Tidak ada yang berubah, hanya keadaan yang membuat kita sedikit berbeda.
* * *
Setelah kejadian Taklif, pertemuan dengan Wa Ega, hingga kenyataan yang harus aku terima. Bahwa mata ke enam ini, memang sudah menjadi kehendak yang kuasa. Suka tidak suka, harus aku terima. Lebih tepatnya mungkin, mentalku sudah harus terbiasa bahwa penglihatan ini memang harus dimiliki. Tuhan pasti punya rencana, sayang entah apa itu yang belum dipahami.
Pulang dari rumah Wa Ega, ibu memelukku erat-erat. Rasanya ada sesuatu yang membuatnya sesak, sepertinya tangis yang tertahan sejak dulu. Mata lelah dengan air mata dipelupuknya, dan wajah cemasnya. Apa lagi yang ku perbuat kali ini? Pikirku sudah kacau rasanya.
"Mau ketemu kakek?" Ibu bertanya bahkan sebelum ia menyuruhku masuk ke dalam rumah. Apa beliau akan selalu tau seperti ini, walau aku tidak mengatakannya.
"Kapan-kapan aja Enah, Za kan belum
Sulit bagi seseorang untuk menyadari, bahwa ia tengah jatuh cinta. Namun, jauh lebih sulit bagi seseorang untuk membuktikan bahwa ia setia. * * * Gua ada di depan rumah Aiza pagi ini, tapi tuh anak gak tau lagi ada di mana atau sama siapa. Bukan tanpa alasan juga kenapa pagi buta ada di rumah si jangkung itu. Ini karena semalaman tadi, Eiliyah gak bales chat atau angkat telepon gua setelah kejadian siang kemarin. Alasan yang masih sama sampai gua mulai gak ngerti sama pikiran sendiri, 'keinginan Eiliyah buat membuka mata batin dia yang ditolak Aiza tempo hari'. Adalah pemicu semua masalah, kenapa dia gak balas pesan dari gua. Dan penyebab yang paling jelas adalah, si jangkung yang melambaikan tangan ke arah gua dengan santuynya. Aiza! "Lu dari mana aja bangsat! Chat gak dibales juga lu!" Omel gua kesal karena hampir 30 menit ngejogrog di depan gerbang. "Hehehe, sori gua baru p
Naya yang tangguh, gadis kecil yang berpikiran luas.* * *Saat itu Naya baru berumur tujuh tahun, sementara Aiza masih berada di kelas satu SMP. Kejadian itu bermula ketika Nay' sering sekali berbicara dengan mereka, ya rumah mereka memang sudah pindah. Tapi sepertinya karena Aiza mengenal mereka, Naya memanggil mereka. Sejak diceritakan Aiza walau bocah itu tak dapat melihat mereka, Naya bisa berkomunikasi dengan mereka dan menceritakan apapun pada Aiza. Walau kakaknya sedikit merasa cemas, tetapi ada yang berbeda dari Naya, sesuatu yang tak dimiliki Aiza."Kak Za, mau ikut kita?" Mereka berdua sedang berada di kamar, Za sibuk dengan pekerjaan rumah sementara Nay' membaca buku."Kita? Ikut kemana Nay'?" Naya malah tersenyum, menghampiri sang kakak dan memegangi tangannya."Elmo, Berend dan Lara bilang mereka akan mengajak kita lihat rumah mereka.""Tapi.. aku tidak bisa
Keberuntungan atau kesialan, Aiza tidak tau mana yang harus ia genggam. * * * Setelah bersilaturahmi dan mengobrol di dalam menyapa kakek dan nenek mereka, Naya dan Aiza sedang duduk di kursi di dekat perkebunan teh. Pemuda itu menghirup udara segar pegunungan dengan antusias, sekelebat ingatan mengenai kandang merpati di depannya nampak terngiang. Dia pernah melihatnya, juga pohon Cemara besar beberapa meter dari mereka juga. Lalu... "Bagaimana rasanya?" Tanya Naya memecah lamunan si lelaki jangkung itu, "setelah begitu lama kakak memilih untuk menutup mata ke enam, lalu.. walah! Tiba-tiba semua bermunculan di depan mata Kak Za." Naya nampak antusias dengan kondisi kakaknya, pemuda itu tersenyum sebelum menjawab. "Hm... Mungkin seperti makan permen asam manis, tapi ternyata isinya mint pahit. Lalu.. tiba-tiba ada bum bum bum! Letupan di lidah semakin diresapi, semakin paham rasa manis muncul dipotongan ter
