.
.
.
“Apakah ia tidak salah dengar? Mawar tidak suka Salmon?!” Beribu pertanyaan kemudian muncul di kepala pria itu yang seketika membuatnya merasa sangat pusing. Tunggu, bukankah beberapa hari ini Bibi Hans selalu memasak ikan Salmon karena wanita itu suka?! Dan bahkan, pagi ini wanita itu juga memakan ikan itu dengannya. Sebenarnya apa yang terjadi?!
Dengan rasa semakin tidak nyaman, Jayden kemudian berdiri dan memanggil Suseno yang dirasa sangat bodoh disana.
“Suseno!” bentaknya kepada Suseno dengan wajah yang tampak begitu geram. Selama dirinya sibuk, ia menyerahkan urusan Mawar kepada Suseno, tetapi sepertinya asistennya itu tidak bekerja dengan baik.
“Kau bilang kalau Mawar baik-baik saja. Apa kau yakin?” tambahnya kemudian.
“Yakin Jay.” Suseno mengerutkan alisnya karena ia melihat sendiri Mawar baik-baik saja di ladang.
“Bagaimana dengan makanannya, Hah?! Apakah kau memperhatikannya?!” Jayden sedi
. . . “Bibi Hans, apakah itu Mawar?” Keluar dari ruang rahasianya, Jayedn bergegas menuju ke ruang tamu dimana seseorang sepertinya tadi terdengar membuka pintu. “Dimana dia?” Tanya Jayden kemudian karena disana ia tidak mendapati penampakan istrinya itu. Sebelum mendengar jawaban dari bibi Hans yang baru membuka mulutnya, Jayden telah terlebih dahulu masuk ke dalam kamarnya dan mendapati bahwa kamarnya juga sepi. Mawar dimana dia? Jeritnya dalam hati yang tidak kunjung mendapatkan sebuah jawaban. “Tuan. Tadi bukan Nyonya…” Bibi Hans menjelaskan karena sang Tuan sepertinya salah mengira bahwa yang datang barusan adalah Mawar. “Lalu siapa?” Masih berdiri, Jayden yang hendak pergi beranjak menjemput Mawar di ladang kemudian dikejutkan oleh penjelasan sang bibi kepadanya. “Oh. Itu adalah orang suku Henai, salah satu pekerja di ladang. Katanya, Mawar akan tinggal di perkampungan Henai selama beberapa hari.” Ungkapnya kemudian yang
. . . “Mawar! Ayo kita pulang. Dimana kau?” Teriak Jayden ditengah-tengah perkampungan yang sepi itu sehingga suaranya mampu membangunkan seluruh orang yang sedang tertidur disana. “Mawar…” Panggilnya lagi, namun tidak ada sahutan dari rumah-rumah panggung itu. Pasti, Mawar sudah tidak mau lagi bertemu dengannya dan menggunakan cara itu untuk melarikan diri darinya. Tidak. Jayden tidak akan membiarkan isterinya itu kabur begitu saja. Sehingga dengan suara lebih keras ia kemudian memanggil lagi nama isterinya itu. “Ma-war!!!” Serunya yang mulai mendapat perhatian dari penduduk yang mulai keluar dari rumahnya satu-persatu, tidak terkecuali kepala suku yang berusia hampir 100 tahun itu. “Apa yang sedang kau cari anak muda?” Tanya kepala suku itu dengan suaranya yang terdengar bijaksana. Mungkin karena usianya yang hampir satu abad, seluruh orang disana menganggap kepala suku sebagai perwakilan leluhur mereka. Sehingga ketika kepala suku i
. . . Ceplak!!! “Arkk!” Suara cambukan terdengar begitu keras mengenai punggungnya hingga Jayden disana mulai merintih kesakitan. Ceplak!!! “Arkk!” Disela-sela rintihannya ia kemudian memandang ke pintu didepannya dan berkata dengan lembut. “Mawar-” Sayangnya, sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, cambuk itu telah menyambarnya kembali sehingga ia kembali merintih. Ceplak!!! “Arrrk” Menahan rasa sakitnya, pria muda itu kemudain melanjutkan perkataannya, “Ayo kita pulang.” Ceplak!!! “Arkkkk!!!” Sekali lagi, cambuk itu mengenai tubuhnya tetapi sepertinya rasa sakit itu sama sekali tidak menghentikannya untuk terus memandang ke arah dimana isterinya saat ini berada. Pemandangan itu tentu saja membuat seluruh orang di kampung itu merasa iba. Bahkan beberapa wanita disana sampai menangis karena melihat ketulusan dari pria muda yang ingin mengambil hati isterinya kembali itu. Rasanya, para
. . . “Jay… Kumohon jangan mati Jay!” Isaknya di punggung suaminya itu. Dengan pilu, ia terus memukuli punggung Jayden berharap bahwa pria itu tidak mati begitu saja sebelum menjelaskan semuanya. “Jay, bagaimana ini? Kau sudah menculikku... hiks.. kau sudah mengambil hatiku… dan sekarang kau meninggalkanku. Hiks…” Tidak mendapat jawaban dari tubuh itu, Mawar kemudian memeluk tubuh suaminya itu dengan sangat erat dan berbisik di telinganya. “Aku mencintaimu Jay… Jay!!!!!!! Kau dengar aku atau tidak?!!!!!!!!” Sekuat tenaga Mawar berteriak dalam isakannya yang membuat seluruh orang disana menitikkan air mata mereka karena begitu terharu. Wanita itu, sepertinya juga sangat mencintai suaminya. Lalu mengapa mereka berdua bisa berakhir seperti itu?! Batin mereka di dalam hati masing-masing sebelum akhirnya sebuah suara mengagetkan mereka semua. “Ma-war.” Suara itu terdengar begitu lirih dan hampir-hampir tidak terdengar
