"Sabrina, sini biar aku aja yang suapi suamiku!" Aku meraih piring yang masih penuh berisi bubur dan sayuran dari tangan Sabrina. Dokter cantik itu nampak terkejut, mungkin tak menyangka aku akan bersikap begini. Sabrina berdiri dan mulai menjauh. Tatapan tak suka jelas terlihat dari raut wajahnya. "Kalau begitu aku kembali ke ruanganku," sahutnya kemudian. "Terima kasih Sabrina. Tapi, sebaiknya kamu pulang dan beristirahat. Kalau ada apa-apa dengan Mas Yuda, aku akan segera hubungi suster." Sabrina menggeleng. "Aku ada di ruanganku. Biarkan Yuda istirahat menjelang keberangkatannya besok. Jangan terlalu banyak diajak bicara!" Nada bicara Sabrina sedikit ketus "Iyaaaa ... iyaaa," sahutku sedikit kesal. "Yuda, ingat! Banyak tidur malam ini!" Sabrina menatap Mas Yuda dengan serius. Suamiku itu hanya mengangguk. Setelah berpesan ini dan itu pada Mas Yuda, Akhirnya dokter cantik itu keluar. Aku melanjutkan menyuapi Mas Yuda. Sementara Elkan duduk di sofa seraya mengganti-ganti
"Ayo segera ke bandara! Jangan sampai terlambat!" Sabrina masuk dan langsung menghampiri Mas Yuda. Dadaku kembali sesak melihat penampilan Sabrina yang begitu cantik. Wanita itu menggunakan stelan celana panjang dengan jas putihnya. "Ayo, Yuda. kita naik ambulan!" Tiba-tiba Sabrina meraih tubuh Yuda. "B-biar aku saja. Ayo, Yud!" Elkan dengan cepat mengambil alih tubuh Yuda dan membantunya duduk ke kursi roda. "Sabrina, biarkan Mas Yuda di mobilku!" pintaku. "Tidak bisa. Ambulan dilengkapi alat-alat medis lengkap. Yuda lebih aman di sana.," sahutnya tanpa menoleh padaku. Sementara kedua tangannya sibuk memeriksa kondisi Mas Yuda saat ini. Juga memerika semua obat-obatan serta perlengkapan medis untuk selama perjalanan nanti "Bagaimana jika aku ikut bersama ambulan? A-aku ingin berada di sampingnya." Aku terus mencoba bernegosiasi dengan Sabrina. Sabrina diam. Sepertinya dia ragu. "Sabrina. Aku mohon izinkan Salma menemaniku. Please ...!" Akhirnya Mas Yuda bersuara Sabrina m
"Mulai hari ini aku akan tinggal di rumahmu!" "Apaaa??" Sontak aku menoleh dengan mata membelalak ke arahnya. "Yuda memintaku menjagamu 24 jam," sahutnya sambil melangkah di sampingku menuju area parkir. "Haah? 24 jam? Jangan becanda, El. Nggak mungkin Mas Yuda seperti itu," pungkasku dengan yakin. Mengingat betapa cemburunya Mas Yuda selama ini jika aku sedang berdekatan dengan Elkan. Namun Elkan sepertinya serius. Dengan rasa penasaran Aku mencoba menghubungi Mas Yuda dengan ponselku. Namun ternyata ponsel Mas Yuda tidak aktif. "Mungkin mereka sedang bersiap-siap naik pesawat," ujar Elkan. Tak mau menyerah, aku pun mencoba menghubungi Sabrina. Namun sama. Ponselnya pun tak aktif. "Kamu nggak percaya padaku ...?" tanya Elkan sambil melangkah tenang, denga kedua tangannya masuk ke dalam saku celana. "El, jangan ngaco, deh. Mana bisa kita satu atap. Kita bukan muhrim," cecarku. Elkan terkekeh "Yang bilang kita satu atap siapa, cantik" "Maksud kamu?" Aku jadi semakin bigung
Hingga sudah hampir sepuluh menit, Elkan belum juga keluar dari ruang kerjanya yang tak jauh dari tempat aku duduk. Aku berusaha sabar menunggu walaupun dilanda rasa penasaran yang sangat menganggu. Mau menyusul, rasanya tidak pantas. Lagi pula hujan masih sangat deras. Sesekali aku membuka ponselku. Namun masih saja tidak ada balasan pesan dari Mas Yuda ataupun Sabrina. Ini sudah lebih dari tiga jam. Seharusnya mereka sudah tiba di bandara Changi sejak tadi. Tapi kenapa ponsel Mas Yuda masih tidak aktif? Aku semakin gelisah sendirian. Apa yang harus aku lakukan? Aku putuskan untuk menyusul Elkan ke ruang kerjanya. Pikiranku tidak tenang memikirkan Mas Yuda. Saat ini hanya dia yang bisa aku ajak bicara. Perlahan aku mendekat pada ruangan yang pintunya setengah terbuka itu. Nampak Elkan sedang membolak-balik beberapa berkas. Nampaknya berkas-berkas itu sangat penting. "Masuklah!" Aku terlonjak, ternyata Elkan tau aku sudah ada di balik pintu ini. "M-maaf. Kamu lama banget," ucap