Seharusnya jangan datang, malam itu adalah malam untuk mereka berpesta pora.* * *Eiliyah benar-benar datang, namun seseorang mengikutinya. Seseorang yang memaksa wanita itu untuk tidak melanjutkan keinginannya, namun keputusan si nona berambut pendek itu tak akan pernah bisa berubah. Maka jadilah lelaki itu datang dengannya, kerumah Aiza dimana ia pernah tumbuh di sana dan kembali tinggal seorang diri di rumah tua itu.Begitu Aiza membuka pintu tentu tak aneh baginya, menemukan dua wajah itu di depan rumahnya. Lelaki jangkung dengan kantung mata hitam itu, mempersilahkan keduanya untuk masuk. Seseorang di dalam menyambut mereka dengan hangat, gadis cantik berkerudung pink sakura mempersilahkan mereka masuk. Wira tertegun melihatnya, dia kenal siapa gadis itu."Nayanika! Kenapa ada di sini?" Tanya Wira bingung, melirik pada Aiza yang malah berlalu. Bukan tanpa sebab lelaki itu tak menjawab Wira, si kuncir itu per
Selagi masih hidup, mari tuntaskan segala bentuk penyesalan. Jangan sampai engkau menangis, di dunia lain yang tak bisa di ulang. * * * Rasa bersalah, kecewa, penyesalan, amarah, iri, dengki, hingga sedih yang tak bisa dimengerti. Bagi orang lain masalah kita, bagaikan sebutir debu. Namun bagi kita sendiri, mungkin terasa bagai semesta. Tidak ada yang salah jika tak merasa baik-baik saja, tapi yang menjadi salah adalah ketika kita memilih cara yang tak tepat untuk menyelesaikan permasalahan. Eiliyah menanggung rasa bersalah itu sendirian, tak mengatakan pada kedua orang tuanya bagaimana perasaannya selama ini. Ia memilih menyimpan perasaan tak nyaman itu, hingga akhirnya menumpuk menjadi sebuah penyakit hati dan penyesalan diri. Andai ia bisa memutar waktu, ia ingin mengatakan semua perasaanya pada mereka. Bagaimana ia merasa ditinggalkan dan tak diperlakukan adil, hingga ia tak harus mengabaikan kakaknya di detik-detik terakhir
Mata kita berbeda, kau yang melihat keramaian sementara aku melihat kesunyian. * * * Eiliyah menangis semalaman, hingga ia ketiduran di ruang tamu. Untung saja ada Naya, kalau tidak si kuncir itu akan ngamuk beralasan cemburu. Namun sepertinya antara Naya dan Wira, masih ada hal yang harus di selesaikan. Tentu saja Aiza tau, tapi tidak biarkan dulu mereka bicara empat mata. Mereka berdua duduk di kursi depan, Aiza sedang membuat kopi sebelum nimbrung dengan mereka berdua. Wira selalu menarik napas di samping gadis berkerudung pink sakura itu dari tadi. Sementara Naya masih juga sibuk dengan gadgetnya. "Mau ngomongin apa Kak Wira?" "Hah! Ngo-ngomong apa?" "Ck. Kakak ngajak aku duduk di sini, pasti ngehindarin kuping Kak Aiza kan. Lalu, kakak mau ngomong apa?" Ini dia yang kadang buat Wira salah tingkah, selain karena Naya suka sekali terus terang gadis ini
