Seharusnya jangan datang, malam itu adalah malam untuk mereka berpesta pora.
* * *
Eiliyah benar-benar datang, namun seseorang mengikutinya. Seseorang yang memaksa wanita itu untuk tidak melanjutkan keinginannya, namun keputusan si nona berambut pendek itu tak akan pernah bisa berubah. Maka jadilah lelaki itu datang dengannya, kerumah Aiza dimana ia pernah tumbuh di sana dan kembali tinggal seorang diri di rumah tua itu.
Begitu Aiza membuka pintu tentu tak aneh baginya, menemukan dua wajah itu di depan rumahnya. Lelaki jangkung dengan kantung mata hitam itu, mempersilahkan keduanya untuk masuk. Seseorang di dalam menyambut mereka dengan hangat, gadis cantik berkerudung pink sakura mempersilahkan mereka masuk. Wira tertegun melihatnya, dia kenal siapa gadis itu.
"Nayanika! Kenapa ada di sini?" Tanya Wira bingung, melirik pada Aiza yang malah berlalu. Bukan tanpa sebab lelaki itu tak menjawab Wira, si kuncir itu per
Selagi masih hidup, mari tuntaskan segala bentuk penyesalan. Jangan sampai engkau menangis, di dunia lain yang tak bisa di ulang. * * * Rasa bersalah, kecewa, penyesalan, amarah, iri, dengki, hingga sedih yang tak bisa dimengerti. Bagi orang lain masalah kita, bagaikan sebutir debu. Namun bagi kita sendiri, mungkin terasa bagai semesta. Tidak ada yang salah jika tak merasa baik-baik saja, tapi yang menjadi salah adalah ketika kita memilih cara yang tak tepat untuk menyelesaikan permasalahan. Eiliyah menanggung rasa bersalah itu sendirian, tak mengatakan pada kedua orang tuanya bagaimana perasaannya selama ini. Ia memilih menyimpan perasaan tak nyaman itu, hingga akhirnya menumpuk menjadi sebuah penyakit hati dan penyesalan diri. Andai ia bisa memutar waktu, ia ingin mengatakan semua perasaanya pada mereka. Bagaimana ia merasa ditinggalkan dan tak diperlakukan adil, hingga ia tak harus mengabaikan kakaknya di detik-detik terakhir
Mata kita berbeda, kau yang melihat keramaian sementara aku melihat kesunyian. * * * Eiliyah menangis semalaman, hingga ia ketiduran di ruang tamu. Untung saja ada Naya, kalau tidak si kuncir itu akan ngamuk beralasan cemburu. Namun sepertinya antara Naya dan Wira, masih ada hal yang harus di selesaikan. Tentu saja Aiza tau, tapi tidak biarkan dulu mereka bicara empat mata. Mereka berdua duduk di kursi depan, Aiza sedang membuat kopi sebelum nimbrung dengan mereka berdua. Wira selalu menarik napas di samping gadis berkerudung pink sakura itu dari tadi. Sementara Naya masih juga sibuk dengan gadgetnya. "Mau ngomongin apa Kak Wira?" "Hah! Ngo-ngomong apa?" "Ck. Kakak ngajak aku duduk di sini, pasti ngehindarin kuping Kak Aiza kan. Lalu, kakak mau ngomong apa?" Ini dia yang kadang buat Wira salah tingkah, selain karena Naya suka sekali terus terang gadis ini
Dunia kami memang sempit, tapi mata kami luas untuk melihat segalanya. * * * Untuk pertama kalinya keluarga besar berkumpul di rumah kakek. Naya dan Aiza bertemu dengan saudara dari ayah dan ibunya, ini juga kesempatan untuk Kang Dimas memperkenalkan calon istrinya. Juga merayakan kelulusan Aiza dan masuk sekolahnya Naya, serta kelahiran sepupu mereka. Pertemuan keluarga yang sangat meriah, Aiza dan Naya merasa diterima menjadi bagian dari mereka. Karena dulu Enah selalu merasa sendiri, ketakutan dan tak memiliki harapan melihat kedua anaknya justru memiliki mata seperti ayah mereka. Bagi Enah orang dewasa bisa melakukan sesuatu, jika sesuatu hal terjadi pada mereka tapi tidak untuk anak-anak. Tentu saja pikiran dan kondisi perasaan takut ini lah, yang cenderung menekan perasaan Enah dengan cemas berlebihan. Tapi setelah melihat keadaan yang sesungguhnya, wajah Enah pun tak terlalu tegang seperti dulu. Sepertinya Enah juga merasa