Pov Yuda "Bersiaplah, Yud. Sebentar lagi pesawat akan mendarat di bandara Changi." Sabrina duduk di sebelahku, dengan hati-hati memeriksa sabuk pengamanku. Aku mengangguk dengan pandangan masih menghadap jendela. Rasa sedih yang menyesakkan ini terasa begitu berat. Semoga saja keputusan yang aku ambil ini benar. Memang menyakitkan sekali rasanya. Namun ini semua demi kebahagian Salma dan anak-anak. Pergi dari kehidupan mereka adalah keputusan satu-satunya. Tak ada pilihan lain. Aku tak mau Salma menghabiskan hidupnya hanya dengan mengurusku. Resiko pengobatan ini cukup besar. Kemungkinannya aku akan lumpuh total. Salma masih muda dan cantik. Dia berhak bahagia dengan pria yang mencintainya dengan tulus dan bisa menjaganya setiap waktu. Pesawat sudah mendarat. Beberapa petugas membantuku untuk turun. Termasuk salah satu perawat pria yang ikut dengan Sabrina dari Jakarta tadi. Sabrina mendorong kursi rodaku menuju pintu kedatangan. "Sabrina, mana ponselku?" "Ada." "Sini. Aku
"Gila kamu, El!" Aku menghempas dengan kasar surat perjanjian itu. Di sana tertulis Elkan menyetujui permintaan Yuda untuk menikahiku. "Dengar dulu, Salma!" "Halaah! Sejak awal aku udah curiga, kamu punya niat nggak baik sama Aku dan Yuda." Aku kembali menjatuhkan tubuhku pada kursi seraya memandang keluar jendela. Hujan masih sangat deras. Suara petir masih terdengar menggelegar dan saling bersahutan Untunglah anak-anak di rumah aman. Setiap jam Bu Ratri memberi kabar tentang mereka. Kabar terakhir mereka sedang tidur dikamarnya. "Salmaaa, Aku tidak pernah punya pikiran seburuk itu. Jujur saja, sebenarnya aku keberatan menandatangani ini." Elkan mendekat. Wajahnya memucat, jelas terlihat ada rasa bersalah. "Lalu kenapa ada tanda tangan kamu di situ, hah?" Nada bicaraku semakin tinggi. "Kamu tau Yuda seperti apa. Ini murni keinginan dia," sanggah Elkan. Dia terlihat panik. Aku mencoba kembali menghubungi Mas Yuda dan Sabrina. Namun setelah berkali-kali aku hubungi, ponsel m
"Kenapa berhenti di sini? Ini kan masih di depan kost. Rumahku masih terus masuk ke sana," ujarku seraya menyipitkan mata, memandang penuh curiga pada pria tampan di hadapanku yang sedang senyum-senyum nggak jelas. "Jalan sedikit kenapa, sih? Hitung-hitung olah raga sore. Cuacanya lagi asik, loh. Dingin kayak di puncak." sahut Elkan terkekeh, lalu keluar dari mobil untuk menurunkan kopernya. "Hmmm ... sudah aku duga. Ternyata penghuni baru itu kamu." Aku mengikutinya keluar dan berdiri bersandar pada mobil yang sudah mulai kering dari air hujan tadi. Tanpa menghiraukan aku, Elkan membawa kopernya masuk ke dalam rumah kost. Salah satu karyawanku menyambutnya dengan ramah dan mengambil alih koper yang ada ditangannya "Permisi, saya mau ketemu ibu kost rumah ini bisa?" tanya Elkan dengan wajah serius. Sementara karyawanku itu terlihat bingung karena dia melihat Elkan tadi datang bersama ibu kostnya. Elkan sontak terbahak-bahak melihat kegugupan karyawanku itu "Hahaha ... maaf bec