Dunia kami memang sempit, tapi mata kami luas untuk melihat segalanya. * * * Untuk pertama kalinya keluarga besar berkumpul di rumah kakek. Naya dan Aiza bertemu dengan saudara dari ayah dan ibunya, ini juga kesempatan untuk Kang Dimas memperkenalkan calon istrinya. Juga merayakan kelulusan Aiza dan masuk sekolahnya Naya, serta kelahiran sepupu mereka. Pertemuan keluarga yang sangat meriah, Aiza dan Naya merasa diterima menjadi bagian dari mereka. Karena dulu Enah selalu merasa sendiri, ketakutan dan tak memiliki harapan melihat kedua anaknya justru memiliki mata seperti ayah mereka. Bagi Enah orang dewasa bisa melakukan sesuatu, jika sesuatu hal terjadi pada mereka tapi tidak untuk anak-anak. Tentu saja pikiran dan kondisi perasaan takut ini lah, yang cenderung menekan perasaan Enah dengan cemas berlebihan. Tapi setelah melihat keadaan yang sesungguhnya, wajah Enah pun tak terlalu tegang seperti dulu. Sepertinya Enah juga merasa
Kita punya dunia masing-masing, walau tak terlihat mereka saling berhadapan. * * * Huaaa...! Hampir sepanjang hari mereka berdua menguap, bahkan guru senior menertawakan mereka. Namun ada seseorang yang nampaknya, sudah bisa tidur nyenyak sekarang. Bagi Wira kurang tidur sebenarnya bukan masalah besar, kalau saja besoknya dia tidak perlu pergi ke sekolah. Kesialan dan rasa lelah menghantuinya, karena dia lupa hari ini jadwalnya full sampai jam akhir KBM. Rasanya dia ingin pura-pura sakit dan pulang saja, tapi ingat cicilan dan honor yang tak seberapa ditelan bulat-bulat semua pikirannya tadi. Mata sayup-sayup itu melirik Aiza, yang baru kembali dari kantin sekolah. Lelaki jangkung itu sepertinya sudah biasa tidak tidur, buktinya walau kantung matanya hitam dan menguap dia masih juga kesana kemari. Wira menempatkan wajahnya di atas meja, ketika Aiza meletakkan dua gelas cangkir kopi di sana. Aroma ca
Tak ada yang tau bagaimana jalan cerita ini. Cerita hidupku, dan masa depanku. Maka dari itu aku butuh seseorang meyakinkan ku. Bahwa semua ini bisa kami jalani bersama. * * * Satu malam sebelum hari pernikahan tiba esok. Naya memilih duduk di kursi santai yang tepat menghadap kolam renang hotel. Tempat di mana acara pernikahan mereka akan dilaksanakan. Mungkin menakutkan ya memang, apa lagi pandangan mata Naya tidak sama seperti yang lainnya. Namun kali ini, dia merasa akan baik-baik saja. Salah satunya karena Aiza duduk di sampingnya. Malam itu langit bertabur bintang, cerah seperti yang mereka inginkan. Kedua kakak beradik ini akan terpisah jarak dan waktu. Tetapi bagi keduanya, tidak ada penyesalan yang harus mereka sesali. Sementara Nayanika menatap bintang, Aiza menunggu apa yang ingin adiknya itu sampaikan. Lelaki jangkung itu sedikit bingung. Untuk apa Naya memanggilnya tiba-tiba. Apa lagi di tempat sepert
Mungkin mata ku tidak akan bisa melihat mereka kembali.Tetapi, aku akan selalu menghormati keberadaan mereka.Mungkin tak dapat dilihat oleh mata, tetapi bisa di mengerti melalui Sang Pencipta.* * *Aku menelepon kakek dan menceritakan perihal mimpi itu. Tentang sosok yang kutemui, taman itu, dan dua gerbang dunia di sana yang berbeda. Air yang aku minum dan juga kulihat. Lalu kakek bilang aku sangat beruntung. Ada makna dalam mimpi tersebut, satu mengenai bagaimana caraku menggunakan kemampuan melihat makhluk itu. Kedua mengenai bagaimana selama ini aku membantu dengan kemampuan itu, dan yang ketiga adalah apa yang terjadi jika aku menggunakannya dengan tidak bijaksana. Juga, mengenai balasan apa yang akan diterima jika perbuatan kita baik atau buruk.Namun kakek mengingatkan bahwa, semua kembali pada cara ku memperlakukan kehidupan.Surya telah mengatakannya pada Enah dan Bapak. Aku mengantarkann
