Sulit bagi seseorang untuk menyadari, bahwa ia tengah jatuh cinta.
Namun, jauh lebih sulit bagi seseorang untuk membuktikan bahwa ia setia.
* * *
Gua ada di depan rumah Aiza pagi ini, tapi tuh anak gak tau lagi ada di mana atau sama siapa. Bukan tanpa alasan juga kenapa pagi buta ada di rumah si jangkung itu. Ini karena semalaman tadi, Eiliyah gak bales chat atau angkat telepon gua setelah kejadian siang kemarin.
Alasan yang masih sama sampai gua mulai gak ngerti sama pikiran sendiri, 'keinginan Eiliyah buat membuka mata batin dia yang ditolak Aiza tempo hari'. Adalah pemicu semua masalah, kenapa dia gak balas pesan dari gua. Dan penyebab yang paling jelas adalah, si jangkung yang melambaikan tangan ke arah gua dengan santuynya. Aiza!
"Lu dari mana aja bangsat! Chat gak dibales juga lu!" Omel gua kesal karena hampir 30 menit ngejogrog di depan gerbang.
"Hehehe, sori gua baru p
sampin
Naya yang tangguh, gadis kecil yang berpikiran luas.* * *Saat itu Naya baru berumur tujuh tahun, sementara Aiza masih berada di kelas satu SMP. Kejadian itu bermula ketika Nay' sering sekali berbicara dengan mereka, ya rumah mereka memang sudah pindah. Tapi sepertinya karena Aiza mengenal mereka, Naya memanggil mereka. Sejak diceritakan Aiza walau bocah itu tak dapat melihat mereka, Naya bisa berkomunikasi dengan mereka dan menceritakan apapun pada Aiza. Walau kakaknya sedikit merasa cemas, tetapi ada yang berbeda dari Naya, sesuatu yang tak dimiliki Aiza."Kak Za, mau ikut kita?" Mereka berdua sedang berada di kamar, Za sibuk dengan pekerjaan rumah sementara Nay' membaca buku."Kita? Ikut kemana Nay'?" Naya malah tersenyum, menghampiri sang kakak dan memegangi tangannya."Elmo, Berend dan Lara bilang mereka akan mengajak kita lihat rumah mereka.""Tapi.. aku tidak bisa
Keberuntungan atau kesialan, Aiza tidak tau mana yang harus ia genggam. * * * Setelah bersilaturahmi dan mengobrol di dalam menyapa kakek dan nenek mereka, Naya dan Aiza sedang duduk di kursi di dekat perkebunan teh. Pemuda itu menghirup udara segar pegunungan dengan antusias, sekelebat ingatan mengenai kandang merpati di depannya nampak terngiang. Dia pernah melihatnya, juga pohon Cemara besar beberapa meter dari mereka juga. Lalu... "Bagaimana rasanya?" Tanya Naya memecah lamunan si lelaki jangkung itu, "setelah begitu lama kakak memilih untuk menutup mata ke enam, lalu.. walah! Tiba-tiba semua bermunculan di depan mata Kak Za." Naya nampak antusias dengan kondisi kakaknya, pemuda itu tersenyum sebelum menjawab. "Hm... Mungkin seperti makan permen asam manis, tapi ternyata isinya mint pahit. Lalu.. tiba-tiba ada bum bum bum! Letupan di lidah semakin diresapi, semakin paham rasa manis muncul dipotongan ter
Seharusnya jangan datang, malam itu adalah malam untuk mereka berpesta pora.* * *Eiliyah benar-benar datang, namun seseorang mengikutinya. Seseorang yang memaksa wanita itu untuk tidak melanjutkan keinginannya, namun keputusan si nona berambut pendek itu tak akan pernah bisa berubah. Maka jadilah lelaki itu datang dengannya, kerumah Aiza dimana ia pernah tumbuh di sana dan kembali tinggal seorang diri di rumah tua itu.Begitu Aiza membuka pintu tentu tak aneh baginya, menemukan dua wajah itu di depan rumahnya. Lelaki jangkung dengan kantung mata hitam itu, mempersilahkan keduanya untuk masuk. Seseorang di dalam menyambut mereka dengan hangat, gadis cantik berkerudung pink sakura mempersilahkan mereka masuk. Wira tertegun melihatnya, dia kenal siapa gadis itu."Nayanika! Kenapa ada di sini?" Tanya Wira bingung, melirik pada Aiza yang malah berlalu. Bukan tanpa sebab lelaki itu tak menjawab Wira, si kuncir itu per
Selagi masih hidup, mari tuntaskan segala bentuk penyesalan. Jangan sampai engkau menangis, di dunia lain yang tak bisa di ulang. * * * Rasa bersalah, kecewa, penyesalan, amarah, iri, dengki, hingga sedih yang tak bisa dimengerti. Bagi orang lain masalah kita, bagaikan sebutir debu. Namun bagi kita sendiri, mungkin terasa bagai semesta. Tidak ada yang salah jika tak merasa baik-baik saja, tapi yang menjadi salah adalah ketika kita memilih cara yang tak tepat untuk menyelesaikan permasalahan. Eiliyah menanggung rasa bersalah itu sendirian, tak mengatakan pada kedua orang tuanya bagaimana perasaannya selama ini. Ia memilih menyimpan perasaan tak nyaman itu, hingga akhirnya menumpuk menjadi sebuah penyakit hati dan penyesalan diri. Andai ia bisa memutar waktu, ia ingin mengatakan semua perasaanya pada mereka. Bagaimana ia merasa ditinggalkan dan tak diperlakukan adil, hingga ia tak harus mengabaikan kakaknya di detik-detik terakhir