Bagai terhipnotis aku pun menatap sosok yang hanya mengenakan celana pendek serta kaos tanpa lengan itu. Mata kami bagai magnit yang bertemu dari sisi yang berbeda, semakin melekat dan tak ingin berpaling. Tubuh pria itu sangat mirip dengan Mas Yuda. Tegap dan atletis. Aku jadi semakin merindukan suamiku. "Mas Yuda ...!" gumamku tanpa sadar. Pria itu mengetik sesuatu pada ponsel yang sejak tadi berada di tangannya. Tak lama terdengar ponselku bergetar. Gegas aku merogoh kantong piyama dan meraih ponselku. Sebuah pesan dari Elkan muncul pada layar. [ Cantik ... aku suka rambut panjaangmu ] Apaaaa? Astaghfirullah ... spontan aku melompat masuk ke dalam kamar saat tersadar bahwa saat ini aku sedang tak menggunakan hijab. Ya Allah, ampuni Aku. Bagaimana aku bisa lupa dan tak menyadarinya. Aku kembali mengintip dari balik gorden. Tampak Elkan sedang tersenyum lebar ke arahku. Sontak aku kembali menutup.gorden. Perlahan aku naik ke atas ranjang dan berbaring di samping Maina. Elkan
"Mas, sepertinya lagi banyak tamu." Langkah Seruni terhenti ketika hendak masuk ke dalam rumah bersama Elkan. "Mereka semua kakak-kakakku. Ayo kita masuk!" Seruni merasa ciut ketika melihat penampilan kakak-kakak Elkan dan keponakannya yang glamour dan elegan. Sangat jauh berbeda dengan dirinya yang sangat sederhana. "Kenapa? Takut? Atau malu?" bisik Elkan saat Seruni menolak untuk masuk ke dalam. Seruni menggeleng dengan wajah pucat. Ia takut tidak diterima oleh keluarga besar suaminya. "Ayo Sayang ...!" Seruni menunduk menatap pakaiannya. Untunglah di mall tadi dia sudah berganti pakaian dengan yang baru. Kemeja dan kulot berbahan silk import yang sempat membuat Seruni ternganga melihat harganya. Setelah menarik napas panjang, Seruni menggandeng tangan Elkan untuk masuk ke dalam. "Selamat malam semua ...!" sapa Elkan pada keluarga besarnya yang sedang berbincang di ruang tamu. "Malam ..., nah ini dia yang ditunggu-tunggu2 sudah datang." Semua menoleh ke arah pintu. Seruni m
"Kami akan mengundang kalian di acara resepsi kami minggu depan." Elkan menyerahkan sebuah undangan berwarna perak. "Resepsi?" Salma masih memandang heran dengan keduanya. "Syukurlah. Akhirnya kamu menikah juga. Aku pikir kamu akan seperti Rein." Yuda tertawa lega. Elkan tersenyum namun sesekali masih mencuri-curi memandang Salma dengan lekat. Hal ini pun tidak luput dari penglihatan Seruni dan Yuda. Mereka berbincang hangat. Seruni sesekali ikut tertawa, menjawab secukupnya jika ada yang bertanya. Kesan pertama Seruni pada Salma adalah seorang wanita yang lembut dan ramah. Sungguh Seruni sangat kagum pada sahabat suaminya itu. Seruni pun merasa ada sesuatu antara suaminya dengan Salma. Namun entahlah, dia belum bisa menerka-nerka. Seruni melihat tatapan yang berbeda dari suaminya saat memandang Salma. Raihan dan Maina pun sangat akrab dengan Elkan. Seruni juga melihat suaminya itu sudah sangat familiar dengan lingkungan di rumah itu. Termasuk para pelayannya. Namun Seruni melih