Aku tidak yakin. Tentang semua hal saat ini.* * *Setelah obrolan dengan Suryakanta, Nayanika duduk di gazebo halaman belakang di subuh hari. Ngeri betul kalau ada yang melihat gadis itu sendirian. Mereka pasti akan mengatakan ada penampakan kuntilanak. Walau sebenarnya memang ada sih di pohon besar sana. Di salah satu halaman tetanggangganya.Naya sudah kenal dengan sosok wanita itu. Tetapi berkat perlindungan kakek, dia tidak bisa masuk ke sini. Makanya sesekali Naya yang mengunjunginya. Hanya saja subuh ini mereka hanya saling menyapa lewat semilir angin."Aku gak mau canggum lagi di kantor, jadi. Malam ini aku mau ngomong sama kamu Nay!""Bentar. Ngomong apaan?""Tentang ucapan kakek atau Kak Aiza." Hening sejenak, "..walau tanpa restu mereka pun. Aku akan mengatakannya sama kamu Nay. Aku jatuh suka! Jauh sebelum ini. Saat kita masih di
Jika kakak tanyakan 'apa aku baik-baik saja?'Sebenarnya aku takut. Tetapi..Selama kalian bersama ku. Sesulit apapub itu, aku akan baik-baik saja.* * *Aku terkejut, tak berani menatap matanya ataupun melihat wajahnya. Kak Aiza mengatakan hal itu, seolah selama ini dia adalah beban untukku. Padahal, akulah yang menjadi bebannya selama ini.Sejak ia bisa melihat mereka. Sedetik pun, dia tak pernah absen mencemaskan keadaan ku. Bahkan di saat untuk pertama kalinya. Kami bisa berbagi cerita dan rahasia mengenai mereka. Kak Aiza harus bergelut dengan rasa takutnya sendiri.Benar. Aku tau Ka Aiza harus menutup indra ke enamnya karena ketakutan Enah. Bahkan ketika dia harus memilikinya kembali. Hal yang paling ia cemaskan adalah perasaan Enah. Bahkan aku juga yakin, saat ini kakak juga pasti memikirkan. 'Apa Enah akan mengetahui cerita ini. Sekali lagi?'.Aku tidak tau, bagaimana car
Sekali lagi. Ini terjadi, tetapi aku juga bertanya mengenai hal yang sama."Apa aku benar-benar telah kehilangan kemampuan itu?"* * *Jika dulu kemampuan itu membawa perpecahan diantara keluarga. Dan memilikinya kembali, juga menyatukan keluarga ini. Lalu kenapa aku merasa, justru ada yang hilang dan kehilangan arah ketika tak memilikinya?Bukankah dulu ketakutan terbesar karena memiliki kemampuan itu. Tetapi karena hal itu juga, aku bisa menolong banyak orang. Tidak. Bukan berarti aku kecewa pada keputusan ini atau.. mengapa harus sekarang kemampuan itu menghilang. Apakah kemampuan itu tidak akan kembali lagi, bahkan untuk selamanya kali ini? Bagaimana dengan Nayanika, adikku itu. Kenapa dia tidak berkata apapun jika memang benar dia sudah mengetahuinya.Tiga bocah itu! Apa mereka ada di sini. Di rumah ini? Aiza tiba-tiba bangkit dari rebahannya, lalu mengamati seisi ruangan televisi. Ia mengambil tongkat
