyerangnya kini berubah menjadi rasa yang berbeda. Perlahan didekatkan wajahnya pada Seruni hingga mereka nyaris tak berjarak. Elkan memberanikan diri mengecup singkat bibir ranum milik istrinya. Cukup singkat, namun berkali-kali. Setelah menarik napas panjang, Elkan mencoba untuk mengecupnya lebih lama. Mungkin sedikit melumatnya dengan lembut tidak akan membuat istrinya itu terjaga. Bagai kecanduan, Elkan tak ma
"Ini kamar Mas?" Seruni memandang takjub kamar yang begitu besar, bahkan lebih besar dari rumah mereka di desa. Kamar yang menyatu dengan ruang kerja Elkan itu dilengkapi dengan berbagai elektronik dan perabot mewah. "Iya. Ini rumah orang tua Mas. Semua fasilitas di rumah ini milik Mama dan Papa. Kalau rumah Mas tidak sebesar ini." Elkan duduk di tepi ranjang. Memandang Seruni yang masih terkagum-kagum dengan kamar mewah mirip hotel kelas bintang lima itu. Elkan tersenyum melihat wajah Seruni yang sedang terpesona. "Aku berasa mimpi bisa tidur di kamar ini, Mas." . Elkan langsung teringat sesuatu setelah mendengar ucapan Seruni. Tidur di kamar ini berdua dengan Seruni tentu sangat indah. Ini pasti akan menjadi malam pertamanya yang luar biasa. Pikiran liar pria tampan itu langsung travelling ke mana-mana. Mungkin setelah ini ia akan mengajak Seruni membeli beberapa pakaian, termasuk beberapa pakaian tidur yang sexy dan transparan. Elkan meneguk salivanya saat membayangkan Seruni
Elkan menggandeng Seruni yang nampak sangat gugup. Ia melihat Seruni tidak percaya diri dengan penampilannya yang sangat sederhana. "Selamat datang Tuan muda!" seorang wanita paruh baya membuka pintu dan mempersilakan Elkan dan Seruni masuk. "Mama Papa di mana, Mbok?" "Ada di ruang keluarga, Tuan." Mbok Asih, salah satu asisten rumah tangga mereka memandang Seruni dengan penuh tanda tanya. Selama bertahun-tahun bekerja di rumah orang tua Elkan, baru kali ini anak majikannya itu membawa wanita ke rumah. "Ini Seruni, Mbok. Istriku." Seruni mengangguk seraya tersenyum pada Mbok Asih." "Oalaaah, nikahannya jadi, toh waktu itu? Mbok kirain nggak jadi gara-gara nyonya dan tuan nggak bisa hadir. ya sudah sana cepat dikenali istrinya!" "Iya, Mbok. Seruni memandang Elkan penuh tanda tanya. ia tak mengerti apa yang dibicarakan Mbok Asih. Elkan pun blm sempat membicarakannya. "Yuk kita ke atas. Mama dan Papaku di sana." Seruni memandang setiap foto yang ia jumpai. Ada beberapa fot