Kita punya dunia masing-masing, walau tak terlihat mereka saling berhadapan. * * * Huaaa...! Hampir sepanjang hari mereka berdua menguap, bahkan guru senior menertawakan mereka. Namun ada seseorang yang nampaknya, sudah bisa tidur nyenyak sekarang. Bagi Wira kurang tidur sebenarnya bukan masalah besar, kalau saja besoknya dia tidak perlu pergi ke sekolah. Kesialan dan rasa lelah menghantuinya, karena dia lupa hari ini jadwalnya full sampai jam akhir KBM. Rasanya dia ingin pura-pura sakit dan pulang saja, tapi ingat cicilan dan honor yang tak seberapa ditelan bulat-bulat semua pikirannya tadi. Mata sayup-sayup itu melirik Aiza, yang baru kembali dari kantin sekolah. Lelaki jangkung itu sepertinya sudah biasa tidak tidur, buktinya walau kantung matanya hitam dan menguap dia masih juga kesana kemari. Wira menempatkan wajahnya di atas meja, ketika Aiza meletakkan dua gelas cangkir kopi di sana. Aroma ca
Kalian harus bersyukur, memiliki mata tak melihat dunia gelap. Kalau kalian mampu melihatnya, dunia ini sangat pengap.* * *Subuh hari Wira dan Eiliyah pulang dari rumah Aiza, satu alasan yang sama mereka tamu dan lelaki gondrong itu punya jam mengajar siang nanti. Sementara Eiliyah setelah malam panjangnya, berterimakasih karena tak ada jam mengajar.Setelah pamit dari Aiza dan berterima kasih kepada Nayanika, sepertinya pertemanan baru terbentuk di antara dua wanita itu. Satu kesamaan mereka adalah keduanya memiliki kemauan yang keras, tapi bisa sangat tenang dan pendiam secara bersamaan.Diperjalanan pulang arunika di sela-sela pohon dan dedaunan, menyambut pagi hari itu dengan nyanyian alam yang tenang. Hati Eiliyah sudah lebih lapang setelah menyimpan penyesalan, yang selama ini ia pendam sendirian. Kini seperti gambaran burung di langit pagi yang terbang berkelompok, dan fajar baswara yang hangat. Senyumnya
Perjalanan mereka tak akan pernah sepi, mungkin karena tiga kawan sejak kecil malah ikut nimbrung. * * * Naya bilang Mas Gahara merencanakan pertemuan di rumah kakek, sepertinya ada yang ingin mereka sampaikan. Tentu saja mau tidak mau kami harus pergi, menggunakan motor menuju pejalanan yang lumayan jauh. Enah dan Bapak akan berangkat duluan, karena kami berdua harus ijin ke instansi masing-masing. Naya rupanya mendapat pekerjaan di daerah tempat Aiza tinggal, katanya berhubungan dengan perusahaan startup. Pintar sekali gadis itu mencari celah, agar Aiza tak bisa menolak permintaannya dengan lulus seleksi penerimaan karyawan terlebih dahulu. Sekarang mereka berdua sudah berada di seperempat perjalanan, namun bukan duo rusuh kalau keduanya mengalami perjalanan yang biasa saja. Siapa lagi orang yang selalu kepo duluan kalau bukan Naya, sampai-sampai Aiza harus memperingatkan gadis itu berkali-kali. &
Sahabat itu dikenang, diingat, dipertahankan, bukan dilupakan.* * *Kami berdua pergi ke pemakaman Taklif, sebuah tempat yang tak cukup jauh dari pemukiman warga. Hanya berjarak beberapa puluh meter, dengan gapura di depan pintu sebagai penanda dan benteng berukuran satu meter sebagai pembatas. Tempat itu juga tidak sulit dicari, alasannya karena pohon beringin besar yang tepat terdapat di tengah-tengah pemakaman.Aiza selalu serba salah kalau ia harus pergi ke pemakaman, entah suka atau tidak suka. Pohon besar dan kuburan pasti selalu membuat ia juga kalang kabut, bukan takut tapi aura sekitar yang kadang membuat ia merinding. Padahal hanya berkunjung untuk mendoakan kerabat, tapi yang say hello malah dapat yang tak disangka-sangka. Bahkan yang lebih parahnya sekarang, Wira juga ikut-ikutan ketakutan segala. Baiklah salahkan dia lagi, mungkin. Karena memiliki sahabat yang bisa melihat dunia sana, membuat Wira jadi mulai mengasah kep
Tidak enaknya menjadi mereka yang memiliki mata ke enam adalah, kau selalu dianggap cenayang oleh orang awam.* * *Aiza dan Nayanika tiba di rumah kakek, siapa orang yang pertama kali menyambut mereka kalau bukan Gahara lagi. Kakak sepupu mereka yang berkacamata, tinggi, beralis tebal dengan rahang kokoh itu sekarang tengah menatap tajam mereka berdua. Mungkin lebih tepatnya ke arah Naya, yang sekarang bersembunyi di belakang punggung Aiza, lagi.Gahara sudah bersidekap dada, kali ini kakak sepupu mereka itu pasti sudah tau apa yang terjadi di jalan tanpa harus Aiza menceritakannya. Namun sepertinya kali ini bukan hanya Naya sendiri yang akan kena sembur Gahara."Ngapain cengar cengir?" nada dingin dan mata yang seolah menelanjangi mereka berdua."Gak ada Kak." Aiza menelan ludah, pasti ini karena kejadian tadi di jalan."Tau salah kalian, kan?" Aiza dan Naya mengangguk,