Bolehkah, seseorang membagi tubuh dan jiwanya? Aku juga tidak mengerti menjawab perihal ini. Terlebih, setelah dunia itu tertutup kembali untukku. * * * Seva masih di sini. Dia tidak lekas menjawab perkataanku, yang tentu saja membuat rasa penasaran bertambah.Apa Niskala memang ada dengan meraka? Apa jiwa Niskala tidak tenang? Atau Seva hanya mempermainkannya saja, setelah mengetahui kebenaran dari nya? Aiza tidak yakin wanita di depannya benar-benar Niskala. Bukan kah Seva tidak bisa melihat mereka juga. Lalu, mengapa dia mengatakan hal itu? Apa Shin yang menyuruhnya untuk berakting. "Sepertinya, kau benar-benar penasaran dengan apa yang terjadi. Tapi tenang saja hahaha, aku hanya bercanda Aiza!" seva tertawa di depannya, tapi aiza tidak tahu apa itu memang layak untuk ditertawakan. "Hah.. kau tidak suka rupanya, maaf. Tapi.. ya aku berharap kakak ku, Niskala. Memang masih berada di dunia ini." Ekspresi ga
Biarkan kebenaran yang berbicara, biarkan takdir menemukan jalannya.* * *Seperti yang Aiza katakan tempo hari, dokter mengatakan bahwa sore ini Aiza sudah dapat pulang. Masalah benturan di kepalanya tidak parah, kalaupun terasa pusing itu karena ia baru saja menjalani perawatan dan kondisi darahnya belum stabil. Tangan dan kakinya yang terluka juga sudah sembuh, bersyukurlah retakan kecil di kaki kirinya tidak parah dan gips telah membantu tulangnya untuk menempel kembali dengan sempurna. Selebihnya hanya resep dokter dan menjaga pola makan agar pasien bisa lekas sembuh serta beraktivitas seperti sebelumnya.Sampai saat ia pulang dan dijemput seperti janji sobatnya itu. Aiza masih belum menyadari sesuatu, bahkan ketika Naya bereaksi memegang lengan baju Aiza dengan erat. Lelaki jangkung itu malah berkata bahwa Naya seperti bocah yang takut hilang. Karena hal itu Naya melepaskan lengan baju Aiza dengan marah, dan memilih masuk mobil
Apa ceritanya akan kembali seperti dulu?Apa semua akan baik-baik saja?* * *"Kau tidak perlu cemas. Untuk saat ini, lebih baik begini. Kaka mu tidak perlu tau bahwa ia tidak bisa melihat makhlul-makhluk itu lagi. Mungkin dengan begini kesembuhannya akan lebih cepat."Naya melamun di depan layar laptop yang kini telah padam. Pikirannya sedang tidak berada di tempat rupannya, bahkan ketika Enah datang untuk menebus obat dan kembali, ia menyaksikan anak gadis nya melamun dengan pandangan kosong ke arah layar laptop yang mati. Wanita lima puluh tahunan berkerudung pich itu melirik Aiza yang juga sejak tadi mengamati adiknya. Kakaknya itu sudah memerhatikan tingkah adiknya sejak lima belas menit yang lalu. Bahkan ketika Enah datang dan melirik dengan pandangan bertanya padanya."Kenapa adik mu?"Begitulah makna tatapan matanya. Aiza menjawab dengan mengangkat kedua pundaknya jawaban tida
Aku mempercayainya lalu aku mengikutinya, karena aku meyakininya. * * * Seperti yang sosok itu katakan, aku tidak ragu untuk menutup mataku dan melangkah terus kedepan. Tidak peduli apa nanti akan tersesat atau tidak, dia bilang 'percayalah pada apa yang engkau yakini'. Lalu aku merasa walau mata tertutup, jalan itu membentang luas dipenglihatanku. Seolah sesuatu menarik dari arah depan sana, agar terus melangkah tanpa ragu. Lalu sayup-sayup suara doa-doa menggema, makin lama semakin terdengar jelas. Lagi-lagi seperti katanya, suara yang aku kenal dan kurindukan. Enah mengaji dan berdoa memanggil namaku berulang kali, hingga cahaya itu yang teramat menyilaukan membuat mata terbuka dan kulihat langit pucat ciri khas rumah sakit. "MasyaAllah! Alhamdulillah...Aiza! Aiza, ini Enah Za.MasyaAllah,bapak! Aiza bangun Pak!" Lalu suara bapak dan Naya juga terdengar, dan begitulah sampai akhirnya aku bena