"Elkan .. , akhirnya kamu datang," ucap Salma. Sungguh ia tak percaya dengan apa yang dia lihat saat ini. Elkan spontan berdiri, lalu menatap wanita yang hampir menjadi istrinya itu dengan lekat. Semua kenangan itu langsung terlintas begitu saja di benaknya. Banyak waktu yang telah mereka lalui bersama. Kenangan itu masih sangat segar di ingatannya. Salma pun demikian. Ia mampu melewati masa-masa sulitnya bersama Elkan. Pria yang mau menemaninya di saat dirinya tak punya siapa-siapa. Pria yang selalu menyemangatinya di saat dirnya lemah. Entah apa yang terjadi jika tak ada Elkan di dekatnya waktu itu. Elkan bahkan mau berkorban demi kebahagiaannya dan Yuda. Seruni merasakan ada sesuatu diantara suaminya dan wanita yang dipanggil Salma itu. Wanita berhijab yang sangat cantik dan anggun. Seruni sempat kagum pada kecantikan wajah Salma yang begitu menenangkan.. "Om Elkan, ayo kita masuk!" Yumaina menarik lengan kekar Elkan untuk masuk ke ruang tamu. "Astaghfirullah ... Sampai l
"Maaf, ya ...! Maaf ...! Saya permisi dulu. Istri saya sudah menunggu!" "Apaa? Istri?" "Mas Elkan becanda ya? "Memangnya Mas Elkan sudah punya istri?" Para wanita penggemar Elkan itu bukannya menjauh, malah semakin penasaran ketika Elkan mengatakan ditunggu istrinya. "Oke ... oke, Aku akan perkenalkan istriku pada kalian." Elkan berkata seraya tersenyum menatap istrinya yang sedang cemberut sejak tadi. Mata Seruni melebar mendengar ucapan Elkan. Wanita itu lantas memberi kode dengan tangannya agar suaminya itu tidak melakukannya. Dia belum siap jika Elkan memperkenalkan dirinya sebagai istrinya di depan umum. "Yang mana istrinya Mas Elkan?" "Ayo dong Mas kenalin sama kita-kita!" Para wanita itu penasaran sambil memandang sekeliling. Elkan tak menyia-nyiakan kesempatan itu, perlahan melangkah menuju meja Seruni. Para Wanita itu terus memperhatikan Elkan yang ternyata menghampiri seorang gadis remaja yang sangat cantik walau tanpa riasan wajah. Gadis dengan rambut panjangnya
"Mas, kita ke mall ini?" Seruni memandang takjub mall besar dan megah di hadapannya. "Iya. kita parkir mobil dulu." Mobil Elkan baru saja memasuki Mall besar di daerah cassablanca. Karena akhir pekan, mall itu tampak sangat ramai pengunjung. Bahkan untuk masuk mencari parkir saja harus sabar mengantri. "Mau nonton dulu, atau belanja?" "Nonton bioskop, Mas? Wah, pasti bioskopnya bagus banget di sini." Elkan terkekeh melihat kepolosan Seruni. Gadis yang unik, namun sangat menyenangkan.. "Aku belanja apa lagi sih, Mas?" "Kata Mama, pakaian kamu itu standar remaja banget modelnya. Nanti orang-orang pikir aku ini bukan suamimu. Tapi Bapakmu." Mereka terbahak-bahak. "Tapi aku enggak ngerti model, Mas." "Gampang. Nanti minta bantuin manager tokonya." Setelah memarkir mobil, Elkan membawa Seruni masuk ke dalam mall. Nampak banyak muda mudi yang berpasangan menghabiskan waktu berakhir pekan. Seruni bergelayut manja pada lengan Elkan. Sesekali berdecak kagum melihat kemegahan mall ya
"Loh, Seruni kamu ngapain di sini?" Bu Astrid menegur Seruni yang berada di dapur. "Selamat pagi, Ma. Aku lagi masak sarapan untuk Mas," sahut Seruni tenang. Ia tak menyadari kalau Bu Astrid sudah melotot pada beberapa pelayan di sana. "M-maaf nyonya. Kami tadi sudah melarang. Tapi Non Seruni tetap mau di sini," sahut salah seorang pelayan. "Nggak apa-apa, Ma. Runi sejak kemarin nggak ngapa-ngapain. Bingung, cuma makan dan tidur aja," jelas Seruni sambil mengupas udang di wastafel. Nyonya Astrid hanya menggeleng-geleng kepala, lalu berjalan meninggalkan dapur, kemudian menghampiri putranya yang sedang minum kopi di teras samping. "Elkan, istrimu itu sebaiknya kuliah saja. Sepertinya dia jenuh di rumah." "Apa? Kuliah? Bagaimana nanti jika ada pria seumurannya yang tertarik dengannya?" pikir Elkan dalam hati. Pasti akan banyak pria yang akan tertarik dengan istrinya yang cantik itu. "Elkan, kok malah ngelamun? Kamu setuju, kan?" "Ya nanti aku bicarakan dulu dengan Seruni, Ma."