. . . Brak! Setelah memasuki rumah panggung disana, dengan satu tangannya, Jayden kemudian menutup pintu dan jendela dengan sangat rapat. Bahkan,tadi sebelum menutup jendela, pria itu terlihat menyambar robot J dan melemparnya begitu saja ke luar rumah hingga robot itu mengeluarkan suara kesakitan. Setelah semua tertutup, seketika Jayden menurunkan tubuh yang digendongnya itu dan menghimpitnya didepan dinding kayu rumah itu. “J-ja-jay? Ke-ke-kenapa? A-ada apa denganmu?” Dengan terbata-bata Mawar yang saat ini tengah disudutkan di dinding itu kemudian bertanya kepada pria yang saat ini menatap tajam ke arah dirinya. Bagai se-ekor burung elang, pria itu terus menatapnya sehingga membuat tubuh Mawar bergetar seketika. “Jay. Ada ap- Emmm,,,” Sebelum menyelesaikan pertanyaannya, seketika bibir wanita itu telah kembali ditangkup oleh bibir milik Jayden yang tanpa aba-aba langsung menyambarnya. Merasakan ciuman itu, Mawa
. . . Matahari telah terbit begitu tinggi di perkampungan Pulau Henai. Semua orang telah berangkat bekerja baik di kebun anggur, menangkap ikan maupun mencari kayu bakar di hutan disekitar sana. Sehingga suasana sepi sangat terasa di perkampungan itu, menyisakan dua insan yang masih tertidur setelah malam panjang mereka. Berbalutkan selimut yang tipis, pasangan suami isteri itu saling berpelukan dengan tubuh mereka yang masih belum mengenakan apapun. Waktu telah berlalu dengan cepat hingga akhirnya salah satu dari mereka terbangun karena sorot matahari pada celah kecil dinding kayu itu yang menyilaukan. Mengerjapkan matanya, wanita itu dapat merasakan rasa sakit yang seketika menjalar disekujur tubuhnya hingga ia akhirnya ia menyadari kehadiran sebuah tangan besar yang terus meraba-raba tubuhnya. “Arrkkkk!” Teriak Mawar seketika sebelum akhirnya ia memukul kepala suaminya itu untuk membangunkannya. “Brengsek kau Jay! Arrk!
. . . Sementara itu, didepan rumah kepala suku, beberapa orang telah berkumpul karena sesuatu hal aneh telah terjadi di perkampungan itu. “Kepala suku… Bagaimana ini?” Tanya seorang tetua yang saat ini begitu sedih karena isterinya telah hilang. Kemarin, tetua itu masih melihat isterinya itu pergi bekerja. Lalu setelah itu, ia melihat isterinya pulang dengan membawa Mawar. Kebetulan, sesuatu hal aneh sempat dirasakan oleh tetua itu karena suara sang isteri sedikit berbeda. Tetapi, ia tidak bisa mengkonfirmasinya karena Tuan Jayden tiba-tiba saja berkunjung ke perkampungan mereka dan membuat kehebohan. Dan setelahnya, ia tidak berjumpa dengan isterinya lagi, namun hanya sebuah benda aneh yang ditemuinya. “Apa ini?” Kepala suku itu bertanya-tanya di dalam hatinya, tetapi ia tidak menemukan jawabannya. Sampai kemudian, seseorang yang mereka kenal tiba-tiba saja muncul di belakang mereka dan memberikan sebuah penjelasan.
. . . Sementara itu, di pulau kecil disamping Pulau Henai, Bos Li yang saat ini sedang berjemur di atas pasir putih dengan celana pantai bergambar daun kelapa nampaknya dikejutkan oleh kehadiran pembantunya. “Bos! Bos!” Dari atas perahu kayu, Kasim terlihat berlarian dan tersandung-sandung untuk menghampiri Bos besarnya yang sedang menatap nanar dirinya. Menegakkan tubuhnya, Bos Li kemudian duduk di atas pasir dan menanti suruhannya itu datang. Sebetulnya, bos Li berharap jika pesuruhnya itu lebih elegan disaat menghampirinya. Tetapi sudahlah, Kasim memang orangnya seperti itu. Sehingga, Bos Li hanya bisa membiasakan dirinya dengan Kasim yang selalu mengagetkannya. “Bos! Bos! Hah…hah…” Ter-engah-engah, Kasim mengatur nafasnya karena ia berlari begitu cepat. “Bicaralah.” Bos Li sudah tidak sabar mendengar sehingga ia kemudian membentak pesuruhnya itu. “Cepat Sim….!” Bos Li semakin tidak tahan dan ia kembali mengambil tongkat dis