Mata kita berbeda, kau yang melihat keramaian sementara aku melihat kesunyian. * * * Eiliyah menangis semalaman, hingga ia ketiduran di ruang tamu. Untung saja ada Naya, kalau tidak si kuncir itu akan ngamuk beralasan cemburu. Namun sepertinya antara Naya dan Wira, masih ada hal yang harus di selesaikan. Tentu saja Aiza tau, tapi tidak biarkan dulu mereka bicara empat mata. Mereka berdua duduk di kursi depan, Aiza sedang membuat kopi sebelum nimbrung dengan mereka berdua. Wira selalu menarik napas di samping gadis berkerudung pink sakura itu dari tadi. Sementara Naya masih juga sibuk dengan gadgetnya. "Mau ngomongin apa Kak Wira?" "Hah! Ngo-ngomong apa?" "Ck. Kakak ngajak aku duduk di sini, pasti ngehindarin kuping Kak Aiza kan. Lalu, kakak mau ngomong apa?" Ini dia yang kadang buat Wira salah tingkah, selain karena Naya suka sekali terus terang gadis ini
Dunia kami memang sempit, tapi mata kami luas untuk melihat segalanya. * * * Untuk pertama kalinya keluarga besar berkumpul di rumah kakek. Naya dan Aiza bertemu dengan saudara dari ayah dan ibunya, ini juga kesempatan untuk Kang Dimas memperkenalkan calon istrinya. Juga merayakan kelulusan Aiza dan masuk sekolahnya Naya, serta kelahiran sepupu mereka. Pertemuan keluarga yang sangat meriah, Aiza dan Naya merasa diterima menjadi bagian dari mereka. Karena dulu Enah selalu merasa sendiri, ketakutan dan tak memiliki harapan melihat kedua anaknya justru memiliki mata seperti ayah mereka. Bagi Enah orang dewasa bisa melakukan sesuatu, jika sesuatu hal terjadi pada mereka tapi tidak untuk anak-anak. Tentu saja pikiran dan kondisi perasaan takut ini lah, yang cenderung menekan perasaan Enah dengan cemas berlebihan. Tapi setelah melihat keadaan yang sesungguhnya, wajah Enah pun tak terlalu tegang seperti dulu. Sepertinya Enah juga merasa
Kita punya dunia masing-masing, walau tak terlihat mereka saling berhadapan. * * * Huaaa...! Hampir sepanjang hari mereka berdua menguap, bahkan guru senior menertawakan mereka. Namun ada seseorang yang nampaknya, sudah bisa tidur nyenyak sekarang. Bagi Wira kurang tidur sebenarnya bukan masalah besar, kalau saja besoknya dia tidak perlu pergi ke sekolah. Kesialan dan rasa lelah menghantuinya, karena dia lupa hari ini jadwalnya full sampai jam akhir KBM. Rasanya dia ingin pura-pura sakit dan pulang saja, tapi ingat cicilan dan honor yang tak seberapa ditelan bulat-bulat semua pikirannya tadi. Mata sayup-sayup itu melirik Aiza, yang baru kembali dari kantin sekolah. Lelaki jangkung itu sepertinya sudah biasa tidak tidur, buktinya walau kantung matanya hitam dan menguap dia masih juga kesana kemari. Wira menempatkan wajahnya di atas meja, ketika Aiza meletakkan dua gelas cangkir kopi di sana. Aroma ca
Kalian harus bersyukur, memiliki mata tak melihat dunia gelap. Kalau kalian mampu melihatnya, dunia ini sangat pengap.* * *Subuh hari Wira dan Eiliyah pulang dari rumah Aiza, satu alasan yang sama mereka tamu dan lelaki gondrong itu punya jam mengajar siang nanti. Sementara Eiliyah setelah malam panjangnya, berterimakasih karena tak ada jam mengajar.Setelah pamit dari Aiza dan berterima kasih kepada Nayanika, sepertinya pertemanan baru terbentuk di antara dua wanita itu. Satu kesamaan mereka adalah keduanya memiliki kemauan yang keras, tapi bisa sangat tenang dan pendiam secara bersamaan.Diperjalanan pulang arunika di sela-sela pohon dan dedaunan, menyambut pagi hari itu dengan nyanyian alam yang tenang. Hati Eiliyah sudah lebih lapang setelah menyimpan penyesalan, yang selama ini ia pendam sendirian. Kini seperti gambaran burung di langit pagi yang terbang berkelompok, dan fajar baswara yang hangat. Senyumnya