"M-massshh ...!" Lagi-lagi Seruni mengigau menyebut kata 'mas'. Suara Seruni hampir mirip seperti desahan di telinga Elkan. Hingga membuat miliknya memberontak di bawah sana. Elkan tak mungkin melakukannya disaat istrinya tertidur. Dia tak bisa membayangkan gadis itu akan terkejut bahkan mungkin berteriak di saat terjaga nanti. Elkan geleng-geleng kepala. Saat ini dia hanya bisa menikmati pelukan Seruni yang cukup erat. Hembusan napas gadis itu menyapu hangat wajahnya. Kini mereka saling berhadapan dan sangat dekat. Elkan mulai bergerak gelisah. Rasa lapar yang tadi menyerangnya kini berubah menjadi rasa yang berbeda. Perlahan didekatkan wajahnya pada Seruni hingga mereka nyaris tak berjarak. Elkan memberanikan diri mengecup singkat bibir ranum milik istrinya. Cukup singkat, namun berkali-kali. Setelah menarik napas panjang, Elkan mencoba untuk mengecupnya lebih lama. Mungkin sedikit melumatnya dengan lembut tidak akan membuat istrinya itu terjaga. Bagai kecanduan, Elkan tak ma
"Ini kamar Mas?" Seruni memandang takjub kamar yang begitu besar, bahkan lebih besar dari rumah mereka di desa. Kamar yang menyatu dengan ruang kerja Elkan itu dilengkapi dengan berbagai elektronik dan perabot mewah. "Iya. Ini rumah orang tua Mas. Semua fasilitas di rumah ini milik Mama dan Papa. Kalau rumah Mas tidak sebesar ini." Elkan duduk di tepi ranjang. Memandang Seruni yang masih terkagum-kagum dengan kamar mewah mirip hotel kelas bintang lima itu. Elkan tersenyum melihat wajah Seruni yang sedang terpesona. "Aku berasa mimpi bisa tidur di kamar ini, Mas." . Elkan langsung teringat sesuatu setelah mendengar ucapan Seruni. Tidur di kamar ini berdua dengan Seruni tentu sangat indah. Ini pasti akan menjadi malam pertamanya yang luar biasa. Pikiran liar pria tampan itu langsung travelling ke mana-mana. Mungkin setelah ini ia akan mengajak Seruni membeli beberapa pakaian, termasuk beberapa pakaian tidur yang sexy dan transparan. Elkan meneguk salivanya saat membayangkan Seruni
Elkan menggandeng Seruni yang nampak sangat gugup. Ia melihat Seruni tidak percaya diri dengan penampilannya yang sangat sederhana. "Selamat datang Tuan muda!" seorang wanita paruh baya membuka pintu dan mempersilakan Elkan dan Seruni masuk. "Mama Papa di mana, Mbok?" "Ada di ruang keluarga, Tuan." Mbok Asih, salah satu asisten rumah tangga mereka memandang Seruni dengan penuh tanda tanya. Selama bertahun-tahun bekerja di rumah orang tua Elkan, baru kali ini anak majikannya itu membawa wanita ke rumah. "Ini Seruni, Mbok. Istriku." Seruni mengangguk seraya tersenyum pada Mbok Asih." "Oalaaah, nikahannya jadi, toh waktu itu? Mbok kirain nggak jadi gara-gara nyonya dan tuan nggak bisa hadir. ya sudah sana cepat dikenali istrinya!" "Iya, Mbok. Seruni memandang Elkan penuh tanda tanya. ia tak mengerti apa yang dibicarakan Mbok Asih. Elkan pun blm sempat membicarakannya. "Yuk kita ke atas. Mama dan Papaku di sana." Seruni memandang setiap foto yang ia jumpai. Ada beberapa fot